15. The New Boss (2)
Suasana malam di kota Jogja yang dingin tak serta merta menyurutkan semangat Rendra untuk bekerja. Ditemani secangkir teh lemon hangat lelaki ini mulai membuat rancangan anggaran untuk set up bangunan branch office Bayu. Sesekali tampak pelayan hotel dengan pakaian khas setelan hijau-hitam lalu lalang melayani konsumen yang juga sedang menikmati malam di lobi hotel.
Lemon tea hangat Rendra sudah berubah agak dingin ketika akhirnya muncul sosok Acid dari koridor kamar, berjalan menghampiri tempat duduk Rendra. Gadis ini mengenakan celana katun dengan kerut di pergelangan kaki dan kaus kuning bermotif jeruk sunkist, terlihat menggemaskan di pandangan Rendra. Kalau itu Mita, Rendra pasti tak akan segan untuk tersenyum lebar sembari memuji penampilannya.
"Harus pakai make up seperti itu, ya? Kan jam kerja kamu sudah habis." Rendra melirik sosok Acid yang berdiri di hadapannya berjarak selebar meja dan kursi.
Rendra berharap menemukan wajah natural tanpa make up dari seorang Acid, karena berbagai dugaan yang bermain di pikirannya. Akan tetapi kandas, karena ternyata gadis yang sudah menemaninya seharian ini kembali memoles wajah. Tentu saja, mana mungkin Acid berani menghapus make up-nya, sudah tergambar jelas apa tujuan si gadis melakukan hal itu di pikiran Rendra.
"Tuntutan profesi, Om. Buktinya ini saya masih kerja buat laporan yang Om minta," sahut Acid sembari menarik kursi mundur beberapa inci, mencipta ruang untuk menyelipkan tubuh rampingnya di sana. Hatinya masih saja ketar-ketir, menebak-nebak, sebenarnya apa yang ada di pikiran guru kecenya ini. Tanpa ingin berspekulasi buruk, akhirnya Acid mempertahankan make up di wajah, hanya untuk membuat hatinya sedikit tenang.
"Saya tidak menuntut, kalau yang kamu maksud itu profesi sebagai asisten saya. Gimana tawaran saya tadi?" Rendra tampak serius memindai layar laptop, meneliti laporan perjalanan dan notulensi meeting yang beberapa menit lalu dikirim Acid ke email-nya. Tangannya bergerak-gerak di atas mouse optik sesuai dengan gerakan bola mata yang mengikuti kursor. Sesekali juga mengalihkan pandangan ke Acid yang sedang sibuk menulis laporan di aplikasi microsoft office ponselnya, mencocokkan tulisan-tulisan di layar 5,5 inci dengan lembaran-lembaran kecil bukti pembayaran.
Sebenarnya di awal saat Rendra bertemu Acid di stasiun, sudah ada keyakinan bahwa gadis yang sedang sibuk di depannya ini, adalah gadis yang sama dengan yang ditemuinya di sekolah. Pascal. Rendra sudah mengecek nomor ponsel yang diberikan Tejo, dan nomor itu sama dengan yang disimpan dengan nama Astrid D. P. di ponselnya. Rendra ingat betul kalau ia menyimpan nomor Pascal saat menemukannya di pengumuman kehilangan liontin beberapa waktu yang lalu.
Diperkuat dengan Acid yang keceplosan memanggilnya 'bapak' saat malam ia berada di Lada Bar and Kitchen. Terkadang kecerobohan hakiki yang ada pada muridnya itu membuat Rendra geleng-geleng kepala sendiri. Rendra merasa belum perlu membuat Acid shock sehingga masih setia dengan peran sebagai si Ludwig, pengusaha konstruksi, alih-alih menangkap basah Acid dengan dugaan yang sudah ia yakini seratus persen benar. Lagi pula, Rendra masih ingin mengenal personality muridnya melalui Acid pun sebaliknya, siapa tahu ada hal baru yang bisa ia temukan nanti.
"Tawaran yang mana, Om?" Acid mengangkat wajah sejenak dari layar ponsel yang sedari tadi ditekuri. Jelas sekali wajah dengan ekspresi mengira-ngira terlihat di sana. Pantulan sinar lampu lobi hotel yang justru membuat iris cokelat Acid makin terlihat cerah, tak dapat dimungkiri membuat Rendra terus saja mengingat mantannya.
