2. First at School.
"Titip istri gue, ya, Bro! Sori gue nggak bisa nemenin, ada kelas soalnya!" ucap Dimas saat Alya dan Rendra turun dari Freed Silver di depan sekolah tempat istri Dimas mengajar. Rendra bersikeras mengendalikan kemudi mobil Dimas karena lelaki ini punya masalah dengan kendaraan darat. Hari ini rencananya Alya akan memperkenalkan Rendra pada Anggi, kepala sekolah yang juga adalah atasan Alya.
Rendra mengangguk tanpa suara dengan ekspresi bosan, bukannya apa-apa, entah sudah berapa kali Dimas menitipkan Alya pada Rendra. Sifat Dimas yang over protektif juga bukan tanpa alasan, Alya sedang berada pada kondisi kehamilan pertamanya dengan HPL sudah lewat tiga hari. Konsultasi ke dokter kandungan sudah dilakukan dan janin masih dalam kondisi prima, sehingga belum ada perintah selanjutnya selain menunggu kontraksi datang dan kontrol satu minggu sekali.
"Yuk, Mas! Jangan grogi, yah! Bu Anggi termasuk yang open minded, kok, orangnya. Usia baru sekitar tiga puluh tujuh, tapi lumayan wise sebagai pemimpin," ucap Alya setelah terdengar suara pintu mobil ditutup, dan wejangan-wejangan ala suami siaga dari Dimas lengkap ditelannya dengan senyuman.
Rendra mengangguk sekali lagi, menyejajari langkah Alya yang walaupun dengan perut—yang Rendra rasa sama dengan—besar dua kali bola sepak, masih bisa bergerak dengan gesit. Lelaki berkemeja abu tua ini ngeri sebenarnya, karena tidak pernah berurusan dengan wanita hamil sebelumnya. Takut kalau tiba-tiba waktu melahirkan datang, dan Rendra tidak tahu apa yang harus dilakukan selain membawa Alya ke rumah sakit.
Suara ketukan sepatu pantovel hitam mengilap yang membungkus kaki Rendra—hasil meminjam dari Dimas, karena Rendra hanya membawa sepatu kasual—memenuhi ruang udara di lobi sekolah, beriringan dengan decit alas karet sepatu beberapa siswa yang lalu-lalang di luar kelas. Kegiatan belajar mengajar belum efektif karena classmeeting baru saja dimulai. Tampak pandangan kepo terlukis pada ekspresi beberapa gerombolan siswa yang kebetulan melewati lobi, membuat Rendra sedikit tak nyaman. Ia sedang diminta untuk menunggu di sofa lobi sementara Alya memastikan keberadaan Anggi di ruangan.
"Yuk, Mas! Sini!" Kepala Alya menyembul dari tikungan berbatas tembok di koridor menuju ruang kepala sekolah. Rendra mengangguk untuk yang ke sekian kali lalu beranjak menjinjing ranselnya mengikuti Alya. Alya mengetuk pintu sekadarnya, lalu saat pintu ruang kepala sekolah dibuka, Rendra dan Alya mendapati wanita berpenampilan segar dengan kacamata berbingkai oval sedang menekuri setumpuk dokumen.
"Selamat pagi, Bu," sapa Alya ramah, ditanggapi dengan senyum senada dari si wanita sembari beranjak dari tumpukan dokumen di hadapannya. Tak begitu banyak barang yang ada di ruangan berukuran 7x6 meter persegi ini, hanya meja kerja yang bersisihan dengan dua almari besi dan sofa L berbahan kulit suede di sudut. Bau cat baru masih tercium, sepertinya ruangan ini baru saja difungsikan kembali.
"Bu Alya, ya ampun udah gede banget perutnya. Gimana sehat, 'kan?" Anggi menjabat tangan Alya kemudian membimbingnya duduk di sofa. "Ini siapa, Bu?" Pandangan bertanya kemudian terbit saat mendapati lelaki tegap dengan penampilan seperti eksekutif muda tanpa dasi dan jas ikut melemparkan senyum di samping Alya.
"Alhamdulillah sehat, Bu. Yah, walaupun udah pegel banget pinggangnya, tapi kata dokter nggak boleh males-malesan. Harus rajin jalan-jalan biar kontraksi cepet dateng." Alya mengelus pinggang sembari tersenyum lalu melirik Rendra. "Oh, iya, kenalkan ini Mas Rendra, yang akan menggantikan saya selama cuti, Bu." Alya mengkode Rendra agar menjabat tangan Anggi dengan kerlingan mata.
