32. Negotiation (2)

Setelah terlelap kurang lebih 3 jam, Rendra bergegas membersihkan diri. Sebagian barang-barangnya masih tertinggal di kamar kos lama karena memang belum ada waktu untuk mengambil. Pun kontrak kos itu sudah ia bayar untuk satu tahun, sehingga ia masih punya hak tinggal sampai lima bulan ke depan.

Senyum tampak menghias bibir lelaki ini ketika membalas pesan WhatsApp dari Anesh dengan kata 'otw'. Rendra bisa membayangkan bagaimana groginya si gadis berkumis tipis itu ketika membaca pesan balasan darinya.

Harum khas kopi Lampung segera terhirup sesaat setelah Rendra dipersilakan duduk di ruang tamu rumah Anesh. Basa-basi biasa tak lupa ia lakukan sebelum menuju ke inti tujuannya menemui Hendra di sini. Kelihaian Rendra dalam hal menjamu klien tak lepas dari kemampuannya berbasa-basi. Tak heran bila orang-orang yang bertemu Rendra mendapat kesan pertama yang begitu kuat.

"Saya tidak paham bagaimana cara hati ini bekerja untuk memproduksi rasa, tapi sepemahaman saya, perasaan saya tulus untuk Astrid. Secara pribadi, saya mohon izin untuk meminta tanggung jawab atas Astrid. Saya baru akan mengajak orang tua saya ketika sudah ada kepastian. Kalau Pak Hendra memperkenankan, saya bersedia menunggu sampai Astrid lulus SMA."

Kalimat inti sudah Rendra lontarkan, tapi lelaki ini tidak menemukan sedikit pun gurat keterkejutan di wajah Hendra. Melihat penampilan semiresmi Hendra yang mengenakan celana bahan dan kaus berkerah, Rendra pikir mungkin Anesh sudah mengajak Papanya bicara soal ini.

Jadi wajar ketika mempersiapkan diri bukan dengan penampilan santai biasa. Rendra bersyukur, berarti tugas lelaki ini tidak seberat yang dipikirkan sebelumnya.

"Saya nggak bisa putuskan apa-apa, Mas. Semua tergantung Anesh. Saya pribadi, nggak masalah, apalagi Mas Rendra bisa tunggu sampai Anesh lulus SMA. Walau saya pikir, usia anak itu masih sangat muda untuk nikah, tapi saya sebagai orang tua juga nggak bisa abai dengan perasaan Anesh pada Mas Rendra. Mas Rendra tau sendiri, bagaimana riwayat Anesh sebelum ini. Saya sudah terlalu banyak salah sama anak gadis saya. Jadi saya nggak ingin buat dia kecewa lagi."

Rendra cukup puas dengan jawaban Hendra. Lelaki ini sudah yakin, pasti akan mendapat restu dari Ayah Astrid, walau restu itu tak serta merta membawa niatnya bisa segera terealisasi. Kepercayaan memang sudah dikantongi, Rendra hanya perlu menguatkan keyakinan, lalu menularkan pada Astrid dan keluarganya.

"Saya mengerti, Pak, usia Astrid memang masih sangat muda. Saya sadar sepenuhnya bahwa Astrid pasti masih punya cita-cita setinggi langit, pun masih perlu banyak belajar tentang bagaimana menjalani kehidupan rumah tangga. Maka dari itu, sudah saya niatkan dalam hati, setelah menikah nanti saya tidak akan menuntut Astrid untuk menunaikan kewajiban sebagai istri, baik secara jasmani maupun rohani. Bahkan kalau Astrid menginginkan, saya tidak akan menyentuhnya sampai ia benar-benar siap, dan bersedia menunaikan kewajibannya sebagai istri saya."

Janji Rendra yang sebenarnya memang sudah ia niatkan ratusan kali di hati, akhirnya tersampaikan. Walau terdengar begitu sulit, karena Rendra sudah merasakan sendiri bagaimana beratnya menahan hasrat. Namun, tak menyurutkan tekad lelaki ini untuk menjalani konsekuensi yang ia buat sendiri. Rendra yakin, Allah pasti rida jika langkah yang diambil sesuai koridor-Nya.

"Kalau Mas Rendra memang punya niat seperti itu, kenapa tidak tunggu sedikit lebih lama? Misalnya setelah Anesh menyelesaikan S1."

