25. Acid Reflux (2)
Sudah empat jam berlalu dari kedatangannya ke Bandung, Rendra gunakan untuk istirahat, tapi rasa tak enak badan belum juga mereda. Pusing sudah mulai berkurang, tapi mual kian menjadi. Ditambah rasa terbakar di ulu hati membuat Rendra lemas terkapar di tempat tidur kamarnya. Sakit punggung memaksanya untuk merebahkan diri, padahal ia tahu persis, kondisi seperti ini lebih baik jika diposisikan setengah duduk.
Walau memejam pun, tak serta merta pikiran Rendra ikut rileks. Harapan akan aktivitas biasa yang dilakukan hanya tinggal angan-angan. Seharusnya ia bisa memanfaatkan waktunya untuk kunjungan ke proyek rumah sakit dr. Dewangga, dan mencipta kemungkinan bertemu Mita di sana. Namun kenyataannya, justru tujuan utama untuk mengurus kepindahan Pascal belum juga tersentuh, apa lagi tujuan sampingan akan penyelesaian pekerjaan.
Sekadar berkonsentrasi pada ponsel saja Rendra tidak sanggup. Apa lagi menghubungi kliennya untuk menyelesaikan urusan. Sungguh kondisi yang sangat mengganggu mobilitas. Belum lagi rasa bersalah karena mengabaikan Pascal sejak pagi tadi, mungkin gadis itu sedang marah-marah tidak jelas sekarang. Rendra benar-benar sedang tak berdaya.
Suara ketukan diikuti gagang pintu yang terputar membuat Rendra terkejut. Hati lelaki ini melega ketika mendapati wanita paruh baya berambut cokelat gradasi masuk ke kamarnya. Mamanya memang seorang desainer ternama di Bandung. Tak heran jika memiliki style fashionable, dari ujung kepala hingga ujung kaki. Walau hanya memakai daster rumahan pun Richa tetap terlihat cantik dan elegan.
Helaan napas Richa terdengar beradu dengan udara kamar Rendra yang mulai naik suhunya. Ada AC, tapi Rendra kurang suka memakai alat ini. Menurutnya, AC di kamar tak ubahnya seperti AC di mobil atau bus, membuat kurang nyaman. Beruntung pengharum ruangan beraroma kopi tersemat di AC kamarnya, sehingga kapan pun Rendra kepepet, bisa memakai AC dengan gangguan minimal.
Suara langkah kaki sang mama yang mendekat ke tempat tidur memaksa Rendra membuka mata lalu tersenyum tipis. Senyum dipaksa hanya untuk menyamarkan kondisinya yang sedang tak bersahabat. Meski ringis dan desis tak dapat pula ditahan. Richa tahu anak lelakinya tidak baik-baik saja, tapi, kedatangannya ke kamar punya maksud lain yang disimpan sejak pagi. Bahkan Rendra masih memakai celana jeans dan kaus tadi pagi, belum sempat ganti pakaian. Juga belum membersihkan diri selepas perjalanan.
"Ren, Mama tanya serius, kamu serius sama Astrid? Hm?" Lesakan di spring bed menandakan berat badan Richa tertumpu di samping tubuh Rendra yang terbaring di tempat tidur.
Rendra tak menyangka kalau sang mama akan bertanya to the point seperti itu. Setelah susah payah menelan saliva, Rendra mulai menjawab Mamanya, "Enggak, lah, Ma. Pascal masih muda banget. Rendra cuma niat bantu aja. Mama kalau dengar kisah hidupnya pasti akan melakukan hal yang sama kayak Rendra." Sialnya, nada lemah di suara bariton Rendra tak dapat dipalsukan. Kata demi kata meluncur di antara sengalan napas yang menyesak.
"Syukurlah kalau begitu. Mama suka, sih, anaknya cantik dan sopan, tapi terlalu jauh gap usianya, Ren." Jawaban Richa cukup membuat Rendra lega, setidaknya ia jadi tahu kalau sang mama juga kurang setuju dengan jalinan hubungan beda usia. "Cuma, kalau kamu memang suka, Mama oke aja. Asal kamu bisa sabar nunggu sampe dia lulus kuliah, 'kan?" lanjut Richa sukses mematahkan asumsi sebelumnya yang berkelebat di pikiran Rendra.