"Oh, Pak Rendra, saya Anggi, kebetulan dipercaya ketua yayasan untuk mengkoordinir teman-teman guru di sini." Anggi menyambut uluran tangan Rendra, lalu kembali fokus pada Alya, "HPL-nya kapan, Bu? Duh, kalau saya sudah malas keluar-keluar rumah, sudah buncit banget begini." Anggi mengelus perut Alya, senyum tulus tampak tersungging di bibir berbalut lipstik cokelat muda milik wanita ini.
"HPL sudah tiga hari yang lalu, Bu. Nggak tau, nih, si jabang bayi kayaknya masih betah di perut mamanya." Alya meringis dan mengusap-usap perutnya yang sekarang sedang mengeras, si bayi di dalam sana sepertinya baru saja menggeliat. "Jadi gimana, Bu? Mas Rendra bisa jadi pengganti saya di sini, 'kan?" Alya memancing agar Anggi fokus pada tujuan utama mereka datang kemari.
"Begini, Bu Alya, saya harus konsultasi dulu dengan kepala yayasan terkait guru pengganti. Kalau sudah fix, besok bisa saya agendakan untuk micro teaching. Karena prosedur penerimaan guru baru memang harus melewati ujian itu dulu, selain administrasi dan wawancara langsung dengan kepala yayasan," terang Anggi serius. "Ya, walaupun Pak Rendra ini posisinya hanya menggantikan, tapi kami pihak sekolah tetap ingin mempertahankan kualitas pengajar." Anggi melanjutkan.
Alya dan Rendra mengangguk paham, keberadaan kepala sekolah memang merupakan pemegang tampuk kekuasaan di sekolah. Namun, karena sekolah swasta bernaung di bawah yayasan, posisi ketua yayasan menjadi sosok yang paling disegani dan pengambil keputusan tertinggi. Apalagi yang terkait dengan pengeluaran sekolah untuk gaji guru baru serta pengadaan seragam serta fasilitas bagi guru tersebut.
"Kalau boleh tahu, Pak Rendra ini sarjana apa, ya? Dari universitas mana? Lalu aktivitas sehari-harinya sebelum melamar di sini apa?"
Rendra mendeham lalu mulai menjawab pertanyaan sesi wawancara dadakan dari kepala sekolah. "Saya dulu satu jurusan dengan Alya, Bu, Sarjana Sains Matematika, lulusan UI. Jujur saya tidak ada basic mengajar, tapi saya akan berusaha agar bisa memberi yang terbaik, selama menggantikan Alya. Sehari-hari, saya berwiraswasta di bidang jasa konstruksi."
Anggi mengangguk-angguk dengan ekspresi tak terbaca. Ada setitik rasa kecewa karena lelaki di hadapannya minim pengalaman mengajar. Namun juga ada rasa takjub karena kejujuran dan cara berbicara Rendra yang meyakinkan. Pengalaman Rendra memenangkan tender milyaran rupiah ikut andil besar dalam sesi wawancara kali ini.
"Mas Rendra ini bisa ngajar, kok, Bu. Sering diminta ngisi materi tentang cara merintis usaha di komunitas start up di Solo. Oh, iya, Mas, berkas lamarannya mana?" Alya menoleh ke arah Rendra, sedikit menyesal kenapa tidak mengingatkan tentang berkas lamaran dari kemarin. Membodohkan dirinya sendiri, Alya khawatir kalau permintaannya malah membuat posisi Rendra semakin minus di mata Anggi.
Tanpa diduga, Rendra mengeluarkan sebuah amplop besar berwarna cokelat dari ranselnya. Alya menyambar amplop itu tak sabar lalu meneliti isinya, seketika senyum semringah terbit di paras wanita ini.
"Ini, Bu. Semua data yang diperlukan sebagai pertimbangan sudah ada di dalam. Saya harap Ibu berkenan mengusahakan agar Mas Rendra bisa diterima di sini. Karena saya juga ingin anak-anak yang saya ampu kelasnya mendapat yang terbaik. Saya yakin Mas Rendra ini bisa sekaligus jadi wali kelas menggantikan saya."
