4. Home (isn't) Sweet Home.

Rumah adalah tempat pulang paling nyaman hampir bagi setiap orang. Apalagi jika anggota keluarga masih lengkap, kehangatan cengkerama keluarga akan membawa energi positif untuk penghuninya. Namun sayang, Anesh bukan orang beruntung yang bisa memiliki semua itu. Hidup dengan ibu tiri membuatnya tidak bisa merasakan kehangatan rumah yang lama diidamkan.

Meski merasa jadi orang yang kurang beruntung, masih ada tempat yang membuat Anesh merasa dimiliki, diperhatikan, dan disayangi. Sekolah, yang sudah seperti rumah kedua baginya. Cewek ini bahkan rela datang pagi-pagi sekali dan pulang paling akhir hanya untuk menghindari rumah. Namun, sebenci-bencinya Anesh pada rumah, ia tetap tak bisa pergi, karena keberadaan sosok ayah yang masih menempati ruang paling luas di hati.

Suasana tenang di kamar bernuansa kuning dan jingga ini membuat Anesh santai merebahkan tubuh, melepas penat setelah seharian beraktivitas. Classmeeting masih berlangsung sehingga banyak agenda lomba antarkelas yang bisa menjadi hiburan tersendiri.

Ketenangan yang biasanya berteman akrab dengan sepi, membawa cewek manis berkumis tipis ini memutar MP3 Player. Tak butuh waktu lama, alunan musik dari D'Cinamon memecah keheningan, menemani imaji Anesh yang berkelana bersamaan dengan jemarinya yang mengusap pelan liontin di dada. Perlahan pikiran cewek ini pun menjelajah masa beberapa tahun lalu, kala sang Ayah memberikan kalung berliontin itu kepadanya.

"Dulu Papa nglamar Mama kamu pakai ini. Sekarang Mama kamu sudah tidak ada. Kamu sudah dewasa, Nesh, jadi Papa mau kamu pakai ini."

Mengingat kalimat sang Ayah waktu itu seketika membuat pandangan Anesh berkabut. Begitu nyatanya momen itu terbayang sehingga tak terasa lelehan air mata kembali datang menyapa, menganak sungai di pipi.

"Maafin Anesh, Pa," lirih Anesh sembari menyeka air mata.

Rindu menggebu terasa di separuh hati Anesh, yang separuhnya lagi rasa bersalah menikam tanpa ampun. Sesal yang dalam dengan arogan menggagahi, karena fakta bahwa sang Mama menukar nyawanya dengan kehidupan Anesh.

Anesh kesal pada dirinya sendiri, bagaimana mungkin ia bisa seceroboh ini? Ia bahkan tak ingat kapan terakhir kali melihat pasangan liontin pemberian Ayahnya. Tak sadar pula kalau ternyata yang terpasang dan melingkari leher hanya sebelah. Anesh sudah mendatangi kembali tempat yang paling diingat, dan berpotensi besar jadi tempat jatuh tas beserta isinya, tapi nihil.

Berniat untuk mencari informasi lagi, Anesh mengambil ponsel yang tergeletak tak jauh dari tempatnya rebah. Alih-alih mengecek di aplikasi ojol, cewek ini justru menemukan pesan lain. 'Mama Vina' begitu nama yang tertulis pada panel aplikasi WhatsApp. Anesh mendesah pelan, enggan membuka dua pesan yang belum terbaca dari Mamanya, tapi harus karena sang Mama pasti meneruskan dengan panggilan jika pesan tak segera terbalas.

Jgn lupa jadwal buat minggu ini, Nes. Mama ud atur dr sebulan lalu, jd Mama ga terima alasan kamu ga bisa, ya

Tempat spt biasa

Dada Anesh terasa sesak setelah membaca pesan dari Vina, Mama tirinya. Ingin rasanya melempar ponsel itu keluar dari jendela agar sang Mama tidak bisa memaksa lagi. Namun, cewek berambut lurus tebal sepunggung ini sadar, hal itu tak akan ada gunanya. Sekeras apapun Anesh mencoba lari dari Vina, maka wanita itu akan lebih keras mempertahankan.