"Kalau boleh saya bercerita, saya punya pengalaman buruk tentang hubungan dengan lawan jenis, Pak. Saya hanya tidak mau jatuh lagi di jurang yang sama, walau dengan orang berbeda. Kalau maksud Bapak selama saya menunggu empat tahun itu, lalu kami menyandang status pacaran, mohon maaf, saya tidak bisa. Saya takut khilaf. Tapi kalau maksud Bapak, saya diperbolehkan kembali empat tahun mendatang, saya juga tidak yakin masih berstatus single saat itu. Mohon maaf, saya sudah tidak muda lagi, Pak, saya tidak bisa menunggu selama itu. Hal itulah yang menjadi pertimbangan saya meminta izin Bapak untuk melamar Astrid sekarang."

Keputusan Rendra ini telah dipikirkan masak-masak. Dari hubungan kasualitas, kenapa ia bertindak seperti ini, lalu efek atau pertanyaan lanjutan ketika ia menyampaikan hal ini kepada wali Anesh.

Semua sudah tersusun rapi di kepala, tinggal mengeksekusi lalu menuai hasilnya. Itulah sebabnya Rendra sudah sangat hafal detail kalimatnya, pun prediksi kalimat tanggapan dari Hendra juga sudah tergambar di otaknya.

"Oke, Mas Rendra, saya paham, sangat paham. Anesh kemarin juga sudah minta pendapat saya tentang ini. Jawaban saya konsisten. Saya serahkan keputusan pada anak saya. Kalau saya pribadi, sudah nggak ragu lepas anak saya untuk Mas Rendra. Saya cukup tau bagaimana Mas Rendra perlakukan anak saya saat masih jadi wali di sekolah, juga saat urus kepindahan ke Bandung. Saya lihat perasaan Anesh juga sepertinya sudah condong sekali ke Mas Rendra. Tapi, maaf, Mas...,"

Hendra sempat terdiam sejenak, helaan napas panjang juga terembus, Rendra bisa melihat perubahan ekspresi kentara sekali pada laki-laki berusia hampir berkepala lima di hadapannya ini.

"Anesh kemarin sampaikan ke saya kalau belum ingin nikah dalam waktu dekat ini. Manusiawi untuk anak seumur dia, saya nggak bisa paksa."

Meyakinkan Ayah Anesh sudah dilakukan Rendra. Meski sedikit kecewa dengan keputusan Anesh lewat ayahnya, Rendra berpikir masih ada celah untuknya mengubah keputusan itu.

"Ya, saya mengerti, Pak. Tapi apa boleh saya bicara langsung sama Astrid?"

"Oh, ya, silakan. Saya tinggal dulu ke dalam, biar kalian leluasa ngobrol. Semoga dapat solusi terbaik. Intinya keputusan saya serahkan ke Anesh."

Sosok Hendra pun akhirnya undur diri, digantikan oleh gadis manis beriris cokelat cerah yang datang beberapa saat kemudian. Rendra tidak tahu apakah sebelumnya Anesh ikut mencuri dengar pembicaraannya dengan Hendra. Kalaupun sudah, justru lebih membantu Rendra untuk melancarkan aksinya.

Anesh mengenakan setelan jeans dan kemeja sederhana. Menunjukkan bahwa kedatangan Rendra ke sana memang sudah disiapkan penyambutannya. Gadis ini menempatkan diri tepat di samping Rendra. Jarak yang Anesh ambil tidak begitu jauh, posisi sofa L yang mereka tempati memungkinkan lutut keduanya hampir saling bersentuhan.

"Kamu serius nggak mau nikah sama saya, hm?"

Senyum tipis terukir di balik cangkir kopi di genggaman Rendra yang diangkat sebatas dagu lalu disesap setelahnya. Tak lupa lirikan sekilas Rendra layangkan untuk menangkap prediksi jawaban Anesh, atas tembakan langsung pertanyaannya.

"Kakak serius ngajak Anesh nikah sekarang? Anesh ini nggak bisa ngapa-ngapain, Kak. Masa cewek kayak gini mau Kare jadiin istri?" Anesh spontan memekik ketika Rendra mendadak mencubit pipinya, setelah perlahan meletakkan cangkir ke meja.