Rendra berusaha menghela napas panjang, tapi sulit. Rasa perih di perut memaksa terhambatnya selesa di paru-paru. "Itu yang Rendra kurang yakin, Ma. Rendra hampir 29 sekarang. Kalau harus menunggu lima tahun lagi, Rendra khawatir nggak bisa."
Kali ini desisan menahan rasa sakit menghuni rongga mulut Rendra, bersamaan dengan remasan jemari tangan tepat di ulu hatinya. Rasa terbakar naik dan makin menjadi-jadi, seperti menjejalkan sebutir telur lalu melesakkannya naik dari perut ke tenggorokan. Perlahan tapi pasti membuat Rendra mati gaya.
"Tapi jodoh, kan, rahasia Allah, Sayang. Mama nggak mau kamu menepis perasaan hanya karena alasan usia. Menikah itu butuh rasa, mutlak, nggak bisa ditawar. Semua bisa dibicarakan. Mama yakin pasti Papa Astrid juga sudah percaya sama kamu. Kalau enggak, mana mungkin beliau nitip anak gadisnya? Ya, 'kan?"
Entah kenapa Rendra menangkap gurat kebahagiaan di iris hitam Richa yang terwaris sempurna padanya. Mata itu menatap Rendra penuh keyakinan, menusuk tepat di sana, tanpa bisa terbantahkan. "Mama yakin pasti Papanya Astrid adalah sosok yang wise juga. Masa iya kamu disuruh nunggu lima tahun lagi. Nanti Mama bantu ngomong, deh, Ren," lanjut Richa lagi yang sukses membuat Rendra melongo heran. Ini kenapa Mamanya yang jadi bersemangat? Bukannya tadi Richa berkata gap usia Anesh dan Rendra terlalu jauh?
"Mama ngomong apa, sih? Ngelantur. Pascal itu masih SMA, Ma. Masa depan anak itu masih panjang. Dianya juga belum tentu mau sama Om-om kayak Rendra, 'kan?" Kekehan Rendra terdengar parau. Hentakan ringan di perut karena kekehan membuat ringis kembali menghias sudut bibir lelaki ini.
"Eh, jangan salah, Ren. Mama bisa lihat dari caranya memandang kamu. Beda. Ini kamu kenapa, sih? Meringis-ringis terus dari tadi, hm?" Lama-lama Richa risih juga. Dari tadi tidak menggubris karena memang Richa tahu persis, Rendra paling tidak suka menunjukkan kelemahan dan sakitnya pada siapa pun. Namun, kalau kondisi ini diteruskan sepertinya akan kurang baik ujungnya, mengingat rona pucat di wajah Rendra makin kentara.
"Asam lambung, Ma. Akh!" Akhirnya Rendra menyerah. Rasa di ulu hatinya sudah tak karuan, membawa lelaki ini mengambil posisi setengah duduk, mengabaikan rasa cekit-cekit di punggung. Rasa yang timbul karena asam lambung sudah terlalu lama dibiarkan naik sesuka hati.
"Mama buatin jahe anget, ya? Tck, kamu kebiasaan begadang sama ngopi pasti masih dipelihara, ya, di Solo? Ini yang Mama nggak mau kalau kamu jauh dari Mama, Ren. Kemarin dulu di Surabaya, udah oke pindah ke Bandung, ada Mita, ada Mama, ada adek kamu, malah cari kerjaan di Solo. Nggak ada yang ngontrol, coba kamu udah punya istri, yah, minimal pacar lah. Kan bisa jadi tangan panjang Mama buat ngawasin kamu, ngerawat kamu kalau lagi sakit."
Yak, dan repetan panjang seorang Richa pun dimulai. Rendra hanya bisa meringis sembari menempatkan bantal untuk lapis sandarannya di ujung tempat tidur.
"Mending Mama pelihara pitbull aja atau labrador, kalau cuma buat ngawas Rendra. Akh! Sssssh!" Rendra memejam kuat-kuat sejenak, mencoba mengusir perih yang menyiksa, meski gagal. Jahe hangat akan sangat membantu, tapi ia masih harus menunggu sang mama selesai dengan omelannya.
