11. Nyctophobia

Rambut Rendra masih agak basah karena air wudu asar, walau tadi sudah dikeringkan dengan sapu tangan yang selalu tersimpan di kantong celananya. Bel pulang sekolah baru saja berbunyi. Kebetulan lelaki ini tidak ada kewajiban mengajar di dua jam terakhir, jadi memilih bekerja dengan laptopnya di ruang guru ditemani jahe hangat pereda nyeri di ulu hati.

Beberapa kali lelaki tegap beriris legam ini menerima telepon dari Pak Edi selaku site manager di proyek rumah sakit terbaru yang sedang ditangani. Selain itu, juga berkirim surel dengan dr. Kevin dan stake holder lain yang bekerja sama dengan Rendra untuk pendirian bangunan rumah sakit milik dr. Dewangga, calon mertua Mita, mantannya.

Atas nama profesionalitas, Rendra bisa bersikap layaknya dengan klien lain pada dr. Kevin, tapi, saat mengingat bagaimana proses move on-nya yang sampai sekarang masih berlangsung, terkadang lelaki ini kesulitan meredam emosi.

Rendra memang tipe lelaki setia. Pengalamannya tentang hubungan dengan wanita baru ia dapat dari Mita. Sempat berpacaran jarak jauh, Bandung-Surabaya, kemudian ditinggalkan begitu saja, lalu bertemu lagi bahkan sudah hampir menikah, dan akhirnya harus merelakan wanita yang dicintai lebih bahagia bersama dr. Kevin.

Kisah itu membuat Rendra enggan menjalin hubungan yang sama. Walau Alyssa, adik satu-satunya, sudah bertekad tidak akan menikah sebelum Rendra mendapat pengganti Mita, hal itu tidak serta merta memberikan pengaruh akan kisahnya. Rendra sepenuhnya sadar bahwa masalah hati memang tidak bisa dipaksa untuk mencinta, itulah sebabnya ia merelakan Mita. Lalu apakah ia harus memaksa mencari wanita lain padahal ia sendiri masih belum bisa dipaksa berpindah ke lain hati?

Pun tentang gadis ajaib, yang memeluknya di lift hotel dan ditolongnya di bar. Rendra seperti tertampar ketika merasa bahwa pikirannya terus terkoneksi dengan sosok cantik itu. Iris cokelat, wajah imut, kecerobohan, dan semua hal tentang si gadis benar-benar membuat Rendra gagal move on. Yah, semata-mata karena kemiripannya dengan Mita, Rendra belum menemukan alasan lain.

Beberapa kali saat senggang Rendra mencoba menghubungi nomor si gadis, tapi ajaibnya tidak pernah tersambung. Padahal jelas-jelas ia sendiri yang menyimpan nomor gadis itu di ponsel, mengetikkan nama Narendra, dan memasukkan nomornya ke ponsel si gadis. Main number biasanya diletakkan di SIM pertama, bukan? Bodohnya Rendra tidak menyimpan nomor di SIM kedua.

Lalu tentang percakapan yang ia dengar sekilas antara Pascal, dan seseorang yang diketahui sudah dua kali memeras murid spesialnya, entah kenapa seperti menuntun Rendra ke sebuah fakta. Rendra masih harus mencari tahu, dan itu berarti intensitas pertemuannya dengan Pascal harus ditingkatkan, walau ia tetap ingin menunggu sampai Pascal benar-benar mau terbuka tentang masalah yang dihadapi.

Setidaknya bincang-bincang dengan Pascal beberapa sore yang lalu bisa menjadi awal yang baik. Meski banyak sekali asumsi dan prediksi berjejalan di otak, Rendra harus menahan. Agresif bukan gaya Rendra, tapi kenapa kali ini rasa kepo menguasainya? Mungkin karena tanggung jawab baru yang dijalani, yah, lelaki ini mencoba meredam rasa dengan pikiran positif. Semoga ke depannya ia tetap pada jalan yang lurus tanpa belok ke mana-mana.

