5. Bachelor Party
Classmeeting sudah menginjak hari kelima. Setelah menggunakan kesempatan jam kosong untuk berkenalan dengan murid-murid kemarin, atas saran Kepala Sekolah, Rendra melakukan orientasi mandiri. Terkadang Jeff yang sedang tidak sibuk menemani Rendra melihat seluk beluk sekolah. Kadang pula ada Maudy yang malu-malu menawarkan diri untuk menunjukkan ruangan-ruangan di sekolah.
Beberapa teman guru lelaki rata-rata punya kesibukan sendiri, sehingga Rendra enggan merepotkan mereka. Sigit, guru berbodi atletis dengan potongan rambut seperti tentara, sibuk dengan murid bimbingan yang sedang bersiap mengikuti kompetisi futsal skala nasional. Akbar, tipe kutilangdarat versi lelaki, berposisi sebagai waka kesiswaan merangkap pembina pramuka bahkan lebih sibuk dari kepala sekolah.
Ada juga Imam yang berkulit sawo mentah dan murah senyum, sibuk menggembleng pasukan inti, komunitas paling bergengsi. Saat latihan berlangsung sifat murah senyumnya tiba-tiba menghilang. Lalu Rudy, Kepala Tata Usaha, badan agak kelebihan isi tapi tetap terlihat macho, mirip seseartis versi non melambai. Dan masih ada beberapa nama lagi yang Rendra belum sempat berkenalan.
Baru beberapa hari berinteraksi dengan guru-guru di sana tidak serta merta membuat Rendra kudet. Sifat suka mengamati yang melekat pada dirinya mendukung untuk cepat mengenal dan berbaur. Ingatan kuat dan detail pun membawa efek positif dalam pergaulan di sekolah.
Jarum jam di pergelangan tangan Rendra telah menunjuk ke angka empat saat pertandingan final basket antarkelas berakhir, dengan hasil kelas Jeff yang menjadi juara. Mendung menggelayut di langit seakan bersiap menjatuhkan hujan kapan pun diinginkan, tinggal menunggu Malaikat Mikail beraksi. Jeff sudah menawarkan tumpangan pulang ke kos, tapi Rendra masih punya janji membantu beberapa guru untuk mengerjakan laporan nilai tes murid.
Mengajar di sekolah seakan menjadikan Rendra menemukan kembali passion-nya tentang Matematika yang terpaksa menepi karena urusan rancangan anggaran konstruksi proyek. Selain membuka kembali ingatan tentang materi, bermain-main dengan rumus-rumus di excel juga sedikit banyak menjadi penghibur. Proses penyelesaian laporan nilai yang dibuat guru memang membutuhkan andil penuh dari microsoft excel, karenanya Rendra dengan mudah jadi primadona atas kemutakhiran kemampuan bermain dengan worksheet di excel.
"Ooo, jadi gitu, Pak? Fungsi IF ternyata bisa tumpuk banyak, ya?"
"Kok saya bingung pakai yang vlookup, ya, Pak?"
"Ini biar kolom L nya muncul digimanain, Pak?"
"Wah, ternyata ada rumus average juga di sini, ya, Pak?"
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu sedang akrab di telinga Rendra saat ini. Beberapa wali kelas memilih ruang multimedia untuk berkumpul bersama mengerjakan nilai karena batas waktu pengumpulan tinggal satu hari. Ada juga yang memilih bersantai di rumah karena sudah pasrah pada ahlinya, budaya ndandakke cukup berperan di sini. Biasanya mereka sudah minta tolong petugas rental komputer di sekitar sekolah dengan membayar sepantasnya. Atau lebih parahnya lagi, merepotkan operator sekolah yang kerjaannya sudah bejibun untuk pembayaran lebih pantas.
Bukannya tidak mau belajar, tapi kebanyakan yang ndandakke itu wali kelas senior yang memegang kelas XII. Senior di sini adalah kata yang sudah mengalami proses ameliorasi dengan kelompok kata usia tak lagi muda, sehingga rata-rata sudah terlalu lambat respon untuk melek teknologi. Meskipun ada juga yang tetap berusaha keras menyesuaikan dengan update ilmu. Yang begini ini membuat Rendra kadang gemas, ingin tahu tapi susah diberitahu, ingin mengerjakan sendiri tapi tidak mengerti. Kesabaran Rendra mutlak terkuras di sini.
