18. Investigation (2)

Waktu Rendra untuk mencari tahu bukti dalam memenuhi janji pada atasannya di sekolah semakin sempit. UTS sebentar lagi selesai, dan Rendra baru punya waktu untuk menggali informasi dari Jeff, itu pun baru terbuka sedikit. Hari ini setelah mengawas ujian, ia berencana akan berkunjung ke rumah Dimas. Selain rindu dengan si kecil Vira—anak perempuan Dimas yang lucu dan menggemaskan—Rendra juga berniat mencari info dari Alya.

Rendra berharap bisa mendapat pencerahan tentang apa yang sudah ia putuskan. Walau lelaki tegap ini tidak yakin Alya akan punya sesuatu yang bisa membantu misinya, tapi setidaknya rahasia Pascal akan tetap aman jika dibuka pada Alya.

Suara debam pintu Freed silver milik Dimas terdengar setelah Rendra masuk ke jok kemudi. Seperti biasa, ia memilih konsen menyetir daripada merasakan mual dan pusing karena mabuk perjalanan. Katakanlah jarak sekolah dan rumah Dimas hanya sekitar tiga puluh menit, sudah cukup bagi Rendra untuk merasa tidak nyaman. Pantangan yang satu ini memang sangat mengganggu mobilitas Rendra, dan sementara baru hal ini solusi yang ia coba lakukan untuk mengatasi rasa tidak nyamannya.

Dimas yang paham kebiasaan Rendra hanya bisa geleng-geleng kepala setelah berpindah ke jok penumpang di depan. Hari Rabu ini jadwal mengajarnya kebetulan cocok dengan jadwal mengawas ujian Rendra, sehingga ia bisa ikut pulang ke rumah untuk menemani anak istrinya. Rendra pun tidak mungkin berkunjung ke rumah sahabatnya jika hanya ada Alya dan si bayi saja.

"Lain kali lo ganti pengharum mobil lo pake yang aroma kopi coba, Dim, jadi lebih enak baunya," protes Rendra sembari mengernyit saat mulai menjalankan Freed silver Dimas membelah jalan Letjen Sutoyo. Cuaca panas sisa hari kemarin masih menyelimuti, ditambah lagi karena Rendra mematikan AC dan memilih membuka jendela lebar-lebar. Aroma udara luar walau terkombinasi dengan debu dan asap kendaraan lebih ramah untuk Rendra, dari pada bau jeruk berpadu dengan dinginya AC mobil Dimas.

"Ini aroma favorit Ibu negara, Man. Lo minta izin dulu sama Alya kalau mau ganti parfum mobil gue." Kombinasi ekspresi pasrah dan mengejek terbit di wajah Dimas. Pasrah karena tidak mungkin ia mengubah titah istrinya, mengejek karena ia yakin Rendra lebih memilih menahan mual daripada harus berurusan dengan aroma favorit Alya.

Rendra hanya mendengkus kecil, dalam hatinya ikut pasrah dan menebak-nebak, apakah nanti kalau ia punya istri akan seperti Dimas juga? Segala urusan tentang rumah tangga dari mulai memilih warna cat kamar sampai memilih aroma pengharum mobil, apakah harus semua dibicarakan atau disepakati dengan istri? Terbayang betapa rempongnya.

Belum lagi Dimas yang akhir-akhir ini makin sulit diajak nongkrong, atau sekedar makan di warung burjo belakang kampus. Sebegitu terkekangnya, kah, saat sudah memiliki tanggung jawab sebagai seorang suami? Namun yang Rendra lihat, Dimas enjoy dengan itu semua. Hal itu terdeskripsi dari binar mata Dimas saat menceritakan tentang kelucuan bayinya, pun saat berkisah tentang kerepotan pergi ke pusat belanja bersama istri dan anaknya.

Mungkin di satu sisi ada banyak hal yang harus dikorbankan seseorang ketika ia memutuskan untuk menjalani mahligai rumah tangga. Namun, di sisi lain, pasti ada kompensasi yang akan diterima ketika ikhlas berkorban untuk kebahagiaan orang yang dicintai. Rendra sadar hal itu, dan sampai sekarang pun sudah bersiap untuk menghadapi perubahan-perubahan. Baik yang kecil sampai yang signifikan saat sudah menjadi suami nanti. Entah suami untuk wanita yang mana.