Rendra kembali mengelus dada, rasa terbakar di sana sudah sangat berkurang. Rencana pagi tadi sepertinya sudah bisa dijalankan. Sore ini ada ekstrakurikuler karate di sekolah, membuat Rendra mengingat kembali percakapannya dengan Akbar, Waka Kesiswaan, kemarin.

"Besok sore, kan, ada ekstra karate. Kebetulan belum ada pembina dari sekolah. Njenengan, saged, ta, Pak? Itung-itung olahraga, sambil refreshing juga."

"Dogi saya di Surabaya, Pak, masa saya latihan karate pakai kemeja, malah ditertawakan anak-anak nanti." Inilah salah satu keahlian Rendra, ngeles dengan kejujuran, karena kenyataannya Rendra sudah lama tidak bergelut dengan olahraga beladiri satu ini setelah cidera lutut yang dialaminya. Entah di Surabaya bagian mana dogi miliknya disimpan.

"Dogi gampang, Pak. Itu OSIS punya inventaris satu. Nanti saya ambilkan. Yang penting njenengan sanggup dulu, pembina ekstra juga ada fee-nya, Pak, jangan khawatir."

Bukan masalah dapat fee atau tidak, tapi karena Rendra sudah cukup banyak pekerjaan yang bahkan membuat kondisi kesehatannya menurun, masa mau ditambah lagi? Bukan tanpa alasan juga Akbar meminta hal ini pada Rendra, karena Akbar tahu bahwa Rendra adalah pemilik sabuk cokelat di beladiri karate. Dan, pada akhirnya, Rendra yang harus merelakan beberapa jam waktunya untuk memenuhi permintaan Waka Kesiswaan, yang juga adalah salah satu atasannya di sekolah.

Matahari sudah mulai condong ke barat, mendung masih setia menggelayut di langit sejak siang. Cuaca yang begitu pas untuk bermalas-malasan sebenarnya, tapi Rendra memilih menutup laptop dan bergegas mengganti kemeja dan celana dengan dogi, baju latihan karate yang didesain seperti kimono Jepang. Meski agak kaku karena dogi inventaris sekolah yang Rendra pakai guna bahan sogokan dari Akbar, toh ia tetap terlihat menawan.

Puluhan murid junior maupun senior yang ikut kegiatan karate sudah berjajar di lapangan outdoor, bersiap melakukan upacara sebelum memulai latihan. Rendra lalu menempatkan diri di barisan sebelah kiri, bersanding dengan pelatih bersabuk hitam setelah memberi hormat seperlunya. Setelah mengikrarkan sumpah karate dan prosesi upacara lengkap, latihan pun dimulai.

Beberapa kali Rendra menangkap sosok Pascal mengenakan dogi berbalut sabuk putih, gadis ini ikut ekstrakurikuler karate juga ternyata. Namun Rendra tidak menemukan kedua teman Pascal yang biasa mengikuti ke mana pun. Artinya, rencana untuk lebih mendekat ke Pascal ia rasa jadi selangkah lebih mudah. Setidaknya Rendra tidak perlu mencari-cari alasan untuk mencipta suasana. Menjadi pendidik memang tidak semudah yang dipikirkan, mendadak Rendra jadi kagum dan mengingat-ingat siapa saja guru yang berjasa mengantarnya menjadi sosok yang sekarang.

Tepat saat latihan diakhiri, langit seakan membabi-buta menumpahkan air ke bumi. Hujan deras melanda membuat kalang kabut puluhan manusia yang masih berbaris di lapangan outdoor. Ada yang menepi ke kelas, ada yang berlari ke selter penonton, dan ada yang memilih menikmati hujaman titik air dengan berjalan santai keluar sekolah.

