t u j u h

***

"Tante senang banget loh kamu mau datang. Ayo, Dhis dimakan. Jangan malu-malu."

"I-iya, Tan. Makasih." Gadis di seberang meja Haikal tersenyum kikuk. Berulang kali ia melemparkan kode lewat sebuah tatapan, tapi Haikal pura-pura nggak melihat.

Setelah hari itu, Ghendis benar-benar menjadi orang yang super sibuk. Pagi-pagi sekali ia sudah harus berada di kampus sebelum Haikal masuk ruangannya. Kadang kala harus menggantikan mengajar--walaupun lebih cocok dibilang mengawasi--mahasiswa yang bandelnya minta ampun saat presentasi. Ubun-ubun Ghendis kadang rasanya hampir mau meledak gara-gara menahan emosi ketika salah satu mahasiswa memberikan pertanyaab nyeleneh yang nggak tercantum sama sekali di topik pembahasan hari itu. Jangan lupakan yang paling mengesalkan adalah, diperintah ini itu oleh Haikal, tanpa ada embel-embel kata minta tolong.

Baru Ghendis sadari kalau menyetujui usulan Haikal  tentang menjadi asistennya sama dengan menjadi budak iblis. Mirip seperti judul film, tapi Ghendis rasa penyiksaannya lebih berat yang sekarang ia rasakan.

"Gimana jadi asisten Haikal, Dhis? Kerasan?" Suara jernih Nadin membuyarkan segala keluh kesah juga penyesalan dalam hatinya.

Ghendis memaksakan seulas senyum manis. Meski kondisi hatinya sedang tak baik, ia sebisa mungkin mengontrol mimik wajahnya. "Alhamdulillah, Tan. Kerasan."

Tapi bohong. Huhu.

Bersyukurnya. Mulai besok Ghendis meminta libur pada Haikal untuk fokus ujian akhir semester. Ia akan kembali bekerja setelah latar belakang penelitiannya diterima. Judul untuk skripsi sudah di-acc oleh kaprodi tiga hari lalu, dan Ghendis amat mengucap syukur saat melihat dosen pembimbingnya bukanlah Haikal. Meski setelahnya harus menelan kekecewaan begitu melirik nama dosen pembimbing kedua.

Kemudian, ketika Ghendis meminta untuk diganti dosen lain. Bapak Muhammad Ali selaku kaprodi menyatakan dengan enteng, kalau Haikallah yang meminta padanya agar menjadi dosen pendamping kedua pada skripsi Ghendis.

Astagfirullah!

Potongan brokoli yang berbalut tepung gurih memasuki mulut Ghendis. Pipinya yang membelendung sebelah dengan mimik wajah masam dan bibir merah yang mengerucut lucu membuat pria di seberang tempat duduknya reflek menutup mulut lantas menunduk cukup lama.

"Kenapa, Kal?" Nadin yang pertama kali menyadari reaksi Haikal bertanya curiga. "Masakan Ummah nggak enak?"

"Luar biasa enak, Mah." Haikal berdeham singkat. Lalu, melirik sejenak ke arah Ghendis yang menaikkan sebelah alisnya, seolah bertanya, emangnya bapak kenapa? Kemudian diabaikan dan lanjut makan.

Bekerja hampir dua bulan sebagai asisten Haikal, tidak lantas membuat Ghendis memahami jalan pikiran dosennya itu. Malah, ia sering membuat Haikal kesal karena pekerjaannya yang dibilang kurang cekatan. Yah, siapa pula yang meminta Ghendis untuk menjadi asisten Haikal? Ghendis nggak minta, tapi ditawarin. Ya namanya ada rezeki mah nggak boleh ditolak. Mubazir. Apalagi Ghendis sanggup melakukannya. Hitung-hitung, ia jadi punya pengalaman kerja sebagai asisten dosen.

Niat awal Haikal sebenarnya bukan ingin menjadikan Ghendis sebagai asitennya. Melainkan asisten sekaligus teman untuk Nadin. Dengan keberadaan Ghendis, ibunya pasti tidak akan lagi membicarakan topik seputar calon menantu, kapan Haikal akan melepas masa lajang, dekorasi seperti apa yang diinginkan dan lain-lain, yang membuat kepala Haikal pening mencari jawaban pas.