Rendra menghela napas panjang saat indra penciumannya terbebas dari aroma jeruk di mobil Dimas. Udara segar di teras rumah sahabat Rendra ini terasa seperti surga ketika mereka berdua menjejakkan kaki di sana. Posisi yang tidak terlalu dekat dengan jalan raya membuat polusi udara tidak begitu kentara, ditambah dengan gemericik air di kolam kecil berisi tiga ekor koi berwarna cantik, berkecipak lincah menambah meriah suasana.

"Halo cantiknya Papah!" Dimas langsung menghambur ke Alya yang sedang menggendong Vira, bermaksud ingin menghujani peluk dan cium. Sayang, Alya langsung memelotot sambil menahan tubuh Dimas.

"Cuci tangan dulu, Dim! Papah bau asep, Sayang, nanti dulu, ya." Pelototan Alya seketika berubah menjadi senyum ramah saat bicara pada Vira. Dimas pun meringis lalu melesat ke kamar mandi untuk membersihkan diri, diikuti Rendra yang juga tak ingin kehilangan kesempatan mencium pipi gembil Vira.

Tak perlu waktu lama, Dimas sudah selesai dengan aktivitas bersih-bersihnya. Tak ingin terlalu lama menahan rindu, Dimas langsung menggendong sang buah hati, si bayi pun tampak sangat antusias saat berpindah gendong ke orang tua laki-lakinya. Jelas sekali terpancar bahagia tak terperi di wajah Dimas, membuat Rendra memandang iri. Kapan ia bisa mendapat hal yang sama? Kapan Allah akan memberikan rejeki berupa jodoh kepadanya?

"Udah makan, Mas? Alya pesenin go food, ya, sama Dimas sekalian? Alya belum sempet masak, asyik main sama Vira," ringis Alya sembari sibuk mencari-cari ponsel yang entah terselip di mana. Sedangkan Dimas sudah asyik bercengkerama dengan Vira di atas karpet bulu depan televisi.

"Nanti aja, Al. Gue ke sini mau ngobrol bentar sama lo." Rendra duduk di kursi ruang makan setelah menggesernya beberapa senti. Dari tempatnya duduk jarak tiga meter ada seperangkat alat elektronik seperti televisi, vcd player, dan dua salon besar. Menurut cerita Dimas, Alya suka sekali nonton film, dan semua alat itu dibeli untuk menunjang terpenuhinya hobi Alya. Lagi-lagi Rendra hanya bisa memandang iri, entah kapan ia bisa memiliki seseorang yang bisa dibahagiakan semacam ini.

Alya pun ikut duduk di seberang Rendra. Ponsel Alya sudah ketemu, dan saat ini sedang diutak-atik sembari matanya sesekali lepas ke Dimas dan Vira yang asyik bermain-main di depan teve. Lalu mengalirlah cerita Rendra tentang masalah yang sedang dihadapi dengan tokoh utama salah satu murid misteriusnya. Awalnya Alya hanya mengangguk-angguk, menyimak semua penjelasan Rendra, kemudian sampai saat harus mengeluarkan pendapat, Alya bersuara.

"Yang Alya tahu, Anesh itu salah satu dari beberapa siswa di kelas yang haus perhatian, Mas. Orang tuanya sibuk semua gitu. Selain itu Alya belum begitu kenal, sih." Alya memandang serius ke arah Rendra sambil mengingat rekam jejak Anesh di otaknya.

"Gue bingung mesti gimana, Al. Pascal itu tertutup banget. Tiap kali gue coba masuk ke teritori yang sedikit pribadi di dia, kayak ada tembok kaca setebal tujuh senti tiba-tiba muncul. Gue tahu persis dia butuh bantuan, tapi gue belum tahu apa-apa dan gue nggak diizinin buat bantu cari solusi. Lo tahu rasanya? Gue jadi makin kepo. Apalagi masalah terakhir yang menimpa ini."

