14 : Shock Therapy

Jangan lupa vote dan komennya❤️
.
.
.

Aku menatap lurus ke arah meja belajar, tepatnya pada lampu belajar yang sengaja kunyalakan. Sebenarnya sama sekali tak ada yang menarik dari lampu belajar itu, hanya saja entah mengapa mataku nyaman saja mengarah ke sana. Sementara, ponsel yang biasanya kunyalakan untuk memutar lagu pun kali ini kudiamkan. Hanya ada suara jangkrik yang berasal dari taman belakang yang semakin membuat suasanya menjadi hening.

Tahu apa yang sedang kupikirkan?

Ya tentu pertanyaan Mas Regaf tadi pagi. Setelah dia menanyakan hal yang tidak pernah kuduga, dengan gugup aku membalasnya dengan cara meminta waktu untuk berpikir. Terkesan sok jual mahal? Hm, bukan begitu. Ada beberapa hal yang menjadi buah pemikiranku setelah itu. Jadi, kami baru saja kenal, aku tidak tahu dia orang yang seperti apa, apa saja yanh disukainya dan apa saja yang tidak disukainya, lantas bagaimana caraku jika menghadapinya jika sedang marah, capek dan lain-lain. Apa makanan kesukaannya, apa hobinya, dan tema pembicaraan seperti apa yang Mas Regaf suka? Lihatlah, ini baru sebagian kecil hal-hal yang tidak kuketahui darinya, begitu pun dirinya, Mas Regaf sama sekali tidak tahu kebiasaanku, bisa kah dia menerima semuanya?

Ini tentang pernikahan, yang benar-benar kuinginkan hanya sekali seumur hidupku. Aku tidak ingin di pertengahan nanti, kami justru malah memilih untuk saling berpisah hanya karena tidak saling mengenal satu sama lain. Tidak, tidak.

"Ya Allah, apa saat Kak Rifki melamar Mbak Linda, Mbak Linda juga merasakan hal yang sama denganku seperti saat ini?" gumamku bertanya-tanya entah pada siapa.

Tepat saat sekelebat pertanyaan-pertanyaan Mas Regaf kembali berputar di kepalaku, tiba-tiba pintu kamarku terbuka. Lampu kamar yang sedari tadi kumatikan pun akhirnya menerangi kamarku. Bang Arsel dengan sebuah buku tebal di tangannya itu pun melangkah untuk mematikan lampu belajar yang sedaritadi menyala.

Aku hanya terus memperhatikan gerak gerik Bang Arsel hingga dia ikut duduk di sampingku.

"Kenapa sih, akhir-akhir ini suka banget menyendiri di kamar?"

Aku mengedikkan kedua bahu. "Entahlah, ini tempat ternyaman ... maybe?"

"Tempat ternyaman untuk menghindar dari Linda dan juga Rifki maksudmu?"

Aku mengerutkan kening. "Mungkin. Tapi untuk sekarang, aku dipusingkan sama sesuatu hal?"

Alis kanan Bang Arsel terangkat. "Apa?" tanyanya penasaran.

"Sebentar, Bang. Aku mau nanya dulu, boleh?"

"Silakan."

Aku melipat kedua kakiku dan mengambil bantal untuk ditaruh di atas kedua pahaku.

"Um, teman Abang itu kebelet nikah banget, ya?"

"Maksudmu, Regaf?" Bang Arsel lantas tertawa pelan saat aku mengangguk samar. "Ya, Abang kan udah bilang kemarin. Regaf itu udah nggak muda lagi, maksudku, dia udah pantas menikah. Lagipula, Ayah dan Ibu Regaf sudah tidak ingin Regaf main-main, jadi wajar jika Regaf langsung to the point tadi pagi."

"Tapi, Bang. Lihat sikon juga, dong! Nanyanya nggak tanggung-tanggung pula."

Bang Arsel menarik napas pelan. Jemarinya mengetuk di atas paha seperti memikirkan sesuatu. Saat jemarinya berhenti mengetuk-ngetuk, Bang Arsel juga ikut menatapku.

"Kalau menurut Abang, kamu terima aja si Regaf. Dia itu tipikal laki-laki yang nggak suka PHP macem si doi, loh–"

"Wait, wait. Aduh, Bang. Nggak semudah itu. Aku tuh belum kenal sama sahabat Abang itu, dan aku nggak mau kita nantinya cek cok cuma gara-gara hal sepele semisal dia nggak suka sesuatu dan aku nggak tau itu," selaku.

Bang Arsel menggeleng pelan. "Jadi, mau kamu gimana? Pacaran? Aya, saran Abang, mending nggak usah. Pacaran itu buang-buang waktu. Yang ada kamu cuma numpukin dosa," jelas Bang Arsel. "Kamu pikir, Abang yang udah bertahun-tahun nikah sama Zillah nggak pernah cekcok karena hal sepele? Pernah, kok. Rumah tangga itu bukan dilihat dari seberapa kenal kamu sama pasanganmu, tapi seberapa pengertiannya kalian satu sama lain. Pengertian di sini bukan cuma 'iya-iya' aja sama pasangan, tapi percaya. Runtuhnya rumah tangga itu bukan karena saling tidak kenal, tapi tidak saling percaya," lanjutnya.