Setiap kali panggilan 'om' meluncur, risih rasanya terdengar di telinga Rendra. Niat untuk memojokkan Acid jadi semakin bulat bersarang di hati lelaki ini, hanya saja ia tak tega untuk mengeksekusi. Lagi-lagi kelemahan terekspos, Rendra memang paling tidak bisa menghadapi kesulitan wanita, takut naluri menolongnya terlalu menguasai, takut kepanikan melanda dan berujung keteledoran. Walaupun sikap Rendra belakangan ini jelas sudah mengkhianati, kalau sadar tidak bisa menghadapi wanita kenapa justru mencipta kesempatan untuk bersua?
"Ya kamu jadi asisten saya. Kerja sama saya. Daripada jadi model. Saya lihat notulen kamu lumayan rapi, catatan perjalanan kamu juga detail."
Rendra tidak sedang menjilat agar permintaannya diluluskan. Ia jujur tentang laporan Acid yang menurutnya runtut, logis, lengkap, dan detail, pas dengan seleranya. Rendra sama sekali tidak melihat ada peran kecerobohan di sana. Mungkin karena pelaksanaan dan pembuatannya beriringan. Atau mungkin juga karena Acid merasa di bawah tekanan sehingga malah bersemangat membuat karya yang mendekati sempurna.
"Om pikir saya punya pilihan?" Acid terdiam sejenak lalu menghela napas tanpa menggeser pandangan sedikitpun dari ponsel, kepalanya setia menunduk sejajar dengan layar menyala yang ia letakkan di meja. Terasa seperti ada yang menusuk ulu hatinya dengan belati imajiner saat mengingat sebab utama ia menjalani pilihan ini, perih. Luka yang timbul dengan mudahnya mendorong air mata Acid berkumpul di pelupuk, lalu segera ditahannya agar tidak jatuh dan menggenang. Rasanya tidak pantas kalau air mata ia tunjukkan ke Pare saat ini.
Jawaban Acid mau tidak mau menggelitik logika Rendra. Pertanyaan yang sedari kemarin berputar di benak lelaki ini mungkin akan segera terjawab. Karena baginya sangat tidak masuk akal kalau Pascal menjalani profesi sebagai model hanya untuk uang, melihat kondisi keluarganya yang cukup terpandang. Rendra berani bertaruh, Papa Pascal pasti tidak tahu kalau anaknya menjalani profesi sebagai model. Lelaki tegap ini yakin, setahu Papanya, Pascal adalah anak manis dan cerdas, serta tidak mungkin macam-macam.
"Memangnya kamu tidak punya pilihan?" Rendra makin tertarik menyelisik, rasa ingin tahunya membuncah, memenuhi ruang di otak dan menggiring rasa lain yang otomatis juga meninggi. Rasa peduli.
"Kalau saya bisa memilih, saya nggak bakal milih profesi ini, Om." Acid merasa saat ini sikap Rendra sudah tipis bedanya, baik padanya sebagai Acid maupun sebagai Pascal. Apa ini berarti bahwa Pare sudah tahu yang sebenarnya? Pare bukan orang bodoh yang tidak bisa melihat kesamaan antara penampilannya saat di sekolah dan saat menjadi 'abnormal' begini, bukan?
"Kenapa kamu tidak bisa memilih?" Rendra sudah menggeser laptop yang tadi berada tepat di depannya, rasa penasaran sudah benar-benar menguasai sekarang. Saat lelaki ini fokus ke Acid, saat itu pula Acid merasakan hangatnya perhatian. Tatapan teduh Rendra seperti membawanya ke suasana saat mencurahkan isi hati pada sang Papa.
Enough!
Acid rasa ini sudah terlalu jauh. Ia lepas kontrol, terbawa perasaan sampai berpikir yang bukan-bukan. Acid menggeleng pelan lalu menahan napas sejenak sebelum melancarkan skak mat ke wali kelas kecenya.