Namun, mengingat Ghendis masih berstatus mahasiswa aktif. Ia juga belum lepas dari pekerjaannya di Nebula Cafe, ditambah di rumah gadis itu ibunya hanya tinggal berdua dengan sang Adik. Maka akhirnya Haikal memutuskan untuk menjadikan Ghendis asaiten dosen saja. Toh, pekerjaannya tak terlalu berat.

"Haikal itu bawel dan pemilih loh." Lagi-lagi Nadin yang lebih dahulu bersuara. "Dulu dia juga punya asisten, tapi baru tiga hari kerja sudah kapok. Kamu hebat hampir dua bulan masih bertahan."

Entah itu sebuah pujian atau sebenarnya alarm kematian, Ghendis nggak bisa membedakan. Tapi yang jelas, ia sangat mengerti dan setuju dengan ucapan Nadin. Kalau bisa menyorakkan pendapatnya, Ghendis akan sangat bahagia. Akan tetapi sorotan tajam dari bola mata gelap Haikal membungkam segala keinginannya.

"Pak Haikal baik kok, Tan," ucap Ghendis menipiskan bibir. "Mungkin asistennya yang dulu belum bisa me-manage dengan baik saja makanya merasa kewalahan."

"Yakin, Dhis?" balas Nadin, nada suaranya terdengar tidak sependapat dengan ucapan Ghendis. "Bukan karena ada Haikal di sini kan?"

Ghendis melirik ke arah objek pembicaraan yang terlihat tak terlalu peduli. Tangannya lincah bergerak menyuapkan nasi, bola matanya pun hanya fokus pada piring di depan. Seolah Haikal menganggp bahwa dirinya dan Nadin tidak turut serta di meja itu.

Kalau diamati, ibu dan anak ini tidak memiliki kemiripan sama sekali. Baik fisik maupun sifat. Nadin, ibu Haikal lebih senang mengobrol. Ia juga ramah, murah senyum, kadang blak-blakan dan punya senyum lebar yang anggun. Sedikit informasi dari Haikal kalau ibunya gampang terbawa perasaan, maka dari itulah Ghendis diminta untuk menjaga perkataan saat sedang bersama Nadin.

Usai melirik Nadin yang telah menuntaskan makanan di piringnya, bola mata kecoklatan Ghendis berpindah pada Haikal yang meneguk air putih di gelas. Sosok yang sedari tadi hanya diam saja, setelah menjawab pertanyaan singkat Nadin.

Haikal memiliki bulu mata yang cukup lentik, dengan hidung bangir dan rahang tegas. Sangat jauh berbeda dengan ibunya yang berhidung minimalis dan memiliki bentuk wajah bulat mungil. Pembawaan yang tegas juga berkharisma tergambar jelas pada wajah Haikal yang tenang membereskan beberapa piring di atas meja.

Memang si iblis ini, mau dilihat dari sisi mana pun seperti nggak memiliki cela.

Ia pun bengkit dari tempat duduk. Ikut membereskan piring. Tanpa perlu memberikan komando, Haikal dan Ghendis seolah sudah tahu masing-masing tugasnya. Ghendis mengangkat piring yang masih menyisakan makanan, sementara Haikal membawa piring-piring kosong yang sudah kotor ke wastafel.

Mereka berdua nggak sadar jika sedari tadi ada mata yang diam-diam mengharapkan mereka bersatu. Dalam benaknya, Nadin membayangkan bagaimana ia bisa melihat menantunya nanti sedang mencuci piring berdua dengan anaknya. Seperti yang Haikal lakukan dengan Ghendis saat ini, meski ketidak akuran jelas terlihat saat Haikal secara sengaja menempelkan piring basah yang dicucinya ke wajah Ghendis.

"Pak!"

"Maaf, nggak sengaja."

"Dih, jelas banget sengajanya tau!"

"Argani," interupsi Haikal. Dagunya digedikan ke arah Nadin yang masih bertahan di meja makan. Memperhatikan keduanya dalam diam.

Bibir merah tua Nadin mengembang kala Ghendis melirik wanita itu di sana. Kemudian tersenyum kikuk seperti sedang tertangkap basah telah melakukan sesuatu hal yang memalukan.