Aku sukses terperangah. Begini kah cara Bang Arsel meyakinkan rekan kerjanya saat meeting? Kenapa dia begitu lihai bercakap? Aku sampai dibuat takjub.

"Bang. Abang ngomong kayak gini bukan karena mau mempengaruhi aku untuk nerima Mas Regaf, kan?"

"Of course, yes. Abang udah kenal Regaf itu lama banget, Ya. Dia, apa ya kalimat yang tepat untuk menggambarkannya. Kalau kata orang-orang, lihat laki-laki dari cara dia memperlakukan ibunya. Nah, Regaf itu ... apa pun yang terjadi, orangtua dia nomorduakan–"

"Nomorduakan?" tanyaku mengoreksi ucapan Bang Arsel.

"Iya, karena yang harus dinomorsatukan kan Allah." Aku mengangguk pelan.

Oke. Aku akan mencoba mengenal sosok Mas Regaf dari cerita Bang Arsel. Bodo amatlah kalau orang bilang 'jangan mengambil kesimpulan tentang seseorang dari cerita orang lain', lagipula, tidak mungkin juga kan Bang Arsel akan menjelek-jelekkan sahabatnya sendiri. Kalau pun Bang Arsel mau, sedaritadi aku tidak akan mendengar kalimat-kalimat memuja darinya untuk sahabatnya itu.

"Ya ... itu pun kalo kamu carinya cowok yang kayak gitu. Abang nggak maksa, oke? Semua keputusan ada di tangan kamu. Kamu mau kenal Regaf, kan? Nah, Abang udah kasi tau dia itu gimana sama orangtuanya. Selanjutnya, kalau kamu suka yang rajin salat, rajin baca qur'an, dia itu centang semua. Tapi kalau nggak, yaaa. Terserah kamu."

"Aduh, ngomong sama Abang bikin tambah galau. Lagipula, siapa sih yang bakal nolak cowok se-perfect Mas Regaf?"

"Kamu pikir dia perfect? Aya, di dunia ini nggak ada yang perfect. Pun dengan Regaf."

"Ya tapi kan menurutku itu udah perfect sih, Bang. Temen-temenku kalo ditanya mau nikah sama cowok yang kayak gimana, mereka pasti jawabnya nggak jauh-jauh dari pengin punya suami yang rajin ibadah, rajin baca qur'an dan gitu-gitu lah."

"Kalau menurut Abang, jangan terlalu mengharapkan pasangan yang perfect, karena kalau tidak sesuai ekspektasi, kamu bakal susah nerima pasanganmu."

Clap your hand. Sepertinya Bang Arsel sudah cocok jadi motivator.

"Bentar, Bang. Aku mikir dulu. Aku nggak tahu mau ngomong apa."

Kami sama-sama terdiam hingga pintu kamarku diketuk oleh seseorang.

"Eh, Mbak Linda."

Mbak Linda pun akhirnya masuk dan ikut bergabung bersama aku dan juga Bang Arsel.

"Lagi ngomongin apa sih? Akhir-akhir ini aku lihat kalian berdua sering ngobrol gitu dan aku nggak diajak," keluh Mbak Linda.

Aku gelagapan. Tentu aku merasa bersalah mendengar ucapan Mbak Linda. Apa benar dia berpikir demikian? Sejujurnya, aku dan Bang Arsel sama sekali tidak berniat begitu, tapi yang kupikirkan jika adanya Mbak Linda, apakah aku akan bebas berekspresi?

"Bukan gitu, Mbak–"

"Hoeeek ... Hoeeek."

Aku dan Bang Arsel saling tatap. Mbak Linda kemudian berlari menuju kamar mandiku dan memuntahkan isi perutnya.

Panik, aku segera menyusul Mbak Linda dan menepuk pelan pundaknya. Sementara Bang Arsel keluar memanggil Mama karena kebetulan Kak Rifki belum pulang dari kantornya.

Mbak Linda mengelap mulutnya menggunakan tisu. "Mbak nggak pa-pa, Ya."

"Yakin? Kok ..."

Wah! Gimana, Ya? Udah ada tanda-tanda hamil belom? Ih, gue tuh nggak sabar banget pengin lihat keponakan kita! Pasti lucu, deh

Jangan-jangan ucapan Kiki beberapa hari yang lalu terkabul? Sebentar, apa aku ... harus senang?

Mama datang dan segera memegang kedua bahu Mbak Linda? "Kamu kenapa, Nak?" tanya Mama dengan nada cemas.

"Nggak pa-pa, Ma."

"Kamu ke dokter ya, biar Arsel yang anterin kalo Rifki belum pulang."

Mbak Linda mengusap lengan Mama untuk menenangkannya. "Nggak pa-pa, Ma. Istirahat bentar juga pasti berenti."

"Pokoknya besok kamu ke dokter. Nanti biar Mama yang ngasi tau Rifki."

Dengan wajah pucat, Mbak Linda akhirnya mengangguk patuh. Sementara aku, bingung mau melakukan apa.

Hari ini aku sepertinya kena shock therapy.

***

Oh my, oh my. Belum juga Aya dapet jawaban pasti atas ajakan Regaf, eh, tiba-tiba Linda muntah-muntah gitu. 😱

Kira-kira Aya akan terpengaruh nggak ya sama ucapan Arsel? Lantas, ada apa dengan Linda? 🤔

P.s: cek typo

IG: windyharuno

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top