"Kenapa Om kepo banget sama hidup saya?" lirih Acid separuh protes, separuh lagi deg-degan. Jantungnya seakan dipaksa memompa lebih cepat, di satu sisi ia ingin terus menghangat karena kepedulian dan perhatian Rendra. Namun di sisi lain, ia memaksa agar tidak membuka kisah hidupnya terlalu lebar. Ancaman Vina bukan ancaman kaleng-kaleng, ia tidak siap jika harus menelan pil pahit akibat tidak mengindahkan ibu tirinya.
"Sorry, I just wanna help," gumam Rendra kemudian, lebih ditujukan pada diri sendiri, walaupun yakin Acid juga mendengar suaranya.
Semakin malam, udara menjadi semakin dingin, seakan menyesuaikan dengan suasana hati dua insan yang sedang berkutat dengan pekerjaan masing-masing di meja yang sama. Berkali-kali Acid menggosok lengan telanjangnya agar lebih hangat. Rencana makan malam yang sedianya mereka lakukan bersama pun mendadak berubah. Setelah selesai menulis laporan keuangan di hari ini, Acid memutuskan untuk makan di kamar. Ia takut akan hilang kontrol lagi jika meneruskan berbincang dengan Rendra.
Rendra pun menghabiskan malam dengan membuat detail konsep rancang bangun klien barunya ditemani Bayu. Mereka berdua memang sahabat yang cocok, sama-sama gila kerja atau istilah kerennya workaholic. Beberapa gelas kopi setia menemani kerutan-kerutan di dahi keduanya saat seseruan bersama membahas A sampai Z proyek mereka.
Sesekali bahasan sensitif tentang pasangan pun terlontar. Bayu sama tidak beruntungnya dengan Rendra karena sampai sekarang ia belum juga beristri tapi selangkah lebih maju karena setidaknya jelas ada yang ia tunggu. Rendra juga sempat tergelitik untuk stalking rencana pernikahan Mita, mantannya. Menurut Bayu belum ada progres pasti karena Kevin masih galau memilih akan menikah atau ambil spesialis dulu.
"Udah, ya, Bro? Gue balik hotel dulu, siap-siap terbang paling pagi," ucap Bayu setelah melirik jam dinding besar yang tertempel di dinding lobi sebelah kiri, sudah hampir pukul empat pagi.
"Oke, nanti progresnya gue kirim lewat email, lo juga bisa cek sendiri lewat aplikasi. Kayaknya gue bakal sering-sering nengok ke sini, kalau nggak sibuk sama nilai-nilai murid gue," kekeh Rendra sembari berdiri menjabat tangan Bayu lalu ber-high five tanda perpisahan.
"Lo ntar langsung balik Solo?" Bayu menjinjing tas laptopnya kemudian berjalan menuju pintu diikuti Rendra.
"Tergantung asisten gue." Senyum tipis terbit di sudut bibir Rendra, tiba-tiba ia jadi bersemangat untuk menyusun rencana hari ini dengan Acid.
"Inget pesen gue, jangan main-main sama hati, Bro. Kalau lo emang suka, seriusin. Satu lagi, Mita udah nggak bisa dipisahin dari Kevin, lengket kayak lem lalat, jadi gue harap lo segera move on. Life must go on, Man!" Tepukan Bayu mendarat di bahu Rendra, wujud support tak terhingga sekaligus empati yang dalam untuk sahabatnya.
"Santai. Salam aja buat Tante Marsha dan Om Hans. Oh, ke Mita sama Kevin juga, ditunggu kabar baiknya." Salam penutup paling damai menurut Rendra, walau hatinya seperti tercabik saat mendengar statement Bayu tentang Mita dan Kevin. Walaupun dari awal dulu ia menjalin hubungan dengan Mita, sudah tahu akan kemungkinan seperti ini. Sejujurnya Rendra masih berharap ada keajaiban menyentuh kisahnya.
Bayu benar, life must go on, entah go on dengan siapa, yang jelas sekarang Acid adalah calon paling potensial untuk mengobati luka cabikan di hati Rendra, tidak ada alternatif lain. Akan tetapi Rendra tidak sengawur itu, ia masih memegang teguh janjinya untuk memperhatikan dan menjaga Acid, sesuai pesan dari Hendra, juga tanggung jawab limpahan dari Alya. Lelaki berwajah indo ini masih setia mempertahankan tembok tinggi antara ia dan murid-muridnya, termasuk Pascal dan perempuan-perempuan lain di sekolah.