Rendra mendeham lagi, sebenarnya sebagai bentuk protes karena apa yang disampaikan Alya di luar aturan main yang sudah dijelaskan Dimas kemarin. Namun, apa hendak dikata, posisi Rendra sedang tidak memungkinkan untuk mendebat. Hanya helaan napas yang bisa Rendra keluarkan, berusaha paham bahwa wanita terkadang memang sulit dideteksi keberadaan hati dan perasaanya, juga kemauannya.
Anggi menerima amplop dari Alya, "Baik, akan saya usahakan. Tunggu saja kabar dari saya, ya, Bu Alya, Pak Rendra."
"Baik, kalau begitu saya permisi dulu, Bu. Saya tunggu kabar baik dari Ibu," ucap Alya sembari beranjak dan sekali lagi meringis tertahan mengelus perutnya, diikuti oleh Rendra.
"Oke, Bu Alya, sehat-sehat untuk kehamilannya, ya!"
Setelah basa-basi ritual berpamitan dengan jabat tangan, keduanya keluar dari ruang kepala sekolah menuju lobi. Rendra yang menangkap gestur tak nyaman dari Alya mengajak untuk duduk sebentar di sofa lobi sekolah.
"Kenapa, Al? Sakit perut? Udah waktunya?" tanya Rendra khawatir.
"Nggak tau, nih, Mas. Kenceng terus dari tadi, biasanya kalau pas kayak gini minta dielus papanya," ringis Alya sambil mengusap-usap puncak perutnya.
"Ponsel gue error speaker-nya. Nggak bisa nelpon Dimas. Lo telpon, gih!" Rendra mulai panik, walau masih dapat mempertahankan nada bicaranya setenang mungkin.
Alya masih meringis-ringis menahan sakit sambil berkonsentrasi dengan ponselnya, mencari kontak bernama 'my lovely husband' dan memanggilnya. "Halo, Pah, udah selesai, nih! Jemput bisa, nggak? Hah? Belum selesai? Trus gimana? Ya udah, tapi jangan kelamaan! Adek rewel, nih, minta ketemu Papahnya," ucap Alya di sela sengalan napas, mengobrol dengan suaminya di seberang sana.
Rendra yang dari tadi memperhatikan Alya tak tahan untuk menawarkan bantuan, "Kalau gue yang pegang dia bisa tenang, nggak?" tanyanya berspekulasi sembari mengedikkan dagu ke perut buncit Alya. Bukan modus, Rendra hanya tidak tega melihat Alya kesakitan.
Alya berpikir sejenak sebelum mengizinkan Rendra mencoba menolong. Siapa tahu si bayi bisa diajak berkompromi oleh sahabat Papanya ini. "Coba aja, Mas!"
Rendra lalu mengusap perut Alya, ia bisa merasakan ada yang menonjol di sisi kanan dan sangat keras, mungkin seperti siku atau lutut atau bokong si bayi yang sedang menegang. Terkesiap sekaligus takjub, Rendra baru benar-benar yakin kalau ada kehidupan di dalam sana. Bagian yang diusapnya sempat terasa bergerak-gerak. Beberapa kali usapan diberikan, tapi hasilnya nihil, sisi itu tak kunjung melembut. Alya menggeleng sambil tersenyum masam.
"Bu Alya! Kok, di sini? Kirain udah cuti."
Dua orang wanita berjilbab berseragam batik, Melly dan Maudy, tampak tergopoh menghampiri Alya. Selain ingin menyapa, keduanya juga tertarik dengan lelaki tegap yang tadi mereka lihat sedang mengusap perut Alya. Timbul rasa curiga karena setahu mereka lelaki itu bukan suami Alya.
Baru saja Alya membuka mulut untuk menjawab, Melly sudah bertanya lagi, "Siapa, Bu? Kayaknya suaminya bukan ini kemarin?" Ada gurat kecurigaan yang ditangkap Alya pada ekspresi lawan bicaranya ini.
"Ini Pak Rendra, yang besok gantiin saya selama saya cuti," jawab Alya cepat-cepat, tak ingin spekulasi salah kedua guru itu berkelanjutan. Rendra berdeham, apa-apaan ini? Rendra, kan, masih harus tes wawancara dan micro teaching besok, jadi belum pasti diterima. Berurusan dengan wanita hamil begini amat? Rendra menyuarakan isi kepala dalam sunyi.
