3 : Tiba Saatnya
Jangan lupa vote dan komennya🌹
💜💜💜
Hari ini keluarga Kak Rifki diundang untuk datang ke rumah. Papa mengundang mereka bukan tanpa sebab, tentunya untuk membicarakan perihal lamaran Kak Rifki kemarin.
Jangan tanyakan kenapa Papa bisa seberani itu memanggil mereka di saat masih ada hati yang tersakiti di sini, karena dengan berusaha tegar, akulah yang meminta Papa untuk mengundang kembali keluarga Kak Rifki.
Sejak kedatangan Kak Rifki, hubunganku dengan Mbak Linda entah mengapa terasa dingin. Atau ini hanya perasaanku saja? Entahlah. Yang pasti aku tidak suka suasana ini.
Selain itu, Mbak Linda juga terlihat lebih sering murung. Sama sepertiku. Bang Arsel bahkan mengaku lelah melihatku dan Mbak Linda seperti sedang mengalami pergolakan batin yang luar biasa.
Saat kejadian di mana Kak Rifki melamar Mbak Linda, Mbak Linda jadi jarang berbicara. Aku juga enggan untuk memulai pembicaraan lebih dulu. Rasa kesal dan marah memang masih setia menyelimuti hatiku, tapi entah pada siapa rasa itu tertuju. Karena jika ditujukan kepada Mbak Linda, sepertinya itu salah, Mbak Linda pun nggak tau apa-apa soal perasaan Kak Rifki padanya.
Aku yang mengenal Kak Rifki saja nggak tau, apalagi Mbak Linda coba? Tapi ..., ah! Terlalu berharap pada seseorang memang kadang berujung menyesakkan. Apa ini yang dimaksud Ali bin Abi Thalib, bahwa semua kepahitan di dalam hidup pernah dirasakannya, dan yang paling pahit adalah berharap kepada manusia?
Aku terus merenungkan perihal bagaimana hatiku kedepannya. Bagaimana aku harus menghadapi kedua orang yang kucintai bersanding. Harusnya aku bahagia, karena mereka sudah menemukan orang yang tepat. Tapi ternyata tidak semudah itu, hatiku masih benar-benar belum bisa mengikhlaskan.
Kalau kau di posisiku, akan kah kau akan merasakan hal yang sama?
Kucinta kau, kau cinta dia.
Miris? Sangat. Ah, mungkin aku memang tak diciptakan untuk merasakan indahnya memiliki pasangan impian. Memang harus begini, hanya bisa merasakan apa itu cinta tanpa harus memiliki. Ya Allah, kenapa ini begitu menyesakkan?
Aku mendekat ke arah cermin besar yang terletak tepat di samping ranjangku. Kupegang kedua sisi bajuku lalu kueratkan ke belakang. Kuperhatikan tumpukan lemak yang tidak bisa dikatakan sedikit itu dengan miris, lengan, pipi dan juga di bagian paha. Aku menelan salivaku susah payah lalu melepaskan pegangan di kedua sisi bajuku.
Harusnya kamu tau diri, Aya. Mana mungkin seorang Rifki Prasetyo mau bersanding dengan cewek berbobot 78 kilogram? Tentu lah dia lebih memilih cewek seramping dan seproporsional Mbak Linda. Ya ampun, ke mana saja aku yang tak tahu diri ini? Harusnya aku lebih dulu menyadari sebelum rasa itu hadir.
Tapi, salah kah jika cewek yang punya bobot badan di atas rata-rata ini juga memimpikan sosok laki-laki perfect seperti Kak Rifki?
Aku menghempaskan tubuhku di atas kasurku. Kutatap langit-langit kamarku yang berwarna biru, aku berharap warna itu benar bisa membawa ketenangan di hatiku, tapi nyatanya, tidak.
"Arghhh!"
Kupejamkan kedua mataku lalu berusaha mengatur napas yang sedari tadi tidak teratur. Kenapa mengikhlaskan tak semudah memasukkan sushi ke dalam mulut?
Tok tok tok
"Ya, kamu udah siap-siap belom? Di bawah udah ada Rifki tuh."
"Iya, Mbak Zi. Nanti aku nyusul."
"Oke."
Aku seperti dejavu, kilasan saat Kak Rifki datang melamar kembali terngiang. Tapi sayangnya, bukan aku orang yang ingin dilamarnya melainkan kakakku sendiri, Mbak Linda.
