23 : Diet Ketat
"Ya, denger-denger pernikahan kamu dipercepat, ya?"
Aku yang tengah sibuk mengunyah makanan pun tiba-tiba berhenti setelah mendengar pertanyaan Bang Arsel. Dari mana Bang Arsel tahu? Aku kan belum bilang apa-apa? Bahkan rencana baru malam ini aku akan bilang ke mereka.
"Iya, benar. Wah, Mbak nggak nyangka kalau Aya akan segera menikah!" ujar Mbak Zillah antusias.
Tuh, kan? Bahkan Mbak Zillah pun sudah tahu.
Aku pun melirik Papa. Satu-satunya orang yang tahu akan hal ini. Tetapi, saat aku menatapnya, Papa justru berpura-pura sibuk dengan hidangan yang ada di hadapannya. Hah, sudah pasti Papa dalang di balik semua ini.
Ck. Ya sudah lah. Toh, mereka semua pun nantinya juga akan tahu.
"Ehem, itu juga atas usulan Ayah Mas Regaf, kok."
Bang Arsel mengangguk-anggukkan kepalanya. "Oh, begitu. Calon menantu sih manut saja, ya?"
Aku menyipitkan kedua mata ke arah Bang Arsel. Ya, seperti biasa. Bang Arsel dan jurus menggodanya itu tidak akan pernah terpisahkan. Bikin kesal saja! Tapi tentu aku sudah kebal, dong. Bagaimana tidak, hampir setiap hari aku digoda dengan berbagai macam alasan. Heran kenapa Mbak Zillah bisa bertahan dengannya.
"Ssst, sudah, Sel. Jangan godain adik kamu terus," bela Mama. "Ya, Mama ada usul. Kan pernikahan kamu bentar lagi, nih. Gimana kalau kamu Mama ajak fitting baju buat nikahan kamu?"
Aku menahan kunyahanku dengan ekspresi terkejut. What? Fitting baju pernikahanku? Ya Allah, kok aku deg-degan, ya?
"Nah, iya. Setuju!" ucap Bang Arsel dan Mbak Zillah bersamaan.
"Papa nggak setuju."
"Kenapa, Pa?" tanya Mama dengan nada sedikit tak setuju.
Setelah Papa menelan makanannya, ia menatap kami semua dengan senyuman penuh misteri.
"Tentu Papa nggak setuju, dong. Tunggu sampai Papa libur kerja dulu. Papa kan pengin ikut juga," jawab Papa tersenyum puas karena telah berhasil membuat kami semua penasaran dengan ketidaksetujuannya.
Bang Arsel pun berdecak sebal. "Hari ini kita kan lagi libur, Pa. Aya juga kan? Gimana kalau kita perginya siang nanti?"
Oke. Usul Bang Arsel ini berlebihan. Masa fitting bajunya hari ini? Ya tidak mungkin! Aku belum mempersiapkan apa-apa, maksudku mentalku belum siap melihat yang namanya baju pernikahan. Apalagi itu adalah baju pernikahanku.
"Kenapa harus terburu-buru, Nak?"
"Ya kan jadwal kuliah Aya nggak menentu, Pa. Bisa aja dosennya nanti tiba-tiba dateng."
Papa terkekeh seraya mengibaskan tangannya. "Urusan gampang itu, Nak. Serahkan saja sama Papa."
Aku mengangguk cepat, setuju dengan ucapan Papa. Benar, tidak perlu terburu-buru. Dengan begitu, aku juga ada waktu kan untuk diet. Oke, oke. Fix. Selama enam hari ke depan, aku akan diet agar aku bisa mendapatkan baju pernikahan yang lebih baik.
"Nah, kan. Yang mau nikah aja setuju. Fix, enam hari lagi kita fitting bajunya," ujar Papa dengan keputusan final. Mau tidak mau, Mama, Mbak Zillah dan juga Bang Arsel pun akhirnya menyetujui.
Baik. Setelah ini, aku akan mengatur makanan untuk dietku. Semoga lancar dan tidak ada halangan. Ya Allah, tolong restui.
***
Aku sedang menyusun daftar makanan dietku ketika pintu kamar tiba-tiba ada yang mengetuk. Fokusku pun teralihkan.
"Masuk."
Pintu kamarku pun sedikit terbuka dan kepala Mbak Zillah pun menyembul dari sana. Satu alisku terangkat.
"Ya, Mama nanya. Malam nanti kamu mau makan apa?"
