d u a d u a
Matahari naik begitu cepat. Tadinya, ruangan berukuran lebih luas sedikit dari kamar Ghendis itu hanya dihuni Keyna saja dan si Pasien. Tapi menjelang pukul delapan pagi, Keyna menelepon seseorang dan memaksanya untuk cepat-cepat datang ke rumah sakit.
Gadis di samping Ghendis tak banyak berekspresi selain tersenyum dan menggenggam tangan sahabatnya. Walaupun Keyna tak menyebutkan siapa nama orang yang ia telpon. Ghendis sudah bisa mengira-ngiranya sendiri.
Lalu, pintu putih itu pun diketuk oleh seseorang. Mempersilakannya masuk, hingga nampak Gilang yang berdiri di ambang pintu sana. Ia sungkan untuk melangkah. Terlebih setelah pertengakarannya dengan Keyna dan kalimat aneh yang diucapkan gadis itu.
Gilang nggak bisa tidur, berhari-hari ia melamun. Memikirkan semua kalimat yang menabrak pikirannya, bersama gejolak perasaan aneh. Sedih, kesal, marah, tapi juga rindu. Gilang hanya tak tahu saja, siapa yang patut ia bebankan atas semua perasaan mengganjal itu? Kepada Keyna? Atau malah Ghendis?
Hatinya dipenuhi oleh rasa khawatir pada gadis ceria berhijab lebar di atas ranjang rumah sakit. Namun, pikiran Gilang selalu menampilkan wajah Keyna yang nampak kecewa.
"Duduk, Gil," Ghendis berucap, memecah ketegangan di ruangan itu. Belum pernah ia bayangkan bertemu lagi dengan dua sahabatnya setelah insiden di kantin. Dari gurat wajah Keyna dan Gilang yang menampakkan kekecewaan dan keletihan, Ghendis merasa bersalah telah memberi jarak terlalu lama.
Mereka bimbang akan perasaan masing-masing. Tak dapat mengambil keputusan karena takut menyakiti diri sendiri juga orang lain.
Gilang berjalan kaku, ia mengempaskan badan di sofa dekat jendela. Sedikit jauh dari ranjang Ghendis. Sementara Keyna duduk di kursi samping Ghendis, langsung berhadapan dengan Gilang yang menundukkan kepala, atau sesekali melihat ke arah lain.
"Sekarang kita kumpul di sini. Ada yang mau gue sampein ke Ghendis sama lo, Lang." Keyna lebih dulu bersuara. Genggaman tangannya di telapak Ghendis mengisyaratkan kalau ia butuh keberanian yang cukup besar.
Semalam, Keyna menumpahkan segala sesak yang memenuhi dadanya. Terisak di pelukan Ghendis, sembari pelan-pelan melepaskan satu per satu beban. Keyna rasa sekarang ia sudah bisa mengatakan segalanya, meski rasa takut jika setelah ini hubungan mereka kian merenggang. Ia harus tetap menyampaikannya. Keyna lelah bertahan.
"Ke, kamu yakin?" Sentuhan jemari Ghendis yang membungkus tangannya, menyalurkan kehangatan. Walau sedikit terpaksa, gadis itu menarik ujung-ujung bibirnya, agar Ghendis tak terlalu khawatir.
"Tenang aja, Dhis. Gue udah nerima semuanya," ujarnya. Keyna membasahi kerongkongannya lebih dulu sebelum berucap. Sementara Gilang hanya duduk menunggu dua gadis itu bicara. Menurutnya, sekarang bukanlah bagian ia memprotes.
Dari jeda kedua sahabatnya di sana, sedikitnya Gilang belajar satu hal untuk mendengarkan sebelum mengambil sebuah kesimpulan. Apalagi hanya berdasarkan pada perasaan yang belum bisa ia artikan.