Tak mau membuat yang lain menunggu lama, akhirnya aku mengambil baju gamis terbaikku. Sebenarnya gamis ini kubeli secara diam-diam, harganya memang tidak mahal, tapi alasan dibalik aku membelinya itu sangat berharga. Aku membeli dengan alasan ingin memakainya saat sehari setelah menjadi pendamping sah Kak Rifki. Tapi nyatanya, semua itu hanya tinggal angan-angan belaka. Gamis ini harus kukenakan di saat Mbak Linda sudah jelas akan menjadi pendamping Kak Rifki.
Aku menghela napas pelan berusaha menahan sesak yang tiba-tiba menumpuk di dada. Apa aku sanggup berada di tengah mereka? Di tengah kebahagiaan yang tercipta. Sementara ada aku yang berusaha menahan luka yang sudah berdarah-darah.
Kembali aku mengembuskan napasku dengan cukup keras, berharap agar rasa sesak ini bisa segera menghilang. Meskipun mustahil, aku tetap melangkah mendekat ke arah ruang tamu di mana keluarga Kak Rifki dan keluargaku berkumpul.
Sesaat setelah kutapaki ruang tamu, mataku bertemu pandang dengan mata Kak Rifki, dia tersenyum ke arahku. Susah payah aku membalas senyuman itu, entah mengapa senyuman itu justru semakin membuat hatiku remuk.
Aku menggigit bibir bawahku demi menahan isakan yang bersiap-siap akan lolos. Seraya menunduk, aku mendekat ke arah Bang Arsel yang kebetulan kursi di sampingnya tengah kosong. Kurasakan Bang Arsel menoleh ke arahku yang terus menunduk, aku yakin dia tau kalau saat ini aku tengah berusaha menahan tangis. Kebiasaanku memang begitu. Saat Papa atau Bang Arsel memarahiku, aku yang menangis akan menunduk hingga keduanya selesai. Meskipun kali ini dalam situasi yang berbeda, kebiasaan tetaplah kebiasaan.
Perlahan, kurasakan Bang Arsel menepuk pelan punggung tanganku yang berada tepat di sampingnya. Kulirik sedikit ke arahnya, Bang Arsel sama sekali tak melihat ke arahku, kedua tatapannya lurus ke arah Kak Rifki. Entah apa yang dia pikirkan, tapi kulihat kerutan samar tercipta di kening Bang Arsel.
Aku mengerjap pelan saat Papa mulai membuka suara.
"Maaf Pak Setyo, Aya kelamaan dandannya, jadi kita harus menunggu cukup lama," ucap Papa berusaha mencairkan suasana.
"Ah, tidak apa-apa Pak Rahman. Anak gadis memang seperti itu. Adik Rifki juga sama persis dengan Aya."
Aku tersenyum tipis menanggapi ucapan ayah Kak Rifki. Apakah Kak Rifki hanya menatapku sebagai adik? Mendengar ucapan Ayah Kak Rifki membuatku sedikit berasumsi bahwa selama ini Kak Rifki hanya menyamakanku dengan Kiki–adiknya yang notabene seangkatan denganku di kampus.
Aku memejamkan kedua mata perlahan. Asumsi itu benar-benar membuatku sakit. Bodoh! Bodoh!
Selama diadakannya pertemuan antara keluargaku dan keluarga Kak Rifki, aku memilih untuk lebih banyak diam. Memangnya aku harus apa? Mendengar bahwa prosesi akad akan diadakan secepatnya saja sudah dengan sangat sukses meluluhlantakkan perasaanku. Hingga Kak Rifki dan keluarganya pamit, aku hanya bisa berpura-pura tersenyum untuk menggiring kepergiannya. Sangat berbeda denganku, langkah Kak Rifki terlihat tenang, ringan dan tentu sangat bahagia.
Tak banyak bicara, aku segera pamit meninggalkan ruang tamu. Sementara semuanya terdiam. Entah apa yang mereka pikirkan, aku tak peduli. Saat ini yang ada di benakku hanyalah bagaimana cara agar hatiku bisa menerima semua ini. Bagaimana caraku bisa mengikhlaskan semua ini. Hanya itu.
Tiba saatnya kuakhiri semua,
Kuhapus harapanku selamanya.
Akan kucoba terus melangkah
Walau serpihan perasaan hatiku,
Masih bersamamu.
Akhirnya air mata yang sedari tadi kutahan meluruh seketika. Kugigit bibir bawahku agar isakan tak terdengar. Entah mengapa, tetanggaku itu seolah tahu perasaanku saat ini. Lagu Adera terus mengalun menemani hatiku yang sedang gunda.
***
Ehem, tes tes tes.
Masih ada orang?😄
Aku bingung mau bilang apa😂
Pokoknya happy reading! Jangan lupa vote dan komen.☺️ kritik dan saran juga perlu 😌 cek typo juga ya~❤️
Btw, feel-nya dapet kan? Hehehe
Ig: windyharuno
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top