"Masalah terakhir?" Alya mengerutkan dahi. Dari ekspresi Rendra, wanita ini menangkap kepasrahan dan mungkin mendekati stres. Apa lagi dengan penjelasan panjang lebar dari Rendra sebelumnya. Menurut Alya Rendra agak berlebihan kalau terlalu masuk ke wilayah pribadi Anesh. Namun, Alya juga bisa melihat ketulusan di mata Rendra. Lelaki ini hanya berusaha bersikap layaknya pria bertanggung jawab yang hampir frustrasi.

"Bu Anggi tahu kalau dia bekerja sampingan sebagai model majalah dewasa. Ya lo bayangin aja, Al, sekolah jelas bakal malu banget kalau ada salah satu murid yang ketahuan berpose seksi di majalah." Sesal yang dalam terdeteksi dari nada bicara Rendra. Lelaki ini tak dapat menyimpan rasa khawatirnya. Bahkan mungkin sudah tidak bisa membedakan mana rasa peduli sebagai seorang guru ke murid atau sebagai posisi potensial lain.

Alya terkesiap mendengar penuturan Rendra. "Ha? Serius, Mas? Iya, sih, jelas DO itu si Anesh. But wait, kenapa dia bekerja seperti itu? Ada masalah finansial? Nggak mungkin, dong." Kali ini fokus Alya tidak lagi terpecah. Gurat kefrustrasian yang terlukis jelas di wajah Rendra sudah menular sedikit demi sedikit ke Alya.

"Nah, itu yang sedang gue perjuangkan, Al. Gue tahu sesuatu tentang Pascal, dia berprofesi seperti itu karena dipaksa. Tapi gue belum tahu siapa yang paksa dia, dan bagaimana cara membuktikan itu ke sekolah."

Rendra kembali mengambil napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Kadang ia bertanya pada diri sendiri, kenapa ia sesemangat ini berusaha mencari solusi atas permasalahan orang lain? Rasa simpati dan peduli dalam hatinya tak dapat ditahan.

Jika seseorang itu bukan Pascal, apa ia akan sefrustrasi ini? Kalau sudah seperti ini, biasanya Rendra akan berpikir tentang Jeff, atau muridnya yang lain. Mencari pembenaran tindakan, bahwa ia tidak hanya terlalu khawatir pada Pascal saja. Beberapa detik kemudian disangkal sendiri oleh otaknya, lalu mencari pembenaran lain. Begitu terus sampai Upin Ipin jadi dewasa.

"Duh, maaf, Mas. Alya nggak bisa banyak bantu. Alya juga baru bentar jadi wali kelasnya, mungkin Mas Re bisa cari info ke BK. Atau ke sahabat-sahabatnya?"

Fokus Alya mulai terpecah lagi setelah rengekan Vira terdengar. Dimas yang sejak tadi berusaha menyimak apa yang disampaikan Rendra lalu menggendong bayi menggemaskan itu, berjalan ke arah ibunya.

"Lo coba cari ke tempat kerjanya aja, Bro. Gimana usul gue ciamik, 'kan?" celetuk Dimas setelah menyerahkan Vira ke Alya dan kembali menghujani si bayi dengan ciuman.

"No problem, Al. Gue udah telanjur jauh masuk ke masalah dia, jadi jahat banget rasanya kalau gue mundur gitu aja tanpa mencoba membantu." Rendra beranjak, kemudian tersenyum saat mengusap pipi Vira yang gembil dan super halus. Aroma bayi berpadu dengan keringat sungguh menjajah indra penciuman Rendra, membuatnya mengingat kembali sosok yang punya aroma sama.

Si bayi yang gelisah di gendongan ibunya mulai merengek lagi, tapi Alya masih bertahan dengan memindah posisi dan menepuk-nepuk punggung Vira. Alya masih ingin tahu kelanjutan cerita Rendra.

"Gue, sih, mau-mau aja, Bro, tapi manajer Pascal mengerikan, kemayu. Gue takut dikerjain." Rendra tidak akan pernah lupa bagaimana ngerinya rasa saat berinteraksi dengan Tejo. Memang kekhawatirannya belum terbukti, tapi untuk yang satu ini Rendra tak ingin ambil risiko.

