p r o l o g

***

Aku tergugu, sementara wanita di depanku hanya melemas dengan pandangan nanar.

Mungkin saja jika ibu adalah wanita lain yang kurang kuat imannya, yang sulit menerima ketetapan Allah, yang terlalu sayang pada anak-anaknya hingga lupa hakikat dari anak yaitu titipan Sang Ilahi. Ia pasti akan berteriak histeris dan jatuh pingsan saat mendengar kalimat barusan.

Namun, kuyakin ia adalah manusia kuat yang selalu mengingat Allah di mana dan kapan pun. Hanya saja, mungkin ia belum siap jika salah satu putrinya harus melewati kehidupan yang lebih singkat daripada waktunya.

Kusentuh punggung tangannya yang mulai keriput dimakan usia. Aku melebarkan senyum, meski mati-matian menahan agar air mata tidak meluncur begitu saja dari dua bola yang sering berbinar cerah.

Ini pahit, tapi aku tahu ketetapan Allah yang satu ini tak akan pernah bisa diubah. Meski bernegosiasi hingga berdarah-darah dengan malaikat yang bertugas menjemput ruh.

Gemuruh dalam dadaku seperti drum yang ditabuh keras-keras. Aku kuat, aku kuat. Tapi seluruh badan ini bergetar hebat. Seluruh organ dan kulit yang melapisi seolah mendengar jeritan kepiluan dalam relung hatiku.
Terbata, aku menatap pria yang masih tersenyum prihatin di balik mejanya. Usianya mungkin sudah mencapai 60 tahunan, tapi aura wajah yang menenangkan membuat Prof Ilham jauh dari gambaran pria berusia 60 tahun.

"Berapa lama lagi, Prof?" Suaraku tercekat. Susah payah kubasahi kerongkongan meski rasanya tandus sekali di sana. "Berapa lama lagi waktu saya?"

Ia melebarkan senyum, mata sayunya memandangku dengan sorot mengasihani. "Tiga bulan," tukasnya setelah meletakkan dua tangan di atas meja. "Tiga bulan prediksi saya. Tapi kamu tahu? Manusia bisa saja memprediksi, tapi Allah yang Maha Mengetahui. Bersemangatlah untuk terus hidup."

Seulas senyum tanpa sadar sudah terhias manis di bibirku. Bukan karena mendengar berapa lama aku akan hidup. Tapi, karena sedikit selipan kalimat penyemangat dari Profesor pemilik mata sayu tersebut.
Benar, Allah yang Maha Memiliki Kehidupan. Maka, tak perlulah aku menyerah begitu saja sebelum maut datang. Setidaknya, berusaha sebisa mungkin lantas berpasrahlah yang terbaik. Biar Allah saja yang memutuskan. Pergi untuk beristirahat, atau berharap keajaiban pada Yang Maha Agung.

***

Baru permulaan ya, nggak terlalu berat ceritanya kok. Semoga suka ceritaku kali ini. Ketemu sabtu depan, insyaallah.

.
.
.

Salam rindu, bawelia-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top