s e b e l a s
"Gilang!" Seruan kesekian kalinya tak digubris, cowok itu terus berjalan dengan langkah cepat seperti sedang diburu sesuatu. "Gilang!"
Astagfirullah, baru juga Keyna lari-larian gara-gara mendengar Ghendis menunjukkan tanda akan kesurupan. Sekarang dia malah harus mengejar Gilang juga yang punya langkah besar. Sekali-kali gantian gitu, Keyna yang dikejar. Mereka nggak tahu apa kalau ngejar seseorang itu capek banget.
"Gilang!" Kali ini Keyna berhasil menangkap lengan cowok itu. Meski akhirnya harus sama mendapat penolakan seperti Ghendis. Setidaknya, Gilang sudah mau berbalik dan menghadap ke arahnya.
"Tungguin gue," ucap Keyna dengan raut sedikit takut. Alis Gilang tertekuk, wajahnya mengeras seolah ingin menghantamkan sebuah pukulan pada sesuatu. Selalu saja seperti ini, ketika ia tak pernah suka Ghendis berdekatan dengan laki-laki lain selain dirinya, atau tertawa akrab bersama teman mereka yang bahkan belum tentu menyukai Ghendis.
Kenapa sih, Lang? Yang ada di pikiran lo selalu Ghendis. Yang bisa membuat lo semarah ini cuma gadis mungil itu. Dan yang bisa membuat lo tenang jika Ghendis hanya melihat ke arah lo. Padahal, ada hati lain yang sedang menunggu, apa lo nggak pernah sadar?
"Aku harus ketemu Pak Haikal."
Keyna membelalak setelah mereka melempar tatapan beberapa detik. "Buat apa lo ketemu beliau?"
"Buat apa?" Gilang berdecih, selaras itu pula ia menyeringai kecil. "Gara-gara dia Ghendis jadi gitu. Kamu nggak sadar? Setelah kerja sama Pak Haikal, dia jadi jarang punya waktu sama kita?"
Maksudnya, dengan lo? Keyna membatin.
"Ghendis akhir-akhir ini memang nggak punya waktu sama kita, Lang. Lo tahu sendiri gimana keluarga dia. Dia itu kerja, Ghendis udah cerita alasannya."
Kekesalan Gilang tak kunjung reda. Malah dengan Keyna yang membela Ghendis membuat tempratur emosi berada di puncak angka seratus. Haruskah Gilang meledak?
"Sebagai sahabat kita harusnya ngasih dia dukungan. Bukan kaya tadi, mojokin Ghendis seakan dia yang nggak percaya lagi sama kita," tambah Keyna dengan wajah memelas. Berharap supaya Gilang bisa mengerti keadaan Ghendis.
Keyna memang sedikit iri melihat Ghendis yang menempati posisi pertama di daftar prioritas Gilang. Namun, ia pun tak bisa memungkiri hati kecilnya yang selalu berbisik cemas dan khawatir akan kondisi Ghendis. Baginya, gadis itu bukan lagi seorang sahabat. Tapi adik kecil yang siap Keyna bela mati-matian.
Ia bahkan mengesampingkan masalah perasaannya, hanya untuk menjaga senyum Ghendis.
"Urungin niat lo ketemu Pak Haikal, Lang. Ghendis butuh kerjaan itu." Sekali lagi Keyna mencoba, suaranya yang halus tentu bisa membuat sebagian orang luluh.
Namun, hati Gilang berbeda.
"Aku tetap harus ke kantor Pak Haikal," ucapnya dengan raut datar, menghancurkan segala harap Keyna tadi menjadi debu yang dihempas angin. Ayunan langkah cowok itu membuat Keyna tak lagi bisa menahan desakan dari hatinya tentang sebuah rasa yang sudah lama ia pendam sendiri.
"Lo yakin ini baik buat Ghendis?"
Gilang kembali berbalik, mengalihkan perhatian pada Keyna yang hanya terpisah tiga langkah dari posisinya saat ini.
"Lo yakin ini baik buat dia?"
Kepala cowok itu mengangguk mantap. "Aku bisa bantu Ghendis lebih dari yang Pak Haikal kasih perbulan buat dia."
"Lo pikir Ghendis bakal suka?"
"Kenapa Ghendis harus nggak suka? Aku bantu dia sebagai sahabatnya."
Sahabat?
Keyna ingin tertawa mendengar kalimat Gilang barusan, tertawa miris lebih tepatnya.