"Tapi Alya salut sama Mas Re, tekad dan kepedulian Mas Re itu deserved banget buat Mas Re untuk jadi guru tetap di sana." Senyum Alya terbit di sela aktivitas mengayun Vira dalam gendongannya. Bayi lucu ini rupanya merengek karena mengantuk.

"Nah, betul itu, Bro! Udah lo berkarir di Solo aja jadi guru SMA." Celetukan khas Dimas kembali terlontar, mencipta bibit tawa ketiganya yang tertahan karena terbentur embusan napas Vira yang mulai teratur di gendongan nyaman sang ibu.

"No! Bukan cita-cita gue, Al. Bisa gila kalau gue harus lebih lama lagi di sekolah. Capek luar dalam depan belakang. Double job untuk yang ambisius mungkin nggak masalah, tapi gue pengin yang slow aja. Jam tidur gue apa kabar?" kelakar Rendra yang sialnya keluar dari hati, makin menyuburkan bibit tawa Alya dan Dimas sehingga berkembang menjadi gelak tak sopan keduanya.

Detik berikutnya Alya memelotot pada Dimas karena mata bening milik Vira mendadak mengerjap, kaget karena suara tawa orang tuanya. Alhasil Alya kemudian pamit ke kamar untuk menidurkan Vira, meninggalkan Rendra dan Dimas yang saling pandang dalam kepasrahan.

.

.

.

.

.

.

Mendung yang berarak di langit memayungi Solo sore ini, seakan mengancam siapa pun agar tetap tinggal di dalam rumah. Angin yang berhembus lembut mendukung awan gelap untuk tetap bergelayut manja di langit sekitar kos Rendra. Setelah pulang dari rumah Dimas, Rendra masih harus memenuhi janjinya pada trio absurd untuk les sebelum UTS Kamis besok.

Ketiga murid Rendra tak menyia-nyiakan kesempatan, kapan lagi bisa puas berada di dekat guru kece seperti Rendra? Salma memutuskan untuk tidak menambah personil karena bingung memberikan dua kursi lagi untuk siapa. Jadi hanya mereka bertiga yang akhirnya bertandang ke kos Rendra. Tadinya Rendra berniat mengajak Jeff bergabung untuk belajar bersama, tapi ternyata pemuda sipit itu sudah ada les intensif di bimbel berlabel kuning.

Karena Rendra sebenarnya tidak berniat membuka kelas, ia tidak memberikan materi seperti di kelas reguler. Lelaki penyuka kopi ini baru saja membuka laptop saat ketiga muridnya sampai. Salma dan Sisil diantar supir, serta Anesh membawa Scoopy merah kesayangannya.

Rendra sudah menyiapkan beberapa lembar soal sebagai bahan latihan murid-muridnya. Sementara ketiganya mengerjakan, Rendra sibuk di depan laptop. Namun dalam kesibukannya, Rendra diam-diam memperhatikan gerak-gerik Anesh, murid misteriusnya.

Interaksi antara Anesh dan kedua sahabatnya tampak sangat minim. Kalau Salma dan Sisil cerewet membahas soal demi soal, dan Rendra menyahut saat keduanya buntu, Anesh hanya menyimak sembari sesekali menghela napas dalam. Kadang tak sengaja mata keduanya bertemu pandang, Rendra bisa melihat binar semangat sudah tidak ada di sana. Sangat berbeda dengan saat dua hari kebersamaan mereka di Jogja.

Rendra jadi merangkai spekulasi, apakah gadis ini sudah tahu masalah di sekolah yang menimpanya? Tampaknya ia memang harus segera mengajak si murid misterius ini untuk bicara dari hati ke hati. Sebelum makin banyak orang di sekolah tahu akan dark side Anesh dan fatalnya ketua yayasan juga tahu sehingga kesempatan Rendra makin sempit.

Tak terasa waktu cepat berlalu, dua jam berkutat membagi konsentrasi antara menyelesaikan rancang bangun perusahaan Bayu, dan membimbing murid-murid mengerjakan latihan soal, mau tak mau membuat otak Rendra seakan mengepul. Langit yang menggelap di luar sana ternyata menyambut pamit trio absurd dengan titik-titik air hujan. Tak masalah bagi Salma maupun Sisil karena keduanya sudah dijemput Pak Warto dengan mobil. Namun bagi Anesh hal itu seakan jadi malapetaka.

