24 : Bahagia itu Sederhana
Sudah enam hari aku menjalankan program dietku. Mengurangi makan gorengan, mengurangi asupan gula, dan absen dulu makan camilan kesukaanku. Awalnya sedikit sulit, karena godaan itu selalu datang. Sebenarnya tidak sulit jika Bang Arsel tidak sengaja memancing-mancing aku dengan berbagai camilan dan gorengan favoritku. Tapi beruntung, aku diselamatkan oleh Allah dari syaiton sejenis Bang Arsel. Jadi, selama enam hari ini aku benar-benar berusaha semaksimal mungkin hanya mengonsumsi buah dan sayur. Tubuhku jadi terasa ringan dari biasanya, entah ini efek dari makanan yang kukonsumsi atau hanya perasaanku saja.
"Lapaaaar," gumamku seraya menatap jam yang seolah berjalan semakin lambat. Iya, aku juga membuat jadwal makanku. Misal, jam tujuh pagi hanya sarapan roti satu lembar. Lalu jam dua belas makan nasi setengah dan banyakin sayurannya. Terus malamnya sekitar jam delapan, aku makan pisang atau ubi rebus. Luar biasa juga ya proses dietku ini. Bagaimana jika aku lakukan diet selama sebulan? Wow, Bang Arsel pasti akan mimisan melihat berat badanku yang turun drastis.
Lima belas menit lagi baru aku boleh menyentuh yang namanya nasi. Dan itu terasa saaaangat lama.
"Hai, Aya. Sehat? Kok lemes banget?" tanya Bang Arsel seraya mengunyah camilannya. Dia pun duduk tepat di sampingku yang lemah ini. Dan kini fokusku tak lagi pada suara yang dihasilkan oleh TV, melainkan terfokus pada bunyi kriuk yang dihasilkan oleh mulut Bang Arsel.
Siaaaal. Siaaaaaaal. Pasti Bang Arsel sengaja! Ini tidak bisa dibiarkan!
"Bang! Ngapain sih di sini? Ganggu aja," ujarku kesal.
"Dih! Kok sewot?" timpalnya.
Aku bersidekap. Dasar. Begitu saja tidak paham. "Lagian kenapa sih Abang pulang kantornya cepet banget?!"
Bang Arsel mendelik seraya menjitak kepalaku. "Kenapa memangnya?"
"Ya nggak pa-pa. Kerjaan Abang makan mulu sih kalau lagi di rumah."
"Hooo, aku tahu. Pasti kamu ngiler kan lihat aku makan camilan ini?" tebaknya.
"Hih, nggak lah. Cuma ... cuma agak ganggu aja."
Bang Arsel terbahak di sampingku. Dia bahkan tertawa sambil memegang perutnya. Apa yang lucu? Dasar aneh.
"Hahaha, ya ampun, Aya. Kalau pengin bilang, dong. Abang kan baik dan nggak kikir. Nih." Bang Arsel menyodorkan camilannya di hadapan wajahku. Seketika wangi khas camilan jagung bakar itu merasuk di indera penciumanku.
Arghhh! Godaan syaitoooon!
Aku menggeleng pelan membuat Bang Arsel menaikkan sebelah alisnya. "Yakiiiin? Gila, ini enak banget loh, Ya! Nyesel lo nggak nyoba. Apalagi ini keluaran terbaru di betamart!"
Hah? Masa? Kok aku baru tahu?
Kulirik cukup lama camilan Bang Arsel. Dan kali ini syaiton itu menang. Aku penasaran dengan rasa baru itu. Ya walau pun rasanya sudah pasaran, tetap saja aku penasaran.
"Ya udah. Aya coba dikit. Dikit aja tapi!"
Aku tahu Bang Arsel saat ini tengah menahan tawanya. Tapi, siapa yang peduli?
Aku mengambil tiga potong camilan itu lantas memasukkannya ke dalam mulutku. Hmm, benar. Ini enak.
"Nah, gitu, dong. Orang diet kok ketat amat. Longgarin dikit. Apa-apa yang ketat itu nggak baik. Coba tanya Regaf, deh! Celana pria saja tidak boleh ket–"
"Apaan sih, Bang! Berisik!" selaku.
Lagi, Bang Arsel terbahak. Membuat Mama yang berada di dapur pun berteriak nyaring mengingatkan Bang Arsel agar mengecilkan suara tawanya. Rasakan!
"Lagian, diet serius amat. Boleh diet. Tapi makanan dikurangi, bukan dihindari," ucap Bang Arsel layaknya seorang dokter.
Aku mencibir pelan. "Teori dari mana itu?"
"Idih, dibilangin. Temen Abang tuh buktinya. Banyak yang ngurangin porsi makannya, dan berhasil juga turunnya. Nggak kayak kamu. Nyiksa diri banget."
"Iya deh, iya. Mana sini snack-nya. Minta lagi."
Bang Arsel menjauhkan camilannya dari jangkauanku. "Hey, tadi siapa yang nolak makan camilan?"
"Hey, tadi siapa yang goda-godain aku supaya mau nyicipin camilannya?"
"Lah, kan Abang cuma suruh nyicipi, bukan keterusan gini."