"Lo yakin nolong sebagai seorang sahabat? Bukan yang lain?" tantang Keyna.
Sayang, bukannya mengerti. Gilang mengerutkan kening. "Maksud kamu apa? Kalau aku nggak nolong sebagai sehabat lalu sebagai apa?"
"Gilang!" Cukup sudah, Keyna muak dengan kepura-puraan Gilang. Sesuatu dalam dirinya sakit, tiap kali Gilang menutupi perasaannya pada Ghendis. "Lo nolong Ghendis bukan atas dasar sahabat!"
Jeda, napas Keyna memburu. Sementara Gilang diam menunggu kalimat lanjutan. "Lo begini karena lo suka sama Ghendis!"
"Ha? Kamu bicara apa sih, Na? Jelas-jelas gara-gara Pak Haikal ini se--"
"Nggak usah bawa-bawa nama Pak Haikal, Lang!" sergah Keyna cepat. Bahkan, sampai dirinya mengatakan kalimat menyakitkan itu pun, Gilang masih belum bisa sadar pada perasaannya sendiri. "Lo bahkan nggak akan semarah ini ketika gue deket sama cowok lain."
Gilang meraup kasar wajahnya. Kegusaran nampak makin jelas dari sikapnya. Namun, kejelasan dan fakta dari Keyna masih belum mampu membuat Gilang mengakui, jika ia memiliki rasa lebih pada gadis mungil berjilbab lebar itu.
Suka sama Ghendis? Itu nggak mungkin. Gilang hanya menganggap gadis itu bagai adik kecil yang rapuh. Tapi apa? Ia malah kehilangan kata ketika disodorkan kalimat ini oleh Keyna. Hatinya pun seolah sedang salah bekerja sekarang.
Gilang masih belum mengerti. Ia bimbang.
"Ada hati yang lancang berperasaan di antara kita," celetuk Keyna. "Tapi bukan seperti ini cara kita menjaga hati supaya nggak tergores dan menyebabkan luka. Bukan dengan cara berpura-pura, Lang."
Pemuda dengan kacamatanya itu berdiri mematung. Kalimat Keyna seperti sambaran petir yang menghujam tapat di ulu hatinya. Semesta seolah berkonspirasi saat ini, ketika kakinya serasa tak lagi berpijak pada bumi, sementara udara terhisap ke dalam lubang hitam yang amat pekat.
"Lang, jujur sama hati lo."
Gilang belum bereaksi. Ia masih menatap bola mata Keyna, lekat.
"Lo suka kan sama Ghendis?"
***
Ada masanya, ketika suatu hubungan yang dulunya erat bagai perekat. Menjadi renggang dan penuh sekat.
Kira-kira begitulah yang dapat Haikal simpulkan dari hubungan pertemanan Ghendis, Keyna dan Gilang yang sekarang ini berada di ambang keretakan.
Entah siapa yang harus ia bela, dan beri nasihat. Haikal tak tahu, dirinya hanya mampu menjadi pendengar tanpa perlu berkomentar, ketika mendengar sebuah suara tangis perempuan di belakang pohon beringin fakultas ilmu pendidikan.
Ia yang awalnya ingin mencari ketenangan dengan pergi ke taman belakang, menjadi sedikit ngeri ketika suara tangisan perempuan itu muncul. Beruntung, ternyata bukan Mbak Waringin penunggu pohon tua itu yang ia temui. Melainkan asistennya yang meringkuk dengan mata sembab, dan wajah semerah buah tomat.
"Jadi saudari mau bagaimana?" tanya Haikal, usai Ghendis memuntahkan semua isi hatinya. "Menjauhi mereka?"
Ghendis menggeleng. "Saya nggak tahu, Pak." Bola matanya kemudian melirik sinis ke arah Haikal, "Lagian kenapa juga saya harus ngasih tahu Bapak?"
"Oh?" Haikal berseru singkat. "Siapa tadi yang mulai bercerita sambil sesengggukan?"
Mata sinis Ghendis disipitkan, seolah ingin menyudutkan Haikal. Meski setelahnya, helaan napas panjang lolos dari bibir mungil gadis itu. "Saya nyerah deh, kalau sama Pak Haikal susah menangnya."
Memangnya kita sedang berkompetisi?
Angin tak berembus pagi ini, hanya sinar matahari yang menelusup ke celah-celah daun pohon beringin yang meneduhi mereka. Langit biru cerah, menjadi payung bagi hari Haikal dan Ghendis. Ketenangan yang mereka perlukan, beristirahat sejenak dari segala tuntutan hidup yang harus dipenuhi.
