30. Confession (2)
Asap kendaraan mengepul berlatar senja, beterbangan di antara debu jalanan membentuk koloni yang masih bisa ditoleransi oleh Rendra. Perjalanannya menuju Solo kali ini ia pilih dengan mengemudikan Jazz hitam milik sang Mama. Bukan tanpa alasan, kondisi Anesh yang terindikasi mengalami hipoglikemia seminggu yang lalu memaksa Rendra untuk mengambil langkah ini.
Masih segar dalam ingatan saat Rendra meminta izin kepada Hendra untuk mengantar Anesh pulang, berdua saja. Satu minggu yang lalu, Rendra harus rela momennya bersama Anesh hancur, lagi-lagi karena kecerobohan gadis manis berkumis tipis ini. Beruntung resto tempat mereka makan terdapat fasilitas nakes. Anesh langsung dapat asupan jus buah rekomendasi dari nakes untuk menaikkan kadar gula darahnya.
"Saya mohon izin untuk mengantar Astrid pulang, Pak. Sekalian ingin silaturahmi, sepertinya sudah lama sejak terakhir saya menikmati Kopi Lampung di rumah."
Begitu ucapan Rendra sembari melirik sosok Anesh yang bertopang dagu di meja kamar lantai dua Ardayu, kos milik Richa. Nada keberatan sempat terbaca dari jawaban Hendra di ujung telepon waktu itu, pun pada raut wajah Anesh. Keberatan karena Anesh terpaksa menghanguskan tiket kereta yang sudah dipesan tiga hari sebelumnya. Hendra pun bukan tipe orang yang suka memanfaatkan atau merepotkan orang lain.
Weekend ini memang Anesh berencana pulang ke Solo dengan kereta. Namun, siapa sangka pertemuannya dengan Rendra Sabtu sebelumnya mengharuskan gadis ini untuk duduk di jok penumpang, di samping Rendra dengan perasaan campur aduk seperti biasa. Pertanyaan Rendra kemarin belum juga terjawab oleh Anesh, sekarang ditambah was-was karena mendengar bahwa Rendra berencana menemui Ayahnya.
"Apa tidak repotkan Mas Rendra?"
"Astrid sedang agak kurang sehat, Pak. Saya khawatir kalau dia pulang sendiri. Mau saya temani naik kereta, tapi tiket sudah tidak tersedia. Jadi biar saya antar pakai mobil Mama saya."
Kalimat Rendra yang ini mau tak mau mencipta rona sipu di wajah Anesh. Boleh dibilang, waktu itu Rendra agak berlebihan, karena sejujurnya Anesh merasa baik-baik saja. Setelah perutnya bisa menerima jus buah tanpa diikuti muntah, asupan kalori yang sempat kosong sudah terpenuhi. Rasa berat di kepala memang belum hilang saat itu, tapi Anesh yakin setelah jadwal makan diperbaiki pasti kondisi tubuhnya segera bersahabat kembali.
"Pakai AC nggak apa-apa, ya, Pascal?"
Rendra menengok ke arah Anesh sekilas sembari membasahi bibirnya yang kering. Kilatan di sana begitu menarik perhatian Anesh. Menurutnya, semua gerak-gerik Rendra dilakukan dengan rapi, perlahan, hati-hati, dan berwibawa, sehingga tercipta sosok Rendra yang begitu kharismatik. Bahkan gerakan barusan pun. Anesh pikir tanda-tanda bucin seperti mulai menyerang dirinya.
"Saya, sih, nggak papa, Pak. Pare bukannya nggak nyaman naik mobil ber-AC?"
Anesh memang tidak begitu bermasalah dengan AC. Kamar tidur di rumahnya pun juga ber-AC dan ia nyaman-nyaman saja dengan benda itu. Walaupun outfit yang saat ini dipakai hanya kaus combed berlapis cardigan tipis yang pas badan, tetap saja tidak merasa terganggu dengan AC.
"Iya, tapi udara di luar makin nggak bersahabat. Makanya tolong ajak saya ngobrol biar saya konsen nyetir dan konsen sama kamu. Jadi bisa lupa sama bau mobil."
Ya Tuhan, Anesh ingin meleleh saja rasanya. Konsen sama kamu, itu kalimat yang mungkin biasa bagi Rendra, tapi berefek luar biasa untuk mood Anesh. Gadis ini pun membuang tatap ke jendela agar rona sipu di pipinya tidak tertangkap iris legam Rendra. Anesh takut senyum tipis akan terbit di sudut bibir Rendra, lalu dengan santainya membuat Anesh makin ambyar saat itu juga.