Rendra sendiri bergegas membersihkan diri lalu mengganti dogi-nya dengan kaus bola yang dibawa sebagai baju ganti. Azan Magrib pun membawa lelaki ini sejenak bersujud menghadap Sang Pencipta di musala sekolah. Cuaca yang tidak bersahabat tadi membuat Rendra kehilangan jejak Pascal, ia tidak bisa menemukan sosok semampai itu di mana pun.

Telepon dari Pak Edi untuk ke sekian kalinya mengurungkan niat Rendra untuk memesan ojek online ke kos. Alih-alih bersiap pulang, Rendra justru membuka kembali laptop untuk mengirimkan email pada site manager-nya. Hawa dingin mulai menusuk, sendi lutut Rendra yang pernah cidera jadi linu lagi karenanya. Cidera ini jugalah yang membuat Rendra beristirahat total dari kegiatan karate sebelum hari ini.

"Durung rampung, Pak?" Sebuah tepukan mendarat di bahu membuat Rendra kaget setengah mati. Ternyata Purnomo, sosok matang dewasa berkumis tebal dan berambut keriting yang menyapa.

"Sebentar lagi, Mas Pur. Masih ada kerjaan," ucap Rendra setelah menghela napas lega sembari mengalihkan fokus ke si Pur, penjaga sekolah yang sudah mengabdi belasan tahun dan masih single. Senasib dengan Rendra di bagian single-nya. Menyedihkan sekaligus menenangkan.

"Yo wis, meh wae lampu kene tak pateni. Ngirit listrik, Bos."

"Nanti dulu. Bayar listrik potong gaji saya boleh, kok. Tapi biaya satu jam saja." Rendra terkekeh sendiri mendengar kelakarnya.

"Nanggung, Bosku. Sesuk wae nek dadi kepsek ngganteni Nyonyah Anggi, bayaren kabeh. Yo wis, tak keliling, sek. Gek dirampungke kui." Si Pur ikut terkekeh kemudian berlalu diiringi suara tawa Rendra yang menggema di ruang guru.

Baru sekitar lima belas menit setelah si Pur berlalu, Rendra melihat sosok ini kembali, lari tergopoh-gopoh ke arahnya yang sudah akan keluar dari ruang guru. Wajah si Pur tampak panik, tersengal menjelaskan pada Rendra sebelum diminta.

"Ada yang gedor-gedor pintu UKS dari dalam, Bos, tulung delok'en, sek. Aku arep njikuk kunci neng ruangan karo ngurupke saluran listrik sing mrono," ucap si Pur tergesa yang membuat Rendra agak bingung karena roaming bahasa, tapi cukup mengerti maksudnya. Rendra mengangguk paham lalu berlari ke UKS yang berjarak sekitar seratus meter dari ruang guru, dipandu cahaya senter dari ponselnya.

Setibanya di depan UKS, Rendra menajamkan pendengaran. Ia memang mendengar suara ketukan tapi dengan intensitas lemah, bukan gedoran seperti deskripsi si Pur, juga kalau tidak salah dengar, ada tambahan suara isakan di sana.

"Halo! Siapa di dalam?" Dengan penuh spekulasi Rendra mengetuk, mencoba memanggil siapa pun yang ada di balik pintu. Mau mendobrak pintu seperti di film-film aksi, tapi Rendra tak yakin akan berhasil. Lagipula, sebagai pengusaha konstruksi ia tahu berapa nilai kerugian jika sampai pintu UKS itu rusak.

Suara langkah cepat diiringi gemerincing anak kunci yang saling beradu kemudian sedikit menenangkan Rendra. Si Pur sudah membawa kunci, tapi kenapa kondisi masih gelap? Jangan-jangan lelaki berkumis ini lupa menyalakan listrik sekitar UKS.

Buru-buru si Pur membuka kunci pintu UKS lalu mengarahkan lampu emergency yang dibawanya ke dalam. Sedangkan Rendra mengarahkan senter ponselnya ke balik pintu, dan sesuai dugaan, ia menemukan sosok lemas bersandar di tembok.

