[ss] [ff] about the choice
[short story] [flash fiction]
Laki-laki itu dibanat habis-habisan oleh beberapa laki-laki lain. Tubuhnya terbungkuk. Punggungnya dipukul sekali lagi, dan dia pun terjatuh. Erangan panjang lolos dari bibirnya ketika kepalanya diinjak hingga menekan tanah yang keras.
Aku hanya bisa melihat peristiwa tersebut sambil gigit jari. Bimbang bukan main. Apa yang bisa dilakukan seorang pemuda ceking untuk melawan lima orang bertubuh besar itu? Kalau maju sekarang, aku tidak akan bisa menyelamatkan diri sendiri, apalagi laki-laki yang dihajar itu. Kalau aku diam saja di sini, kemungkinan hidup laki-laki itu makin menipis seiring waktu. Lari berarti menandatangani surat pengunduran diri dari menjadi manusia.
Aku menunggu seiring dengan makin pelannya rintihan orang itu.
Gang kecil itu ada di antara gedung di seberang tempatku berdiri. Jarak kami sekitar 20 meter. Sekarang hampir tengah malam, jadi kemungkinan kami akan selamat jika aku berteriak amat kecil. Menelpon polisi hanya akan membuat mereka curiga dan mencari pelapor, yang akan membuatku mampus. Mereka bahkan mungkin saja berhasil menyembunyikan tubuh pria malang itu segera setelah mendengar sirine polisi. Kabur setelah menelpon bukan pilihan karena aku menolak lari sampai laki-laki yang kini berusaha melawan lagi itu aman.
Tunggu. Kalau pria itu sampai dipukuli sebegitu buruknya, pasti dia pernah melakukan sesuatu yang buruk. Setidaknya, dia pasti berurusan dengan preman. Dia juga tidak berteriak, dia juga berusaha menyembunyikan kejadian itu.
Itu artinya si korban juga berada di balik bayang-bayang. Menelpon polisi atau ambulans akan menyulitkannya.
Pilihan terbaik adalah menunggu sampai para pelaku pergi dari tempat kejadian. Kemudian aku akan menanyai pria itu, apakah dia lebih baik dipanggilkan ambulans, polisi, atau dibuang ke parit.
Semoga orang-orang itu membiarkan si pria malang hidup.
Sekitar dua puluh menit kejadian, pria yang dibanat itu ditinggalkan sendirian. Aku menunggu sampai para pelaku benar-benar menghilang dari jalanan ini sebelum menghampiri si pria malang.
Tanpa basa-basi, aku bertanya, "Apa tidak apa-apa kalau saya panggilkan ambulans?"
Pria itu mengerang. Aku membantunya membalikkan tubuh hingga telentang. Dia memekik ketika tanganku menyentuh bagian rusuk bawahnya. Kemungkinan ada tulang di sana yang patah atau retak. Saat dia mulai membatukkan darah, aku mulai panik. Rusuknya jelas ada yang patah dan pasti menyerempet paru-parunya Pilihanku tak banyak tersisa.
Kini aku bisa melihat wajahnya. Tubuhku seketika membeku. Aku amat mengenali orang ini. Dia adalah rentenir yang sering datang ke rumahku untuk menagih utang dengan bunga yang lebih besar daripada utang itu sendiri, yang membawa ayahku pergi setahun lalu sebagai ganti utangnya. Ayahku dibawa tanpa pemberitahuan apa-apa, dan kami hanya ditinggalkan dengan sepucuk surat yang menyatakan seberapa banyak utang ayahku. Dan ancaman. Dan apa saja yang akan terjadi pada ayahku, yang semuanya berakhir dengan kata "mati".
Namun, bagaimanapun juga, nyawa tak dapat didefinisikan dengan uang.
Jadi, selama bermenit-menit yang mengerikan, aku mempertimbangkan pilihan untuk meninggalkan saja pria ini mati. Aku hampir menyesal tidak kabur saja sedari tadi. Aku menanyai diri sendiri, apakah orang seperti dia pantas mendapatkan pertolongan, apa pun bentuknya? Dia menukar nyawa manusia dengan uang.
Namun ... apa dia juga pantas mati?
Ya.
Apa harga dari nyawa adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukannya?
Tidak. Nyawa adalah nyawa.
Dan seperti yang kubilang tadi, menuruti hasrat untuk balas dendam ini berarti berhenti menjadi manusia. Aku tidak akan bedanya dengan dia, menukar nyawa manusia hanya untuk hal yang tak sebanding.
Jadi aku menelpon ambulans dan polisi sekaligus, meski pria itu sempat menarik tanganku saat aku mengangkat ponsel ke telinga. "Jangan, tolong. Tolong bawa saya ke tempat kamu saja, tolong jangan telpon siapa-siapa."
Persetan.
Aku menunggu sampai sirine ambulans terdengar sayup-sayup, kemudian berlari pulang tanpa menoleh ke belakang.
~~*~~
Ps. Hmmmm, please tell me what you think about this.
7 Desember 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top