Rendra kemudian menutup rapat jendela mobil dan mulai menyalakan AC. Bau khas yang selalu berhasil membuat Rendra mual memenuhi ruang. Beruntung segera sigap dinetralkan oleh pengharum aroma kopi yang tergantung di sunvisor. Rendra tampak sedikit mengernyit, membuat Anesh memutar otak, mencari bahan obrolan yang sekiranya bisa Rendra lebih nyaman.
"Engg..., cewek yang ikut meeting kemarin itu mantan Bapak, ya?"
Bagus, Nesh, kenapa malah ngobrolin mantan?
Sebagian diri Anesh menyesal memilih tema ini sebagai pembuka obrolan. Namun sebagian lain juga kepo lalu bersyukur, setidaknya keimpulsifan yang dimiliki bisa jadi sebuah keuntungan. Anesh berharap Rendra tidak tersinggung dengan pertanyaannya.
"Cewek kemarin?" Dahi Rendra mengerut, matanya mengerjap seperti mengingat-ingat satu minggu kemarin meeting dengan perempuan yang mana. "Oh, yang meeting sama Bayu? Iya, dia Mita."
Anesh tidak menangkap ekspresi berarti saat nama Mita meluncur dari bibir Rendra. Yah, mungkin ekspresi sendu, sedih, atau semacamnya yang menandakan proses melupa yang belum membuahkan hasil. Mungkin karena Rendra melakukannya dengan tetap berkonsentrasi pada kemudi. Tatapan lelaki ini pun seringnya lurus menembus kaca, dengan nada bicara yang juga terdengar santai, tanpa beban, penuh keselesaan.
"Sejak kapan Mbak Mita jadi mantan Pare?"
Yak, dan kepo pun berlanjut. Mengingat reaksi Rendra yang sepertinya tidak terganggu, Anesh tidak ragu untuk melanjutkan investigasi.
"Kurang lebih satu tahun yang lalu. Kamu sebut dia Mbak, tapi kenapa ke saya jadi Bapak?"
Rendra mendengkus kecil. Sebenarnya agak kurang nyaman dengan sebutan 'Bapak' sejak ia melepaskan profesi stuntman atas Alya. Anesh paham betul, Rendra tidak suka panggilan itu, tapi juga bingung mau mengganti dengan sebutan apa. Mengingat gap usia mereka juga lumayan jauh, jadi menurut Anesh hanya sebutan 'Om' atau 'Bapak' yang cocok.
Alih-alih menanggapi protes Rendra, Anesh justru tersenyum kecil dan memilih melanjutkan investigasinya. "Kenapa Bapak diputusin?" Mendadak Anesh jadi bersemangat. Mengorek keterangan tentang sosok wanita yang hatinya pernah disinggahi Rendra memang aktivitas menyenangkan. Apa lagi melihat tanggapan Rendra yang masih welcome-welcome saja.
Rendra langsung menjawab pertanyaan Anesh tanpa jeda, tanpa memberi kesempatan otaknya untuk berpikir, karena memang tidak perlu. Hal ini membuat Anesh yakin Rendra jujur dengan pernyataannya. "Saya nggak diputusin. Saya yang minta dia pergi karena saya tahu persis hatinya bukan untuk saya."
Anesh masih mencoba mencerna jawaban terakhir Rendra saat mobil yang mereka kendarai berhenti di belakang palang pintu perlintasan kereta api. Rendra menggeser tuas persneling lalu memfokuskan pandangan pada gadis di sampingnya.
Paduan kaus putih dan cardigan panjang berwarna kunyit begitu cocok membungkus lengan Anesh, membuat Rendra ingin sekali merasakan halus kulit gadis itu. Belum lagi aroma bayi yang sesekali tercium saat Anesh membuat gerakan. Rendra sepertinya memang mencari masalah dengan mengantar gadis ini pulang berdua saja.
"Kenapa? Kamu cemburu?"
Akhirnya senyum tipis Rendra menyerang juga, ditambah pertanyaan menusuk yang tak ayal membuat Anesh salah tingkah. Anesh lalu menggelengkan kepala, menyangkal asumsi lelaki yang masih mengunci tatap pada sosoknya.