Rendra masih enggan untuk membuat celah meski sedikit bagi siapapun yang mencoba menambal kelemahannya. He think he is a strong man. Ia bisa mengalahkan kegalauan karena cinta, ia bisa melupakan mantannya. Satu-satunya yang Rendra sulit lakukan adalah menjalin hubungan dengan wanita lain yang potensial menggantikan posisi Mita di sudut hatinya. Padahal konon katanya cara itu adalah cara paling efektif untuk beranjak dari kubangan kenangan mantan.
***
Acid terbangun dari tidur panjangnya di kamar hotel. Rasa was-was sejak semalam karena takut tiba-tiba Rendra masuk dan menemukannya berantakan akhirnya luruh bersama kantuk dan lelah di tubuh. Beruntung azan Subuh yang sayup terdengar dari aplikasi Muslim Pro di ponsel gadis berkumis tipis ini bisa membawanya keluar dari alam bawah sadar.
Penunjuk menit di ponselnya perlahan tapi pasti bergerak ke angka enam saat Acid bergegas mandi dan berkemas-kemas. Pikiran buruk tentang terjebak di kamar hotel berdua saja dengan guru kecenya ternyata tidak benar-benar terjadi. Buktinya sejak ia membuka mata tadi sampai sekarang batang hidung wali kelasnya itu belum juga terlihat. Pun pintu kamar hotel yang ia pastikan masih terkunci dari dalam.
Tepat saat Acid selesai memoles bibir sebelah dalam dengan lipstik merah lalu meratakannya dengan kelingking, terdengar suara ketukan pintu. Acid pun kembali meneliti penampilan di cermin sambil menyentuhkan bibir atas dan bawah berulang-ulang, agar tercipta model ombre, model pewarnaan bibir favoritnya.
Kakinya yang jenjang masih setia terbungkus celana katun hitam dengan kerut di pergelangan, ditimpa kemeja tipis warna senada dengan aksen kuning di beberapa tempat. Sedangkan rambutnya masih dibiarkan dengan ikatan sekadarnya, belum disisir rapi. Jangan lupakan sapuan kuas eye liner di ujung kelopak mata dan lentik bulu mata karena maskara. Penampilannya hampir sempurna.
"Mau ke mana? Kok, sudah rapi?" Kalimat pertama meluncur dari bibir Rendra saat menemukan Acid di balik pintu. Aroma bayi sangat kuat tercium dari tubuh ramping di hadapannya, membuat Rendra memejam sejenak. Harum yang lumayan membuat ketagihan, mirip seperti wangi bayi Dimas yang menggemaskan. Siapa yang tahan?
"Hari ini memangnya nggak ada agenda meeting, Om?" Acid menyelipkan anak rambut yang masih berantakan ke belakang telinga sambil mundur beberapa langkah, memberikan akses pada Rendra untuk masuk.
"Ada nanti jam sepuluh." Suara Rendra kemudian menghilang ditelan suara air mengalir dari keran di dalam kamar mandi.
"Om mau sarapan dulu?" tanya Acid sopan saat beberapa menit kemudian Rendra keluar dari kamar mandi. Wajah sayu bos barunya ini tampak segar sekarang meski jejak sembab di mata masih jelas terlihat, seperti tidak tidur semalaman.
Rendra mengangguk menjawab Acid kemudian meletakkan tubuh di bed setelah menepuk-nepuk tempat itu sebelumnya. "Gantian saya yang pakai kamar boleh, 'kan? Saya mau tidur sebentar, satu setengah jam lumayan," ujar Rendra sembari melepas jam tangan lalu meletakkannya di meja yang ada di antara bed.
Sebelum Acid mengajukan protes, Rendra sudah berbicara kembali. "Nanti jam sembilan kalau saya belum bangun, tolong bangunkan. Kamu bisa sarapan duluan atau kalau mau jalan-jalan, silakan. Tapi ponsel kamu tolong tetap aktif biar saya bisa cek. Paham?"
