t i g a b e l a s

Apakah sebuah jawaban saja sudah cukup?

***

Sepasang mata elang milik seseorang mengawasi dari kejauhan. Punggungnya bersandar nyaman pada tembok di belakang, melipat kedua tangan seolah sedang menantang gadis di ujung belokan sana untuk bertarung. Meski sayang sekali, orang yang Gilang tatap sedari tadi tidak menyadari keberadaannya.

Ia justru melangkah ringan, berceloteh ria sambil sesekali tertawa kecil. Dan Gilang seratus persen yakin jika orang yang membuat Ghendis sedemikian bahagianya saat ini adalah Haikal.

Walaupun ia belum bisa memastikan kebenarannya.

Setelah pertikaian kecil yang terjadi antara dirinya, Ghendis dan Keyna. Gilang sama sekali nggak bisa menghubungi keduanya. Grup daring yang mereka buat pun senyap tanpa suara notifikasi. Masing-masing dari mereka menjadi orang asing, yang tak lagi bisa didefinisikan. Terlebih ketika Keyna mengatakan sesuatu yang membuat Gilang menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis pikir.

Apa kata gadis itu? Gilang menyukai Ghendis? Sama sekali nggak masuk akal. Hanya karena Gilang lebih perhatian pada gadis mungil itu, Keyna jadi salah mengartikan. Memangnya apa yang salah jika sedikit lebih protektif pada Ghendis?

"Oh, kamu udah di lobi? Oke, aku segera ke sana!" seru Ghendis bersemangat. Sementara Gilang mendengkus geli. Coba lihat, siapa yang sudah mengubah panggilannya dari "saudari-saya" menjadi "aku-kamu"? Hal menggelikan apalagi yang akan Gilang dapati jika terus membututi gadis itu seperti ini? Apakah akhirnya ia akan mengetahui hubungan Haikal dan Ghendis yang bukan lagi sebatas anak didik dan pengajar?

Cowok jangkung itu memberi jarak beberapa senti supaya tak ketahuan. Jaket hoodie dan topi hitam yang dibelinya seminggu lalu menjadi penyamaran terbaik yang Gilang miliki saat ini. Bahkan masker kain warna hitam yang dipakai, sudah menutupi sebagian wajah pemuda itu. Tak lupa, kacamata hitam pun bertengger anteng di hidung mancung milikinya.

Baginya ini adalah penyamaran paling sempurna, ia tak sadar jika penampilannya yang mencurigakan membuat banyak orang di sepanjang jalan melirik dengan tatapan waspada. Termasuk perempuan yang baru saja keluar dari sebuah mini market dengan tas belanjaan.

Keyna sedang dalam perjalanan mengunjungi rumah Ghendis sekarang. Hari ini, ia ingin meminta maaf pada gadis mungil itu karena tiba-tiba menjauh tanpa alasan jelas. Sekaligus berbagi kisah tentang cowok nggak peka yang membuatnya kesal hingga ke ubun-ubun.

Walaupun sedikit kecewa ketika Ghendis memberitahu jika dirinya sedang tidak di rumah saat ini. Keyna berniat menunggui gadis itu sampai pulang di rumahnya.

"Cewek yang tadi itu dibuntutin nggak sih?" bisik salah seorang perempuan.

Cowok yang digamit pun membalas dengan anggukan kecil. "Penculik mungkin ya?"

"Enggak tau deh. Mungkin temennya, mau bikin kejutan."

Percakapan keduanya mengundang rasa penasaran Keyna untuk kembali mengamati cowok berjaket hoodie yang baru saja berpapasan dengannya. Gelagat aneh pemuda tersebut reflek membuat kaki Keyna bergerak sendiri. Ia berjalan cepat sambil mengingat-ingat gaya berjalan seseorang yang mirip sekali dengan pemuda di depannya sekarang.

Si cowok mencurigakan mempercepat langkah, ia semakin merapatkan hoodie yang dikenakan. Orang itu mungkin hendak menyeberang, tapi tiba-tiba lampu merah menyala untuk pejalan kaki. Membuatnya otomatis berhenti dan mengerang frustasi. Bahkan Keyna yang berada pas di belakangnya, mendengar erangan dari suara yang sudah tak asing lagi di telinganya itu.