"Astagfirulloh. Mas Pur, listriknya nggak dinyalakan sekalian?" Rendra meletakkan ponselnya lalu berlutut meneliti sosok yang mungkin pingsan itu. Saat Rendra mencoba meraih tubuh di depannya, sosok itu tiba-tiba menubruk dan melingkarkan kedua tangan ke pinggang Rendra sangat erat.

"Bapak, tolong! S-s-saya takut!" Suara parau berlomba dengan isakan meluncur dari bibir si korban yang sepertinya seorang gadis. Rendra yang kikuk karena tiba-tiba dipeluk mau tak mau mengusap kepala si gadis untuk menenangkan. Dalam hatinya menebak dan mengingat karena suara si korban terdengar tak asing di telinga. Pikiran lelaki ini dipaksa lagi untuk memutar kejadian saat gadis ajaib memeluknya di dalam lift, tempat gelap yang sama persis dengan kondisi UKS sekarang.

Apa mungkin?

"Adoh nggone, Bosku, selak panik kui bocahe. Ana sing mateni saka sumbere. Asem tenan, ki sengaja mesti, nggo nggarapi bocah. Gawa ngarepan wae, Pak, sing rada padhang," instruksi si Pur bernada tinggi membuyarkan pikiran Rendra. Memang seharusnya ia tidak melamun di saat genting seperti ini, bagaimana kalau si gadis harus segera mendapat pertolongan medis?

Dalam kungkungan lengan si korban, Rendra berusaha berdiri agar tubuh si gadis ikut menyelaras dengan gerak tubuhnya. Agak risih sebenarnya berada sedekat ini dengan orang yang tak dikenal, tapi mau bagaimana lagi? Rendra tidak mungkin mengalihkan cengkraman erat di kausnya atas nama kesopanan. Khawatir kondisi malah makin buruk.

"Oke, kita keluar dari sini, ya. Kamu sudah aman, jangan khawatir. Ada saya sama Pak Pur penjaga sekolah yang nolong kamu." Berbagai kalimat positif dan menenangkan keluar dari mulut Rendra, beradu dengan dentuman tak sopan di jantungnya. Bagaimanapun serangan kepanikan selepas latihan karate tadi membuat Rendra khawatir juga. Apalagi korbannya adalah murid perempuan.

"Mas Pur, tolong disorotin, ya. Saya nggak bisa lihat jalan. Itu ponsel saya tolong dibawakan sekalian," ucap Rendra sembari menggeser badannya ke tempat yang lebih terang.

"Siap, Bosku."

Cahaya lampu ruang guru yang mulai terlihat membuat tubuh si gadis makin rileks. Rendra merasa cengkraman di kausnya mengendur, tapi isakan masih tersisa di antara sengalan napas yang membuat dada Rendra terasa panas dalam artian yang sebenarnya. Karena di tempat itulah si korban menyembunyikan tangisnya. Betapa terkejutnya saat Rendra melepas pelukan si gadis lalu mendudukkannya di sofa ruang guru. Karena ternyata wajah milik korban kejailan murid itu adalah wajah yang sangat ia kenal.

"Pascal? Jadi ini tadi kamu?" Kerutan dalam seketika muncul di dahi Rendra. "Mas Pur, nggak ada guru cewek yang belum pulang, ya?" Fokus lelaki tegap ini teralih ke si Pur yang tengah mengedarkan pandangan ke segala penjuru ruang guru. Rendra masih bergelung dengan kepanikan yang sama, bahkan lebih tegang karena tahu ada tanggung jawab lebih berat yang sedang dibebankan ke pundaknya.

Ini Pascal, murid misterius yang sedang berusaha Rendra dekati secara personal. Ini Astrid, murid yang kelasnya ada di bawah pengawasan Rendra, seharusnya. Apa kata orangtuanya nanti kalau si anak mendapat perlakuan kurang pantas begini di sekolah? Apa kata kepala sekolah nanti kalau tahu Rendra tidak bisa menjaga murid yang diampu?