Kalau tidur gimana bisa cek? rutuk Acid dalam hati.
Gadis ini merasa hatinya sudah pecah jadi tiga bagian, sepertiga merasa jengkel, sepertiga tak terima, sepertiga lagi memaksa maklum. Mungkin Pare memang tidak tidur semalaman karena enggan berbagi kamar dengannya. Baiklah, jadi siapa yang bisa disalahkan atas insiden pecahnya hati ini?
Baru saja Acid hendak mengangguk, lalu pamit, Rendra sudah terpejam. Tubuhnya miring ke kiri, dengan kepala menindih guling yang dipeluk ujungnya serupa bantal. Membuat wajah tanpa ekspresi lelaki ini tampak lucu karena pipi kirinya tertekan ke atas. Ada desiran aneh yang dirasakan Acid saat melihat wajah damai guru kecenya. Desiran itu membawa tarikan kecil di sudut bibir Acid diikuti buncahan rasa yang tak terdefinisi.
Kemarin Acid memang ingin sekali mengendarai mesin waktu agar segera sampai ke hari esok dan esoknya lagi, tetapi sekarang ia ingin waktu berjalan lebih lambat. Gadis ini sudah membuktikan kalau rasa was-was yang ia pelihara tidak benar-benar terjadi.
Mengenai profesi abnormal yang dijalani, ia bisa melihat esok hari, apakah guru kecenya ini akan memiliki aksi lain di sekolah. Meski yakin rahasianya akan tetap aman, ia enggan mengaku menjadi Pascal di depan Pare. Perlakuan Rendra ke Pascal memang lebih manusiawi, tapi tembok kokoh yang begitu tinggi lebih terasa membatasi. Setidaknya ketika menjadi Acid, jarak usia antara mereka tak sejauh saat menjadi Pascal. Acid diperlakukan lebih seperti wanita dewasa alih-alih anak ingusan.
Seperti kuncup bunga yang baru muncul, kepercayaan Acid tumbuh subur karena siraman perhatian dan pupuk kepedulian dari Rendra. Walaupun diakui gadis ini kalau rasa jengkel tetap menguasai. Akan tetapi ketika menyelisik lebih dalam, ia tidak punya cukup alasan untuk mempertahankan kejengkelannya.
Sudah jadi karakter umum lelaki bahwa pola pikir mereka lebih rasional. Kalau mengantuk, ya, tidur. Kalau butuh kabar, ya, jangan matikan ponsel. Kalau tidak ingin lapar lalu hilang konsentrasi a.k.a. ceroboh, ya, wajib sarapan. Logis dan simpel, seperti itulah Rendra.
Acid kembali menghadap cermin, menyisir rambut agar lebih rapi. Pantulan wajah Rendra yang sedang terlelap otomatis tertangkap mata karena Acid sedang membelakanginya. Desiran aneh itu datang lagi, kali ini diikuti degup jantung yang serupa kijang berlari. Setelah selesai memasang jepit hitam sederhana untuk menahan poni agar tak jatuh ke dahi, Acid perlahan menghampiri bed tempat Rendra sedang tertidur.
Gadis ini memperhatikan lekuk wajah Rendra lekat dari dekat. Alis yang tidak terlalu tebal tapi cukup untuk membuat kesan kaku karena bentuk yang menyudut. Kelopak mata dengan cekungan tak begitu dalam beraksen abu-abu padahal tidak memakai eye shadow, yang jika terbuka kadang bisa setajam elang atau selembut merpati. Dua ujung bibir atas tipis lancip dan bibir bawah sedikit lebih lebar, yang jika diam akan sangat menyeramkan, dan jika tersenyum akan berbalik sangat menggemaskan.
"Boleh nggak kalau Anesh juga ngefans sama Bapak seperti Salma dan Sisil?" gumam Acid yang segera diralatnya sendiri di dalam hati. Tak dapat dimungkiri, semua yang ada di wajah Rendra memiliki magnet dengan daya luar biasa untuk siapa pun wanita yang melihat. Bahkan resepsionis hotel saja sampai kesengsem. Pun dalam sikap. Acid pikir sosok Pare tak jauh-jauh dari deskripsi lelaki bertanggungjawab. Bahkan naluri Hendra mencipta kerelaan menitipkan anak gadis yang sangat dicintainya pada Narendra.
