l i m a b e l a s

Lewat jendela kecil di pintu rawat inap, Haikal melirik gadis yang masih terlelap di atas brankar rumah sakit. Wajahnya begitu tenang, dan damai. Sampai membuat Haikal takut jika Ghendis tidak lagi membuka matanya untuk melihat dunia.

Lima jam yang lalu, selepas salat subuh, ponselnya berdering nyaring. Menampilkan sebuah pesan dari salah satu mahasiswanya yang cukup rajin dan berteman baik dengan Ghendis. Walaupun ia sedikit bingung mengapa Keyna malah menghubunginya? Bukan pemuda bernama Gilang yang sering bersama mereka berdua.

"Pak, maaf menunggu lama," ucap gadis berponi lurus yang baru saja keluar mencari sarapan. Keyna mengulurkan sekotak styrofoam pada Haikal. "Silakan, Pak. Kalau masih mau di sini, lebih baik sarapan dulu."

Tanpa basa-basi, laki-laki itu menerimanya. Mereka berdua mencari tempat yang lebih baik untuk sarapan. Setelah menemukan yang cocok, Haikal mulai bertanya tentang bagaimana Ghendis bisa terbaring tak berdaya seperti sekarang.

"Saya juga kurang tahu masalah itu, Pak," Keyna menanggapi. "Di pagi buta saya mendapat banyak panggilan dari ibu Ghendis. Saat sampai di sana, Ghendis sudah nggak sadarkan diri, di kerudungnya ada bercak darah. Jadi saya langsung bawa kemari."

"Lalu, kenapa saudari menghubungi saya?"

Seolah baru tersadar dari sesuatu yang mengganjal, Keyna terkejut lantas menatap Haikal dari atas hingga bawah. "Kenapa saya menghubungi bapak ya?"

Ia menggaruk sisi kepalanya, sembari tersenyum kikuk. "Mungkin karena akhir-akhir ini Ghendis sering sekali bertemu dengan bapak? Atau karena dia suka sekali membicarakan bapak?"

"Maksud anda gibahin saya?"

Keyna menelan ludah, tak lagi berani menoleh ke arah Haikal. Kok bisa-bisanya dosen ini peka banget? Ia ingin berdalih, tapi sayang Keyna tak pandai menutupi kebohongannya. Sementara Haikal yang dapat membaca garis wajah mahasiswinya itu melebarkan seulas senyum.

"Argani orangnya memang seperti itu. Saya sudah tahu."

Keyna memperhatikan Haikal sejenak sebelum ia kembali menyendok buburnya ke mulut. Suara-suara keingintahuan dalam kepalanya saling bersautan, bahkan kemungkinan-kemungkinan yang terdengar jahat di telinganya terus bergaung. Memprovokasi Keyna untuk mendukung hubungan Ghendis dan Haikal berjalan lebih jauh.

Anggap saja Keyna gila. Yang mengartikan seenaknya kalau Ghendis dan Haikal memiliki rasa yang sama. Anggap saja Keyna sudah kelewat batas, ketika ia memikirkan rencana untuk mendukung Haikal dan Ghendis bersama, agar Gilang hanya melihat ke arahnya saja. Meski ia menentang rencana busuknya itu, ternyata hati Keyna malah berharap jika semuanya terjadi.

Bukankah cinta itu mengerikan? Ia mengubahmu menjadi musuh dalam selimut hanya karena masalah satu manusia saja. Beberapa orang malah terobsesi dan menjadi gila hanya karena cinta. Dan tak sedikit manusia di bumi gelap mata mengakhiri hidup dengan alasan cinta.

Lalu di mana letak cinta yang membahagiakan? Keyna masih berusaha mencarinya. Namun, ketika ia menemukan perasaan yang Ghendis bilang sebagai anugerah, lagi-lagi hati Keyna harus patah.

Menyadari orang di sampingnya sama sekali tak bergerak. Haikal berdeham nyaring, berharap Keyna tersadar dari lamunan.

"Buburnya," ucap Haikal pelan, apa yang dilakukannnya barusan bisa dikatakan berhasil karena Keyna merespon instruksi Haikal dengan menolehkan kepalanya. "Kalau nggak cepat dimakan jadi nggak enak."

Keyna yang masih setengah terperangkap di alam bawah sadar, mengangguk lesu. Pikiran yang silih berganti tentang baik dan buruk kesempatan yang ada di depan matanya membuat ia dilanda kebimbangan.

"Lagi kepikiran Argani?" tebak Haikal yang telah mengahabiskan sarapannya.

Senyum amat tipis mampir sejenak di bibir kemerahan Keyna. Ia memang benar memikirkan Ghendis, tapi bukan seperti apa yang diduga Haikal sekarang ini. "Ghendis," jedanya melirik ke arah berlawanan, "Ghendis pernah cerita sesuatu sama Bapak?"

"Tentang kalian bertiga?"

Kepala Keyna mengangguk sebagai balasan.

Punggung Haikal bersandar pada tembok, dua tangannya dilipat di atas perut, sementara bola mata hitamnya memandang ke arah jendela besar yang langsung terhubung dengan taman. "Pernah, tapi hanya sekali. Itu pun karena tidak sengaja kepergok saya di taman kampus."

"Kepergok?" Sebelah alis Keyna terangkat, bingung.

"Yah, dia menangis." Sementara Haikal menaikkan dua bahunya seolah tak acuh.

