s e p u l u h

***

Ghendis duduk merenung di meja kantin. Pandangan matanya kosong, sementara pikirannya terus berjalan tanpa henti. Berbeda dengan hari-hari biasa, kali ini batagor di hadapan Ghendis sama sekali nggak bisa membuatnya kembali bersemangat. Gadis itu hanya memangku dagu, dengan mulut yang sedikit terbuka.

Ujian akhir semester sudah usai dilaksanakan. Latar belakang penelitian untuk skripsi pun telah diterima baik oleh kaprodi. Tugas menjadi pesuruh Sang Iblis juga dikerjakan sebaik mungkin. Semua hal sudah Ghendis laksanakan dengan rapi, meski menemui beberapa kesulitan.

Lantas, apa yang membuatnya menjadi seperti ini sekarang? Melongo tanpa berkedip, membuat mahasiswa lain bergidik ngeri. Takut-takut Ghendis kesurupan dan mengamuk tanpa kendali.

Sedangkan Gilang yang sedari tadi hanya mengamati gadis itu dari ambang pintu kantin, sama sekali nggak berniat menyadarkan Ghendis.

"Lang!" Keyna datang dengan wajah panik. Ia sama sekali nggak merasakan lelah meski harus berlari-larian di bawah terik matahari, sebaliknya Keyna langsung menyapukan pandangannya ke seisi kantin. "Mana Ghendis?"

"Tuh," ucap Gilang. Dagunya digedikkan pada meja kantin di bawah kipas angin. "Bahaya kalau dibiarin, bisa masuk berita utama koran nanti."

Tangan nggak berperasaan Keyna mendarat keras di punggung Gilang. Membuat cowok itu terkesiap, dan spontan menatap mata Keyna yang mendelik seram. Tak perlu mendengar protes sahabatnya, Keyna melangkah masuk menghampiri Ghendis.

Kadang ya, Gilang bertanya-tanya sendiri. Kenapa dua cewek itu punya hobi yang nggak ada bagus-bagusnya. Yang satu suka menggeplak nggak pake hati, yang satu sering melamun seperti orang patah hati. Rasanya, hanya Gilang saja yang normal di tengah perkumpulan yang mereka buat.

"Dhis, masih di bumi, nggak?" Keyna menusuk-nusuk pipi gembil Ghendis. Beruntung si pemilik tidak mengamuk, yang berarti Ghendis nggak perlu dirukyah. Gilang dan Keyna serempak mengembuskan napas lega.

"Lo kenapa? Si Iblis marah-marah lagi?"

"Makanya, aku bilang kan apa," sahut Gilang. Ia belum duduk, masih berdiri di samping meja sambil memperhatikan wajah cemas Keyna yang mengelus-elus pundak Ghendis. "berhenti aja dari kerjaan itu, daripada makan batin."

Ghendis mendesah berat kali ini, akhirnya setelah sekian jam dia berdiam diri. Kepalanya terantuk pada meja, kemudian mengerang pendek.

"Ini bukan masalah kerjaan, Gil," jawabnya masih membenamkan wajah. "Ini masalah nilaiku."

"Nilai lo kenapa? Turun?"

Ghendis mengangguk. Wajahnya terangkat dengan bibir yang ditekuk ke bawah. Masih dalam suasana yang kurang baik, ia bercerita bagaimana susahnya membagi waktu antara pekerjaan dan belajar. Di rumah pun Ghendis juga masih menemukan kesulitan, tapi ia enggan bercerita di bagian itu.

Sebab, bukannya lega mengeluarkan kedongkolan. Ia malah membuat Gilang dan Keyna khawatir, dan kecemasan mereka berdua malah menjadi beban baru untuknya. Tahu sendiri, Keyna nggak mungkin diam saja setelah mendengar keluh kesah Ghendis tentang rumahnya yang nggak dialiri listrik. Kemudian Gilang, ia akan menggelontorkan sejumlah dana meski harus adu mulut lebih dulu dengan Sang Papa.

Ghendis nggak mau, ia nggak mau jadi beban baru dan nggak mau nambah beban kehidupan.

"Sudah jelas," Gilang berceletuk. "kerjaan kamu yang jadi masalah utamanya."

"Lang," Keyna coba menyela.

"Lebih penting mana kerjaan kamu sama kuliah?"

"Lang!"

"Apa sih, Na? Aku sudah benar ngasih tahu."

"Kamu malah salah besar, Gil," balas Ghendis yang merasa terpojokkan. Sejak menceritakan masalah dirinya yang bekerja untuk Haikal, suasana hati Gilang nggak pernah membaik. Ia selalu saja mengaitkan semua kesusahan yang Ghendis hadapi dengan dosennya itu. Gilang juga kadang kala memaksanya untuk segera berhenti dengan berbagai alasan yang menurut Ghendis terlampau aneh. Ujungnya, mereka selalu berdebat karena Ghendis pun nggak suka jika Haikal disalahkan dalam setiap kesulitan yang ia hadapi.

Haikal sangat baik sebenarnya, nggak seperti penilaian Ghendis selama ini. Yang mengaitkan kedisiplinan, ketegasan dan hukuman tak kenal ampun. Di sisi lain, dosennya itu memiliki jiwa penolong dan amat menyayangi ibunya. Ghendis jadi sensi kalau ada orang lain yang menjelek-jelekkan Haikal, padahal mereka belum mengenal baik pria itu.

"Malah justru aku terbantu sama pekerjaan yang Pak Haikal kasih. Masalah utamaku bukan tentang dia."