Acid sadar, cibiran yang selama ini ia layangkan ke Salma yang memuji Pare hanya sebagai kedok. Sebenarnya ia pun hampir tenggelam ke dalam pesona guru kecenya ini. Penolakan yang ia lakukan selama ini hanya sebagai antisipasi agar identitas sebagai model tersamar, ia tak ingin terlalu banyak berurusan dengan Pare karena pertemuan pertama mereka yang sungguh memalukan.
Siapa sangka ternyata takdir malah membuatnya selalu berurusan dengan Pare? Apa lagi yang bisa ia tutupi dari Pare? Sedangkan identitas sebagai Acid sepertinya sudah jelas terbongkar.
Acid tersenyum sekali lagi sebelum menarik diri dari lautan kekagumannya pada Rendra. Semu merah pada pipinya sudah cukup mewakili rasa malu karena pengakuannya baru saja. Dengan langkah ringan gadis ini pun beranjak dari kamar, berharap sekali lagi agar akhir hari ini tak segera datang. Berharap sekali lagi agar ia masih dapat merajut kisah bersama Rendra, karena sibuk dengan lelaki ini membuatnya lupa sejenak akan penatnya suasana rumah yang dihiasi tekanan ibu tiri, serta ruwetnya suasana sekolah yang dihantui ancaman Raya.
***
Hari yang sama di pukul delapan malam keduanya sudah kembali menjadi penjelajah kota setelah menyelesaikan beberapa meeting dan survei lokasi. Rendra pulang ke Solo dengan gusar karena kecerobohan Acid untuk ke sekian kalinya membuat lelaki ini harus berjuang naik bus kota. Jadwal kereta terakhir dari Jogja tidak terkejar karena terlambat memesan tiket.
Rendra sama sekali tidak mau mengisi perut sebelum naik bus, Acid sampai berulang kali meminta maaf atas keteledoran yang menyebabkan Rendra gusar. Kesialan datang bertubi, mereka berdua mendapat tempat duduk paling belakang yang Rendra ketahui sebagai tempat terlarang untuk pemabuk sepertinya. Lengkap sudah penderitaannya kali ini.
Setengah jam pertama Rendra masih terlihat baik-baik saja, hanya wajahnya yang berangsur memucat. Seperempat jam berikutnya produksi air liur lelaki ini mulai naik, diikuti lekum yang naik turun efek menelan dan menimbulkan rasa makin tak nyaman pada perut. Belum lagi rasa terganggu akibat lendir yang seperti tersangkut di tenggorokan, membuat keringat dingin mengalir karena menahan agar tidak muntah.
Alhasil Rendra hanya bisa pasrah, bersedekap di pojok sambil memejam agar rasa mual yang bahkan sudah dirasakan sebelum berada di dalam bus dapat tersamar. Dalam hati Acid sempat merasa geli, masa iya orang seperti Pare tidak bisa naik bus kota? Namun setelah melihat benar kondisi guru kecenya, mau tak mau ia gelisah juga.
"Om pakai ini coba, agak ditekan sedikit biar enakan." Acid menjejalkan ranselnya ke perut Rendra lalu dengan takut-takut memindah tangan Rendra agar memeluk benda itu. Rendra hanya menggumam tak jelas, pasrah dengan perlakuan Acid dan tak mau membuka mata sedikit pun.
"Harusnya tadi Om makan dulu, kena AC begini, perut kosong, bisa masuk angin. Kalau mabuk perjalanan, kan, bisa minum obat anti mabuk. Harusnya tadi Om bilang alasan nggak mau pakai bus, kan, saya bisa beliin obat dulu," bisik Acid yang ditanggapi Rendra dengan mengeratkan pelukan pada ransel, ternyata menekan perut jadi salah satu alternatif solusi mencegah mabuk berkepanjangan.