Anesh menggeleng pelan, bagaimanapun ia harus berusaha. Akhir minggu ini ada jadwal pendampingan boot camp untuk siswa kelas X dan Anesh sudah mengikuti pembekalan panitia. Tak lain dan tak bukan masih dalam usahanya untuk berada selama dan sejauh mungkin dari rumah. Praktis, ia akan mengecewakan Vina kali ini. Anesh tahu akan buruk akhirnya kalau Vina sampai dibuat kecewa, tapi ia tetap harus mencoba.

Maaf, Ma. Anesh nggak bisa

Boom! Akhirnya pesan penolakan Anesh kirimkan. Hanya centang berubah biru yang ia lihat, tanpa balasan. Anesh menggeram pelan, frustrasi, dengan mata terpejam dan napas tertahan, ia menghitung mundur dari angka lima, empat, tiga, dua..., dan akhirnya panggilan dari Vina masuk. Jantung Anesh pun ikut bereaksi, degup berantakan di sana membuatnya harus membuka mata, lalu menghela napas berkali-kali sebelum menggeser ikon telepon ke atas.

"Kamu mau ke mana?" Suara lemah lembut sang Mama menyapa telinga, efek helaan napas belum juga reda, kini malah makin menggila. Seperti peribahasa diam-diam menghanyutkan, begitulah kira-kira karakter Vina. Tutur kata yang lembut tak serta-merta menenangkan, justru tersimpan sesuatu yang mengerikan di baliknya.

"Anesh ada boot camp, Ma. Udah siap-siap dari sebulan lalu juga." Anesh menggigit bibir bawahnya kuat-kuat setelah berujar pada Vina, berusaha mencegah isakan kembali lolos.

"Cuma dua jam Mama minta waktu kamu, Nesh. Setelah itu kamu bisa langsung ke boot camp. Seperti yang Mama bilang tadi, nggak terima alasan. Mengerti?"

Hening. Vina memutuskan sambungan telepon sepihak. Bagi Anesh itu berarti sabda sudah tak bisa dibantah lagi. Mamanya memang tak pernah memberikan toleransi, meski lembut tetapi keras dan selalu memaksa.

Dada Anesh makin sesak rasanya. Kalau saja kamar yang ditempati sekarang kedap suara, ingin sekali ia berteriak sekuat tenaga. Walau misal kini ia lakukan juga tak akan ada yang peduli. Asisten rumah tangga hanya bekerja setengah hari, dan sekarang sudah hampir gelap. Ayah Anesh pasti masih banyak agenda di kampus yang menuntut untuk diselesaikan, mengingat posisi selain sebagai dosen aktif juga sebagai anggota jajaran punggawa fakultas universitas swasta di Solo. Sedangkan Vina? Ah, entahlah, Anesh kira sang Mama pasti sedang berfoya-foya, menikmati uang hasil pemaksaannya pada si anak tiri.

Sekuat tenaga Anesh menahan agar linangan air mata tak makin deras. Pasalnya, ia tidak ingin tanda di matanya berbicara esok hari. Cara menempelkan sendok stainles dingin ke kelopak mata sudah berkali-kali Anesh coba tapi tak berhasil sempurna. Matanya masih saja terlihat bengkak, sangat mendukung ekspresi menyedihkan pada wajah tercipta. Memakai kaca mata gelap di dalam kelas bisa jadi alternatif solusi tapi tidak menyelesaikan masalah. Mungkin ia bisa berpura-pura sakit mata untuk melegalkan kaca mata hitam, tapi tidak bersedia kalau Allah justru mengabulkan kebohongannya di saat yang sama.

Kuat, Nesh!

Cewek berkulit putih ini meraih kembali ponsel yang tadi hampir jadi penghuni taman di bawah balkon kamarnya. Ada pesan baru masuk.