"Sembarangan kamu! Udah, Mama bikinin jahe anget dulu." Richa mengusap pipi anak lelakinya kemudian beranjak. Ekspresi khawatir jelas tercetak di roman Richa, membuat Rendra mengutuk diri karena tak bisa menjaga agar stres tak menghampiri. Konon katanya, stres adalah pemicu utama asam lambung naik. Double job yang dijalani ditambah masalah Pascal, dilengkapi dengan penghangusan tiket kereta berujung tersiksanya perjalanan dalam bus, jadi sumbangan terbesar stres Rendra belakangan ini.
"Kopi jahe boleh, Ma?" pinta Rendra yang segera dihadiahi tatapan tajam sang mama. Padahal Rendra hanya ingin senyum tersungging di bibir Richa sebelum sosok cantik itu meninggalkan kamar.
"No kafein, Narendra Kusuma!" Richa pun bergegas turun membuatkan jahe hangat untuk menurunkan kembali asam lambung anak lelaki tercintanya.
.
.
.
.
.
Pare, kok, nggak turun-turun, sih, dari tadi?
Katanya cuma mau istirahat bentar. Ini udah hampir makan siang, lho! Tega banget biarin aku kayak anak ilang di sini.
Helaan napas kesal, bibir mengerucut sebal, gerak tubuh mondar-mandir seperti setrikaan melengkapi gestur Anesh. Gadis ini sedang gelisah di kamar tamu lantai bawah, setelah sebelumnya mengobrol ringan dengan Mama dan adik Rendra. Keduanya sejauh ini sangat ramah dan welcome, bahkan sangat ramah untuk ukuran menyambut tamu yang baru dikenal.
Jelas, karena Richa dan Alyssa sangat mengharap Anesh adalah sosok yang akan dikenalkan Rendra sebagai pacar. Sesuai dengan misi Mama dan Adik Rendra yang ingin Rendra segera move on, keluar dari kubangan kenangan mantan. Pun secara fisik kebetulan Anesh sangat mirip Mita, mantan kekasih Rendra.
Dari celetukan-celetukan Richa dan Alyssa, Anesh hanya bisa menebak-nebak. Sebenarnya dia ini mirip siapanya Rendra? Apa mungkin orang spesial bagi Rendra? Jujur Anesh merasa sangat terganggu dengan itu. Dimirip-miripkan dengan orang lain, yang mungkin spesial bagi guru kecenya. Seakan membentuk pikiran bahwa Anesh ini diperhatikan bukan karena sosoknya, melainkan karena rupanya yang mirip entah siapa.
Perasaan diabaikan tambah menumpuk ketika sudah hampir siang dan Rendra tidak segera turun menghampirinya. Padahal sebelumnya di bus, Anesh sudah sangat senang akan perlakuan Rendra. Ia pikir Rendra benar-benar menspesialkan dirinya. Anesh ingat betul momen saat ia masih dirawat, Rendra berkata bahwa demi menolongnya Rendra rela sakit. Betapa hal itu membuat Anesh seperti terbang di awang-awang.
Namun sekarang apa? Apakah ia harus mengonfirmasi pada guru kecenya perihal perasaan satu sama lain? Mengingat perkataan dan perlakuan Rendra yang menurut Anesh hanya ditujukan padanya. Lalu bagaimana kalau semua salah? Bagaimana kalau sebenarnya Rendra tidak punya rasa apa pun pada Anesh?
Apakah ia sanggup menanggung kecewa nanti, sedangkan rasa di hatinya seakan sudah meluap-luap, tidak terbendung lagi, dan butuh tempat untuk menampung. Anesh suka ada Pare dekat di jangkauannya. Anesh akan rindu setengah mati jika Pare tidak segera muncul di netranya. Anesh akan khawatir sekali jika Pare menunjukkan tanda-tanda sakit, atau terganggu akan sesuatu.
Seperti sekarang. Anesh khawatir sekaligus sebal karena Rendra belum terlihat batang hidungnya sejak pamit istirahat tadi pagi. Banyak spekulasi mampir di otaknya. Apa Pare sakit? Apa Pare sibuk bekerja? Atau Pare benar-benar capek sehingga tidur sepanjang hari?