"Kalau mau munculin kolom L, blok kolom K dan M lalu klik kanan, cari kata unhide, lalu klik. Nah, seperti ini, Bu."
"Iya ada average, tapi yang di sini saya pakainya value sama left, agar digit di belakang koma bisa konsisten. Biar bisa dibaca oleh fungsi data pembanding. Pakai rumus yang ini juga bisa, Bu."
"Mau warna merah? Batas nilai berapa dulu? Pakai highlight cells rules di bar conditional formatting. Pilih less than 60. Bisa, 'kan?"
Ada kepuasan tersendiri ketika melihat para guru tersenyum puas dengan hasil kerja mereka, ditukar dengan bergalon-galon kesabaran milik Rendra. Awan hitam di langit telah memuntahkan hujan sejak lima belas menit yang lalu, memperkuat alasan sekelompok manusia yang tengah berkumpul di ruang multimedia berlama-lama di sana. Pun bagi Rendra sebelum panggilan dari Dimas menyapa ponselnya.
Speaker ponsel yang rusak selalu mengingatkan Rendra pada gadis ajaib di lift hotel tempo hari. Ada rasa gemas, sebal, dan menyesal, kenapa tidak minta pertanggungjawaban. Kemarin Rendra sudah membongkar sendiri ponselnya lalu diangin-anginkan, hasilnya, fungsi speaker sudah kembali walaupun tidak seprima sebelum beradu kuat dengan keramik.
"Di mana, Ren?" Suara Dimas yang seharusnya terdengar jelas kini hanya serupa teriakan dari jauh, samar terdengar. Rendra jadi mengurungkan niat untuk menerima telepon di luar ruang multimedia karena speaker-nya yang soak pasti tambah membuat jengkel jika melawan suara derasnya hujan.
"Masih di sekolah," jawab Rendra kalem. Merasa beberapa pasang mata sedang memperhatikan gesturnya, tidak mungkin Rendra menghancurkan imej primadona ganteng kalem yang telah tersemat.
"Buset, rajin amat lo! Gue lagi jalan ke arah situ mau sekalian nebeng, nggak?"
"Boleh, kalau nggak ngerepotin."
Lumayan, nggak harus basah-basahan kena hujan kalau bisa nebeng Dimas.
"Suwek, gaya lo, Ren! Kapan lo nggak ngerepotin gue? Lo tu udah kayak bini muda gue tahu, nggak?"
"Kampret lo! Jijik gue!" Rendra tak tahan untuk mengumpat, meski berusaha keras meminimalkan membuka mulut dan tanpa ekspresi, masih dalam rangka menyelamatkan imej.
"Ntar kalau udah sampai gue telepon lagi, deh."
"Iya, yang kangen bini muda, menggebu-gebu banget!" Menahan tawa, Rendra mempertahankan gestur cool dengan memasukkan tangan ke saku celana lalu balik kanan menghadap tembok. Namun kalau diperhatikan, bahunya yang bergerak-gerak tak dapat menyembunyikan gelak walau sudah ditahan.
"Bazeeeeng!" Umpatan Dimas kembali mengundang gelak tawa Rendra. Untung tembok kokoh beraksen salur mirip kayu di depannya masih setia menyembunyikan.
Setelah mengakhiri sambungan telepon, Rendra lalu memastikan hasil kerja para wali kelas sudah fix sebelum berpamitan. Sempat ia melihat segaris kecewa di ekspresi Maudy, yang sejak tadi menemani Rendra mengajar wali kelas.
"Kan masih hujan, Pak? Nanti sakit lho," ujar Maudy.
"Saya dijemput pakai mobil, kok, makasih Bu Maudy atas kerja samanya. Saya permisi dulu." Anggukan tipis Rendra saat berpamitan menambah value sebagai lelaki single, sukses membuat Maudy meleleh. Apalagi saat kontak fisik berbalut salam, frekuensi debar jantung naik dan perut melilit cukup mewakili kalau wanita berjilbab dan berlesung pipi ini sepenuhnya lumpuh karena daya tarik Rendra.
Budaya berjabat tangan tidak pernah Rendra tinggalkan, baik untuk guru muda maupun senior, tinggal menyesuaikan jenisnya saja, jabat tangan untuk menghormati atau jabat tangan dengan teman sebaya. Sungguh, berinteraksi dengan para panutan murid membuat sikap Rendra jauh lebih baik dan sopan, meski awalnya bertujuan untuk jaga imej, tapi lelaki ini percaya suatu saat pasti menjadi kebiasaan baik.