"Pertama, buat Ghendis gue minta maaf banget. Tiba-tiba hilang, kadang cuma baca chat lo. Gue bener-bener ngerasa jadi orang bodoh beberapa hari ini." Keyna melempar seulas senyum hangat pada sahabat pertamanya. Ia memang sudah meminta maaf semalam, tapi belum lengkap rasanya kalau Gilang nggak tahu kalau keduanya sudah berbaikan. "Maaf, di saat lo sulit. Gue malah nggak ada. Sahabat, nggak sepatutnya egois. Ada hal yang bisa dibagi, ada yang ingin disimpan sendiri. Sama kayak lo yang nggak pernah ngedesak gue buat cerita masalah Gilang."
Orang yang sedari tadi membuang pandangan, reflek menoleh dengan alis terangkat. "Aku?" ujarnya sedikit bingung.
Keyna sedikit mendengkus geli. Sebelum berujar, ia sempatkan menatap ke arah Gilang yang kini harus ia lepas. "Iya, lo. Yang nggak pernah peka. Entah lo manusia atau malah setan, pekanya di bawah minus banget."
Gilang tersenyum simetris. "Aku hadir di sini buat jadi objek caci maki ya?"
Kedua gadis itu kontan tertawa. Ghendis dan Keyna saling melempar tatapan sejenak. Sebelum teralihkan kembali pada Gilang di sofa.
"Kita kasih tau beneran nih?"
Kepala Keyna mengangguk mantap. Setelah tawa tadi, entah mengapa sesak di hatinya kian melapang. "Iya. Biar dia sadar. Kalau ada orang yang selama ini cuma natap dia seorang. Nggak pernah teralih, walaupun hatinya selalu dihujani ribuan jarum," sarkasnya membuat Gilang terkesiap.
Hening kembali menguasai. Pegangan tangan Ghendis dan Keyna pun semakin menguat. Ditemani detak dari jam dinding, dan deru mesin pendingin ruangan. Keyna menghela napas sejenak.
Semuanya, segala apa yang ia rasakan akan berakhir hari ini.
"Gue ... punya perasaan melebihi sahabat buat lo. Sudah lama, dan gue ngerasa hubungan kita bertiga bukan lagi karena persahabatan."
Tak ada yang menyela, baik Gilang atau Ghendis. Mereka sama-sama bungkam. Sedangkan Keyna berusaha menghirup lebih banyak oksigen lagi. Keterkejutan Gilang sangat nampak di bola matanya. Keyna tahu cowok itu mungkin nggak siap mendengar, tapi ia nggak punya pilihan. Mau sampai kapan Gilang dan dia terus lari dari kenyataan?
Semua rasa sakit itu, harusnya bisa mereka peluk. Kemudian menerimanya, mengubah semua kenangan sesak menjadi lebih indah dengan mengikhlaskan.
"Lo suka sama Ghendis. Satu hal yang selalu lo tepis, padahal harusnya diterima. Lo tau? Hidup kaya gitu, nggak akan bikin bahagia," jelasnya. "Hubungan kita bertiga bukan lagi murni karena persahabatan. Gue butuh lo, lo butuh Ghendis, dan Ghendis butuh gue. Walau butuhnya Ghendis dalam artian yang berbeda." Keduanya terkekeh kecil, tanda bahwa Keyna dan Ghendis sudah berdamai dengan perasaan masing-masing.
"Persahabatan lawan jenis memang kadang nggak murni, Lang. Gue sudah jujur, giliran lo yang harus nerima perasaan lo sendiri. Ghendis sendiri udah tau kok. Malah dia yang sadar duluan."
"Aku nggak yakin. Bukan nggak bisa nerima, cuma nggak yakin aja," sergahnya. Gilang masih belum bisa menatap dua orang di sana. Ia memainkan jemari, menimang sebentar sesuatu dalam pikirannya.
"Yang dibilang kalian nggak sepenuhnya bener, tapi aku ngerasa nggak bisa ngelak jiga." Gilang menggaruk kesal kepalanya. Ia terlihat frustasi karena nggak bisa mendefinisikan sendiri, apa yang sebenarnya sedang ia rasakan saat ini. Dirinya benar-benar nggak bohong waktu bilang ia tak yakin, tapi ketika Keyna juga menyadarkannya tentang rasa aneh yang selalu dirasakan saat bersama Ghendis. Gilang juga nggak bisa menolaknya. Cowok itu masih bingung, dia butuh banyak waktu untuk berpikir dan menerima.