Menangis? Apa karena kejadian di kantin? Keinginan menyingkirkan Ghendis dari Gilang tiba-tiba lenyap dari hati Keyna.

"Ghendis cerita apa saja?"

"Dia bilang, dia tahu kalau saudari menyukai teman kalian itu," ketus Haikal.

"Maksud bapak, Gilang?"

"Yah, siapa pun namanya. Yang jelas dia sering bersama kalian."

"Bapak nggak nyaman nyebut nama Gilang?"

"Saya hanya kurang suka."

"Kenapa?" Haikal bergeming. Ia tak menjawab bukan karena tidak ingin mengakui apa yang dirasakan hatinya tiap bertemu Ghendis. Haikal hanya ingin menyimpan rahasianya sendiri, tanpa diketahui siapa pun.

"Pak?" Tapi Keyna justru makin menebalkan penciumnya. Haikal menyukai Ghendis adalah hayalan Keyna semata. Ia tidak benar-benar serius akan hail itu. Tapi, melihat gelagat Haikal seksrang ini, instingnya malah semakin menguat. "Masa bapak beneran—"

"Bisa kita kembali ke topik awal?" Potong Haikal, sembari menutupi wajahnya yang memerah.

***

"Pak Haikal? Kok ada di sini?" Ghendis melebarkan bola mata, tak percaya. Pasalnya, saat ia membuka mata pertama kali hanya Ibu dan adiknya saja yang ada di ruangan serba putih itu.

"Gue yang panggil, Dhis," sela Keyna yang muncul dari balik pintu. "Gue juga yang bawa lo ke sini."

Keyna juga? Ghendis memekik dalam hati. Otaknya masih sedikit lamban memproses, sampai ketika ia mengalihkan tatapan pada Sang Ibu, Ghendis mendapat jawaban yang ia cari. Ah, siapa sih yang bisa ibunya andalkan ketika Ghendis tiba-tiba saja tumbang? Pasti Keynalah orangnya, tapi ... kenapa Haikal harus ikut-ikutan kemari?

"Bagaimama keadaan saudari?" Haikal mendekat, ia berdiri di sisi kiri tempst tidur gadis berwajah pucat itu.

Ghendis cepat-cepat menangkup punggung tangan ibunya yang berada di atas kasur. Jika tak cepat, ibunya pasti akan membeberkan semua yang telah dikatakan dokter pada keduanya.

Tak boleh, hal itu tidak boleh terjadi. Ghendis sudah berjanji dalam hati tidak akan lagi melibatkan orang-orang yang tak ada hubungannya dengan masalah mereka. Ghendis cukup tahu diri. Maka ketika irisnya saling bersinggungan dengan Sang Ibu, Ghendis melempar seulas senyum tulus, yang dibalas ibu dengan raut wajah sendu.

"Saya sudah baik-baik saja, Pak. Insyaallah besok sudah boleh pulang," ujarnya tersenyum lebar.

"Lo yakin?" sahut Keyna. Ia mengigit bibir bawahnya, sebab cemas. "Dhis, sebenarnya lo kenapa sampai kaya gini?"

Jeda yang Haikal sadari. Meski hanya sekilas, pemuda itu dapat menangkap raut takut dan keletihan di wajah Ghendis.

"Aku cuma kurang hati-hati aja. Waktu mau keluar rumah, kaki kesandung trus jatuh kejedot tembok. Maaf bikin khawatir." Maaf, Ke. Aku harus terpaksa berbohong. Bibir Ghendis masih menyunggingkan senyuman, mati-matian ia membuat raut wajah "baik-baik saja". Berharap Haikal atau setidaknya Keyna sendiri dapat mengerti jika, ia sekarang ini tengah ingin sendiri.

"Lo yakin cuma itu aja? Tapi—"

"Alhamdulillah kalau saudari baik-baik saja. Sepertinya bukan hal yang terlalu serius." Dan jawaban dari harapan Ghendis pun terkabul. Haikal menceburkan dirinya bersama drama kecil yang Ghendis buat.

"Iyaaa, bapak sama Keyna kan tahu kalau saya memang ceroboh," ucapnya diakhiri tawa hambar.

"Ke, makasih. Tapi kamu nggak perlu khawatir. Pulang ya? Istirahat aja yang cukup." Aku lelah, Ke. Tolong mengerti dan segeralah pergi.

"Kalau begitu saya kembali juga. Saudari Keyna biar saya antar."

"Terima kasih, Pak! Titip sampai kosannya ya!"

"Ha? Gue nggak—"

"Nak Keyna yuk tante antar. Kita semua sama-sama butuh istirahat." Akhirnya, walaupun sedikit tak sampai hati meminta Keyna pulang, ibu Ghendis menuntun sabahat anaknya itu berbalik mendekati pintu.

Sementara Haikal masih berdiri di tempatnya. Bola matanya tak lepas dari raut wajah Ghendis yang suram. Menundukkan kepala seperti telah kalah pada dunia. Tubuh itu, wajah itu, ia ingin memeluk dan mengusap pelan. Mengatakan jika semua akan baik-baik saja. Ada Haikal jika Ghendis membutuhkan bantuan. Gadis itu tak sendiri, gadis itu tak perlu menanggung semua di pundah kecilnya. Ada Haikal di sini, ada pemuda itu yang peduli.

Namun, tangan Haikal bahkan tak mampu meraih puncak kepala Ghendis. Ia tak bisa melakukan apa pun selain melihat dan merutuk dalam hati. Sepatah kata pun tak mampu terucap untuk menyemangati.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top