#3 - It's Raining / JG

   Koloni abu kumpul membentang langit, naungi lokasi agar terlindung dari sinar mentari—namun turunkan air sebagai ganti, basahi permukaan Bumi selama tiga jam sebelum ini.

   Jalanan pun menjadi sunyi, dihiasi musik rintik sebagai melodi, insan berhambur cari tempat sembunyi—tunggu situasi aman dan hujan selesai hampiri, untuk kembali lanjutkan aktivitas sehari-hari.

   Tapi satu nyawa tidak peduli.

   Tubuh kuyup seorang diri, setia berdiri di tengah sepi. Tanpa payung maupun topi, serta segala macam pelindung air—dari pucuk hingga ujung kaki, hanya berbekal dress putih menjutai rapi, yang kini telah terbasahi tangisan langit.

   Paras memikat begitu manis, namun sendu tersirat tatapan miris. Nestapa duka kentara tercermin, kala tubuh biarkan menggigil tersiram air.

   Pakaian melekat tak membuat risih, dia berdiri bagai satukan eksistensi. Insan berlalu sibuk pekerjaan sendiri, sampingkan fakta bahwa mungkin dia korban peristiwa genting.

   Hati manusia terlalu egois, menimbang pilihan demi keuntungan sendiri. Meski semua tidak perfeksionis, tetap saja sempatkan waktu dianggap tidak berarti.

   Tapi adakah insan yang bergerak semata berdasar kasih? Di tengah dunia makin hancur dan gelap ini, "kasih" tak lagi membawa arti—hanya mereka yang spesial dan masih miliki hati nurani, sanggup mengambil tindakan dengan tulus dan murni.

   Dan apa mungkin—

   (Mendadak diri tak lagi rasa dinginnya air; mengadah, dapati payung tutupi diri, dibawa oleh sebuah tangan asing; kekar khas seorang lelaki.)

   "Hei, apa kau baik-baik saja?"

   —dia salah satu kebaikan tersisa dalam jahatnya dunia ini?

***

It's Raining

story © alice-dreamland

Joker Game © Koji Yanagi

tradefic with RainAlexi123

- story only: 1507 words -

***

   "Ah ... terima kasih."

   Terima cokelat panas dari sang lelaki, gadis terkait memegang mug erat dengan jemari kanan dan kiri—siku tertekuk di atas kursi, tubuh dibalut selimut bermotif roti.

   Hangat, tak seperti saat berendam dalam hujan tadi.

   "Aku Izawa Kaminaga." Meneguk cokelat panas miliknya, sang lelaki membuka suara—nada terdengar ramah apa adanya. "Bagaimana denganmu, nona?"

   "Rain." Pelan dan lirih, alhasil tertimpuk derasnya tangisan langit. "Namaku Rain."

   "Rain? Hujan?" Kaminaga tampak tak paham—namun kemudian konklusikan hal. Arahkan pandang pada jendela, teliti rintik air yang setia basahi kota.

   "Ah—sepertinya takkan berhenti sampai beberapa jam ke depan. Aku minta maaf, tapi sepertinya kau harus berteduh di sini sampai hujan reda."

   Yap, dapat dikatakan; setelah kejadian tadi, Rain dibawa masuk apartemen Kaminaga untuk berteduh—toh Rain mandi dalam jarak tiga menit di depan pintu; lantas bawanya masuk apartemen jauh lebih membantu.

   Sehingga di sinilah mereka, dalam ruangan seratus delapan pada lantai sembilan—menunggu hujan sebelum antar sang gadis pulang.

   (Atau setidaknya, begitulah rencana yang Kaminaga pikirkan.)

   —Dan selagi menunggu, ajaknya bicara pertanyakan perilaku.

   Menautkan kedua alis, Rain menggeleng kecil.

   "Bukan." Maniknya menyipit dapati kesalahpahaman—eratkan jemari pada mug, lantas betulkan dengan cepat, "Namaku Rain. Rain Wilhelm Rutherford."

   Kaminaga mengedip.

   "Oh—maaf, maaf." Menggaruk bagian belakang kepala, senyum tak luput dari paras; tinggalkan kesan riang dan aura layaknya matahari cerah. "Jadi ... namamu Rain?"

   Senyum Kaminaga biasa menular, namun Rain bahkan kini tak mampu balas. Mengangguk tanpa ekspresi, teguk cokelat dalam mug hingga setengah habis. Apa pun yang telah terjadi, nampaknya dia tengah memendam emosi—atau terlalu terkejut hingga tak mau akui?

   "Salam kenal, Rain." Kaminaga tersenyum—duduk di kursi samping, amati sang gadis yang tampak tidak bergeming. "Sedang apa kau berdiri di tengah hujan seperti tadi?"

   Rain menunduk, tatap cairan cokelat meriak dalam mug sendu. "... Aku suka hujan. Hujan ... membuatku lupa akan kesukaran."