Gilang?

Keyna menggeleng kuat. Ia tak boleh percaya hanya pada intuisi dalam otaknya dan sedikit fakta. Keyna bisa saja salah orang, lagi pula hatinya tak siap jika orang yang ditemuinya sekarang ini adalah Gilang. Setelah apa yang ia katakan beberapa bulan yang lalu, hubungan keduanya seolah tak pernah memiliki temu.

Namun, apa yang terjadi kemudian membuatnya melebarkan pupil. Meski sudah menduga, Keyna tak tahu-bahkan mungkin tak ingin tahu-kalau yang berdiri di hadapannya saat ini benar-benar Gilang.

"Ah, sialan! Kenapa lampunya buru-buru banget berubah hijau sih!" ocehnya menendang tiang lampu. Lantas berbalik menerawang ke seberang jalan.

Seolah belum puas membuat hati Keyna retak. Gilang kembali berujar sesuatu yang hampir saja membuatnya membenci seseorang. Seseorang yang sudah ia anggap lebih dari sekadar sahabat. Yang selama ini dapat Keyna percaya sepenuh hati. Yang ingin Keyna lindungi dari orang-orang jahat yang menyakitinya.

Gadis berponi lurus itu ikut memandang ke seberang. Bibirnya tersenyum getir. Niat awalnya seolah lenyap ditelan bumi. Ghendis, gadis ceria yang sanggup mengambil hati Gilang-Pemuda yang sampai kapan pun tak pernah bisa Keyna raih-yang menjadi pusat orbit pemuda yang Keyna cintai diam-diam.

***

"Aku baru sampai, kamu pakai baju warna apa-eh, Naja!" panggilnya melambaikan tangan.

Perempuan berkulit sao matang yang tengah menempelkan ponsel di telinganya, ikut melambaikan tangan begitu pandangan mereka bertemu.

"Pak Haikal masih belum selesai ya?"

Gadis yang dipanggil Naja itu menggeleng lesu. "Sudah setengah jam aku nungguin. Belum ada tanda-tanda beliau beranjak dari kursinya."

Ghendis terkekeh. Ia sudah memprediksi hal ini akan terjadi. Dua hari yang lalu ketika Haikal membuat janji temu, sebenarnya ia telah membuat janji juga dengan Naja. Salah satu mahasiswa tingkat akhir yang juga dibimbing oleh Haikal.

"Makanya, Ja." Ghendis menepuk pundak Naja diselingi tawa kecil. "Kamu sudah tahu Pak Haikal disiplin, masih aja suka telat. Kena kan batunya!" Kemudian Ghendis menyemburkan tawa nyaring tanpa tahu situasi. Atau mungkin ia nggak mau tahu situasi di rumah sakit, hingga seorang perawat yang lewat menegurnya.

Entah Naja harus menahan malu atau malah bersyukur, karena setelah tawa Ghendis, Haikal menyembulkan kepalanya keluar. Menengok ke arah mereka berdua yang berdiri tepat di sebelah ruangan Haikal.

"Barusan suara gledek kalian denger nggak?"

Ghendis mengerucutkan bibir. "Memang semembahana itu ya tawa saya sampai bikin Pak Haikal rela keluar dari kandang?"

Haikal tertawa. Hal pertama yang baru Naja lihat, membuatnya terkejut bukan main.

"Tunggu lima belas menit lagi di kantin. Setelah ini saya selesai."

"Siaaaap, Kapiten!"

Usai memberikan seulas senyum, Haikal kembali masuk.

"Dhis, ini aku lagi mimpi apa ya?"

"Ha? Kok mimpi? Ya enggaklah! Kalau lagi mimpi mata kamu mah masih merem, Ja."