Jalan, yuk...

Dari lelaki bermata sipit, idola Salma, entah idola yang ke berapa. Anesh melirik jam dinding yang digantung di tembok sebelah atas meja belajar. Sebentar lagi azan Magrib berkumandang, matahari mungkin baru saja terbenam, menyisakan semburat merah di ufuk barat, yang terlihat dari balkon kamar.

Senja. Hal yang selalu bisa membuat rindu Anesh mengental, karena menurut cerita sang Ayah, dulu ia menyapa dunia untuk pertama kalinya saat senja menjelang. Lalu Ibu, kembali pada Sang Pencipta pada senja hari berikutnya.

"Kenapa Mama nggak nunggu Anesh, Pa?"

"Karena Mama adalah ibu yang luar biasa."

"Anesh nggak mau punya ibu luar biasa. Anesh cuma pengin Mama ada bersama Anesh, Pa. Apakah ibu luar biasa meninggalkan anak mereka?"

"Saking luar biasanya, Allah lebih sayang. Kamu harus ikhlas. Biarin Mama tenang di sana."

Bendungan air mata Anesh kembali runtuh. Mengingat kembali percakapan-percakapan bersama Ayah tentang sosok ibu, seperti membuat lubang permanen di hati. Makin sering kilasan-kilasan peristiwa itu muncul, makin besar lubang di sana. Seakan lubang itu memiliki daya magnet luar biasa yang menyedot seluruh kebahagiaan milik Anesh, seperti segitiga bermuda yang merenggut kehidupan di sekitarnya.

"Kenapa Mama nggak ajak Anesh pergi sama Mama?" lirih Anesh sembari meremas kembali liontin pemberian Ayahnya.

Bunyi notifikasi panggilan nyaring terdengar membuat fokus Anesh buyar. Jeff memanggil. Seketika muncul ide di kepala Anesh, Jeff pasti tak akan keberatan kalau dimintai tolong mencari keberadaan benda paling berharga dan paling bisa mengingatkan Anesh pada sosok ibu. Walaupun pada kenyataannya tak satu pun momen yang ia miliki bersama wanita yang paling dicintai itu. Anesh hanya mengenal melalui foto dan cerita dari Ayahnya.

"Sori, Jeff, belum sempet ngetik balesan," dalih Anesh beralibi, padahal biasanya ia sengaja menghindari Jeff. Entah sudah berapa kali Anesh menolak ajakan cowok sipit ini, bukannya tak tertarik tapi tak ingin mencari masalah dengan fans-fans Jeff. Lagipula, menjalin hubungan dengan lelaki tidak ada dalam prioritas Anesh seperti kebanyakan remaja seusianya. Seakan waktu 24 jam yang dimiliki sudah habis untuk melakukan hal lain.

"Suara kamu, kok, aneh? Kamu baik-baik aja, 'kan?" Tentu saja, suara orang yang baru saja selesai menangis pasti terdengar aneh.

"Aku baru bangun tidur, Jeff," ucap Anesh setelah menemukan alasan paling masuk akal untuk suaranya yang aneh. Tak peduli kalau Jeff mengernyit heran di seberang sana, karena tadi lawan bicaranya berkata belum sempat mengetik balasan lalu sekarang berkata baru bangun tidur.

"Habis Maghrib aku jemput, ya?" Empuknya suara Jeff seakan memiliki daya hipnotis, bukan hanya bagi Anesh, melainkan untuk siapa pun yang berinteraksi dengan cowok ini. Anesh bisa bernapas lega karena Jeff sepertinya tidak mempermasalahkan suaranya lagi, tetapi menghadang dengan masalah baru.

"Ngg...."

"Please, Nesh." Baiklah, Jeff melancarkan serangan dengan suara empuk dikombinasikan dengan kalimat merajuk, cewek mana yang bisa menolak?

"Oke."