"Auwww! Kare kenapa nyubit?"

Anesh mendesis sambil mengusap-usap pipinya yang memerah. Nyeri di pipi yang Anesh rasakan tergambar lewat desis dan kerut di alis, sedangkan hatinya berteriak girang. Rendra jarang sekali bersikap seperti ini. Bahkan Anesh yakin kalau tadi adalah cubitan pertama Rendra untuknya.

"Itu barusan kamu ngapain?"

"Teriak, gara-gara dicubit."

"Trus kenapa tadi kamu bilang nggak bisa ngapa-ngapain? Itu tadi teriak bisa, 'kan?"

Anesh menaikkan bola mata sembari mendengkus pelan. Ia sedang dalam mode serius sekarang, sedikit tak terima ketika Rendra malah bercanda seperti ini.

"Ya maksudnya, Anesh belum bisa masak, belum bisa ngurus rumah. Apalagi itu, ngurus kamar kos aja banyak berantakannya dari pada beresnya. Terus...." Anesh susah payah menelan saliva, lalu menggigit bibir sebelum melanjutkan kalimatnya. "Nggg..., kalau nanti Anesh hamil gara-gara Kare, gimana? Anesh masih mau kuliah, masih pengin jadi dokter, Kak, masih mau bikin Papa seneng."

"Siapa bilang saya ngajak kamu nikah sekarang? Ini hari libur, KUA masih tutup, Nona."

"Kare...."

Air mata Anesh hampir saja jatuh, kalau Rendra tidak berkelakar mungkin gadis ini sudah terisak sekarang.

"Saya bisa menunggu sampai kamu lulus SMA, nggak sekarang. Nanti setelah kita menikah, kamu nggak harus masak, beres-beres rumah, ngurusin saya, lalu hamil, punya bayi, enggak, Astrid. Saya akan tunggu sampai kamu benar-benar siap. Kamu boleh tinggal sama Papa kamu, atau Mama saya, dengan catatan semua biaya hidup kamu jadi tanggung jawab saya."

Anesh menggeleng pelan, kedua tangannya sudah berpindah ke lengan Rendra. Cebikan bibir dan gestur tubuh gadis ini yang menggoyang-goyangkan lengan Rendra, cukup mewakili kegamangan yang sedang mendera.

"Kak, Anesh belum mau nikah cepet-cepet. Kita bisa pacaran dulu, 'kan? Anesh percaya sama Kare, kok, pasti nggak bakal macem-macem. Anesh juga janji nggak bakal minta aneh-aneh sama Kare."

"Astrid...." Rendra menghela napas dalam, berusaha mengalihkan jemari Anesh yang meremas lengannya. "Kamu nggak tahu, betapa berat bagi saya berada di dekat kamu, tapi nggak bisa mengungkapkan rasa sayang saya sama kamu seperti ini," Rendra mengusap pipi Anesh dengan punggung telunjuknya. "Makanya saya nggak mau pacaran. Kita nikah kurang dari setahun lagi dari sekarang, atau...."

"Atau?"

"Saya pergi."

Anesh mengerjap, tidak percaya kalau Rendra bisa berkata seperti ini. Jantung gadis ini seakan bekerja memompa darah dua kali lebih cepat. Dua kata sakral yang keluar mulut Rendra sukses membuat pipi Anesh seketika tergenang.

"Sekarang Kakak boleh pergi, tapi empat tahun lagi balik ke sini. Anesh pasti mau nikah sama Kare saat itu."

"Oke."

"Meskipun Anesh nggak tahu bakal kuat apa enggak jauh dari Kare selama itu. Pasti berat, beraaat banget."

Anesh sudah tidak tahan lagi. Air matanya mengalir tanpa bisa dibendung. Berkali-kali ia menyusut cairan bening itu sambil mati-matian menahan isak. Gadis ini tidak ingin sang Ayah mendengar tangisnya.

"Saya juga nggak bisa jamin saat kembali ke sini masih dalam keadaan single. Bahkan saya nggak tahu bisa kembali atau nggak, bagaimana kalau maut lebih dulu menjemput saya?"

"Kare...."