"Nggak ada. Sekolah udah sepi, Pak. Piye?"

"Itu, saya nggak bisa ngurusin kalau sama murid cewek begini. Nggak sopan. Nanti saya dikira macem-macem," bisik Rendra setelah sedikit menjauh dari Pascal. Memberikan kesempatan pada muridnya ini untuk menormalkan frekuensi denyut jantung, juga melindungi perasaan Pascal yang mungkin kurang nyaman dengan bahan pembicaraan Rendra.

"Alah, Pak. Ini darurat. Kan ada aku saksinya. Wis gek dipiyekne kui bocahe?" sahut si Pur gusar.

"Ada teh manis hangat nggak? Jangan lama-lama nyarinya, keburu saya digrebek warga nanti." Rendra serius dengan ucapannya. Lelaki ini memang parno dengan urusan perempuan seperti ini. Dilema juga antara ingin menolong tapi tetap menghargai posisi muridnya yang notabene adalah seorang perempuan, serta berkaitan juga dengan reputasi sebagai wali kelas.

"Ya Allah, sing tenang, ta, Pak! Sing selow, sing sabar. Tak carikan dulu tehnya."

Pascal sedang mengusap air mata yang masih setia mengalir di pipinya saat Rendra kembali mendekat. Isakan demi isakan masih saja terdengar, seperti hunusan pedang yang siap menelanjangi logika Rendra kapan pun. Sisi lembut lelaki ini memaksa keluar karena tak tega melihat seorang gadis tak henti-hentinya menangis di hadapannya.

"Pascal, apa yang terjadi sama kamu? Saya pikir kamu sudah pulang dari tadi." Kalau orang lain mungkin akan mengambil keuntungan dari kondisi ini, tapi tidak untuk Rendra. Lelaki tegap ini masih mempertahankan jarak dari murid perempuannya, tidak terlalu dekat tetapi juga tidak terlalu jauh.

"Saya tadi lagi ganti di UKS, Pak. Tapi tiba-tiba lampunya mati, saya mau keluar tapi pintunya nggak bisa dibuka. Saya takut gelap, Pak. Saya fobia tempat gelap."

Getaran ketakutan masih kentara di suara Pascal yang terbata-bata di antara isakan dan kegiatannya menyusut air mata. Rendra mengangguk sembari meneliti benar sosok di hadapannya sekarang. Gadis ini masih mengenakan celana karate, tapi atasannya sudah berganti jadi kemeja sekolah. Perpaduan yang sedikit aneh, tapi cukup untuk mendukung kronologi yang sudah diceritakan.

"Oke-oke, kamu sudah aman sekarang. Kamu mau diantar sama Scoopy kamu atau saya antar pakai ojol? Sudah, please, jangan menangis lagi. Selain cabe, hal yang paling membuat saya nggak kuat adalah melihat perempuan menangis." Kalau tadi serius, kali ini Rendra duarius. Kepayahan wanita memang menjadi titik lemah Rendra.

"Saya pulang sendiri aja, Pak."

"No! Kamu tanggung jawab saya. Sini kunci motor kamu, biar saya yang bawa. Rumah kamu daerah mana?" Betapa kerut yang dalam masih setia tercetak di antara alis Rendra. Pikirannya campur aduk, antara email balasan dari Pak Edi, tanggung jawabnya sebagai wali kelas, serta pembelaan apa yang nanti akan disampaikannya pada orangtua Pascal atas kejadian yang menimpa anak mereka.

"Manahan, Pak."

Bersamaan dengan Pascal yang pasrah menyerahkan kunci motornya ke Rendra, si Pur datang membawa satu plastik bening berisi teh hangat yang kemudian disodorkan ke Pascal.

"Makasih, Pak Pur."

