e n a m b e l a s
Allah tidak membebani seseorang di luar batas kemampuan. (QS. Al-Baqarah: 286)
Sepotong ayat yang selalu Ghendis yakini, jika apa yang diterimanya kini adalah cobaan yang dapat dilalui. Tuhan tahu, Ghendis kuat melewati segala beban kehidupan yang menimpanya. Dan Ghendis percaya ada kemudahan dari segala kesulitan yang diterimanya.
Kehilangan ayah, kehilangan cita-cita, merelakan mimpi belajar di universitas incarannya, dan menjadi tulang punggung keluarga. Bukan kah itu sudah cukup Ghendis lewati? Harusnya saat ini ia mendapat kemudahan dari segala kekecewaan yang menimpanya.
Tapi apa ini?
Ghendis menatap nanar pada kertas putih yang bergetar di tangannya. Perhatiannya tak teralih, meski pria berjas putih di balik meja kembali bersuara setelah hening yang cukup lama.
Hanya ibu dan Reka yang mendengarkan seksama penjelasan dokter. Sementara Ghendis jatuh pada kekecewaan lain yang siap menyambutnya.
Kenapa dia menerima kemalangan baru? Mengapa semua ujian tak ada habisnya bermain seperti roller coaster? Belum usai masalah keluarganya, kini ia harus berhadapan dengan masalah kesehatan. Apakah tak cukup merampas kebahagiaan empat tahun lalu? Apa tak cukup merampas ayah dan kakaknya?
Tanpa sadar, tangan Ghendis meremas ujung-ujung kertas yang ia pegang. Amarah membuat nyeri di kepalanya kembali menjalar ke ujung-ujung syaraf. Dengkingan yang cukup keras menggaung di telinganya. Ghendis memang tidak kehilangan memorinya, tapi sakit ini sungguh mengganggu.
Setelah ini, apa lagi kira-kira cobaan yang Ghendis harus terima?
"Dhis." Ibu menyentuh punggung tangan anaknya. "Sing sabar ya, Nak," ucap wanita paruh baya itu lembut. Kelembutan yang mempu merasuk begitu dalam ke relung hati Ghendis, sampai air matanya pun tak mau menuruti perintah otak untuk tidak menangis.
Air matanya luruh, bersama dengan senyum getir Ghendis yang melebar tabah.
***
Selama tiga hari dirawat, akhirnya Ghendis kembali juga ke rumah sederhana bercat krim tersebut. Mobil yang mereka tumpangi berhenti tepat di depan pagar kuning yang sudah usang warnanya. Beberapa tanaman bunganya meranggas akibat tak mendapat air yang cukup selama tiga hari belakangan. Reka dan ibu lebih sibuk berada di rumah sakit, menemani dan mengurus Ghendis agar cepat pulih.
Usai membayar sopir taksi online yang mereka tumpangi barusan, iris kecoklatan Ghendis mengedar ke segala penjuru halaman. Pandangannya jatuh pada tembok pagar rumah yang hanya berbentuk puing-puing saja sekarang. Batanya berserakan, sementara besi-besi penyangga sudah hilang entah ke mana.
Ia kembali mengembuskan napas. Tak ada yang lebih berat bagi Ghendis kecuali menghadapi keegoisan monster yang satu itu. Berkat tubuh tinggi dan perawakan seram yang dimiliki Syarif, semua orang seolah tutup mata pada keadaan keluarganya yang diperlakukan semena-mena.
Luka di kepala, serta diagnosis dokter tentang gegar otak ringan yang ia alami, semua berasal dari orang yang tengah berdiri di ambang pintu rumah almarhum kakeknya sembari tersenyum meremehkan. Wajah yang sama sekali tak ingin Ghendis lihat saat pertama kali pulang.
Entah Ghendis yang bodoh karena ingin mempertahankan tiap sudut kenangan bersama ayah dan kakaknya. Atau memang karena Syarif yang tak punya hati. Malam ketika ia baru saja pulang dari tempat kerja, sebuah mobil hitam mengangkut beberapa orang pekerja, dengan pamannya itu sebagai sopir turun tepat di halaman rumahnya.
Tak ada kata permisi, bahkan sekadar membuka pagar rumahnya dengan pelan pun tidak sama sekali. Seolah Ghendis dan keluarganya memang berhak memdapat perlakuan tak sopan itu.