"Gil," panggilan lembut Ghendis mengalihkan pikiran Gilang. Netranya menatap gadis mungil yang sedang tersenyum.
"Lebih baik, memang kamu sama aku jaga jarak aja. Bukan apa, kita kan bukan mahram."
Gilang tak menjawab, rasanya semuanya terlalu tiba-tiba. Berjauhan dengan Ghendis? Bagaimama caranya? Apa ini juga berarti persahabatan mereka sudah hilang? Ah, Gilang baru menyadari. Jika setrlah insiden di kantin, ikatan antara ketiganya sudah memudar sejak lama.
Kebimbangannya bertambah ketika Keyna secara mendadak menyatakan isi hatinya selama ini. Harus merespons bagaimana? Apakah ia harus menjawab itu? Mereka berdua memutuskan seenaknya, di saat Gilang nggak punya rencana apa pun.
Frustasi. Ia pun bangkit dari sofa. Tanpa permisi Gilang pergi dari ruangan Ghendis dengan gebrakan pada pintunya.
Mungkin inilah akhir dari persahabatan yang mereka bangun selama empat tahun. Terpecah hanya karena masalah perasaan yang tak bisa didefinisikan dengan mudah.
Di lain tempat Faisal memijat pelipisnya yang berdenyut. Kursi putarnya pun entah berapa kali berdecit karena tubuhnya yang tak bisa diam. Memendam gelisah saat Nadin datang ke ruang kerjanya bersama selembar foto masa lalu, yang mereka simpan baik-baik.
"Kita harus memberitahu dia?" Faisal bertanya, karena ia pun tak yakin atas apa yang dirinya pilih.
"Aku takut dia kecewa, Mas." Nadin yang paling merasa takut akan kehilangan, memeluk dirinya sendiri di sofa ruang kerja Faisal.
"Lebih kecewa lagi kalau dia terlanjur jatuh cinta dan nggak bisa lepas, Nad," ujar pria di balik mejanya itu. Faisal pun membuka laci, mengambil dokumen yang selama ini terus menjadi momok menakutkan bagi keluarga kecilnya. Bertahun-tahun semua berjalan lancar, meski Haikal masih terus mendapatkan mimpi buruk akibat traumanya. Tapi keluarga yang ia bangun selalu nampak harmonis.
Mengapa gadis di foto ini baru datang sekarang? Di saat keduanya sudah sama-sama mencintai Haikal.
"Kalau Haikal tau kenyataannya apa dia bakal kembali ke sana? Meninggalkan kita?" Pertanyaan Nadin selaras dengan pikiran Faisal yang mulai tadi tak hentinya bersuara. Ia nggak punya jawaban yang lebih bagus dari mengikhlaskan anak itu. Memang sedari awal, Haikal bukanlah miliknya dan Nadin.
"Itu pilihan Haikal. Dia sudah dewasa, memang harusnya kita memberitahukan ini semua."
Nadin menggeleng. Ia belum bisa membayangkan jika dirinya harus kehilangan satu-satunya anak yang selama ini sudah mengisi hari-harinya.
"Nad," panggil Faisal dengan nada lembut.
Namun, Nadin buru-buru bangkit. Ia berjalan membrlakangi Faisal, dengan perasaan hancur. Untuk saat ini, hanya menghindar yang bisa ia lakukan. Lantas menjauhkan Haikal dari gadis bermata coklat itu. "Bisa kita tunda dulu? Aku butuh mikirin ulang semuanya."
***
Hublaaaa, update sebulan sekali. Gila banget dah aku ini. Huhu.
Gegara sibuk di sebelah, di sini pun ga keurus. Semoga aja di sebelah ceritaku cepet tamat. Biar bisa namatin Ghendis juga, sekalian revisian naskah ini.
Makasih yang sudah mampir.
.
.
.
Salam rindu, bawelia-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top