"Mbak Mita itu cantik dan berkelas, kelihatan smart banget, beda jauh sama saya. Lagi pula, memangnya saya berhak cemburu, ya, Pak? Saya, kan, bukan siapa-siapanya Bapak?"
Bagaimanapun juga, perasaan dibanding-bandingkan itu menimbulkan ketidaknyamanan. Walaupun Anesh belum pernah sekali pun mendengar Rendra sengaja membandingkannya dengan Mita. Namun, melihat lebih dekat sosok mantan kekasih Rendra itu membuat Anesh ratusan kali lebih minder dari sebelumnya.
Rendra tersenyum samar. Ada dengkusan tipis mengiring gerakan kepalanya yang kembali fokus ke palang pintu kereta api yang perlahan naik.
"Kamu itu lucu, Pascal. Kemarin saya tanya kamu mau hubungan kita seperti apa, kamu nggak bisa jawab. Sekarang kamu bilang kamu bukan siapa-siapa saya."
Kali ini Rendra memilih jalur lambat, hanya untuk mengurangi kecepatan mobil yang sedang ada di bawah kendalinya. Ia merasa harus meluruskan jalan pikiran Anesh yang menurutnya mulai melenceng. Mengingat tekanan psikologis yang pernah dialami, akan fatal akibatnya jika gadis ini terus memelihara ketidak percayaan dirinya seperti ini.
"Coba kamu pikir, untuk apa saya capek-capek antar kamu, nyetir dari Bandung ke Solo, kalau kamu bukan siapa-siapa saya, hm?"
Hanya beberapa detik, Rendra menoleh untuk menjalin kontak mata dengan Anesh. Lelaki berbadan tegap ini ingin menunjukkan bahwa ia tidak main-main dengan sikap serta ucapannya selama ini.
"Maaf, Pare."
Anesh menggigiti bibirnya, gestur khas saat merasa bersalah atau berlaku impulsif karena sumbangan kecerobohan. Jemarinya sibuk membuka tutup tas saku kecil di pangkuan, representasi gelisah.
"Jangan pernah meragukan perasaan saya ke kamu. Perlu berapa kali saya bilang kalau saya serius? Hati saya sudah memilih tanpa bisa saya kendalikan, Pascal. Takdir Allah yang membawa saya ke kamu, bukan kebetulan kamu peluk-peluk saya di lift berbulan-bulan yang lalu. Bukan kebetulan saya menggantikan Alya, lalu ketemu murid ceroboh seperti kamu."
"Saya seneng bisa deket sama Pare. Sebenernya saya seneng Pare mau nganter saya pulang, tapi saya nggak mau Pare capek."
Rona sipu kembali menghiasi wajah Anesh. Entah sudah berapa kali Rendra membuat hatinya seakan meleleh. Diam-diam buncahan rasa bahagia juga meledak di hati Rendra. Buncahan itu membawa tangan kirinya terulur mengusap lembut puncak kepala Anesh, dan tolehan sekilas yang meninggalkan senyum menawan.
"Nggak apa-apa. Saya senang bisa membuat kamu senang."
Anesh menahan diri untuk tidak bersikap berlebihan. Sosok yang sedang konsen mengemudi di sampingnya ini sungguh menggoda. Lengan kokoh Rendra yang terbalut kaus putih bersih seperti melambai-lambai, menarik Anesh untuk meraih lalu menyimpannya dalam pelukan.
Namun Anesh sadar, Rendra sangat meminimalkan kontak fisik antara mereka. Gadis ini tidak ingin dicap sebagai perempuan murahan, walau ia tahu profesinya sebelum ini pun sudah merepresentasikan dirinya sebagai sosok murahan. Paling tidak, di hadapan Rendra ia berusaha menjaga kehormatan.
Matahari kemerahan sudah beberapa jam lalu dilibas gelap, membawa udara dingin menyergap. AC mobil jadi berkali lipat lebih dingin padahal dari tadi bersuhu tetap. Udara sekitar yang memengaruhi hal ini terjadi. Rendra berulangkali mengusap lengan untuk mencipta hangat. Suhu AC juga sudah dinaikkan untuk suasana lebih nyaman.
"Bapak mau saya ambilkan jaket?"
"Boleh. Di jok belakang, ya."
Anesh pun beringsut mengambil jaket tebal yang Rendra bawa, lalu membantu Rendra memakainya. Kondisi jalan propinsi yang sedang sepi membuat Rendra menambah fokus dan kecepatan agar cepat sampai. Alhasil obrolan mulai berkurang.