"Tunggu hujan reda dulu, Pascal. Kebetulan saya pengin ngobrol sebentar sama kamu. Bisa, kan?" Rendra menempelkan lengan ke kusen pintu kamar kosnya, tubuhnya miring bertumpu di sana. Iris legam lelaki ini memandang lurus ke arah Anesh yang membangun tameng dari dinginnya udara dengan bersedekap. Pandangan gadis ini sayu menatap langit, seakan meratapi hujan yang datang, menepis kesempatan untuk segera pulang.

Untuk ke sekian kalinya Anesh menghela napas lalu berbalik. Gadis ini menggigit bibir bawah sebentar sebelum memenuhi permintaan wali kelas kecenya, yang sudah berpindah posisi menjadi duduk manis di teras kamar. Dag dig dug tak karuan rasa di dada, seperti biasa saat harus berdua saja dengan Pare, ditemani suara baritonnya yang tegas tapi lembut menyapa sampai ke hati.

Tak sepatah kata pun terbit dari bibir Anesh untuk menjawab Rendra, tubuh yang ia letakkan di kursi panjang depan kamar pun tergeming saja. Perlahan anggukan tipis akhirnya tergaris, seperti sebuah kode untuk Rendra agar memulai apa pun yang seharusnya berniat dimulai.

"Pascal, apa kamu yakin tidak mau menceritakan sesuatu pada saya? Saya lihat kamu sepertinya sedang tidak semangat? Ada apa? Ada yang bisa saya bantu?" Rendra duduk berjarak setengah rentang tangan menghadap ke udara bebas tapi kepalanya menoleh ke arah Anesh. Tone suaranya ia buat bebas dari nada menuntut, pelan dan lembut tapi tetap terdengar meski harus melawan suara kecipak air hujan yang menghantam bumi.

"Saya nggak papa, Pak. Cuma lagi nggak mood aja." Anesh menunduk dalam seakan menyembunyikan apa pun yang bisa Rendra deteksi dari raut ekspresinya.

"Kamu ingat saat pertama kali kita ngobrol di warung steik?"

"Iya, Pak?" Anesh sedikit mengangkat dagunya, menahan keinginan untuk melihat tatapan teduh Rendra yang pasti bisa meruntuhkan pertahanannya. Dari ekor mata Anesh bisa merasakan Rendra mendengkus pelan sembari meluruskan punggung di sandaran kursi. Tekanan oleh punggung Rendra ikut Anesh rasakan di ujung berbeda.

"Kamu tidak mau membantu saya biar jadi guru yang baik? Setidaknya sampai tugas saya selesai di sekolah kamu."

Rendra teramat paham, ia tidak bisa memaksa siapa pun, termasuk Anesh untuk memenuhi permintaannya. Namun entah dorongan kuat dari mana ia merasa harus melakukan pemaksaan ini. Permintaan berulang yang sebenarnya tidak Rendra sukai karena membuatnya terkesan agresif, apa lagi ini berkaitan dengan perasaan makhluk yang bernama perempuan.

"Maafkan saya, Pak. Bukannya saya nggak mau bantu Bapak, tapi memang nggak ada yang bisa saya ceritakan." Dan tekad Narendra yang sekuat hempasan ombak di laut lepas pun bertemu dengan batu karang yang kokoh berupa pendirian Anesh.

"Soal Raya, pemalak ATM kamu? Soal Tejo, manajer kamu? Saya tahu mungkin saya bukan orang yang tepat untuk mencari solusi atas apa pun yang kamu hadapi sekarang. Tapi setidaknya biarkan saya mencoba, Pascal. Saya sudah bilang, kan, rahasia kamu aman sama saya. Tanggung jawab yang diberikan sekolah untuk saya, ditambah lagi dari Papa kamu, itu membuat saya tidak bisa diam saja. Saya sudah tahu semua kecuali bagian yang kamu sembunyikan. Jadi apa kamu tidak berniat membantu saya?"

