t u j u h b e l a s

Televisi 50 inch menyala tanpa penonton. Nadin yang sedari tadi hanya mondar mandir gelisah, beberapa kali menggigiti bagian kuku jarinya. Serial drama terbaru tetang dunia pernikahan tak bisa mengalihkan pikirannya pada benda yang baru saja ia temukan di gudang penyimpanan.

"Telfon Mas Faisal," cetusnya begitu ide itu terlintas. Ia tak nyaman jika harus panik sendiri. Sayangnya, sambungan Nadin terpaksa diputus sepihak. Ia mendesah, memutar bola mata sembari bersedekap. Wanita paruh baya itu paling mengerti mengapa Faisal tidak mengangkat panggilan darinya. Kalau bukan karena operasi besar, pasti rumah sakit sedang ramai oleh pasien yang penasaran akan penyakit yang diderita.

Nadin menghempaskan dirinya ke sofa. berkali-kali ia melirik ke arah ponsel yang tergeletak begitu saja di sampingnya. Mendesah kecewa kala tak bisa mengganggu Faisal saat ini. Ia bahkan tak sadar dengan keberadaan Haikal yang turun dari lantai 2, bersiap-siap pergi ke kampus.

"Mah!"

"Astagfirullahal adzim," ucapnya sontak membalikkan badan. "Kamu toh. Jangan kebiasaan ngagetin begitu."

Haikal tergelak lebar. "Lagian Ummah serius banget mulai tadi. Mikirin apa sih, Mah?"

Nadin menggeleng cepat sebagai respons. Wajahnya dipalingkan, jemarinya memijat bagian pelipis yang serasa berdenyut makin kuat. Ia memang sering berdiskusi dengan anaknya itu, tapi untuk yang satu ini beda kasus. Nadin tak bisa menceritakan pada Haikal.

"Mending sekarang kamu berangkat aja."

"Serius?," selidik Haikal. Indranya sebagai seorang anak mencium hal tak beres yang sedang terjadi pada Nadin. "Ada yang Ummah pikirin? Mau cerita dulu sebelum aku pergi?"

Mendengar kalimat Haikal, Nadin lantas mendorong tubuh anaknya menuju pintu keluar. ia senang Haikal khawatir padanya. Tapi tetap saja, urusan ini bahkan tak boleh diketahui oleh pemuda itu. Nadin bisa saja merusak Haikal, menghancurkan segala mimpinya, bahkan dirinya dan Faisal memiliki peluang besar akan ditinggalkan Haikal.

Selama empat belas tahun, rahasia yang mereka tutupi rapat-rapat bisa saja akan terkuak hari ini.

"Nanti aku pulang habis asyar," Haikal bersuara. Begitu sampai di depan pintu, ia menyalami Nadin sebelum pergi. Gurat khawatir masih terlihat jelas di kedua bola matanya. Haikal tidak ingin pergi andai ini bukanlah janji bertemu gadis itu.

"Pergi sama Ghendis?" selidik Nadin. Ia berusaha keras menyembunyikan nada khawatir dalam kalimat barusan. Bukannya melarang anak itu menyukai seorang gadis, tapi jika benar Ghendis adalah sisa masa lalu Haikal, maka Nadin harus menjauhkan mereka berdua.

Ia bukan tipe wanita egois yang sama sekali tak mau mengalah, tak mau peduli atau memahami. Nadin termasuk ibu yang sangat sabar di mata Haikal dan Faisal, selalu mementingkan orang lain dibanding dirinya sendiri. Andai rasa penasaran itu bisa ia tekan dan tidak berakhir mencari kotak kayu tua di gudang penyimpanan, Nadin akan membiarkan Ghendis bersama Haikal.

"Bukan pergi, aku cuma bantuin dia bimbingan. Proposalnya sudah di-acc." Haikal menyisir rambutnya menggunakan jari, sambil memperhatikan dirinya dari kaca di samping pintu. "Sebagai mahasiswa dan dosen," imbuhnya agar tak menimbulkan kesalahpahaman.

Nadin tersenyum kecil. Melarang Haikal secara mendadak hanya akan menimbulkan kecurigaan. Dari awal, ini adalah kesalahannya karena menerima gadis mungil itu memasuki kehidupan mereka. Namun, membiarkan Haikal terus jatuh hingga tenggelam pada perasaannya juga sama-sama beresiko. Nadin hanya butuh waktu untuk memberitahukan kenyataan. Ia juga butuh berdiskusi panjang bersama Faisal.

"Hati-hati," gumam Nadin sesaat setelah Haikal berlari kecil menuruni tangga menuju mobil. "Maafin Ummah juga, Nak."

***

"Argani?"

"Ah, maaf, Pak. Saya melamun." Ghendis menggelengkan kepala begitu suara Haikal masuk hingga ke alam bawah sadarnya. Ia sama sekali tak bisa mengingat apa pun setelah duduk dan menyerahkan lembar halaman bab empat. Konsenstrasinya buyar, bahkan saat mengetik hasil penelitian yang ia lakukan semalam.