"Masih single alias available," bisik Alya yang sengaja dilakukan sambil melirik Rendra dan tersenyum menggoda. Tampaknya perut Alya sudah jauh lebih rileks sekarang, sehingga ringisan tadi tak lagi terlihat. Rendra hanya bisa menghela napas sekali lagi dan terpaksa mengangguk tipis, memberikan senyumnya pada kedua wanita yang kelihatan begitu tertarik padanya.
Siapa yang tidak akan tertarik pada lelaki tegap dengan tinggi 172 cm, jauh daripada rata-rata tinggi badan lelaki dewasa di Indonesia yang hanya 159 cm saja. Karena sang Ayah keturunan Jerman, wajah indo milik Eduard pun menurun ke Rendra, dipadukan dengan warisan kulit putih dari Mamanya yang asli Sunda, walaupun sudah menjadi kecokelatan karena terlalu banyak terpapar sinar matahari saat visit lapangan. Kombinasi yang begitu menggiurkan untuk kelas lelaki available.
"Wah, bisa dong, Bu, dikenalin ke kita-kita, biar bisa cepet nyusul Bu Alya." Melly kembali bersuara, sedangkan Maudy tersenyum malu, ingin tahu lebih banyak tentang Rendra tapi tidak blak-blakan seperti temannya.
"Bisa, lah. Makanya Bu Melly sama Bu Maudy bantuin lobi ke Bu Anggi, biar Pak Rendra diterima," tutup Alya kemudian.
Rendra jadi tahu usaha permodusan tidak hanya dimiliki oleh Dimas, tapi ternyata sepaket dengan istrinya. Sepertinya keputusan yang diambilnya karena merasa iba pada Alya adalah sesuatu yang salah. Sayangnya semua sudah terlambat, Rendra sudah telanjur masuk ke kolam sekarang. Hal yang bisa dilakukannya adalah belajar berenang agar berhasil mencapai tepi kolam. Seperti lagu lawas, telanjur basah ya sudah mandi sekali.
Beruntung panggilan Dimas yang membuat ponsel Alya berbunyi mengalihkan perhatian ketiganya. "Udah di depan? Iya, Alya keluar aja. Nggak papa, kok. Adek udah nggak nakal, tadi diusap Om Rendra."
Senyum terpancar dari ekspresi Alya, membuat Rendra seakan ikut merasakan bahagianya. Beginikah orang yang telah menemukan pasangan hidup? Kalau boleh meminta, Rendra pun ingin menyegerakan pertemuan itu, tapi apa daya, wanita yang dicintainya sepenuh hati ternyata lebih bahagia bersanding dengan lelaki lain. Rendra bukan lelaki egois yang mempertahankan apa yang bukan miliknya. Atau setidaknya tidak ingin menjadi miliknya.
"Yuk, Mas!" Alya mengisyaratkan Rendra untuk beranjak dari lobi karena Dimas sudah menunggu di luar. "Pamit dulu, ya, Buibu. Jangan lupa lobi Bu Anggi, biar ada yang bening-bening di sekolah," ujar Alya kemudian sembari berjabat tangan dan cium pipi kanan kiri Melly dan Maudy bergantian. Rendra mengikuti gestur Alya minus cipika-cipiki, digantikan dengan senyum tipis nan menawan, lalu mengekor Alya keluar menuju mobil Dimas yang menunggu.
Sementara di sisi lain lobi ada beberapa pasang mata yang memperhatikan interaksi antara Melly, Maudy, Alya, dan Rendra. Salah satunya bahkan sempat menelan ludah saat melihat sosok Rendra, entah karena apa. Tiga orang cewek berseragam putih abu-abu sedang duduk santai di depan aula yang terletak tak jauh dari lobi, menunggu pengarahan classmeeting dari Waka Kesiswaan yang belum juga dimulai.
"Ada apa, ta, Nesh? Kok seperti siyok begitu?" tanya Salma, cewek berambut sebahu dengan hiasan bando kain yang membuat poninya tersimpan rapi ke belakang. Logat medok Jawa kental dan nada bicara halus sangat cocok dengan penampilan Salma yang terhitung rapi ala putri Solo. Bagi sebagian orang mungkin disebut dengan klemar-klemer. Setidaknya begitulah stereotip dari cewek asli Solo, dan apesnya untuk Salma itu bukan hanya sekadar stereotip.
