17 : Dinner Bareng

"Assalamu'alaikum."

Aku mengedarkan pandangan mencari keberadaan orang rumah. "Lah, pada ke mana sih? Kok nggak ada yang jawab salam Aya?" gumamku seraya terus melangkah menuju ruang keluarga.

Di sana, kulihat Mbak Zillah sedang membolak-balikkan majalah fashion sambil menikmati lagu yang mengalun dari headset yang dia gunakan.

"Hmm, pantesan dia nggak denger."

Aku kemudian mendekat lalu mendudukkan diri tepat di samping Mbak Zillah.

"Astaghfirullahal'adzim! Aya! Ngagetin banget, deh," keluh Mbak Zillah sambil memukul lenganku.

Aku mengaduh kesakitan. Sumpah, ya. Pukulan Mbak Zillah ini kayaknya nanti bakal meninggalkan jejak memar di lenganku. "Aduh, Mbak. Ish, pukulannya pukulan maut!"

"Siapa suruh!" Aku mencibir masih sambil mengelus lenganku yang menjadi korban Mbak Zillah. "Lagian dari mana sih kamu?"

"Biasssaaaaa anak muda, JJS~" Iya, seharian ini aku memutuskan untuk jalan-jalan sore di mall. Tentunya setelah pulang dari kampus. Tugas kampus benar-benar membuatku penat seharian ini. Maka kuputuskan untuk refreshing ke mall dan mengelilingi toko buku hingga maghrib menjelang.

Kening Mbak Zillah mengerut. "JJS? Apaan itu?"

"Jiaaah, keliatan banget Mbak itu anak zaman old," ujarku seraya terbahak membuat Mbak Zillah mendelik sebal ke arahku.

"Ck! Abang kamu tadi nelpon, dia nanyain kamu udah pulang kampus apa belum? Lagian tumben banget pergi ke mall nggak bilang-bilang."

Aku membuka satu bungkusan camilan yang kubeli di mall tadi lalu membaginya dengan Mbak Zillah, istri Abang itu tentulah tidak menolak. Kita berdua kan camilan lovers. Hanya bedanya, Mbak Zillah makan apapun nggak akan bikin berat badannya naik seons-pun, sedangkan aku? Jangan ditanya.

"Kenapa dia nyariin? Mau bikin sureprise lagi?" Sejak insiden 'kejujuran' Bang Arsel semalam, aku memang tidak pernah lagi mengajaknya ngobrol, jangankan ngobrol, menyapanya pun aku ogah.

"Katanya kamu disuruh siap-siap."

"For what?"

"Regaf ngajak dinner."

"Uhuk!" Aku memukul pelan dadaku karena tersedak oleh camilan yang kumakan. Demi apa? Regaf ngajak dinner? What? What? Apa Bang Arsel lagi ngeprank? Iya, pasti!

"Halah, Bang Arsel bisa banget bo'ongnya, mana ada Mas Regaf ngajak dinner. Paling dia lagi sibuk sama pasiennya."

Kurasakan Mbak Zillah tiba-tiba mencolek lenganku sehingga membuat aku menatapnya dengan tatapan malas.

"Cieee, perhatian banget sih."

"Lah, perhatian apanya sih, Mbak? Semua juga tahu kerjaan dokter emang gitu kan? Kecuali kalo dia beralih profesi jadi tukang bubur."

"Hush! Itu mulut. Udah sana, siap-siap. Abis salat maghrib Arsel jemput."

Aku bertepuk tangan heboh. "Serius Bang Arsel ikut kan, Mbak?"

"Iya."

Hah! Waktunya pembalasan! Akan kukuras habis isi dompetmu, Bang! Lihat saja. Makanya jangan macam-macam dengan Aya!

"Oke deh, Mbak. Btw, Mama sama yang lain mana? Kok nggak keliatan?"

"Mama nganterin Linda balik ke rumah Rifki."