   Hening beberapa detik, namun terhenti kala Kaminaga bertanya kembali: "Berarti ada sesuatu yang mengganjal dalam hatimu?"

   Meneguk cokelat panas sekali lagi, seraya mengangguk dengan wajah sedih.

   Kaminaga tersenyum lembut, antara simpati dan berniat untuk membantu. Lagipula, indah rasanya tolong sesama tanpa pandang bulu.

   "Berniat menceritakannya padaku?"

   Tawaran yang menggiurkan, diutarakan sang pemuda yang tampak ramah. Tapi Rain tak tahu harus bagaimana, kecurigaan selalu timbul saat bertemu insan tidak dikenal.

   Apa dia jujur atau berlagak?

   Rain tak dapat terka.

   "Aku ... tidak tahu apakah aku dapat mempercayaimu." Rain berucap jujur, dan Kaminaga dapati pita suara sang gadis bergetar—bingung dan takut. "Aku bahkan tidak tahu apa yang kauinginkan dariku. Jika kau bersikap ramah hanya karena ingin uangku, aku takkan segan melaporkanmu."

   Hening.

   Berusaha terlihat berani, tapi tubuh gemetar buka kedok sendiri. Apa kini dia dalam situasi genting? Akibat rentetan kata tertutur tadi? Bahaya dan perlu ditolong pihak lain?

   Rain tenggelam dalam kecemasan di ketenangan kini.

   Dan tubuh menegang bibir terbuka hendak sanggahi, siapkan indra pendengar dan terkejut kala—

   "Pfft—hahahaha!"

   —gelak tawa sapa daun telinga. Sebabkan Rain lantas tatap lurus sang pemuda, dapati Kaminaga tertawa, lepas dan tidak dibuat-buat.

   Aneh, apa ada yang lucu dari ucapannya?

   "Apa ... ada yang salah?" tanya Rain bimbang. "Mengapa kau justru tertawa?"

   "Maaf, maaf." Masih sedikit geli, Kaminaga berujar. "Aku hanya terkejut akan jalan pemikiranmu yang terlalu ke depan."

   Rain tidak paham, mengerjap menggumam pelan. "... Tapi aku tidak sedang bercanda."

   Kaminaga berpikir sesaat, lalu tersenyum berujar jelas. "Namaku Izawa Kaminaga, aku seorang fotografer—hobiku travelling, dan aku sudah tinggal di apartemen ini selama beberapa tahun; meski kerapkali kosong mengingat waktu sering digunakkan untuk kegiatan outdoor."

   Rain tampak tak paham. "Mengapa kau ..."

   "Dengan begini kau dapat mempercayaiku, bukan?" Masih dengan cengiran, nada tampak bersahabat. "Sekarang giliranmu memperkenalkan ulang."

   Rain meneguk ludah.

   Meski tubuh tak lagi tegang—batin berdebat antara dua kubu pro dan kontra, jabarkan negatif positif setiap pilihan. Namun yang gawat, Dapatkah dia mempercayai sang pria?

   Dia akui, perkataan sang pria mungkinlah fakta—karena sepanjang ruang tamu dia berada, tertempel ratusan foto di dinding yang diambil secara professional.

   Lagipula, kini Rain perlu tempat untuk cerita, sortir perasaan berkecamuk di dalam dada—sebuah lokasi guna tumpahkan rasa membara.

   (Dan karenanya ... dia pun kurangi tembok pertahanannya sesaat di depan hadapan seorang Izawa Kaminaga.)

   "... Namaku Rain Wilhelm Rutherford." Dia memulai. "Aku adalah anak dari keluarga Rutherford, pemilik tambang emas di pelosok hutan samping kiri kota."

   Kaminaga menaikkan sebelah alis, dalam hati mampu menerka apa gerangan masalah sang gadis.

   "Mau tidak mau, masa depanku telah ditetapkan sebagai pewaris." Rain gertakkan gigi, samar-samar tertawa sinis. "Tidak sepertimu yang dengan bebas dapat memilih."

   Tatapan Kaminaga tunjukkan rasa simpati, ingin rasanya dia berusaha sebisa mungkin—membantu Rain agar dapat terlepas dari aturan famili.

   Sadari respons sang lelaki, Rain tersenyum sedih. "Terlebih dengan segala pertunangan dan ketatnya aturan kediaman sendiri, akhirnya aku sering pergi di sore hari."

   "Hanya saja hari ini lain dari prediksi." Menoleh pada jendela yang mengembun akibat dingin—luar dilanda hujan deras berangin. "Tapi karena sudah terlanjur, kubiarkan saja sekujur badan terguyur."

   Kaminaga berpikir. "Memangnya, apa yang ingin kauraih?"

   Rain mengerjap. "Maksudmu?"

   "Cita-citamu." Sang lelaki berdeham, tatapnya bingung. "Kau masih muda, bukan? Sekitar dua puluh? Apa yang kauingin jadi sedari dulu? Masih ada waktu untuk capai mimpimu itu."