"Trus apa?" Emosi Gilang memuncak, suaranya naik satu oktaf. Membuat Ghendis menatapnya dengan raut tak mengerti. Baru kali ini Gilang terlihat penuh amarah seperti sekarang. "kalau kamu ada masalah di keluarga cerita. Kita kan bisa bantu kaya dulu! Jangan diem aja, atau kamu lebih suka Pak Haikal yang nolong kamu?"

"Gilang!" Keyna menyela. "Lo kenapa sih? Santai aja bisa nggak?"

"Temen kamu ini yang kenapa!" Gilang menunjuk wajah Ghendis. Hal yang belum pernah sama sekali dilakukannya selama mereka menjadi sahabat. "Dia ada masalah, tapi nggak pernah cerita. Sama kamu yang paling deket aja dia nggak bilang apa-apa kan?"

Keyna menggigit bibir bawahnya. Pertanyaan Gilang benar, ia bahkan nggak bisa mengelak di bagian itu. Memang benar Ghendis sudah jarang menceritakan masalah keluarganya sekarang. Gadis itu selalu menutupi rapat-rapat, tak pernah lagi meminta bantuan mereka setelah kejadian kepala Keyna yang berdarah akibat didorong oleh ipar ayah Ghendis. Ia bahkan lebih memilih untuk kabur, saat Gilang menawarkan bantuan kembali, karena smSi Monster yang selalu mencari masalah di rumahnya itu adalah teman karib Papa Gilang.

"Jawab, Na," desak Gilang membuat Keyna makin merapatkan bibir.

Satu-satunya orang yang dapat mengambil kendali di sini sekarang adalah Ghendis. Ia menipiskan bibir karena gadis berponi di sampingnya tak kunjung menjawab pertanyaan Gilang. Ghendis tahu apa yang Keyna pikirkan. Membela dirinya sama saja dengan menyulut emosi Gilang, namun tetap menyuarakan untuk membela Ghendis pun bukanlah jawaban yang tepat. Karena benar apa yang Gilang katakan. Ghendis sudah lama memisahka dirinya dengan mereka berdua. Menutupi rahasia-rahasia keluarganya, dan membuat benteng tebal agar Keyna dan Gilang tak lagi masuk dalam masalah hidupnya.


Ghendis melakukan itu semua bukan karena tak menganggap mereka sahabat seperti apa yang dipikirkan keduanya sekarang. Tapi, ini hanyalah satu-satunya cara melindungi dua orang yang berharga bagi Ghendis.

"Kalau lo butuh sesuatu bilang, Dhis. Kita bakal bantu! Nggak perlu kerja sama dosen itu buat dapetin uang, kamu bisa minta tolong sama aku dan Keyna."

Kursi yang Ghendis duduki berderit cukup nyaring. Kegaduhannya sempat membuat beberapa mata melirik ke arah mejanya, tapi tak lama mahasiswa lain melanjutkan aktifitas masing-masing.

Gadis itu spontan berdiri dari posisi duduk dengan kepala tertunduk, menatap meja dengan dua tangan yang dijadikan sanggahan. Susah payah ia bersabar atas semua protes Gilang selama ini. Ia pun hanya bisa diam, ketika Keyna selalu mempertanyakan persahabatan mereka dari gerak gerik gadis itu.

Dulu, ia pernah dijauhi karena gelar dari keturunan yang ia dapat. Ketika akhirnya tahu bagaimana memiliki seorang sahabat, mereka malah menyudutkannya dengan perkara uang.

"Dhis, lo mau ke mana?" Keyna coba menarik lengan Ghendis, tapi cewek itu menyentak tangannya keras.

Sebelum benar-benar meninggalkan tempat, Ghendis menatap wajah dua orang sahabat yang telah menemaninya selama hampir empat tahun perkuliahan. Dan baru hari ini, mereka bersitegang karena satu masalah yang Ghendis buat sendiri.

"Uang bukan segalanya buatku," Ghendis bersuara. Nadanya begitu tenang sampai Gilang dan Keyna pun tak bisa membantah selain mengikuti arus. "Tapi, aku hidup membutuhkan uang."

Ia melangkah ke samping meja, di mana Gilang dan Keyna duduk berhadapan dalam diam. "Dan perlu kalian tahu. Nggak semua masalah dapat diceritakan pada orang lain, sedekat apa pun mereka. Setiap orang punya privasinya sendiri-sendiri, dan aku berharap kalian bisa mengerti. Aku melakukan semua bukan tanpa alasan."

Ghendis berusaha tersenyum, meski hatinya kembali sakit hari ini. Sambil menahan air mata yang menggenang di pelupuk, gadis itu menuntaskan kalimat terakhir yang mungkin saja akan benar-benar mengakhiri hubungan baik ketiganya.

"Terakhir, aku minta maaf Gil, Ke," Ghendis membagi tatapan antara Keyna dan Gilang yang masih duduk membisu. "Karena aku nggak tertarik buat menjual cerita hidupku, hanya untuk selembar uang dari sahabat-sahabatku sendiri."

***

Yeay! Assalamualaikum 😆

Ghendis kembali lagi, meski masih kurang maksimal 😂wkwk.

Nggak bisa banyak sapa dulu, ehehe. Cuma bisa nyampein terima kasih sudah mampir. Dan maaf kalau upnya selalu luama. 💕

Semoga bisa bertemu di next chap.
.
.
.
Salam rindu, bawelia-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top