Sekitar sepuluh kuli bangunan masing-masing membawa alat-alat yang Ghendis tidak tahu namanya. Ia tak bisa mendengar dengan jelas perintah yang Syarif berikan pada para pekerja itu, namun pupil mata Ghendis otomatis melebar kala kesepuluh orang dengan tubuh kurus juga gemuk membongkar dan meruntuhkan pagar rumahnya.
Apa maksudnya? Apakah tanah yang ia rebut masih kurang cukup luas untuk anaknya itu? Apakah Tuhan tak marah seperti Ghendis saat ini pada monster berwujud manusia di sana? Atau memang sebenarnya Ia tak mau menolong Ghendis dan keluarga?
Gadis itu meragu, dalam amarah yang menggebu, gigi Ghendis bergemelutuk, tangannya mengerat.
Sabar, bukankah itu yang selalu diajarkan oleh ayah? Namun, Ghendis tak bisa. Untuk malam itu, hilang sudah kesabarannya. Sesaat setelah ibu keluar dari rumah, menemui Sang Monster sendiri, menyampaikan sesuatu namun disambut dengan kekerasan.
Untuk sebagian orang, perlakuan Syarif yang mendorong ibunya hingga jatuh tersungkur ke tanah tidaklah terlalu kejam. Tapi bagi Ghendis, apa yang dilakukan Syarif adalah sebuah kesalahan besar. Gadis yang menahan diri dalam sangkar yang disebut kesabaran itu akhirnya lepas tanpa kendali. Ghendis berlari, mengambil batu seukuran tangannya, lantas menyerang kepala Syarif.
Tak sampai di situ, setelah pria bertubuh besar itu mengaduh, luruh ke tanah, Ghendis berteriak, memgusir para pekerja tak diundang itu untuk segera meninggalkan kediamannya. Ia benar-benar hilang kendali atas dirinya sendiri. Berteriak seperti orang gila dengan air mata yang bercucuran bak air terjun dalam hutan.
Sayang, Ghendis sama sekali tak menyadari. Bahwa di belakangnya, Syarif sudah siap dengan sebongkah batu bata besar untuk memecahkan kepala gadis itu. Semua, menjadi gulita. Tangisnya surut seketika. Ghendis percaya Allah akan menolongnya, tapi di mana Ia sekarang? Tak ada pertolongan apa pun, hanya nyeri yang menjalar hingga kesadarannya lenyap bersama hitam yang makin pekat.
Lalu, coba lihat sekarang? Ghendis baru saja pulih, dan mengapa lagi-lagi Tuhan mempertemukannya dengan wajah Syarif?
Pria itu tersenyum remeh. Sembari bersedekap, bola matanya terus mengawasi Ghendis yang dipapah oleh Reka dan Ibu. Pundak Syarif bersandar pada ambang pintu rumah mendiang kakek Ghendis yang bersebelah dengan rumahnya.
"Mau jadi sok jagoan," cibirnya. Sudah Ghendis duga jika tak ada rasa bersalah sedikit pun pada diri pria itu. "Sama orang tua melawan. Nggak ngaca? Badan kurus begitu sok kuat," sindirnya lagi.
Ghendis memang lebih memilih untuk diam. Ia benci diperlakukan seperti orang lemah. Meski kenyataan berkata, ia memang tak bisa melakukan apa pun untuk melindungi keluarga kecilnya.
"Impas bukan?" Syarif kembali bersuara. Mereka sudah tiba di depan pintu rumah, ibu yang membuka kuncinya cepat-cepat memutar knop pintu agar tak lagi mendengar Syarif berceloteh. "Mata dibalas mata. Jadi kepala, dibalas kepala."
Ketiganya berusah tak mendengarkan apa yang pria sinting itu katakan. Meski telinga mereka tak tuli, semua kalimat tadi masuk hingga terekam jelas di otak. Terlebih untuk Ghendis. Semua kalimat yang terlontar dari mulut Syarif terdengar seperti sebuah ejekan di telinganya, yang terus menyulut api di hatinya.
***
Assalamualaikum!
Sebelumnya maaf belum bisa balas komen di bab kemarin ya. Hehe, di sini ga ada Haikal, jadi jangan dicariin. Biar Ghendis aja yang nyari 😂 /apasih ga jelas.
Jadi ... Aku ga bisa banyak² bawel. Dinikmati aja sampai ending ya 😂 tinggal 9 bab lagi kok.
Syukron katsir yang sudah mampir.
.
.
.
Salam rindu, bawelia-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top