"Kenapa saudari tidak coba minta bantuan pada mereka?" Haikal membuka obrolan kembali.
"Saya sudah pernah melakukan itu, Pak." Ghendis menatap kumpulan burung yang terbang tinggi di angkasa. Jiwanya sekarang ini mulai tenang. "Ada alasan kenapa saya nggak bisa lagi minta bantuan pada mereka sekarang."
"Saudari takut menjadi beban untuk mereka?" Tebak dosen itu penasaran.
Jemari Ghendis menjentik. "Tepat," ucapnya dengan seulas senyum. "walaupun ada alasan lain."
"Alasan lain?"
Kali ini ia mengangguk, pandangan Ghendis belum lepas dari keindahan langit. "Saya tahu Gilang menyukai saya." Hening, angin berdesir mengisi kekosongan jeda mereka. "Keyna dan saya sudah sadar dari dulu. Satu-satunya orang yang nggak sadar sama perasaannya adalah Gilang."
Haikal merebahkan dirinya, sementara Ghendis lanjut bercerita.
"Saya juga tahu, Keyna menyukai Gilang," akunya sembari memejamkan mata. Merasai desiran halus angin yang mengelus pipi putih Ghendis. "Tiap kali kita kumpul, saya nggak pernah ambil posisi di sebelah Gilang. Bukan hanya karena alasan syariat. Melainkan juga menjaga perasaan Keyna."
"Bagaimana saudari tahu? Maksud saya, perasaan mereka."
"Mudah, Pak." Ghendis meluruskan kedua kakinya yang ditekuk. "Bapak sih nggak akan ngerti. Nggak punya pengalaman suka sama orang kan?"
Haikal merengut. "Saudari Argani, saya tersinggung."
"Aduh, maaf, Pak! Jangan potong gaji saya!"
Mereka berdua terkekeh bersamaan.
"Jadi kelanjutan masalah kalian?"
"Mengikuti alur cerita yang sudah Allah buat saja. Saya nggak bisa membenci mereka, keduanya sama berharga."
"Pilihan yang bagus."
Senyum Ghendis mengembang begitu lebar. Baru kali ini ia dipuji oleh Haikal. Meski sebenarnya itu nggak bisa dianggap pujian, tapi tetap saja Ghendis senang.
"Ngomong-ngomong, bapak anteng juga dengerin saya cerita," celetuknya. Kebersamaan mereka tak lagi canggung seperti awal-awal. Haikal bahkan sudah kebal dengan sikap Ghendis yang agak ajaib, sementara Ghendis mulai terbiasa dengan sikap jutek dan tegas Haikal.
"Kebetulam saya juga sedang istirahat. Hanya mendengarkan, tidak terlalu sulit."
Ah, menjadi seorang pendengar. Alam bawah sadarnya seketika mengingat seseorang di masa lalu. "Pak Haikal mirip kakak saya saja."
"Kakak? Saudari memiliki kakak?"
Kepala Ghendis mengangguk. Sedangkan Haikal sedikit terkejut mengetahui fakta itu. Lalu ke mana kah kakaknya itu saat ibu dan kedua adiknya mengalami kesulitan?
"Iya, kakak laki-laki. Usia kami terpaut enam tahun. Dulu, dia yang selalu anteng dengerin cerita saya tiap pulang sekolah," Ghendis lanjut mengenang. "Mungkin kalau masih ada, usia dia seperti Pak Haikal."
"Masih ada?" Insting Haikal bergerak cepat. Menganalisa sebuah kemungkinan dari kalimat yang baru saja Ghendis ucapkan.
"Kakak saya sudah meninggal. Empat belas tahun lalu, akibat kecelakaan."
Analisa Haikal tepat sasaran.
"Jasadnya memang tidak ditemukan. Kami sekeluarga berharap dia masih hidup di suatu tempat." Jemari Ghendis saling bertautan. Ah, lagi-lagi. Kenapa kenyataan pahit yang selalu mendominasi kenangannya? "Tapi lambat laun, tahun berganti tahuh. Kami akhirnya mengikhlaskan. Supaya kakak saya pun bisa tenang."
"Saya turut berduka cita."
Ghendis menolehkan kepalanya ke arah Haikal yang sudah duduk kembali. Ia melebarkan senyum, senyum berbeda yang tak biasanya gadis itu perlihatkan. Membuat dunia Haikal untuk beberapa detik berhenti berputar.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top