28 : Batal Akad
Hari ini merupakan hari bahagiaku. Benarkah aku bahagia? Tentu saja. Apalagi baju yang kukenakan adalah baju pemberian calon suamiku.
Masih dengan senyuman di wajahku, aku terus menatap pantulan diriku di cermin. Mama, Mbak Zillah dan Mbak Linda pun berdatangan. Mereka menatapku takjub, seolah aku baru saja telah berubah menjadi Elsa Frozen.
"Aduh! Mama, Mbak Zillah, Mbak Linda. Ekspresinya biasa aja, dong! Aya malu, nih," ucapku seraya menutup wajah menggunakan kedua telapak tanganku.
Mama mendekat dan duduk tepat di sampingku. "Kamu udah cantik gini, kenapa malu, sih?" Mbak Linda dan Mbak Zillah mengangguk setuju.
"Iya, benar. Aku saja sampai pangling liatnya. Gimana Regaf ya nanti? Hihihi," goda Mbak Zillah.
"Apaan sih, Mbak. Ih, jangan bikin Aya tambah malu, dong." Aku memukul pelan lengan Mbak Zillah yang langsung ditanggapi dengan tawa olehnya.
Mama memeluk bahuku, membuat fokusku beralih padanya.
"Aduh, anak endut Mama udah mau nikah, nih. Seneng kan? Apalagi dapetnya cowok kayak Regaf yang insyaAllah bisa membimbing Aya dengan baik."
"Aaaamiiin."
"Inget ya, Ya. Kaleman dikit. Jangan jadi cewek bar-bar," sahut Mbak Zillah menambahi wejangan Mama. Aku terkekeh. "Tapi nggak pa-pa lah barbar kalo udah di kamar."
Aku melotot ke arah Mbak Zillah. Sementara Mama dan Mbak Linda tertawa menanggapi ucapan istri dari Bang Arsel itu.
"Nda, nggak mau nyampein sesuatu buat Aya?" tanya Mama seraya mengeratkan pelukannya di bahuku.
Mbak Linda menggeleng pelan. "Mbak cuma berharap, Aya bisa menjadi istri yang baik buat Regaf, begitu pun dengan Regaf. Semoga menjadi suami yang baik buat Aya," ucap Mbak Linda dengan senyuman di bibirnya.
"Aamiiiin."
"Eh, eh. Pada melow melow-an di sini. Acara ijab udah mau dimulai tuh. Aya siap-siap, ya."
Kami berempat mengarahkan tatapan ke arah Bang Arsel yang kini berada di depan pintu kamar. Namun, sebelum benar-benar pergi, Bang Arsel melangkah masuk dan berdiri tepat di hadapanku.
"MaasyaAllah. Siapa sih ini? Kok cantik banget?" ucapnya seraya mencubit gemas kedua pipiku.
Aku memukul lengan Bang Arsel. Ah, pipiku terasa kebas dibuatnya. "Ya ampun, mata Abang emang rusak ya selama ini? Aya tuh emang dari dulu udah cantik," ujarku menyombongkan diri.
Bang Arsel terbahak. "Yah, rumah bakalan sepi deh. Kurang ajar juga ya tuh si Regaf. Main ambil-ambil aja adik gemasku ini."
Semua terkekeh, sementara aku bersungut sebal. "Jangan salahkan Mas Regaf. Salahkan diri Abang yang udah nyomblangin Aya dengan dia."
"Udah sana. Ditunggu Papa loh," sahut Mbak Zillah mengingatkan.
Bang Arsel pun menganggu pelan, tapi sebelum dia benar-benar pergi, Bang Arsel menyempatkan diri mencium keningku. "Jangan nakal ya kamu. Patuh sama suami. Kalau ada apa-apa selesaiin. Atau, kalau Regaf nyakitin kamu, bilang ke Abang dan Papi. Biar Abang dan Papi yang hajar dia." Aku mengangguk lagi.
Ah, pasti aku akan rindu bertengkar dengan Bang Arsel. Ngajak Mas Regaf bertengkar kan tidak mungkin, yang ada aku akan dicap sebagai istri durhaka kepada suaminya.
Akhirnya Bang Arsel pergi. Sementara aku, menunggu di kamar hingga ijab selesai diucapkan oleh Mas Regaf. Jujur saja, aku merasa deg-degan. Untung saja saat ini ada Mbak Linda di dekatku. Sementara Mama dan Mbak Zillah ke luar kamar untuk melihat acara ijabnya.
Bunyi yang dihasilkan microphone pun mulai terdengar. Yang berarti acara ijab sebentar lagi dimulai. Ya Allah, berilah kelancaran.
Mungkin Mbak Linda melihatku gugup, sehingga tanganku yang tadinya saling bertautan kini digenggam erat oleh dirinya. Kupikir hanya tanganku yang tiba-tiba menjadi dingin. Ternyata tangan Mbak Linda pun tak kalah dinginnya.
Merasa khawatir, aku pun menatap Mbak Linda yang entah mengapa hari ini terlihat pucat. "Mbak sakit?" tanyaku khawatir.
Mbak Linda menggeleng pelan. Tapi tetap saja tak menyurutkan rasa khawatirku padanya. Dia pun bergegas mengambil air putih yang memang telah disediakan tepat di atas nakas, lalu meminumnya.