Aku terkejut. Hah? Kenapa Mbak Linda nggak bilang-bilang kalau bakal balik ke rumah mertuanya? Kak Rifki juga tidak bilang sewaktu nganterin aku ke kampus.

Ya ampun, Aya. Sok penting banget sih.

"Ow, ya udah, aku siap-siap dulu, Mbak."

"Hmm."

***

Aku ke luar dari kamar lalu menghampiri Mbak Zillah yang terlihat sibuk memasak mie super pedasnya.

"Ow ow ow, enak banget tuh mie-nya."

"Hm, mau?"

Aku menggeleng pelan. Tentu saja aku menolak. Aku kan akan makan sepuasnya sebentar. Hahahahaha.

Piip piip

Aku menatap Mbak Zillah terkejut. "Wah, Bang Arsel sudah datang, Mbak! Cepet banget. Dia juga nggak nelfon kalo udah mau jemput, untung aja aku udah siap-siap."

"Hm, yaudah sana. Nanti dia keburu marah-marah nggak jelas lagi karena kamu lelet."

"Loh, Bang Arsel nggak ganti baju dulu?"

Mbak Zillah mengedikkan kedua bahunya seraya membawa mie pedas dengan toping baksonya ke atas meja makan.

"Ya udah, deh. Aku pergi dulu ya, Mbak. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

***

Aku terus melangkah hingga mencapai gerbang rumah. Hm, benar-benar Bang Arsel ini. Dia bahkan turun saja tidak. Alasan ganti baju dulu kek, lihat istri kek, atau apa gitu. Berasa dia yang paling antusias ketemu Mas Regaf. Huh.

Saat aku sudah menutup kembali gerbang rumah, ponsel yang berada di dalam mini bag-ku berdering.

"Ya ampun, siap- loh! Bang Arsel? Ngapain pake nelpon aku segala coba? Gaya bener. Ini aku kan udah ada di dekat mobilnya." Aku pun akhirnya men-dial panggilannya. "Halooow."

"Assalamualaikum, Ya."

"Wa'alaikumussalam! Ngapain sih pake telpon segala? Gaya banget."

"Hah?? Abang cuma mau ngasi tau kalo Abang nggak jadi ikut dinner. Bentar lagi Abang ada meeting."

"Lah, terus mobil yang-" Ya ampun kenapa aku bego banget ya. Mobil Bang Arsel kan warna biru. Sedangkan ini warnanya putih.

"Regaf udah dateng belom? Tadi Abang minta dia jemput kamu."

"Iya!" jawabku dengan nada kesal lalu mematikan panggilannya. Lagi-lagi Bang Arsel mengambil keputusan tanpa sepengetahuanku. Argh! Sebel!

Entah sejak kapan kaca mobil di hadapanku itu terbuka, menampilkan sosok perempuan yang kuketahui merupakan adik Mas Regaf. Iya, aku masih ingat wajahnya, tapi ... aku sedikit lupa dengan namanya. Aku mencoba mengingat-ingat namun otakku sama sekali tidak menyimpan nama gadis manis itu.

"Kak Aya, ayo buruan. Zahra udah laper, nih," keluhnya seraya memegang perut dramatis.

Merasa tidak enak, bergegas aku naik ke dalam mobil Mas Regaf. Hm, aroma mint langsung saja memanjakan rongga hidungku. Sepertinya wangi ini akan menjadi wangi baru kesukaanku setelah wangi apel dan lavender.

"Arsel sudah bilang kan kalau dia tidak ikut?"

Siapa? Maksudku, Mas Regaf tanya siapa? Aku?

"Aya, kamu masih ada kan?"

Aku gelagapan dan refleks memperbaiki letak mini bag yang ada di pangkuanku salah tingkah. "Eh, iya. Tadi dia nelpon."

"Okay. Ngomong-ngomong, kamu ada tempat makan rekomendasi nggak?" tanyanya lagi.