"Besok lagi jangan pulang malem-malem. Kalau mau ke mana-mana jangan sendirian, ajak temen, atau bilang sama Pak Pur biar Pak Pur jagain."

Rendra pun sudah sedikit tenang meninggalkan murid misteriusnya dengan si Pur, mengambil Scoopy untuk kemudian mengantar Pascal pulang. Sempat ingin mengajak si Pur, tapi ditolak karena itu artinya sekolah tidak ada penjaga. Efeknya nanti mungkin akan lebih dahsyat jika Rendra nekat mengajak si Pur meninggalkan sekolah.

***

Rendra merebahkan tubuh penat di kasur kos, pandangannya terbatas pada langit-langit kamar, tapi dengan pikiran berkelana ke mana-mana. Satu fakta yang tak dapat dimungkiri membuat lelaki ini makin penasaran dengan Astrid, atau Pascal, murid misteriusnya. De javu, itu yang Rendra rasakan tadi saat gelap membatasi pandangannya di ruang UKS. Pelukan itu, aroma itu, apakah bisa kebetulan dua orang berbeda mempunyai fobia yang sama, dan kebetulan juga keduanya bertemu dengan Rendra?

Rasanya bukan kebetulan, lalu apa mungkin mereka adalah orang yang sama?

Sekian detik kemudian, Rendra memejam, berusaha menepati janji untuk sayang pada dirinya sendiri. Suasana hening, hanya terdengar suara detak jarum jam yang bergerak menuju angka sebelas. Sesekali terdengar bunyi deritan pagar yang butuh dipelumasi, tetangga kos Rendra memang sering keluar masuk larut malam. Maklum, kos keluarga, tidak ada peraturan jam malam seperti kebanyakan kos mahasiswa di sekitar kampus.

Berdecak kesal, lelaki ini tak terbiasa tidur di awal malam, alhasil mencoba terlena ditemani sang dewi tidur bukan usaha yang mudah. Bukannya lelap, pikirannya justru makin melebai tak karuan. Dengan mudahnya kilatan kejadian saat tadi ia mengantar muridnya pulang menari-nari di otak, termasuk bincang-bincang sejenak dengan Pak Hendra, Ayah Pascal.

"Maaf, Pak, saya malah baru tahu kalau Astrid ikut ekstra karate. Saya juga belum hapal dengan kebiasaan murid-murid di kelas saya." Niat Rendra untuk sekedar berbasa-basi sejenak setelah mengantar Astrid pulang, tidak benar-benar bisa terlaksana. Karena sesaat setelah Astrid naik ke kamar untuk membersihkan diri, dua cangkir kopi hitam tersaji di meja ruang tamu. Entah niat apa yang tersembunyi dari keramahan si pemilik rumah, padahal baru pertama kalinya mereka bertatap muka.

"Kemarin Anesh sempat bilang, Anda memang wali kelas baru. Wajar kalau masih dalam tahap menyesuaikan. Saya maklum. Saya juga baru tahu kalau putri saya fobia tempat gelap. Saya panggil Mas Rendra nggak masalah, 'kan? Saya belum begitu tua, kok," kekeh Hendra yang khas menambah kental suasana nyaman rumah, apalagi ditambah aroma kopi Lampung yang sangat akrab di indra penciuman Rendra. Lelaki penyuka kopi ini mana bisa menolak kenikmatan hakiki semacam ini?

"Mungkin Astrid tidak mau Bapak khawatir, atau barangkali itu bukan sesuatu yang penting bagi Astrid, Pak. Wah, silakan, Pak, senyamannya saja." Kentara sekali Rendra berusaha menyejajari keramahan tuan rumah. Bagaimanapun norma kesopanan di Kota Solo ini harus ia junjung tinggi, bukankah ada peribahasa mengatakan, di mana bumi di pijak di situ langit dijunjung?