Memang rumor tentang Ghendis yang ajaib nggak salah. Naja membuktikannya sendiri hari ini. Haikal yang terkenal akan muka datarnya, aura dingin nggak bersahabat. Tiba-tiba menjadi sehangat itu, ditambah pula dosennya itu tersenyum. Ah, nggak hanya tersenyum. Tapi juga tertawa!

"Kok bisa sih, Dhis?"

"Bisa dong, siapa yang bisa nolak pesona Argani Saskia Utari?" katanya menepuk dada bangga. Meski setelahnya ia terkekeh menutup mulut. "Bercanda doang, Ja. Pak Haikal mah aslinya baik. Cuma wajahnya emang kaku, nggak elastis."

Lalu, sebuah batuk yang cukup nyaring terdengar dari dalam ruangan yang pintunya tidak ditutup.

"Ya ampun, Ja! Gelangku yang nggak elastis maksudnya, yuk kita ke kantin aja! Berdiri gini nggak enak kan?" lantas Ghendis menarik pergelangan temannya itu dan kabur sejauh-jauhnya. Walaupun nggak terlalu jauh juga sih, mereka hanya kembali ke depan meja resepsionis. Mengatur sedikit napas, sambil melirik ke arah pintu putih tadi.

Tadi kayanya kedengeran Pak Haikal ya? Ah, gawat ini mah! Kalau Ghendis diusilin kaya Naja gimana? Atau malah Pak Haikal nggak mau ngebimbing skripsi Ghendis lagi gimana dong? Astagfirullah!

Sementara Ghendis masih pusing mengenai tertangkap basahnya ia tadi. Sudut mata Naja menangkap hal menarik lain di depan pintu masuk rumah sakit. Seorang laki-laki berbadan tinggi menjulang, dengan pakaian serba gelapnya menyita perhatian hampir seluruh pengunjung dan staf rumah sakit.

Ia sempat sedikit berdebat dengan dua orang satpam yang menghampiri, sampai sebuah suara memecah perhatian Naja.

"Loh, Gilang?" ucap gadis di samping Naja.

Gilang? Maksudnya Gilang angkatan kita?

"Dia ngapain di sini?" lanjut Ghendis penasaran. "Naja, aku ke sana dulu. Kamu duluan saja, kalau Pak Haikal sudah di kantin nanti telpon aku ya."

"Eh, tapi, Dhis-" Belum sempat Naja menyela, Ghendis sudah melesat ke arah Gilang yang nampaknya mulai bersitegang dengan dua satpam.

Masker dan kacamata yang Gilang kenakan akhirnya dilepas untuk memastikan jika ia bukanlah orang aneh yang mencurigakan. Saat ini Gilang hanya berharap, Ghendis tak melihat ke arahnya. Meski harapannya tak terkabul. Gadis itu, dengan wajah polos mendekat dan tersenyum ramah pada dua satpam bertubuh kekar di hadapan Gilang.

"Maaf, Pak ini teman saya," ucapnya santai. "Orangnya emang agak aneh, tapi dia nggak jahat kok. Dia ke sini lagi cari saya."

Dua satpam itu saling membagi tatapan antara Ghendis dan Gilang. "Adik yakin nggak salah orang kan?"

Wajah Ghendis yang awalnya ramah dan penuh senyum, secara drastis berubah cemberut. Lagi, untuk kesekian kalinya ia dipanggil adik. Padahal umurnya hampir menginjak 23 tahun. Hanya karena Ghendis nggak tumbuh ke atas, orang-orang jadi sering salah mengira.

Ghendis mengembuskan napas pasrah. Ia mengalihkan sebentar pandangannya pada objek lain sebelum menarik lagi ujung bibirnya. Tapi lirikan tersebut akhirnya terpaku pada satu objek di balik jendela rumah sakit.

Di sana, Keyna mematung dengan wajah sedih yang dibuat bahagia. Matanya sembab, namun bibirnya coba untuk tersenyum. Dengan lambaian tangan, Keyna menyapa dirinya dari luar sana. Selaras dengan rasa sakit yang menjalar di dada Ghendis, ia memejamkan mata untuk beberapa detik.

Mengapa Allah menciptakan hati jika harus saling menyakiti?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top