   "Ya ..." Rain terdiam sesaat—sebelum tersenyum kecil. "Aku ingin jadi dokter gigi. Universitas bahkan sudah menerimaku, tapi ..."

   Hening sesaat.

   "Tidak ada izin?" terka Kaminaga.

   Rain mengangguk. "Tepatnya aku masuk dan lulus tanpa mereka ketahui. Terlebih aku baru saja menerima hasil kemarin. Tapi jika tidak memberitahu orangtua segera, aku takkan dapat membuka praktek."

   Sang lelaki menautkan kedua alis.

   Ini sulit, dan meski Kaminaga ingin bantu capai mimpi sang gadis—dia pun tak yakin akan kemampuan serta posisi. Siapa dia ikut campur dalam urusan rumah tangga Rain?

   Melihat sang lelaki bingung, Rain menghela napas kecil disertai senyum. "Aku tidak memaksamu untuk membantu, lagipula hari ini kau sudah banyak membantuku. Bagaimana aku harus membalas kebaikanmu?"

   Mengeluarkan dompet dari saku, jemari menyelip masuk—tampak hendak keluarkan beberapa lembar hijau sebagai bayar ganti rugi waktu. Namun terhenti oleh teriakan serta tangan Kaminaga yang terulur kaku.

   "Whoa—kau tidak perlu sampai seperti itu! Terima kasih atas kebaikanmu, tapi penghasilanku semata sudah cukup untuk lengkapi semua kebutuhanku."

   Rain mengerjap, diam sesaat. "Kau aneh."

   "Begitukah?" Kaminaga tertawa canggung—menggaruk tengkuk pertanda bingung. Tapi dia tangkap satu informasi baru: bagi Rain, menolong tak ada yang tulus.

   "Bagiku, tidak semua memiliki alasan untuk membantu." Dan entah mengapa, Kaminaga ingin mengubah pandangan mengerikan itu. "Ada kebaikan terpicu berdasar iba dan simpati, buat seseorang melakukan aksi dengan baik dan tulus. "

   Jeda tiga detik, Rain tersenyum kecut. "Aku tahu itu."

   Wajah Kaminaga bersinar—

   "Tapi bukan berarti aku percaya teori tersebut."

   —seraya kembali redup.

   Tapi tidak seperti Kaminaga memiliki argumentasi lanjut, dia pun bingung dan ragu. Tak paham apakah Rain termasuk kategori sinis dan kaku—atau justru sensitif dan rapuh?

   Terus terang Kaminaga pun kalut.

   Dapati respons pria di hadapan, Rain menghela napas, berdeham seraya berujar, "Terima kasih atas pakaian, cokelat panas serta waktunya. Karena hujan telah reda, aku akan pulang. Kaosmu akan kukembalikan secepatnya."

   (Ah, ya. Kini Rain tengah pinjam kaos Kaminaga—toh tubuh semula berbalut dress basah kuyup, terpaksa harus diganti jika tak ingin terkena flu. Berakhir sang lelaki pinjami satu, kaos putih ukuran terlalu besar di tubuh; mengingat Kaminaga adalah pria dan Rain seorang wanita.)

   "Juga ..." Tersenyum sopan, lanjutkan kata yang sempat tertunda. Melepas selimut, turunkan kaki di atas tanah—alas seketika bertemu keramik warna biru tua cerah.

   "... Cokelatnya enak."

   Rain berjalan membuka pintu, menuju luar dengan badan tak lagi kuyup—tak lupa bawa kantung berisi baju, lirik Kaminaga yang tatapnya lurus, berujar sendu namun bersyukur. "Terima kasih banyak atas perhatiannya meski kita baru pertama kali bertemu."

   Cklek.

   Pintu tertutup rapat—tanpa Kaminaga sempat membalas.

   Tanpa sempat tanya nomor maupun informasi untuk dikontak.

   Sayang, padahal Kaminaga mulai merasa nyaman akan kehadiran, dan berniat menjalin pertemanan jangka panjang dengan sang wanita sebaya.

   Tapi, well, baiklah. Nanti mungkin juga bertemu lagi saat kaos dikembalikan.

   Menghela napas, optimis saja, kala tangan Kaminaga terulur—ambil gelas di atas meja, hendak membawanya kembali ke dapur.

   Namun mengerjap, dapati secarik kertas di bawah mug keramik suguhan.

   Rain Wilhelms Rutherford

   xxxx-xxxx-xxx

   Kaminaga tertawa, tak mampu bendung rasa gembira yang sapa.

   Ralat, ternyata pikiran mereka sesungguhnya sejalan.

  
***

   AKHIRNYA SELESE ORZ. SAIA LELAH WWW. Habis ini selesein hatayuuko sama shusaya. Semoga aja memuaskan ya :u

   Dan anu ... ini pertama kali pake karakter Kaminaga, maafkan kalo out of character ya, kak Rain :"u

   Hope you like this

   Sekian,
     alice-dreamland

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top