"Beuh, kayak nggak know aja, Sal. Anesh pasti tersepona sama ke-handsome-an bapak-bapak yang tadi itu!" timpal Sisil, cewek berponi lempar dengan penampilan agak modern. Mata Sisil fokus ke sebuah cermin bundar kecil di genggaman tangan, meneliti riasan natural ala anak SMA-nya, masih melekat atau tidak.
"Ngg... Nggak papa. Cuma heran aja kenapa itu bapak-bapak bisa bareng sama wali kelas kita. Jangan-jangan itu guru baru yang gantiin pas Bu Alya cuti melahirkan." Cewek yang dipanggil Anesh ini tampak ragu berspekulasi, wajahnya sedikit muram, entah karena guru baru yang baru saja dilihat atau karena perjalanan hidupnya yang ruwet, seruwet benang kusut yang membutuhkan ekstra tenaga untuk mengurai.
"What the uwaowww! Serius, Nesh? Oh my God! Aku mau banget setiap hari ketemu pak guru kece macem begitu!" teriak Sisil sambil mengguncang-guncang bahu Anesh, fokus seketika beralih ke wajah cewek manis di sampingnya yang berhiaskan bayangan hitam di bawah mata. Orang biasa menyebut dengan mata panda, dan orang yang memilikinya disinyalir menyukai Roma Irama, eh, maksudnya suka bergelut dengan salah satu judul lagunya.
"Biasa aja kali, Sil! Inget itu orang udah kayak bapak kita di sekolah. Kan pak guru." Anesh tampak memasang ekspresi gusar, memperingatkan Sisil agar tidak berlaku kelewat batas. Bagaimanapun norma masyarakat kemungkinan akan menentang pasangan berbeda usia, apalagi dengan strata sosial yang dimiliki, guru dan siswanya sendiri. Walapun tidak menutup kemungkinan tidak akan ada yang peduli juga. Karena di titik tertentu kota ini pun tetap beranggotakan orang-orang yang tidak peka, dan tidak memperhatikan hubungan sosial dengan orang di sekitarnya.
"Wes wes, ndak usah ribut. Tunggu saja besok, siapa tahu si bapak masuk kelas kita. Aku juga suka kalok diajar pak guru ngguantheng begitu." Salma mengelus pipinya sendiri sembari tersipu-sipu. Imajinasi cewek bernama asli Salama ini sudah mendahului ke beberapa hari ke depan. Karena salah satu huruf 'a' menghilang di akta lahirnya, nama Salma jadi tidak begitu kuno.
Lalu tiba-tiba dari arah lobi muncul empat orang siswi yang tampak menghampiri Salma, Sisil, dan Anesh.
"Nesh! Ikut gua!" seru Naraya, sosok yang diduga sebagai pemimpin kelompok siswi itu membuat Salma terlonjak kaget.
Hati Anesh mencelus saat mendengar namanya disebut oleh Naraya, siswi famous di sekolah, sayangnya bukan karena prestasi akademik, melainkan karena rekornya memegang jumlah skorsing terbanyak jika diakumulasi. Anesh menghela napas panjang, lalu beranjak dari kursi berniat mengikuti Raya. Tak ingin masalah juga menimpa kedua sahabatnya, Anesh terpaksa menurut pada Raya.
"Nesh, ndak usah, sih!" Salma merengek sambil meremas lengan Anesh, sedangkan Sisil hanya bisa menggigit bibir bawah sambil melempar pandangan mengenaskan, khawatir akan terjadi sesuatu dengan sahabatnya. Track record Raya memang tidak bisa dikatakan baik, hampir semua siswa yang berurusan dengan cewek berandal ini berakhir buruk.
"Santai aja, Sal! Tunggu aja di sini, bentar doang paling." Anesh mengalihkan cengkraman tangan Salma lalu mengekori Raya bersama ketiga anggota geng-nya.
Anesh menelusuri koridor depan lobi, turun melewati tangga di sisi kanan dan ram di sisi kiri, menuju ke pintu besi, perbatasan antara sekolah dan jalan setapak belakang sekolah berjarak satu lapangan. Sebelum membuka pintu, Raya berbalik dan mengkode agar Anesh mengikutinya keluar. Lagi-lagi Anesh pasrah, saat salah satu dari ketiga teman Raya mendorongnya keluar melewati pintu.