***
"Langsung pulang, Dim?" Geraman Honda Freed menyapa telinga Rendra, efeknya dapat ditebak, merinding karena mual mulai menyerang saat pertama kali kaki masuk ke mobil disusul badan dan kepalanya. Bahkan Rendra sering merelakan hidungnya pensiun menghirup udara untuk beberapa saat, karena bau mobil mempunyai peran paling besar penyebab perut mual dan pusing kepala.
Seperti biasa, Rendra selalu ambil peran di jok kemudi menggantikan Dimas. Karena masalahnya dengan kendaraan darat kecuali kereta masih melekat. Solusi yang bisa Rendra pakai sementara ini hanya mengalihkan konsentrasi, dipilihnya dengan sibuk mengemudi, dan hasilnya cukup signifikan. Setidaknya lebih baik daripada harus mual dan pusing berakhir dengan muntah seperti morning sickness-nya Alya dulu.
"Gue masih ada jadwal bimbingan sama mahasiswa, sih, tapi gue cancel. Mampir warung burjo depan sana dulu, deh. Gue lagi butuh refreshing tanpa Alya." Dimas menyandarkan punggungnya di jok samping kemudi, wajahnya tampak lelah. Rendra pikir ide Dimas lumayan juga, hujan-hujan begini membayangkan menyantap burjo hangat, surga dunia seperti sudah dekat.
Dimas memang beruntung karena karirnya sebagai dosen muda sangat cemerlang. Padahal dulu setahu Rendra, prestasi sahabatnya ini tidak menonjol di kelas. Sempat ragu melanjutkan pendidikan ke S2, tapi karena dukungan Alya semua bisa teratasi. Bahkan Dimas mendapatkan pekerjaan sebagai dosen setelah memutuskan melamar Alya.
"Yakin?" Ide brilian pun tetap harus dikaji ulang. Alya, maksudnya istri Dimas yang sedang hamil besar, pasti sendirian di rumah dan apa pun bisa terjadi.
"Gue bingung, istri gue makin lama makin labil gara-gara si bayi nggak keluar-keluar. Kadang seneng meluap-luap, sampai best service banget. Kadang sensitif nggak ketulungan sampai anduk nggak gue sampirin aja ujung-ujungnya bikin nangis."
Dimas memijit sinusnya yang berdenyut-denyut. Di pandangan Rendra sepertinya sahabatnya ini sedang benar-benar stres. Dalam hati sempat berterima kasih juga karena berkaca pada Dimas, kehidupan pernikahan tidak melulu tentang bahagia, seperti yang dibayangkan remaja-remaja labil yang ngebet nikah di luar sana. Ada kalanya saat-saat sulit harus dilalui.
"Best service?" gumam Rendra sambil memutar kemudi sembilan puluh derajat ke kiri dan melirik spion, kernyitan di dahi juga terlihat dari sunvisor mewakili ketidakpahaman. Kombinasi pengalihan konsentrasi antara mengemudi dan membuka sesi curhat ternyata ampuh juga untuk mengatasi masalahnya. Mungkin lain kali ia harus coba salah satunya berdiri sendiri. Terutama yang mengobrol, karena bagaimanapun mengemudi menimbulkan efek capek.
"Di ranjang, Bro!" desis Dimas menanggapi gumaman sahabatnya dengan wajah yang sudah berubah mesum. Perpaduan oksitosin, dopamin, dan serotonin dari pikiran nakal memang manjur untuk membuang stres. Namun, di mana Rendra bisa dapat pelampiasan kalau belum punya istri seperti Dimas? Sahabatnya ini sejatinya memang memiliki kekampretan hakiki.
"Udah buncit gitu masih aja lo kerjain, Dim? Gila lo!" dengkus Rendra.
"Woey! Jangan salah, Ren. Justru disaranin kalik sama Sp.OG-nya Alya, biar cepet kontraksi mesti sering ditengok Papahnya," sahut Dimas jemawa. Maklum, dalam urusan seperti ini memang Dimas lebih expert dibanding Rendra.
"Oh, gitu?"
"Makanya lo cepetan nyusul. Gimana? Udah dapet cewek belum di sekolah Alya? Cantik-cantik, kan, gue bilang juga apa? Lo aja sampai betah gitu di sekolah."