Setelah menyisakan setengah gelas, Mbak Linda pun menaruhnya kembali. Namun, saat ia akan duduk tiba-tiba tubuh Mbak Linda tersungkur di lantai. Aku refleks berdiri karena kaget. Kuhampiri tubuh Mbah Linda yang sudah lemas itu dan mengguncang pelan kedua bahunya.
"Mbak! Mbak Linda. Aduh, gimana ini?" Dengan panik, aku pun segera mengambil ponsel dan mencoba menghubungi nomor Mbak Zillah. Tapi, setelah lima kali kutelepon, Mbak Zillah sama sekali tak mengangkat teleponku.
Aku menggigit bibir cemas. Satu-satunya cara adalah aku harus memanggil seseorang dari luar untuk membantuku mengangkat tubuh Mbak Linda ke atas kasur.
Tanpa menunggu lama lagi, aku segera membuka pintu dan menarik dua orang ibu-ibu yang kebetulan tengah berada di depan kamarku.
"Bu, maaf. Saya boleh mita tolong?" tanyaku sesopan mungkin.
Keduanya terlihat kaget melihatku berada di luar kamar. "Eh? Pengantinnya kok di luar? Ndak nunggu selesai ijab dulu?" tanya salah satu ibu yang menggunakan baju orange dengan jilbab hitam itu.
Aku menggeleng cepat. "Bu, tolong. Mbak saya pingsan di dalam. Dan saya ... saya tidak tahu harus bagaimana."
Kedua ibu itu pun kelihatan terkejut. Namun tak lama mereka pun akhirnya mau membantuku. Segera kubuka pintu kamar dan membiarkan mereka membantuku mengangkat tubuh Mbak Linda. Tapi sepertinya bertiga saja tidak cukup. Tubuh Mbak Linda masih terasa berat. Beruntung, sebelum aku kembali memanggil orang, Mama dan Mbak Zillah pun datang. Mereka terkejut melihat tubuh lemas Mbak Linda kini tergolek di lantai.
Dengan panik, Mama segera meminta Mbak Zillah untuk memanggil Kak Rifki. Sementara Mama terus mengusap telapak tangan Mbak Linda dengan cemas.
"Kok Mbakmu bisa pingsan gini, Ya?" tanya Mama khawatir.
"Aya juga nggak tau, Ma. Tadi Mbak Linda ngambil minum dan tiba-tiba aja pingsan," jelasku.
Pintu kamar pun terbuka dan menampilkan sosok Mbak Zillah dan Kak Rifki yang terlihat khawatir. Aku pun mundur, membiarkan Kak Rifki mengangkat Mbak Linda ke atas kasur.
"Aya, kamu udah diminta keluar, tuh. Di luar orang-orang udah pada nunggu," bisik Mbak Zillah ke arahku.
Ah, bahkan aku tidak mendengar Mas Regaf mengucapkan ijab.
Menarik napas pelan, aku pun mulai menenangkan diri agar tidak terlihat panik. Setelah itu, Mama yang juga telah menenangkan diri mulai menuntunku untuk ke luar. Dan saat pintu terbuka, seketika kedua pipiku memanas. Bayangkan saja, di sana sudah ada Mas Regaf, menungguku seraya tersenyum lembut ke arahku. Ya Allah, semoga wajahku tidak terlihat aneh karena kini hati dan perasaanku sudah bercampur aduk antara rasa khawatir melihat kondisi Mbak Linda dan rasa senang sekaligus malu melihat Mas Regaf menungguku di depan kamar.
Belum cukup sampai di situ, Mas Regaf mengulurkan tangannya kepadaku. Sontak aku terkejut dengan kelakuannya itu.
Masih sibuk menatap tangannya yang terulur kepaku, Mbak Zillah menyenggol bahuku. Aku pun tersadar dan menatap Mas Regaf dengan cengiran khas di wajahnya.
Ya Allah, kok dia nyengir aja cakep?
Melihatku masih enggan menyambut uluran tangan Mas Regaf, Mama pun segera menarik tanganku dan menaruhnya di atas tangan besar Mas Regaf. Semua yang melihat pun mulai bersorak ramai. Membuatku tambah malu saja.
Dalam hati, aku terus merapalkan do'a. Bersyukur atas kelancaran yang diberikan hari ini. Beruntung Mbak Linda tidak pingsan di luar kamar, jadi prosesi akad tetap bisa berjalan dengan lancar dan penuh kekhusyuan.
***
Tjintakuh,
Aku mau curhat dikit.
Jujur aja, aku senyum-senyum sendiri loh pas nulis part ini. Semoga kalian yang baca juga senyum-senyum gaje kayak aku, ya. Wkwkwkwk.
Btw, tinggalin vote dan komennya dums. Gimana kesan kalian untuk part ini😘
Mau kasi kritik dan saran pun bholeh bangeeth. Akan kutampung untuk krisan yang membangun😊👍
Setelah cerita Kekasih Halalmu, Entah mengapa aku suka banget nulis cerita ini. Hehehe. Mungkin karena aku dapet faktor pendukung seperti kalian💜💜💜💜 ugh, i sarang kamu😌
Joms, sabar, ya. Kuatin ati. 😄
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top