Keinginan untuk mengecek Rendra meronta kuat, tapi tidak mungkin Anesh memenuhinya. Ia tidak berani meminta izin untuk itu, pun Richa dan Alyssa juga tidak menawarinya untuk menemui Pare. Iya lah, memangnya ia siapa? Apa perannya sehingga harus diberi wewenang untuk naik ke kamar Rendra di lantai dua? Bukan orang penting sama sekali.
Argggghhh!
Anesh terduduk di tepi tempat tidur sembari mengetuk-ngetuk dahinya, frustrasi. Sampai pada detik berikutnya kepala Alyssa menyembul di antara kusen dan pintu yang tidak tertutup sempurna, membuat Anesh yang pikirannya sedang berkelana jadi terperanjat karenanya.
"Hey, Trid! Ngelamun aja, makan siang, yuk! Udah disiapin Mama, tuh, di meja makan." Senyum Alyssa tampak lebih lepas, dan sangat mirip dengan milik Rendra. Galau Anesh sedikit terobati walau sosok Rendra benar-benar tak terganti.
"Iya, Kak." Anesh membalas senyum Alyssa dengan hal yang sama, lalu menyejajari langkah adik Rendra menuju ruang makan. Letaknya tidak jauh dari kamar yang Anesh tempati. Dari tadi Anesh belum menemukan wujud lelaki di rumah ini selain Rendra. Sempat bertanya-tanya, bagaimana rupa Ayah dari guru kecenya? Kalau melihat Richa dengan wajah khas Sunda yang cantik dan awet muda, serta wajah Alyssa yang agak indo, bisa Anesh pastikan Ayah Rendra jelas bukan WNI.
Anesh jadi merasa bodoh sendiri. Ke mana saja ia selama ini? Ia tak tahu apa-apa tentang Rendra, sebaliknya, Rendra bahkan tahu kalau selama ini Anesh hidup tertekan bersama ibu tiri. Namun setelah dipikir ulang, untuk apa Rendra menceritakan kehidupan pribadinya pada Anesh? Memangnya Anesh itu siapa? Perasaan terabai dan tak dianggap penting kembali menyergap pikiran gadis berkumis tipis ini. Sakit.
Tuh, kan, Pare nggak ikut turun makan. Kemarin di bis perasaan merem mulu, masa masih kurang istirahatnya. Ck! Sebel sebel sebeeeel!
Bibir Anesh kembali mengerucut sebal saat ia hanya menemukan Richa di meja makan. Di mana guru kecenya? Anesh mendengkus kesal, tapi sejurus kemudian meralat ekspresinya agar tidak terlalu kentara sedang sangat merindukan Rendra.
"Silakan, ya, Astrid. Anggap aja rumah sendiri." Senyum ramah seakan selalu tersemat di bibir Richa. Astrid merasa menemukan keluarga baru di sini. Seandainya Mama Sandra masih hidup, mungkin akan tercipta kehangatan yang sama dengan yang Anesh rasakan di keluarga ini.
"Iya, Tante, makasih. Maaf, Astrid ngerepotin Tante sama Kak Al jadinya."
"Nggak papa, Sayang. Ini Rendra malah lagi kumat asam lambungnya. Jadi nggak kuat turun buat makan."
Deg.
Pare sakit?
Akhirnya Anesh mendapat jawaban atas kondisi Rendra. Ternyata guru kecenya ini memang sedang sakit. Ya Tuhan, betapa inginnya Anesh segera melesat ke lantai dua untuk melihat keadaan Rendra, tapi, tentu saja ia malu. Bisa jadi kedatangannya mungkin hanya akan mengganggu Rendra. Mendengar penuturan Richa mau tak mau kantung was-was Anesh penuh dengan cepat.
Sampai tidak kuat turun?
Pare baik-baik aja, kan? Anesh pengin lihat Pare banget.