Mendadak Dimas menegakkan tubuh, bersemangat dengan topik yang baru saja dilontarkannya.
"Lo pikir cari istri kayak cari kacang panjang di pasar?" cibir Rendra.
Gerimis membuat titik-titik air menjejak di kaca mobil saat keduanya keluar dan berlari kecil memasuki warung burjo. Kemeja marun Rendra jadi lebih gelap karena terkena tetes air di sana-sini. Tak butuh waktu lama, dua mangkuk bubur tersaji di hadapan keduanya yang duduk bersebelahan di kursi panjang dengan meja dari kayu sederhana yang menempel di tembok.
Obrolan ngalor ngidul tentang jodoh dan cewek pun tetap mengalir. Dimas yang bersemangat menyebutkan nama-nama cewek teman Alya plus ciri-ciri fisiknya, dan Rendra yang garuk-garuk kepala, seperempat bagian otaknya frustrasi, sisanya bosan. Diselingi celetukan kecil dari si Mamang burjo yang asli Kuningan, sesekali menanggapi obrolan mereka dengan aksen Sunda. Dasarnya Dimas juga sudah kenal dengan penjual burjo karena langganan dari jaman masih jadi dosen training.
Sampai akhirnya Dimas ingat ada undangan Bachelor Party yang harus ia sampaikan pada Rendra.
"Siapa, sih? Wibi? Anak angkatan berapa?" Rendra menghentikan sejenak sendok yang sudah hampir masuk ke mulutnya untuk melempar pandangan penuh tanya. Seingat Rendra, tidak ada teman dekatnya yang bernama Wibi. Padahal seharusnya Bachelor Party atau pesta lajang didatangi oleh teman-teman dekat calon mempelai.
"Iya, Wibi. Ini hadiah, kan, dari calon bininya. Nah, kebetulan Alya, kan, temenan sama bininya si Wibi. Ya udah, kita diminta dateng ke pesta lajangnya. Wibi seinget gue yang dulu saingan sama lo dapetin Monika," kata Dimas asal sambil mengaduk-aduk bubur kacang hijau di hadapannya.
"Sembarangan lo! Gue nggak pernah ngejar siapa-siapa, ya! Kecuali klien dan Mita. Monika siapa? Nggak kenal gue!" dengkus Rendra, tak terima dituduh rebutan cewek.
"Ah, nggak inget gue, Ren. Intinya, ini request Alya, dan lo tahu sendiri, kan, konsekuensinya apaan? Wajib, kudu, fardhu'ain."
"Alya lo jadiin senjata! Weekend ini, kan? Gue ada acara di sekolah. Boot camp gitu, murid-murid pada nginep."
"Ya gampang, lah, itu. Nanti kelar urusan di Lada Bar and Kitchen lo bisa langsung cabut ke sekolah."
Pada akhirnya usaha Dimas membuahkan hasil. Poinnya bukan pada Bachelor Party, Dimas dan Alya sengaja mengajak Rendra ke tempat yang potensial untuk mencari cem-ceman kalau bahasa anak sekarang. Kegigihan Dimas atas nama setia kawan akhirnya dapat meruntuhkan keteguhan Rendra, tanpa perlawanan berarti.
***
Awan pekat perlahan kehilangan muatan setelah ditumpahkan dengan semena-mena ke bumi, menyisakan awan putih berbalut langit yang makin ditinggalkan cahaya. Gerimis yang intens masih setia menghujam aspal jalanan kota Solo. Konon katanya kalau awan sudah berubah putih seperti ini, tetes air hujan akan awet sepanjang hari.
Sampai Dimas menurunkan Rendra di kos, hujan memang masih setia menemani. Azan Maghrib sudah lima belas menit yang lalu berkumandang saat Rendra membuka kunci pintu kamar. Segera ia membersihkan diri lalu menggelar sajadah di samping tumpukan baju bersih dari laundry yang masih rapi terbungkus plastik. Sebenarnya lelaki ini sayang memakai jasa laundry, tapi apa daya, ia belum ada waktu untuk membeli perlengkapan mencuci, juga setrika. Padahal aktivitasnya di sekolah praktis membutuhkan kemeja yang rapi dan wangi setiap hari.