"Bapak beneran mau main ke rumah?"
Anesh menyeka air bening di sudut matanya. Menahan kuap berkali-kali membuat kelenjar air matanya bekerja ekstra. Malam memang mulai merangkak naik, membawa kantuk menyerang Anesh tanpa ampun.
"Iya. Saya mau membicarakan hal penting dengan Papa kamu."
Rendra merasa sudah tidak bisa lagi menyimpan perasaan tak tersalurkan terlalu lama. Karenanya ia ingin meminta saran terbaik dari Hendra. Rendra tidak mengajak Richa turut serta sebab tidak ingin risiko dikecewakan juga melanda sang Mama. Rendra sendiri belum begitu yakin kalau maksud baiknya juga akan ditanggapi baik pula oleh Ayah Anesh.
"Hal penting apa, Pak?"
Kekhawatiran Anesh tidak tergambar jelas karena kantuk sudah mulai mengambil sadarnya. Leher Anesh pun sudah tidak kuat menyangga kepala, alhasil tugas itu dialihkan ke sandaran jok. Anesh berusaha sekuat tenaga untuk tetap terjaga karena tidak ingin membiarkan Rendra menyetir sendirian. Namun sepertinya usaha Anesh gagal.
"Tentang kita, Pascal."
Entah apa maksud Rendra menjawab seperti itu, tapi ia benar-benar menunggu reaksi Anesh. Namun sayangnya, reaksi itu tak kunjung muncul. Saat Rendra memutuskan menepi di POM BBM untuk berkemih, ia baru sadar kalau gadis di sampingnya ternyata sudah tertidur lelap.
Sekembalinya dari kamar kecil, Rendra masih mendapati Anesh dalam posisi yang sama seperti saat ditinggalkan tadi. Hanya muncul titik keringat di dahi Anesh karena Rendra mematikan mesin mobil. Lelaki ini membuka pintu di sisi penumpang, lalu perlahan memperbaiki posisi kepala Anesh yang terkulai ke samping.
Rendra juga merapikan rambut Anesh yang berkeriap, menempel di dahi dan leher. Kemudian Rendra juga mengambil tisu untuk mengelap keringat di dahi Anesh. Desiran-desiran aneh mulai menempa Rendra, terutama saat hidungnya menangkap aroma bayi dari tubuh Anesh. Wajah polos dan tak berdaya Anesh membuat Rendra berkali-kali menelan ludah. Bagaimana pun ia adalah lelaki normal yang memiliki ketertarikan pada lawan jenis.
Tak ingin berlarut-larut dikendalikan nafsu, Rendra menggeleng pelan lalu bergegas naik ke jok kemudi. Lelaki ini menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan sembari memutar anak kunci mobil dua kali ke kanan.
Geraman halus Jazz hitam kemudian tercipta, menimpa suara teratur napas Anesh yang diam-diam membuat Rendra merinding. Lelaki ini menunggu sejenak untuk memberi kesempatan dentuman nyaring di dadanya agak mereda.
Setelah udara AC stabil, Rendra melepas jaket yang membalut tubuhnya lalu menutupkan jaket itu ke badan Anesh. Seandainya ada masker, mungkin Rendra juga akan memakaikannya pada Anesh, supaya ekspresi polos Anesh tidak menggoda Rendra.
Setelah menarik napas dalam sekali lagi, Rendra pun mulai mengemudikan mobilnya membelah jalanan kota. Berusaha keras mengusir hasrat tak pantas yang hampir meruntuhkan imannya, merenggut kepercayaan Anesh juga Hendra yang diberikan padanya.
Bertambah kuat keinginan Rendra untuk segera menyelesaikan semua. Menawarkan solusi atas permasalahan yang membelit Anesh dan dirinya kepada Hendra. Rendra berharap niat baiknya bisa diterima dengan baik juga. Semoga.
WatesCity, August, 17th, 2019.
At 21.17 WIB.
Hai.. Pare dataaaaang...
Maafkan telah membuat fans2 Pare menunggu lama, wkwkwk.. 😁 😂 😂
Baru banget selesai nulis langsung publish.. Eee signal malah kampret.. Bantu cek typo, ya..
Komen yang banyak juga, ya..
Thank you.. ❤❤
Enjoy.
Nath.🍁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top