"Hih, dasar kikir!"
Aku berdiri dari posisi dudukku lalu berlalu meninggalkan Bang Arsel. Aku lebih memilih bergabung bersama Mama dan Mbak Zillah di dapur daripada bersama Bang Arsel. Bikin naik darah saja.
"Kalian ngapain sih? Berisik banget siang-siang gini. Ganggu tetangga tau nggak?" omel Mama sambil mengaduk sup ayam-nya.
Aku memberenggut sebal. "Abang tuh, Ma. Nyebelin banget." Aku mengambil sambal buatan Mama dan mengaduk-aduknya. "Mbak Zil, suami Mbak tuh udah cocok jadi syaiton."
"Hush! Omongannya. Udah, udah. Bawa ini di meja makan. Kita makan sama-sama."
Aku mengangguk lantas mengambil piring berisikan masakan Mama dan Mbak Zillah. Dulu, sebenarnya aku rajin juga bantu-bantu Mama dan Mbak Zillah di dapur, tapi setelah memilih untuk diet, aku izin alpa dulu. Ya, bisa ditebak lah akunya bagaimana. Suka icip-icip apa saja kalau sudah berada di dapur.
"Mbak Zil, perasaan Mbak Zil dulu punya timbangan, kan?"
Mbak Zillah yang menata piring di atas meja mengangguk pelan. "Ada di bawah lemari tuh, Ya."
"Lemarin yang mana?"
"Itu, yang deket kamarku."
"Okay."
Sebelum makan, aku akan timbang berat badan dulu. Kira-kira berat badanku turun berapa kilo, ya? Empat kilo? Lima kilo? Hmmm.
Dengan semangat, aku segera mengambil timbangan itu. Tapi, sebelum menaikinya, tidak lupa aku mengucap basmalah dulu. Semoga diet beberapa hari ini membuahkan hasil.
Perlahan kunaikkan kedua kakiku di atas timbangan. Angka-angka timbangan itu pun perlahan mulai naik. Tidak berani melihat, aku pun menutup mata. Namun, tidak perlu lama-lama karena angka itu perlahan berhenti.
70
Kedua mataku yang tadinya sedikit tertutup pun perlahan terbuka lebar. Demi apa? Berat badanku turun tiga kilo! Yeay! Itu berarti dietku tidak sia-sia. Bang Arsel harus tahu ini.
Dengan senyum yang terpatri di wajah. Aku berjalan dengan perasaan penuh kebahagiaan. Seolah beban masalahku terangkat tak bersisa.
"Kenapa kamu senyum-senyum gitu? Kamu nggak kesurupan, kan?" tanya Bang Arsel seraya bergidik ngeri.
Aku mengibaskan rambut dengan angkuh lalu duduk tepat di samping Mama.
"Berat badannya berhasil turun kali," tebak Mbak Zillah.
Aku menatap ke arah Mbak Zillah dengan tatapan kagum. Tidak lupa menepuk tangan dengan pelan sehingga membuat Papa, Mama dan Bang Arsel terperangah.
"Bravo! Tebakan Mbak Zillah memang yang paling tepat."
"Hah? Seriusan, Ya? Berat badanmu turun? Berapa kilo sekarang?"
"Tujuh puluh dari tujuh puluh tiga," ucapku bangga.
Bang Arsel menggeleng-gelengkan kepalanya. "Palingan besok juga naik lagi."
Oke. Di sini satu-satunya orang yang bukan sekutu dari misi dietku adalah Bang Arsel. Dia yang paling gencar melancarkan serangan agar aku tidak diet. Huh, benar-benar jahat.
"Omonganmu, Bang."
"Sudah, sudah. Besok kita jadi kan fitting baju pengantinnya Aya?" tanya Papa mengingatkan.
"Jadi, Pa," jawab Bang Arsel.
"Gimana, Ya? Kamu ada kuliah besok?"
"Umm, ada, Pa. Tapi cuma satu mata kuliah aja."
Papa mengangguk pelan. "Oke, tidak masalah. Kamu kira-kita pulang jam berapa?"
"Ummm, sekitaran jam sebelasan gitu, Pa."
"Oke. InsyaAllah besok kamu Papa jemput di kampus, ya. Kita langsung ke butik aja."
"Terserah Papa."
Aduh, seketika jantungku berdegup dengan sangat kencang. Aku bahkan belum punya bayangan terkait model baju pengantin yang akan kupakai nanti.
Setelah, menghabiskan makananku, aku permisi pada Mama Papa untuk ke kamar. Setelahnya, aku memilih untuk mencari-cari model baju pengantin kekinian. Dan, wow! Banyak yang simpel tapi elegan. Aku jadi bingung sendiri jadinya.
***
Yeay~ apdet.
Alhamdulillah ya berat badan Aya udah berhasil diturunin sebanyak tiga kilo. 😝 nggak sia-sia nyuekin camilan beberapa hari ini.
Btw, guys. Jangan lupa baca cerita baruku ya, judulnya Fatwa Cinta Allah. Cerita aku itu kuikutkan challenge yang diadakan salah satu penerbit. Hehe. Mampir, ya💐
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top