Rasa sesak di dada Anesh makin mengimpit saat kalimat demi kalimat penuh tekanan dari Rendra meluncur begitu saja. Anesh mengerjap dan di saat bersamaan beban berat seperti lolos dari jiwanya bersamaan dengan jatuhnya bulir air mata. Bibir gadis ini gemetar menahan agar isakan tidak keluar dari sana. Sampai di suatu waktu beban itu kembali datang, memaksa Anesh untuk menggenangi pipinya dengan air mata.

"Air mata kamu itu sudah cukup mewakili kalau kamu sebenarnya butuh bantuan." Rendra terdiam sejenak, menimbang-nimbang sesuatu lalu menghela napas dalam-dalam sebelum akhirnya melanjutkan kalimatnya.

"Hari Senin kemarin Ibu Kepala Sekolah memanggil saya. Ada kemungkinan akan diteruskan dengan memanggil Papa kamu ke sekolah. Mungkin kamu sudah tahu alasannya. Saya coba mengulur waktu sampai saya bisa jadi orang yang kamu percayai. Apa kamu tidak bisa membantu saya?"

Kalimat Rendra terasa bagai petir yang menyambar. Keresahan Anesh setelah mendapat luka tipis di pelipis akhirnya terjawab. Ternyata amplop itu juga dikirimkan ke sekolah. Lalu apa tadi yang guru kecenya katakan? Mencoba mengulur waktu? Sepertinya apa pun yang sedang diusahakan Pare saat ini tetap tidak akan bisa menyelamatkan Anesh.

Anesh menggeser lututnya serong ke arah Rendra. Di tengah kegalauan yang menimpa, akhirnya emosinya merangkak naik juga. Anesh sudah tidak kuat lagi menahan sesak di dada, alhasil jebol juga bendungan air mata, tumpah ruah sekaligus di hadapan Rendra. "Saya nggak bisa, Pak. Saya terikat, saya takut, saya nggak bisa. Bapak tahu persis itu bukan keinginan saya. Saya benci jadi Acid tapi saya harus. Saya nggak bisa menolak."

Sungguh hati Rendra seperti tersayat sembilu saat mendengar muridnya terisak pilu. Parahnya lagi, air mata itu datang akibat sesuatu yang tidak dilakukannya. Tangan Rendra tergerak, ingin sekali Rendra mengusap genangan basah di bawah mata gadis di hadapannya. Namun urung, Rendra mengepalkan jemarinya seakan menahan sesak yang sama. Geram, emosi lelaki tegap ini ikut memuncak bersamaan dengan rasa peduli yang menjadi-jadi.

"Apa ada yang mengancam kamu? Kamu tidak usah takut. Ada saya, Pascal, saya akan melindungi kamu. Kamu percaya, kan, sama saya?" Entah harus bagaimana lagi Rendra berusaha meyakinkan Anesh, pikirannya buntu. Kalau saja ini Mita, pasti Rendra sudah merengkuh tubuh rapuh itu ke dalam peluknya. Menularkan kehangatan dan ketenangan lewat getar di jantung yang bahkan sudah meningkat frekuensinya.

"Taruhan saya terlalu besar, Pak. Saya nggak bisa."

Anesh menggeleng pasrah, banyak sekali pikiran berkecamuk di otaknya. Terutama tentang kebahagiaan sang Papa dan ancaman Vina yang akan menjualnya ke pria hidung belang. Apa lagi yang bisa ia perjuangkan? Harga diri adalah hal yang paling ia jaga sebelum ini, setidaknya harga diri di depan warga sekolah. Saat ini pun memang hal itu sudah tak dipunyai, sekolah sudah tahu semua. Namun paling tidak Anesh tidak ingin masa depannya hancur karena terperosok lebih dalam di dunia prostitusi.

"Oke. Kamu belum sepenuhnya memercayai saya. Satu hal yang kamu harus ingat, Pascal. Di sini kita saling membutuhkan bantuan satu sama lain. Kamu tidak bisa sendirian, saya pun tidak. Jadi tolong, pikirkan sekali lagi."
















SoloCity, March, 30th, 2019.
At 18.36 WIB.

















Apakah Anda semua merasa tulisan ini bertele-tele?
Sama, Nath juga, hahaha! 😁 😂 😂

Jangan lupa vote dan komen yang buanyak! 😁

Udah gitu aja.

Enjoy.
Nath.🍁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top