"Saya sudah tau." Haikal menyesap tehnya. Nggak seperti kebanyakan laki-laki yang menyukai minuman berkafein tinggi, Haikal lebih memilih untuk menghindarinya. "Masih mau lanjut atau kita disudahi saja?"

"Terserah bapak saja."

Jawaban tak biasa yang Ghendis beeikan membuat Haikal mengerutkan kening. Dua perempuan di hidup Haikal hari ini bertingkah aneh. Nadin yang tak biasanya menyembunyikan sesuatu, tadi pagi seolah menyimpan sebuah rahasia. Dan Ghendis di hadapannya, sama sekali tak terlihat bersemangat. Tak ada senyum seperti biasanya, sapaan ceria dari bibirnya, atau binar dari kedua bola matanya yang kini redup. Ghendis hanya tertunduk lesu, sembari melamun selama kurang lebih setengah jam. "Ada yang saudari pikirkan?"

Tak ada jawaban selain helaaan napas. Ghendis memalingkan wajahnya ke arah langit di luar jendela. Sementara iiu, Haikal mulai terusik kala pertanyaan-pertanyaan saat Ghendis berada di rumah sakit beberapa waktu lalu muncul di benaknya. "Bagaimana saudari bisa ada di rumah sakit waktu itu?" Haikal coba membuka obrolan.

Tapi tetap saja, Ghendis masih bertahan dengan kebisuannya. Ia tak ingin membahas, atau mungkin belum bisa percaya sepenuhnya pada Haikal. Mereka memang mulai dekat sekarang, tapi Ghendis tak ingin memiliki perasaan terlalu jauh. Anggap saja rasa panas yang menjalar di kafe saat mereka bertemu hanyalah kebetulan. Haikal tampan, pintar, badannya cukup proporsional, dan wangi. Ia rasa lumrah saja kalau jantungnya menghentak tak tahu malu. Semua wanita Ghendis yakini akan merasakan hal yang sama, saat melihat Haikal tertawa atau tersenyum lebar.

"Karena pria besar yang saya temui dulu?"

Pertanyaan mendadak Haikal sukses menarik perhatian Ghendis. Tatapan gadis itu akhirnya teralih, menusuk lurus tepat ke dalam bola mata pekat Haikal. Ia mengepalkan kedua tangan yang ada di pangkuan. "Bukan," tegasnya.

Namun, Haikal tentu tak bisa langsung percaya. "Lalu?"

"Memangnya dosen pembimbing harus mencampuri urusan pribadi mahasiwanya ya?" tantang Ghendis. Suaranya sedikit meninggi dari biasanya.

Haikal mengembuskan napas, setelah mereka beradu tatap beberapa detik tanpa berkedip. Kalimat Ghendis cukup menjelaskan jika Haikal sudah masuk terlalu dalam pada wilayah teritorial gadis itu. "Baiklah kalau saudari tidak mau menceritakannya," ucapnya sedikit kecewa.

"Sudah adzan. Mari istirahat sejenak, dan lanjutkan nanti setelah salat." Haikal membereskan dokumen-dokumen di atas mejanya. Namun Ghendis masih bertahan di posisinya.

"Argani?"

"Bapak duluan saja."

***

Ghendis mempercepat langkah kaki. Pegangannya di tali tas semakin dipererat. Ia berusaha menghindar dari orang yang mengejarnya, walaupun nampaknya usaha Ghendis sia-sia. "Saya sudah bilang, bapak duluan saja."

"Saya nggak bisa ninggalin saudari sendirian," seru Haikal santai. Kecepatan langkah kaki Ghendis tak sebanding dengan langkah besar Haikal. Tubuhnya yang terbilang mungil juga memudahkan Haikal melirik wajah Ghendis yang kesal di sampingnya. Lucu, menggemaskan.

"Bukan siapa-siapa tapi perhatian banget," gerutunya dengan alis menyatu.

Sementara Haikal terkekeh geli."Kalau suatu saat akan jadi siapa-siapa, gimana?"

Ghendis berhenti melangkah, diikuti Haikal yang kali ini berdiri di hadapannya. "Bercandanya nggak lucu."

"Saya kelihatan bercanda?"

"Euh."

"Kenapa?"

"Perut saya mual jadinya."

Haikal tertawa lebar. "Kalau jadi istri saya, saudari harus belajar cara bicara lagi."

"Dih, emang saya mau sama bapak?"

"Memang saudari nggak mau?"

Ghendis bungkam. Lagi-lagi, ia merasakan sesuatu berdesir halus mengisi ruang-ruang di hatinya. Dunia seolah berhenti memproduksi oksigen, semesta berkonspirasi untuk berhenti berputar. Pernyataan tiba-tiba dari Haikal membuatnya menjadi seperti orang bodoh.

Untuk sesaat, dunia seperri hanya dihuni oleh mereka berdua.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top