Pekik tertahan isakan, Anesh terkesiap ketika Rendra membawa nama malaikat maut. Gadis ini tidak bisa menyangkal, nyatanya tidak seorang pun tahu sampai kapan akan hidup. Kebisuan mendadak memenuhi ruang, sesekali isak tertahan masih lolos dari bibir Anesh.

"Jangan menangis. Kamu tahu, 'kan, selain cabe hal yang membuat saya nggak kuat adalah melihat perempuan menangis? Apalagi perempuan itu adalah perempuan yang saya sayangi melebihi diri saya sendiri. Saya sedang kehabisan saputangan juga, salah satunya masih ada di kamu, 'kan?"

Anesh mengangguk pasrah. Ketertarikan yang ia rasakan pada Rendra makin menggebu, membuat sisi kekanakannya muncul. Anesh sadari itu, tapi entah kenapa tidak bisa dikendalikan. Mungkin ini yang disebut dengan cinta yang datang tanpa ada logika.

"Sudah, ya. Jangan menangis lagi. Saya sudah sampaikan tawaran saya. Juga toleransi yang akan saya berikan sebagai dispensasi karena gap usia kita yang cukup jauh. Kalau kamu memang benar-benar nggak bisa, nggak papa. Tapi maaf kalau saya harus pergi. Kamu boleh menunggu saya sampai kapan pun, tapi maaf, saya nggak bisa jamin akan kembali."

Anggukan pasrah sekali lagi terbit dari gestur Anesh. Air mata belum mau berhenti mengalir. Dilema yang amat dalam menyiksa Anesh yang bertahan dalam isakan demi isakan. Akhirnya gadis ini mengusap kedua pipinya sekali lagi sebelum pamit pergi meninggalkan Rendra sendiri yang kebingungan menginterpretasi arti sikap Anesh.

Untuk ke sekian kali, helaan napas panjang terembus dari hidung Rendra. Untuk ke sekian kalinya pula, ia harus menelan rasa kecewa. Mungkin salahnya karena menjatuhkan pilihan pada gadis yang terlalu muda. Atau mungkin salah si cinta yang menyerang tanpa pandang usia.

Dengan langkah gontai, Rendra pun memaksa pikirannya istirahat dari penat. Kembali ke kos, mengisi daya untuk menyetir kembali ke Bandung. Lelaki tegap ini sudah mengambil kesimpulan, walau belum ada ikrar dari Anesh akan mengambil keputusan apa. Kepergian Anesh dengan membawa air mata sudah cukup menjadi bukti bagi Rendra.

Ya, mungkin memang harus seperti ini akhir kisahnya dengan Anesh.

.

.

.

.

.

.

.

Rendra termangu di kamar, duduk bersandar pada sisi spring bed, beralas karpet beledu cokelat. Dari sana ia bisa melihat pantulan sosoknya pada cermin besar di samping bed. Pantulan itu tampak menyedihkan, terutama di bagian ekspresi. Meski sudah tahu kemungkinan seperti ini akan ia alami, Rendra tidak bisa menyembunyikan rasa kecewanya.

Laptop yang terbuka di hadapan masih setia memutar lagu-lagu klasik favorit. Ada beberapa files excel terbuka di layar, tapi tidak bisa menarik konsentrasinya. Pikiran lelaki ini terus saja berpusar pada kejadian beberapa jam yang lalu, saat ia bertandang ke rumah mantan muridnya, menemui Anesh dan Hendra.

Mengingat sikap Anesh yang mengambang membuat Rendra bergegas mengemas laptopnya, juga beberapa barang yang bisa masuk mobil untuk dibawa pulang ke Bandung. Dua koper hitam berukuran sedang berisi pakaian resmi dan santai, serta sepatu sudah siap dibawa.

Seandainya Rendra bisa menyelam ke kedalaman iris Anesh tadi, mungkin ia tidak akan segalau ini.

Sesekali sorot netra Rendra menangkap sosok yang lewat depan pintu kamarnya. Saat itu pula hatinya berdesir, berharap akan ada keajaiban sehingga ia bisa dibersamai Anesh kembali ke Bandung. Sayangnya, sudah tiga puluh menit setelah ia selesai berkemas, tak seorang pun datang menemui.

Saat membuka laci meja di bawah cermin, pandangan Rendra tersita oleh sebuah wristlet marun. Tak ayal benda itu makin mengingatkannya pada sosok Anesh, karena pertama kalinya mereka bertemu di lift, lalu sebuah pouch bertali milik Anesh ini tertinggal begitu saja.