Kalau sudah seperti ini, baru terasa kesendirian Rendra saat usia kelewat matang untuk ukuran pria single. Mau bagaimana lagi? Pernikahan yang sempat hampir nyata menyapa kisahnya harus kandas karena kelapangan hati. Setelah mengucap salam Rendra tenggelam dalam sujud yang dalam, merapal doa agar hatinya segera dilabuhkan. Berharap ada sosok seperti Mita yang bisa ia temukan untuk mengisi kekosongan hati. Entahlah, paras gadis manis itu seperti sudah terpatri di otak Rendra, seakan tak ada waktu dan kemauan lagi untuk mencari gadis dengan bentuk lain.
Setelah menyimpan kembali sajadah dan peci ke lemari, Rendra melempar tubuh penatnya ke spring bed. Sembari meletakkan kedua tangan sebagai bantal kepala, otak Rendra pun mulai memutar kembali beberapa peristiwa seharian ini. Mulai pagi hari saat ia berboncengan dengan Jeff ke sekolah, sampai sore hari saat berlalu dari ruang multimedia. Tiba-tiba Rendra teringat sesuatu lalu beranjak dari kenyamanan yang baru saja didapatkan tubuhnya, mengambil secarik kertas yang ia ambil dari papan pengumuman sekolah tadi sore.
Dibukanya lipatan kertas itu, sudah lecek dan basah di sana-sini karena tadi ia buru-buru mengambil, dilihat sejenak, kemudia asal dijejalkan ke saku celana. Tertera nomor ponsel di bawah gambar sebuah liontin yang blur, pecah karena diperbesar. Seketika ingatan Rendra menuju pada pouch bertali milik gadis ajaib yang ia temukan di lift, di dalamnya juga ada sebuah liontin, yang tampak terpisah dari pasangannya.
Pikiran lelaki ini pun merangkai banyak spekulasi. Apa hubungan si gadis ajaib dengan sekolah tempat ia mengajar? Sepertinya tidak ada, karena penampilan gadis itu sama sekali berbeda dengan anak-anak didiknya di sekolah. Lalu bagaimana bisa ada warga sekolah yang mencari keberadaan liontin itu? Rendra meneliti kembali nomor ponsel yang tertera sebagai kontak yang harus dihubungi, tertulis nama Astrid D.P. di belakang rangkaian angka.
Tak perlu waktu lama, Rendra menyimpan nomor kontak Astrid di ponselnya. Ia berniat membunuh rasa penasaran dengan menghubungi seseorang yang bernama Astrid. Tiga kali nada tunggu terdengar di telinga Rendra, tapi belum juga ada jawaban. Sampai akhirnya lelaki ini terkejut karena ada seseorang mengetuk pintu kamar kosnya yang tidak tertutup sempurna.
"Pak, saya mau cari makan. Bapak udah? Mau nitip nggak?" Kepala Jeff menyembul di sela pintu, menawarkan hal yang memang berencana Rendra lakukan sebentar lagi.
"Mau cari makan di mana, Jeff? Masih gerimis, 'kan?" Rendra beranjak dari spring bed, mengeratkan balutan sarung yang masih dipakai selepas salat Maghrib tadi, lalu membuka akses ke kamar lebih lebar untuk Jeff. Kertas pengumuman tadi ia lipat lalu ditinggalkan di meja rias.
"Depan sana, Pak, dekat pom bensin ada hik. Atau kalau nggak, di belakang kampus banyak." Posisi kos Rendra memang dekat dengan kampus negeri di Solo, hanya perlu lima belas menit berkendara untuk sampai ke sana. Juga kampus swasta tempat Dimas mengajar pun terhitung lebih dekat dari kos Rendra daripada dari rumah Alya.
"Ke belakang kampus aja, Jeff, lebih banyak pilihan. Saya ikut," putus Rendra kemudian yang diikuti dengan anggukan mantap dari Jeff. Rendra mengganti sarungnya dengan celana jins selutut, lalu mengenakan jaket hitam bertudung, penampilannya sekarang tampak sebaya dengan Jeff, walaupun pada kenyataannya mereka berbeda sepuluh tahun. Keduanya pun akhirnya berkendara membelah gerimis, menyusuri jalan di kota Solo berwisata kuliner tipis-tipis. Hal yang sempat Rendra rindukan saat beberapa bulan tinggal di Bandung.
SoloCity, December, 15th, 2018.
At 18.15 WIB.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top