Wah, kenapa hari ini Mas Regaf jadi cerewet, ya? "Itu, um. Aku nggak tau, Mas." Lebih tepatnya nggak ingat. Iya, aku itu kalau sedang gugup bisa jadi sosok yang pelupa.

"Kalau begitu, aku saja yang rekomendasiin!" ujar Zahra dengan semangat.

"Boleh," ucapku bersamaan dengan Mas Regaf. Kedua sudut bibirku refleks terangkat. Benar-benar aneh, hal kecil begitu saja bisa bikin aku senyum-senyum gaje. Hih!

"Um, di Flower Resto aja gimana, Kak?"

"Menunya apa aja?" tanya Mas Regaf seraya memutar roda kemudinya.

"Ada seafood, sup ayam atau daging, steak, salad, umm apa lagi, ya? Pokoknya banyak deh, Bang! Udah gitu rame pula."

Mas Regaf mengangguk pelan lalu meliriku melalui spion yang ada di depannya. "Gimana, Aya? Kamu mau di sana atau kamu ada rekomendasi tempat lain?"

"Di sana saja, Mas."

"Oke."

Untuk menemukan restoran itu tidak perlu memakan waktu berjam-jam. Karena delapan belas menit kemudian kami pun akhirnya sampai dan langsung mengambil tempat duduk tepat di dekat kolam ikan.

Gila! Kalau kata Zahra ini tempat ramai, iya memang. Tapi ini tempat nongkrong khusus orang yang minimal bergaji sepuluh juta ke atas. Aku bisa menebak setelah melihat-lihat semua furniture dan tentunya para pengunjung yang sebagian besarnya berjas.

Ini Zahra dulu ngapain coba ke sini? Makan? Dia masih SMP saja sudah makan di sini? Wow, apa kabar aku yang hanya pecinta pentolan, cilok beserta jajarannya?

Sambil melihat-lihat ikan yang lagi berenang, tiba-tiba Mas Regaf memanggilku.

"Aya, mau pesan apa?" tanyanya sambil menunjuk buku menu yang ada di hadapanku.

Aku terkesiap lantas mengambil buku menu itu. Untung saja wajahku tertutupi buku menu, kalau tidak, mungkin saja Mas Regaf atau Zahra akan illfeel melihat ekspresiku setelah melihat daftar menunya. Demi engkau dan si buah hati, satu menu yang ada di sini bisa saja menguras celengan yang kusimpan selama berbulan-bulan lamanya.

Zahra mikirin apa sih saat memilih resto ini? Nyesel aku nggak merekomendasikan warung Mak Aci. Di sana baksonya saja sudah bisa untuk dua porsi. Harganya cuma dua puluh ribu pula. Ini? Satu kepiting saja nguras dompet sampai ratusan ribu. OMG!

"Apa kepiting itu mengandung berlian?" gumamku tak percaya melihat harganya.

"Apa?"

"Eh? Nggak, haha. Maksudku, aku pesan ...." Aku menggantungkan ucapanku sambil mencari harga yang paling normal dan tentunya bisa mencapai duit yang kubawa. Dan, tadaa. "Sup ayam!" Yang harganya cuma empat puluh lima ribu.

"Hm, sup ayam. Minumnya?"

"Air mineral! Haha, iya. Air mineral."

Mas Regaf menatapku heran. "Yakin kamu cuma mau makan sup?"

Why? Why? Apa sup ayam tidak sesuai dengan bodiku? Seharusnya iya! "Iya, Mas. Maklumlah, lagi diet." Diet dompet maksudnya.

"Oh, begitu. Salad juga cocok-"

"Tidak, tidak. Sup ayam saja, hehe."

"Okay."

Gara-gara Bang Arsel ini. Aku ikut dinner karena berharap bisa kuras duitnya. Eh, dia malah tidak ikut. Makan makanan enak kini tinggal kenangan. Nasiiib nasiiiib.

***

Ada yang dinner bareng, nih. Tapi ke restoran kok cuma pesen sup ayam? Pffft😂😂😂😆 kesiaaaan deh~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top