"Ya, mungkin. Saya harap Mas Rendra bisa kasih perhatian lebih ke anak saya. Karena jujur, saya tidak tahu harus menitipkan ke siapa lagi selain ke wali kelasnya. Saya memang jarang bisa menemani anak saya ngobrol tentang studi atau kehidupan pribadinya. Mamanya juga kebetulan sibuk sama beberapa usaha kecil yang dikelola. Jadi, ya, begitulah."

"Saya akan berusaha kasih yang terbaik untuk murid-murid saya, Pak. Berbuat adil, kan, tidak harus sama semua perhatiannya, tapi disesuaikan dengan kebutuhan. Putri Bapak memang sepertinya butuh pendampingan ekstra." Otomatis Rendra teringat dengan beberapa hal yang membuatnya harus melakukan pendekatan personal pada Astrid.

Alis Hendra sedikit menyudut, seperti menyimpan tanya untuk kalimat terakhir Rendra. Namun kalimat setelahnya dari Ayah Astrid ini justru mengundang keambiguan di otak Rendra. "Bagus. Terima kasih sebelumnya. Saya serius ini, titip anak gadis saya satu-satunya sama Mas Rendra."

Meski bertanya dalam hati, maksud kata-kata lelaki paruh baya di hadapannya, toh Rendra tetap menyunggingkan senyum. Cengkerama berikutnya dilalui dengan pertanyaan-pertanyaan standar tentang identitas, pekerjaan, dan prinsip hidup. Rendra jadi geli sendiri, ini lebih seperti sesi wawancara antara calon menantu dan calon mertua daripada orangtua murid dan wali kelas.

Lagi, suara deritan pagar kos membuat konsentrasi Rendra buyar. Senyum heran masih tertinggal di sudut bibir lelaki ini saat mengingat sesi wawancara di rumah muridnya tadi. Beberapa balok beton seakan sudah ditambahkan ke pundak Rendra, tanggung jawab pada Pascal sepertinya semakin berat terhitung sejak hari ini. Terjebak dalam situasi rumit begini ternyata memang tidak nyaman.

Helaan napas dalam membawa lelaki ini meraih ponsel yang tergeletak tak jauh dari tempatnya rebah. Masa bodoh dengan tidur di awal malam. Sambil mengeratkan tautan sarungnya, Rendra menegakkan tubuh dengan jemari sibuk menghubungi nomor seseorang. Seakan yakin kalau seseorang itu belum berlayar ke alam mimpi di jam-jam kritis seperti ini.

"Al, lo belum tidur, 'kan?"

"Ya, Mas. Ada apa? Al lagi nemenin El jaga di klinik, sambil ngerjain laporan pasien."

"Lo tahu tentang fobia gelap?"

"Nyctophobia? Tahu, lah. Pasien Al ada yang kayak gitu. Emang kenapa?"

"Good. Tell me everything about... Apa tadi? Nyctophobia?"

Sepertinya malam ini Rendra akan gagal memenuhi janjinya untuk tidak begadang. Demi apa? Demi sebukit tanggung jawab yang terpaksa diembannya. Demi reputasi profesi yang sedang diperankannya. Demi seorang sahabat yang telah memercayakan nasib segelintir generasi muda di pundaknya. Ia percaya ini semua bukan sekedar kebetulan. Ada Allah yang pasti telah menyusun rapi skenario hidupnya.














SoloCity, February, 02nd, 2019.
At 20.22 WIB.













Helllaaaawww...
Pare datang menemani malam minggu kaleaaan.. 😁

Gimana-gimanaaaaa?
Masih mau lanjut?

Oiya, ada yang nggak paham sama bahasanya Pak Pur penjaga sekolah? Mau ditrenslet tapi, kok, mualesss nulisnya, wkwkwkwk.. 😁 😂

Yang nggak ngerti, langsung nanya aja, deh. Apa ada yang mau nambah trensletnya di in line comment? Heuuu....
Hehehe... 😂

Telimikicih.. 😍💖

Dah, gitu aja. Selamat membaca..


Enjoy.
Nath.🍁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top