Kehilangan keseimbangan, Anesh tersungkur di depan Raya. Beruntung ketiga teman Raya menunggu di balik pintu, antisipasi kalau ada warga sekolah lain yang tahu aksi geng mereka. Kalau tidak, bisa dipastikan minimal pemerah pipi akan Anesh dapatkan sebagai pengganti blush on. Atau lebih parah lagi, lebam dan sobek menghiasi sudut bibir sebagai pengganti lipstik.
Raya menarik lengan Anesh, bermaksud membantunya berdiri. Namun, entah posisi Raya sebagai karateka sabuk hitam atau niat buruk Raya yang membuat lengan Anesh terasa seperti dijepit tangan besi.
"Lu belum transfer, ha? Gua kan udah bilang, sedetik aja lu telat, habis semua!" Raya mengeratkan cengkramannya pada lengan Anesh, tatapan marah seperti singa lapar membuat wajah cantik Raya berubah mengerikan.
"Sori, Ray, ATM gue ilang jadi gue belum bisa," jawab Anesh di sela desisan suaranya yang menahan sakit akibat perlakuan Raya.
Raya menyapukan pandangan ke suasana sekitar, ada tembok setinggi tiga meter mengelilingi lapangan. Di sebelah kanan tampak bangunan bekas rehab yang belum selesai digarap, berujung di sebuah pintu gerbang dengan gazebo tempat satpam sekolah bernaung. Tempat keduanya berdiri sekarang cukup tersembunyi karena ada pohon beringin besar yang menghalangi pandangan dari gerbang.
Setelah memastikan tidak ada orang lain yang sadar dengan aktivitas mereka, Raya kembali melempar tatapan tajam ke Anesh. "Nggak usah banyak alasan! Ini peringatan terakhir, kalau sampai besok pagi notif di hape gua belum ada laporan transfer dari lu, liat aja apa yang bisa gua lakuin ke sahabat cupu lu!" Raya memotong jarak antara wajah mereka, bisa Anesh rasakan embusan napas kasar Raya di pipi dan aroma permen karet menguar dari mulut pedas cewek itu.
"Iya, nanti pulang sekolah gue urus ke bank dulu. Kelar itu gue transfer," jelas Anesh berusaha menyembunyikan nada jengkel di suaranya. Ia tak berniat membakar sumbu emosi Raya yang mudah sekali memendek.
"Nggak! Sekarang lu pergi ke bank! Transfer tunai!" perintah Raya. Anesh tak dapat memungkiri kalau pemaksa adalah nama belakang imajiner milik Raya.
"Gue nggak ada tunai sebanyak itu, Ray!" Desahan jengkel Anesh akhirnya meluncur tak terkendali membuat Raya kalap menjambak rambut Anesh. Nominal uang yang diminta Raya memang cukup besar untuk seukuran anak SMA yang bahkan ingin jajan cilok di depan sekolah saja masih minta orang tua. Namun, Raya tahu pasti, cewek yang sedang jadi korbannya kali ini punya berpuluh kali lipatnya.
"Sialan! Lu bikin emosi gua, ya, lama-lama!" Sadar jambakan rambut kurang menyakiti, Raya meraih lengan Anesh dan memutarnya ke belakang.
"Aaaaaaw! Sakit, Ray!"
"Kalau lu nggak mau sakit, lu pergi ke bank! Sekarang!" Emosi yang sudah naik ke ubun-ubun masih dapat Raya kendalikan dengan mempertahankan nada suara tak berubah menjadi teriakan. Bersamaan dengan itu terdengar bunyi kelontangan dari balik pintu yang merupakan kode dari teman-teman Raya, bahwa ada yang segera datang memergoki kegiatan mereka kalau tak segera diakhiri.
"Oke, gue pergi sekarang," lirih pasrah Anesh sambil menahan sakit di sendi yang terpuntir ke belakang.
"Good! Inget, ya, Nesh! Gua pegang kartu as lu, jadi jangan pernah macem-macem sama gua!"
Akhirnya Raya mendorong Anesh sekali lagi sebelum menghilang di balik pintu, meninggalkan Anesh yang meringis menahan sakit di sekujur badan.
SoloCity, November, 24th, 2018.
At 17.27 WIB.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top