Hampa hati Rendra ketika untuk kedua kalinya ia melepaskan rasa. Yang pertama dulu karena hati sang gadis bukan miliknya, lalu sekarang, karena perbedaan usia. Entah harus bagaimana nanti ia menjelaskan pada Richa, Mamanya.

Terkadang ingin sekali mematahkan prinsip tidak ingin pacaran, agar tercipta kesempatan ke-sekian kali untuknya. Namun, lagi-lagi Rendra percaya, Allah pasti akan rida jika sesuai koridor-Nya, pun sebaliknya.

Bukan sok suci, Rendra juga sadar kalau pilar agamanya tidak sekuat itu. Hanya pengalaman saja yang membuatnya benar-benar memegang teguh prinsip. Rendra masih manusia yang tak luput dari khilaf dan lupa.

Tepat saat Rendra membuka wristlet, derap langkah sepatu beralas karet, yang beradu dengan lantai keramik terdengar. Suara itu makin mendekat lalu berhenti, Rendra pikir si pemilik sepatu pasti sudah berada tak jauh dari kamarnya.

Penasaran, Rendra lalu beranjak menghampiri pintu, masih dengan wristlet marun di genggaman. Betapa kagetnya lelaki ini ketika mendapati ada gadis bermata sembab, tengah tersenyum manis di depan pintu.

"Kare...."

"Astrid? Kamu ngapain ke sini?"

"Anesh udah buat keputusan."

"Oh, ya?"

"Boleh peluk nggak, Kak?"

Belum sempat Rendra mengangguk atau menggeleng, si gadis sudah menghambur ke arahnya. Mau tak mau, Rendra merentangkan tangan, menampung tubuh Anesh yang melesak ke dadanya. Rendra yakin, gadis ini langsung terisak ketika pundaknya bertemu dengan dagu Anesh.

"Jangan terlalu lama, Nona, peluknya. Nanti Tuan ini khilaf," bisik Rendra sambil memejam, menghirup dalam-dalam aroma bayi dari tubuh Anesh yang hampir membuatnya hilang akal.

"Bilang dulu yang waktu itu Kakak jawab pake bahasa Jerman, artinya apa?" pinta Anesh dengan suara bergetar, tampaknya gadis ini tidak bisa menahan haru karena bisa berada sedekat ini dengan guru idolanya.

Rendra tersenyum, "Lepas dulu, nanti saya jawab."

Dengan berat hati Anesh mengurai pelukan. Wajah gadis ini sudah basah dengan air mata. Sambil mengusap pipi dan hidung yang berair, Anesh kembali bertanya, "Apa yang paling Kare suka ketika melihat Anesh?"

"Mata kamu."

"Kenapa?"

"Because it's connected to your soul. Dengan melihat mata kamu, saya tahu apa yang sudah kamu putuskan."

"Kakak adalah lelaki kedua setelah Papa yang Anesh sayang banget," ucap Anesh seraya kembali menenggelamkan tubuhnya di pelukan Rendra.

"Thank you Astrid. Thank's for that position for me, it means a lot. I...."

Rendra menghela napas panjang sebelum membisikkan kalimatnya.

"I love you."

Anesh tidak sanggup berkata-kata lagi. Yang ada hanya isakan bahagia serta sinyal-sinyal tubuh sebagai tanda bahwa hati keduanya saling mendamba. Keputusan mereka berdua ini bukanlah akhir, melainkan awal cerita baru bermula. Cerita cinta antara pasangan berbeda usia. Semoga keduanya memang diciptakan untuk melengkapi satu dan lainnya.















☘️The End☘️















SoloCity, September, 28th, 2019
At 19.28 WIB












Yes!! End!!

Gimana? Puas, dong sama happy ending.. 😆

Atau masih kurang? Bahahaha! 🤣🤣

Mau nambah panjang? Bisa dipertimbangkan asal drop komen kalian yang banyak, yaa, wakaka.. 🤗

Oiya, pesanan tagging, silakan Bro wardahfull pisaunya silakan disiapkan, gergaji mesin boleh, atau silet buat cincang ini lapak, bahahaha.. 😂😂

Enjoy,
Nath.🍁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top