Akhirnya Anesh menyerah. Setelah sambungan telepon diakhiri, Anesh bergegas membersihkan diri lalu menunaikan ibadah. Seperti yang selalu ditanamkan oleh Ayahnya, berdoalah pada Allah, karena Ia begitu dekat pada orang yang berdoa. Walau secara bersamaan Anesh juga berupaya memahami, kenapa sampai sekarang Allah belum mengabulkan permintaannya untuk berada dekat dengan sosok orangtua wanita. Alih-alih menentramkan, hadirnya ibu pengganti justru membuat hidup Anesh semakin sulit.

***

"Kapan terakhir kamu lihat liontin ini?" Fokus Jeff terarah pada ponsel, ada foto Anesh yang diperbesar di bagian leher. Di sana menyembul sebuah liontin keperakan di balik kemeja biru tua yang dua kancingnya terbuka. Bagi Jeff, ini adalah peningkatan pesat. Biasanya Anesh tidak akan bersedia meminta bantuan, bahkan untuk sekadar mengantar pulang saja, Jeff sangat sulit mendapat izin.

Mungkin barang ini sangat berharga untuk Anesh, atau mungkin Anesh sudah putus asa karena mencari tanpa hasil selama ini, pikir Jeff. Apapun itu, Jeff tidak akan menyia-nyiakan kesempatan. Kapan lagi cewek yang mengenakan setelan jins dan kaus sederhana di hadapannya ini mau minta tolong? Kalau bukan Anesh, sudah pasti penampilannya tidak akan seadanya begini, apalagi ia tahu akan diajak jalan oleh seorang Jeff.

Jeff tahu, keluarga Anesh cukup terpandang di kompleknya, jadi tidak akan sulit bagi Anesh untuk berpenampilan wah. Kalau Jeff boleh membandingkan dengan beberapa cewek yang sempat ia coba dekati, semua berlebihan. Hanya Anesh yang terlihat tidak begitu tertarik padanya, dan hal itu justru membuat Jeff tertarik pada Anesh.

"Aku lupa, Jeff. Kayaknya otakku udah full memorinya, jadi sering lupa." Anesh mengangkat pundaknya sembari menggelengkan kepala. Suasana hatinya sedang sangat buruk sekarang, semua terpampang nyata pada ekspresi muram durja, membuat senyum tak sedikit pun menyapa.

"Oke, terus kamu mau mulai cari dari mana? Sekolah?" Tatapan mata Jeff sekarang fokus ke wajah Anesh. Entah bagaimana caranya, tapi, gurat kesedihan di sana begitu kentara. Bahkan Jeff bisa melihat jejak air mata tipis memunculkan garis lembut di antara bedak beraroma bayi sewarna kulit di pipi Anesh.

"Ya, mungkin."

Biasa aja bisa nggak, Jeff, tatapannya?

Sadar sedang diperhatikan, Anesh jadi salah tingkah. Beberapa kali ia mencoba menghindar dari pandangan Jeff yang lembut tapi menuntut. Anesh tak ingin terjebak, bahkan mendadak menyesal atas keputusannya meminta bantuan Jeff. Keluhan cewek ini hanya tindakan impulsif yang menurutnya sangat bodoh dan emosional.

"Oke, aku bantu cari. Besok pagi kita tempelin pengumuman di mading sekolah, di kantin, atau di mana aja biar semua orang lihat." Dalam hati sebenarnya Jeff bertanya-tanya, bahkan sempat menganggap Anesh kekanakan karena meributkan barang yang menurut Jeff tidak penting. Namun, atas nama memanfaatkan kesempatan langka, Jeff tetap membantu. Lagipula, Jeff pikir Anesh pasti punya alasan kuat untuk sikapnya.

"Thank's, Jeff."

Brilian! Anesh tidak pernah berpikir untuk membuat berita kehilangan atas liontinnya seperti yang dipikirkan Jeff. Tarikan tipis di sudut bibir Anesh seakan menjadi suntikan semangat untuk Jeff, setidaknya apa yang dipikirkannya dapat membuat Anesh tersenyum.