Tiap sabtu siang biasanya Haikal akan membawa Ghendis ke rumahnya atas perintah Nadin. Ibu satu anak itu amat penasaran pada asisten Haikal yang kerap kali diceritakan dengan mimik kesal. Ada saja keluhan anaknya karena kesalahan Ghendis dalam bekerja. Namun tak jarang Haikal menceritakan sisi lain dari gadis bertubuh mungil yang sedang menemani Haikal mencuci piring sekarang.

Tentang keadaan keluarganya, tentang perlakuan salah seorang ipar ayahnya, kuliah, dan terpaksa bekerja untuk mencukupi segala kebutuhan. Nadin setuju dengan Haikal ketika mengatakan jika Ghendis adalah gadis yang kuad dan tabah. Tak semua orang bisa bertahan jika dihadapkan pada posisi Ghendis. Dan tidak banyak orang yang dapat menyeimbangkan antara keluarga, pekerjaan dan cita-citanya seperti gadis itu.

"Dia hebat, Mah," ucap Haikal yang kala itu baru sampai di rumah pukul delapan malam. Bola mata hitamnya menerawang jauh, membawanya pada kejadian di rumah Ghendis. Sesekali napas berembus halus saat matanya terpejam mengingat kalimat gadis itu di mobilnya beberapa minggu yang lalu. "Sayangnya, kadang dia nyalahin Tuhan karena kehidupannya yang sekarang."

"Astagfirullah." Nadin menutup mulut menggunakan sebelah tangan. "Kamu nggak coba tegur?:

Haikal menggeleng lemas. "Percuma, Mah. Di kondisi seperti itu, terlebih kita nggak terlalu dekat, memberi nasihat saat emosi sedang naik malah akan terbaca sebaliknya oleh lawan bicara. Apalagi aku nggak pernah merasakan ada di posisinya. Bisa saja Ghendis nggak setuju dan malah berdalih."

"Nggak salah," Nadin menggumam setuju. "Tapi setidaknya harus ada yang ngingetin dia. Siapa tahu juga dengan nasihat Ghendis lebih turun tempratur emosinya kan?"

"Kalau begitu, Ummah saja yang coba menasihati dia, gimana?" usul Haikal.

"Boleh." Nadin mengangguk semangat, meski kemudian surut saat teringat kalau ia sama sekali nggak tahu rupa gadis bernama Ghendis ini.

"Aku bawa dia ke sini."

"Memangnya nggak ganggu waktu dia? Ghendis kan sibuk kerja dan kuliah, Kal."

"Bisa diatur. Ummah nggak usah khawatir. Anak itu juga pasti setuju asal ada makanan gratis."

Nadin terkekeh di kursinya. Mengingat pembicaraan dengan Haikal yang menjadi cikal bakal tercetusnya ide membawa Ghendis tiap sabtu, untuk makan siang bersama. Walaupun, usaha Nadin untuk membuat Ghendis menceritakan tentang dirinya belum berhasil sama sekali.

Gadis berpipi gembil itu tidak mudah terbuka pada orang asing. Berulang kali Nadin coba mengarahkan pembicaraan ke masalah keluarganya. Namun Ghendis dengan mudahnya mengalihkan pada topik lain. Nadin tentu tidak bisa langsung memberikan nasihat meski tahu masalah Ghendis dari mulut Haikal. Ia harus hati-hati menjaga perasaan perempuan, lebih-lebih setelah paham sedikit sifat gadis itu.

"Pak, tehnya habis ya?" Ghendis berjinjit memeriksa lemari atas yang biasa digunakan menyimpan segala macam minuman. Dalam tujuh kali kunjungan, otak Ghendis sudah menghafal segala hal di daerah dapur.

"Belum beli. Nanti kamu bawakan kalau berkunjung kemari lagi."

Ghendis meniup bagian atas hijabnya, sedikit kesal dan kecewa. Meski akhirnya turut menuangkan serbuk coklat pada cangkirnya.

Mengamati Ghendis dan segala tingkahnya bersama Haikal membuat Nadin sedikit bernostalgia. Gadis bermata coklat susu itu mengingatkan dia pada sesuatu. Satu hal yang sudah lama dilupakan, atau sengaja memang dilupakan.

***

Assalamu'alaikum

Update nya jadi nggak teratur gegara sibuk. Maafkan.

Alur yang dipakai di cerita ini maju mundur tapi nggak pake cantik. Wkwk.

Semoga masih bisa bertemu di next chap.

.
.
.

Salam rindu, bawelia-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top