Wah, suatu godaan terberat jika Mama bertanya seperti itu. Pasalnya, sangat jarang Mama bertanya terkait menu makan untuk malam ini. Biasanya juga Mama masak sesuai keinginannya.
"Kok tumben nanya, Mbak? Biasanya juga langsung masak sama Mbak."
Mbak Zillah menggeleng pelan pertanda ia pun tak tahu alasan Mama bertanya demikian.
"Hm, apa ya?" Aku berpikir keras. Memutar otak demi memikirkan makanan apa yang sedang ingin aku makan.
Inner-ku pun berteriak girang dan seolah mempengaruhiku untuk memikirkan semua jenis makanan yang ada.
Capcai? Udang pedas manis? Atau kepiting asam manis? Hmm. Cumi goreng? Sate kambing? Rendang? Apa lagi, ya?
"Ya! Gimana? Kok malah ngelamun?"
Aku tersentak lalu buru-buru mengenyahkan semua pikiranku. Semua daftar makanan yang kubuat pada buku catatan pun seketika membuyarkan lamunanku terhadap makanan-makanan super enak itu. Oh, iya. Aku lupa kalau mulai saat ini aku harus diet.
Oke. Tawaran Mama yang menggiurkan ini harus dilewatkan demi berjalannya rutinitas dietku.
"Um, Mama bisa buat salad kan, Mbak? Aku mau dibuatin salad, dong," pintaku.
Aku melihat raut terkejut di wajah Mbak Zillah. Tentu itu merupakan suatu kewajaran. Aku sendiri pun akan terkejut jika berada di posisi Mbak Zilla. See, ini seorang Aya. Si gendut yang tidak bisa lepas dengan camilan penuh lemaknya. Dan tiba-tiba dia ingin dibuatkan ... salad? Mimpi apa Spongebob tadi malam.
"S-salad?" tanya Mbak Zillah mengulang ucapanku. Aku pun mengangguk membenarkannya. "O-oke."
Setelah kepergian Mbak Zillah, aku pun meminta kepada inner-ku agar tidak sedih. Ini demi kesehatanku dan dirinya juga, kan? Iya, benar. Maka dari itu, aku harus berlatih agar semua makanan enak namun penuh lemak itu hilang dari angan-anganku saat ini. Semangat, Aya! Lagipula, kan tidak lucu jika nantinya istri seorang dokter sakit-sakitan karena keseringan makan makanan yang berlemak. Memang, tidak ada yang bisa memungkiri, bahkan seorang dokter pun bisa sakit. Tetapi, untuk meminimalisir tentu bisa kan?
Bagus. Sepertinya aku benar-benar sudah cocok menjadi istri seorang dokter.
***
Kini aku sudah berada di ruang makan. Bang Arsel yang melihat menu makan malam hari ini tentu sudah paling dulu melayangkan protes.
"Ini, makan malam?" tanyanya dengan ekspresi tak terima.
"Iya, sesuai permintaan calon nyonya Regaf," ujar Mbak Zillah dramatis. Dan aku? Berusaha menahan tawa melihat raut kesal di wajah Bang Arsel.
"Ini ... beneran kamu yang minta, Ya?" Aku mengangguk pelan berusaha untuk tetap kalem, padahal di dalam hati aku sudah tertawa terbahak-bahak. "Kamu lupa kalau kamu sering bilang makanan ini ... seperti makanan kambing?" Aku mengangguk lagi.
Dulu, aku memang selalu anti dengan makanan seperti yang ada di depanku ini. Tapi, kembali lagi. Ini demi diet dan kesehatanku juga.
Melihat aku yang kalem, Bang Arsel mencak-mencak tak terima. "Ma, please lah. Mama boleh aja buat makanan sesuai permintaan Aya. Tapi kan nggak mungkin Arsel makan yang beginian. Arsel kan baru pulang kantor, abis buang cukup banyak tenaga. Dan Mama malah nyodorin makan malam yang kayak gini?"
Mbak Zillah tertawa pelan. "Itung-itung diet, Mas. Biar perut nggak buncit. Kamu mau punya perut buncit?"
"Ya nggak lah, Zi. Tapi ... ah sudahlah."
"Iya, Bang. Mbak Zillah benar. Ini kan makanan sehat."
Bang Arsel menggeleng tak habis pikir. "Kamu bukan hanya udah cocok jadi istri Regaf. Tapi udah cocok juga jadi dokter."
***
Cring criiiiiing. Apdet. Monmaap ya apdetnya kelamaan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top