Suara denting bel menarik perhatian mereka. Jeff lalu meneliti angka yang tertulis pada struk belanja di genggamannya. Ternyata angka yang juga nomor antrian untuk Thai Tea yang mereka berdua pesan sudah terlewat. Jeff pun beranjak menuju meja reservasi untuk mengambil pesanan yang sudah siap sejak lima menit yang lalu.

Jeff meletakkan dua gelas plastik 600ml berisi cairan cokelat dan hijau di meja depan Anesh. Gelas berisi Chocoa Thai Tea diangsurkan ke depan Anesh, lalu Jeff sendiri menyeruput Green Thai Tea miliknya.

Hening menyapa. Tiga menit berikutnya digunakan mereka berdua untuk melepas dahaga. Jeff menunggu Anesh membuka suara, mungkin ada hal yang ingin disampaikan lagi. Namun ternyata Anesh masih bergeming juga, membisu seakan merasa sendirian di Resto Thai Tea yang cukup ramai pembeli.

"Nesh." Akhirnya Jeff tak tahan untuk berbicara, ingin sekali menanyakan hal yang sejak tadi mengganggu pikiran.

"Ya?"

"Kamu habis nangis, ya?" Suara empuk milik Jeff mendadak mengubah suasana hati Anesh menjadi berkali-kali lipat lebih melankolis. Kalau tidak malu, air mata pasti sudah bercucuran dan membuat jejak baru di pipi Anesh.

"Ngg...."

"Kamu tahu nggak?"—Jeff menarik napas dalam, bersiap menerima reaksi apapun atas perkataannya—"dikasihi, diperhatikan, didengar, dihargai, dimengerti, dan diterima itu kebutuhan dasar manusia. Nggak ada seorang pun di dunia ini yang nggak butuh teman curhat. Nggak terkecuali kamu. Please, Nesh. Kalau kamu nggak mau cerita sama aku, ceritalah sama sahabat kamu, Sisil, Salma, atau siapa pun yang kamu percaya."

"Aku nggak papa, kok, Jeff." Kepasrahan dan ketidakpedean Jeff seakan menular ke Anesh. Nada bicara cewek ini jelas kontra dengan kalimat yang meluncur baru saja dari bibir berbalut lip ice pink miliknya.

"Terus masalah Naraya?" Jeff berdecak, kesal dengan Anesh yang begitu kuat membangun benteng di antara mereka. Jeff ingat betul beberapa hari yang lalu ia mendapati teman-teman satu geng Naraya gelisah di balik pintu menuju lapangan belakang sekolah. Lalu dengan sedikit intimidasi akhirnya Jeff berhasil membuat Anesh terbebas dari Naraya saat itu.

Entah sifat Anesh yang tertutup atau Jeff yang terlalu kepo dengan urusan orang lain. Namun yang jelas Jeff menangkap sesuatu yang tidak beres terjadi. Sayangnya info valid tak bisa Jeff dapatkan baik dari Salma atau Sisil, apalagi Anesh. Padahal Jeff berniat melaporkan permasalahan ke guru BK, pasalnya Jeff menemukan jejak kekerasan yang dilakukan Raya saat itu.

"Ngg...." Anesh gelagapan, tak dapat menjawab Jeff. Berkali-kali mengulum bibir mewakili kegelisahan dan penyesalan, kenapa harus ada Jeff yang memergoki Raya saat itu.

"Nesh, aku bisa, kok, jadi orang yang kamu percaya." Anesh terkejut saat jemari Jeff meremas jemarinya yang sejak tadi bebas menikmati udara di atas meja.

Anesh seakan kehilangan kata. Sistem di otaknya lumpuh sementara. Ia tak siap menerima tapi juga tak bisa menyakiti. Mendadak matanya menangkap sebuah pemandangan tak biasa. Naraya sedang berada di seberang jalan menoleh ke kanan dan ke kiri. Ekspresi cewek tinggi besar itu tampak panik dan gelisah, dari tempatnya duduk, samar Anesh melihat Naraya berulang kali menyeka air mata.