"Ntar Al anter makan siang ke atas, Ma. Mas Re pasti bandel banget begadang terus, nggak pernah absen ngopi pula." Kali ini Alyssa yang mendengkus sembari mempercepat aktivitasnya menyuap sendok demi sendok makanan ke mulut. Ia tahu persis sifat workaholic sang kakak memang tumbuh subur semenjak bekerja di Surabaya. Alyssa ingat pernah mendampingi Rendra sebagai pskiater, karena Rendra yang sangat sulit menanam kepercayaan pada anak buahnya.
Lidah Anesh mendadak kelu, ingin membersamai Alyssa tapi takut mendapat penolakan. Namun, terkungkung di kamar dengan hati khawatir tak karuan juga bukan keputusan bijak.
"Astrid boleh ikut ke atas, Kak?" Akhirnya Anesh melibas ketakutannya. Termasuk semacam shock therapy juga karena pikiran negatif selalu saja menguasai otak. Spekulasi buruk hampir selalu terprediksi, sehingga kadang Anesh jadi stres sendiri. Hal yang sama juga terjadi sesaat sebelum Anesh menggores nadinya dengan pecahan gelas. Perasaan terabai, tak dibutuhkan, tersisih, merupakan produk pikiran negatif dan spekulasi buruk yang ia sadar harus ditepis, dibuang jauh-jauh.
Anesh tak bisa lupa bagaimana Rendra menunjukkan ketidaksukaan pada keputusan bodohnya beberapa waktu yang lalu. Ia sudah bertekad tidak akan mengulang lagi hal semacam itu.
"Iya, boleh, dong. Siapa tahu ntar Mas Re langsung sembuh gara-gara lihat kamu," kekeh Alyssa kemudian yang disahuti oleh senyum Richa dan sipu Anesh. Anesh lalu bergegas menjejali perut dengan makanan. Tak dirasakan nikmatnya karena pikiran gadis ini telanjur penuh dengan Rendra. Rasa campur aduk yang meluap-luap mutlak membutuhkan tempat berbagi.
Begini kah kalau seorang gadis sedang jatuh cinta? Terpesona oleh sosok yang dianggapnya sempurna. Di tengah aktivitasnya, Anesh tak bisa menahan senyum sipu. Bagaimana ia akan bertanggung jawab atas perasaannya nanti pada Sisil dan Salma? Mereka berdua pasti akan menyerang Anesh tanpa ampun. Lalu Jeff? Ah, Anesh hampir saja melupakan pemuda bersuara empuk itu.
Entahlah. Anesh belum bisa memikirkan hal lain saat ini. Baginya yang penting adalah bagaimana melegakan perasaan dengan mengetahui apa yang Rendra rasakan untuknya. Itu saja.
.
.
.
.
.
.
Tak perlu waktu lama, Alyssa membawa piring berisi makan siang Rendra ke kamar, diekori Anesh. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul satu siang saat keduanya sampai di depan pintu kamar Rendra. Alyssa mengetuk perlahan sambil berteriak, "Maaaas, Al masuk, ya! Bawain makaaaan."
Hening. Tak ada jawaban. Mungkin Rendra sedang pulas. Palu di jantung Anesh sedari tadi tak berhenti menggedor. Padahal ini bukan pertama kalinya ia bertemu Rendra, tapi sensasi grogi masih saja setia mengiringi. Alyssa mengetuk sekali lagi, memutar gagang pintu, lalu mendorongnya hingga terbuka.
Aroma kopi dari pengharum ruangan seketika menusuk indra penciuman, membawa otak rileks. Konon katanya aroma kopi memang bisa membawa ketenangan. Pandangan keduanya lalu tertuju pada sosok yang meringkuk di atas sajadah, masih memakai sarung kotak-kotak warna hijau. Kancing baju koko yang dikenakan sudah lepas sempurna, menampakkan kaus putih membalut tubuh di lapis ke-dua.
Alyssa lalu meletakkan, bukan, lebih cocok disebut membanting piring di meja kerja Rendra, setengah curiga menghampiri sosok yang meringkuk itu tergesa-gesa. "Mas Re? Kok, geletak di sini? Mas, kenapa?" Perasaan Anesh mulai tak enak ketika Rendra tidak merespon tepukan Alyssa. Mata beriris legam yang biasanya teduh menyapa kini tertutup rapat, seiras mulut yang terkatup seperti dijahit, lurus tanpa ekspresi. Ada bekas remasan di dada, ditandai dengan lipatan kemeja tak beraturan di sana, hanya saja jemari Rendra telah mengendur.