Acid jadi paham kenapa beberapa kali memesan ojek online Rendra meminta dua motor, bukan satu mobil. Tadinya yang ada di pikiran Acid, Rendra enggan berada dalam satu ruang tertutup dengannya, tapi ada fakta lain dari Rendra yang baru ia ketahui. Guru kecenya ternyata punya pantangan yang menurut Acid lucu dan 'nggak banget'.
Akhirnya sisa perjalanan dinikmati keduanya dalam diam. Acid diam dalam kewaspadaan menjaga bos barunya, Rendra diam entah tertidur atau memaksa abai pada apa pun di sekitarnya. Pada seseemak yang sibuk membicarakan tentang pernikahan Syahrini di kursi depannya, pada kondektur bus yang mondar-mandir seperti setrika, pada penumpang di samping Acid yang sibuk dengan gawai, dan lain sebagainya.
Sampai akhirnya bus yang mereka tumpangi berhenti di koridor terminal Tirtonadi, tujuan akhir trayek. Keduanya lalu turun dalam diam. Acid masih takut mengajak Rendra bicara karena apa pun yang keluar dari mulutnya pasti diikuti kata maaf, efek rasa bersalah masih saja tersisa. Pun raut wajah guru kecenya yang terlihat tidak karuan, muram, kusut, pucat, kombinasi antara menahan gusar, lapar, dan mual.
Setelah berada radius ratusan meter dari bus, Rendra baru bisa bernapas lega. Keduanya lalu duduk di ruang tunggu terminal bagian luar yang difungsikan sebagai titik penjemput bagi keluarga penumpang, terdapat banyak kursi stainlis rendah, bersih dan nyaman, cocok sebagai pelepas penat.
"Kamu pulangnya gimana?" tanya Rendra sembari meluruskan punggung di sandaran kursi, lemas setelah susah payah menelan sisa lendir yang mengganggu di kerongkongan.
"Saya dijemput Salma, Pak, sama supirnya." Acid sedang sibuk merapikan isi ransel yang tadi sempat tak karuan karena beralih fungsi sebagai bantal pengganjal perut.
"Nama teman kamu sama seperti nama teman murid saya." Rendra menggeser sedikit tubuhnya ke bawah lalu menggunakan ujung sandaran kursi untuk memijat tengkuk. Matanya memejam dengan bibir tersenyum tipis. Acid yang baru sadar telah melakukan kecerobohan tiba-tiba menutup mulut yang lancang menyebut nama Salma, matanya pun terbelalak kaget.
Bego, Nesh! Kamu begoooo!
"Terima kasih sudah menemani saya dua hari ini. Saya harap kamu tidak kapok kalau lain kali saya sewa lagi." Dengan wajah tengadah Rendra masih setia menggoyang-goyangkan leher belakangnya ke ujung sandaran kursi, rasanya nyaman karena urat leher yang kencang berangsur mengendur.
"Enggg... Iya. Salma udah datang, saya permisi, ya, Om. Eh, Pak." Acid meringis menyesali kebodohannya lalu menggendong ransel, bersiap ngeloyor pergi, ke mana pun asal tidak di dekat Rendra. Bahkan kalau bisa Acid ingin sekali bumi menelannya saat ini juga.
Rendra menegakkan tubuh, meremas perutnya yang masih terasa mual, lalu bergumam, "Hati-hati, Pascal." Ekor matanya bergerak mengikuti gerak-gerik murid misteriusnya yang mengangguk sopan lalu tergesa pergi, meninggalkan kekehan kecil dan gelengan kepala atas kecerobohan yang Pascal lakukan untuk ke sekian kali.
SoloCity, March, 09th, 2019.
At 20.19 WIB.
Part ini kebablasan nulisnya..
Maap kalau kepanjangan.. 😁
Jujur Nath merasa belibet banget di part ini, banyak yg ingin ditunjukkan, antara pengin detail plus bangun suasana, tapi jadinya kok kayaknya malah ngebosenin, ya?
Apakah ada yang nemu kekurangkonsistenan karakter?
Drop pendapatmu tentang part ini, dong, Cintaaaah..
Give me a reason, kenapa kudu lanjutin lapak ini, wkwkwkwk 😂
Jangan lupa tekan bintangnya, ya, kamu..
Komen yang banyak..
Enjoy.
Nath.🍁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top