Naraya menangis?

"Nesh, aku serius. Kamu mau kan...."

"Sori, Jeff. Aku ada urusan bentar." Anesh memutar jemarinya hingga terlepas dari Jeff lalu berlari berniat menghampiri Raya, yang sudah menyeberang ke arah Resto Thai Tea. Anesh tahu jelas tujuan Raya bukan ke arahnya, melainkan ke gang sebelah resto.

"Nesh, tunggu!" Teriakan Jeff tak bisa menghentikan Anesh. Cewek ini sudah bertekad untuk mencari tahu fakta tentang Raya, dan ia rasa inilah saatnya. Anesh sempat melihat sosok Raya menyelinap di antara bangunan kos mahasiswa yang saling berdempet, menyisakan jarak setengah rentang tangan orang dewasa.

Rasa penasaran mendorong Anesh untuk terus berlari, menyusuri jalan setapak mengikuti jejak Raya. Berkali-kali Anesh hampir terpeleset karena menghindari kubangan air. Menoleh ke kanan dan ke kiri saat bertemu jalan bersimpang, menebak-nebak ke arah mana buruannya lari.

Sampai pada suatu titik, Anesh menyerah. Tarikan napasnya sudah tak beraturan, keringat membanjiri wajah dan leher. Gerah karena rambut lurus sebahu yang tebal tanpa diikat menambah panasnya hati. Ia kehilangan jejak Raya.

"Nesh, kamu mau ke mana? Kenapa pergi gitu aja?" Anesh terkejut, tak menyangka kalau Jeff ikut mengejar. Bentuk Jeff pun tak berbeda jauh dari Anesh, napasnya tersengal-sengal, dinormalkan dengan badan membungkuk sembari menumpukan kedua tangan ke lutut.

"Ngg..., sori, Jeff, aku pikir tadi lihat Salma, ternyata bukan," bohong Anesh, memilih untuk menyembunyikan cerita tentang Raya. Seperti yang ia lakukan pada Salma dan Sisil. Bahkan kedua sahabatnya juga tidak tahu menahu tentang sesuatu yang membuat Anesh seperti kerbau yang dicocok hidungnya saat menghadapi Raya. Sesuatu yang entah kapan bisa Anesh bagi untuk orang lain.

"Terus ini kamu mau ke mana?"

"Aku mau pulang, ya? Nggak papa, 'kan?" Tidak mungkin bagi Anesh kembali ke Resto Thai Tea, yang sama artinya dengan memberi kesempatan pada Jeff untuk membuatnya kelimpungan lagi. Cewek ini justru bersyukur karena Raya muncul bak malaikat, menolong saat benar-benar dibutuhkan.

"Ya udah, aku anter kamu pulang. Tapi, lain kali aku ajak jalan lagi mau, ya?" Lagi, kalimat merajuk dalam suara empuk milik Jeff seakan menghipnotis Anesh untuk yang ke sekian kalinya. Anesh hanya tersenyum, tidak menolak tapi juga tidak mengiyakan. Benteng yang ia bangun masih kokoh berdiri. Tampaknya Jeff harus berusaha lebih keras lagi untuk menaklukkan Anesh. Yang jelas, sekarang belum saatnya. Jeff harus lebih sabar.

Keduanya pun akhirnya berjalan berteman sepi menuju Resto Thai Tea, Jeff perlu mengambil motornya lalu mengantar Anesh kembali ke rumah. Lagipula gelap telah merayap, menyelimuti bumi bagian Solo dengan udara malam yang dingin. Ayah Anesh jelas tidak akan suka kalau anak gadisnya pulang terlalu malam, apalagi bersama lelaki.









SoloCity, December, 08th, 2018.
At 18.18 WIB.









grasindostoryinc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top