"Mas!" Alyssa mulai panik saat menyadari keringat dingin membanjiri tubuh kakaknya. Kali ini Alyssa meminta respon Rendra dengan tepukan bertubi di pipi. Jangan ditanya bagaimana kondisi hati Anesh saat ini, rasa panik dengan santainya menular dari Alyssa. Lega menjalar ketika melihat wajah Rendra mulai berekspresi. Desis kesakitan terdengar seiring mulut lelaki ini terbuka membentuk seringai.
"Da-da gue..., sa-kit ba-nget, Al. Akh!" Terbata-bata Rendra menjawab Alyssa, memproduksi suku kata di antara sengalan napas yang tinggal satu dua. Padahal Anesh yakin tadi Rendra sempat hilang kesadaran, entah tertidur atau pingsan. Jemari Rendra kembali meremas dada, sumber nyerinya.
"Mamaaaaaa! Mas Re, Maaaaa!" teriak Alyssa super panik, Anesh bisa melihat itu di kilatan mata, pun merasakan sendiri di hatinya. "Trid, tolong jagain Mas Re bentar, aku telepon dokter dulu." Alyssa melesat keluar kamar bagai kilat mencari keberadaan ponselnya.
Anesh mengangguk cepat lalu bersimpuh menggantikan posisi Alyssa. Tak tahan hanya bergeming saja dari tadi, jemarinya lalu menepuk lembut pipi Rendra. Rasa sesak di dada Anesh dengan mudah membuat air matanya parkir sembarangan di pipi.
"Bapak..., Pare kenapa, sih, Pak?" Suara Anesh bergetar, setengah menjerit menyampaikan berpuluh-puluh kesedihan dan berjuta-juta ketakutan ke udara. Berharap agar sedih dan takut itu hilang dibawa angin yang menyapu ke arah jendela.
"Mau ma-ti gue..., rasa-nya. Akh! Nggak ku-at." Anesh bisa merasakan telapak tangan Rendra yang dingin saat tangan lelaki itu menyentuh jemarinya, seperti berusaha agar teralih dari pipi Rendra, atau justru meminta pertolongan? Namun Anesh tahu, pasti Rendra tidak ingin membuatnya khawatir. Di mana kehangatan yang biasa dicipta tangan itu untuknya? Anesh tergugu dalam kepanikan.
"Pare jangan ngomong gitu. Anesh aja hidup gara-gara Pare, masa Pare mau mati, ninggalin Anesh? Jangan, dong! Pare, bangun! Pareeee!" teriak Anesh di antara isakan tak dapat ditahan karena Rendra kembali hilang kesadaran.
"Nggak tahu, El. Mas Re pegangin dadanya, di situ nyeri banget katanya. Ini ambulans udah meluncur, 'kan?" Suara Alyssa yang datang tergopoh, sibuk berbicara melalui ponsel dengan Elfatih, pacarnya yang juga seorang dokter spesialis forensik. Richa yang bukan main panik menghambur ke arah Rendra.
"Ya Allah, Ren, kenapa gini, Sayang?"
"Ngawur kamu! Mas Re nggak punya riwayat sakit jantung, El! Ini bukan serangan jantung!"
Kalimat penyangkalan Alyssa bagai ribuan anak panah yang menancap di sekujur tubuh Anesh. Tak ayal air mata gadis ini menderas. Ia menggeleng pelan. Tak sanggup rasanya kalau harus kehilangan sosok sebaik dan se-care Rendra.
Serangan jantung?
Ya Allah, jangan ambil Pare-ku, lirih Anesh dalam hati yang luruh dalam isak.
MajenangCity, June, 01st, 2019.
At 19.01 WIB.
Speechless..
Nath nggak tahu mau ngomong apa.
Minta doanya biar Pare baik2 aja..
Ramaikan kolom komentar, ya. Untuk suntikan semangat Nath nglanjutin kisah Pare-Pascal..
Enjoy.
Nath.🍁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top