d u a b e l a s
Jika cinta tumbuh sebelum waktunya. Apakah salah hati manusia yang tak bisa menjaga pandangan, atau salah Tuhan yang telah menciptakan perasaan?
***
Haikal menjejalkan dua tangannya pada saku jaket kulit yang ia pakai. Cuaca sedang tidak bersahabat akhir-akhir ini. Di satu waktu langit biru lapang terlihat cerah, dan di satu waktu lain tiba-tiba awan gelap berkumpul menumpahkan rinai air yang membasahi bumi.
Seperti sekarang ini, pemuda berkaus navi dengan hiasan warna lain di beberapa sisi mengibas-ibaskan jaket kulit yang ia kenakan tadi. Kacamata yang biasanya membingkai wajah Haikal di hari-hari biasanya tak nampak di akhir pekan yang sunyi di kampus.
Haikal yang mengenakan kaus santai tentu bukan karena ingin mengisi kelas. Bahkan ia tak mungkin mengadakan kelas di tengah pandemi sekarang ini. Semua aktifitas kampus sudah lumpuh beberapa hari terakhir semenjak pemerintah setempat mengeluarkan kebijakan belajar dan kerja dari rumah. Sebagian mahasiswa pun ada yang memilih untuk pulang kampung, daripada mati kebosanan di kamar kos yang sempit.
Semua hal mulai dari kuliah, bimbingan skripsi dan proposal, layanan akademik dan lain-lain dilakukan secara daring. Yang tentu harus menyediakan kuota lebih besar agar semuanya dapat berjalan lancar.
Sayangnya, hal ini malah dijadikan kesempatan oleh beberapa oknum tak bertanggung jawab untuk menyulut amarah mahasiswa. Poster-poster bahkan tulisan tentang peniadaan ujian skripsi, pengembalian uang kuliah tunggal, penyediaan fasilitas kuota bagi mahasiswa dan lainnya memenuhi beberapa media komunikasi para dosen, termasuk Haikal.
Ponsel di saku celananya bergetar, menampilkan sebuah pesan dari salah seorang mahasiswa.
087xxxxxxxxx
Assalamu'alaikum, Bapak. Saya Nuril perwakilan kelas C prodi Manajemen Pendidikan. Mohon maaf mengganggu, terkait tugas marketing pendidikan yang harus dikumpulkan hari ini. Lima orang mahasiswa kelas C ada yang memiliki kendala kehabisan kuota, Pak. Besar harapan kami agar bapak sudi memberikan kelonggaran untuk mereka mengumpulkan besok. Terima kasih.
Kening Haikal mengerut tak suka. Tipe orang yang disiplin sepertinya sangat anti jika mendapat pesan berupa permintaan untuk memundurkan jadwal. Ia bisa saja tidak membalas permohonan tersebut, atau tetap meminta sesuai jadwal yang telah ditentukan.
Toh, kenapa harus mengisi kuota besok kalau hari ini bisa? Mereka masih punya 14 jam sebelum batas akhir pengumpulan.
Namun, pada akhirnya Haikal lebih memilih untuk mengalah dan coba memahami. Ia harap kelonggarannya tidak disalah artikan dengan bermalas-malasan mengerjakan tugas.
Ibu jarinya mengetuk kolom pesan. Lantas beralih menekan huruf Y di papan ketik, kemudian dikirimkan.
Balasan yang singkat untuk permohonan yang panjang.
"Ya ampun sadis banget," seru orang yang sedari tadi ikut memperhatikan layar datar milik Haikal. Pemuda itu sedikit tersentak ke belakang, ketika menyadari keberadaan gadis yang berdiri di sisinya. Jantung Haikal bahkan terpompa lebih kencang akibat serangan kejut barusan.
Beruntung Haikal tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Jika ada, ia pasti sudah kejang karena kejadian beberapa detik lalu.
"Astagfirullah, Pak!" Ghendis berseru panik. "Tarik napas, embuskan. Tarik napas, embuskan. Tapi diembuskannya di mulut atau hidung ya, Pak. Jangan yang dari belakang! Udara di sini bisa teracuni," celotehnya yang mendapat tatapan bengis dari Haikal.
Ghendis mah nggak takut lagi sama mata picing dosennya itu. Ia malah dengan santainya memamerkan sederet gigi putih dengan dua jari membentuk tanda peace.
"Jangan marah dong, Pak. Ingat? Amarah adalah sumber sari segala penyakit."
"Yang benar stres adalah sumber dari segala penyakit, Argani."
Gadis yang mengenakan tunik peach terkekeh kecil. Tubuhnya berbalik lalu berjalan lebih dulu ke arah ruangan, diikuti oleh Haikal di belakang yang sudah berhasil mengembalikan detak jantungnya ke kecepatan normal.
Reflek yang Ghendis suka dari Haikal adalah ketika cowok itu berlari kecil ke arah pintu, kemudian membukakan pintu untuk Ghendis. Awalnya ia agak risih, tak nyaman dan lain-lain. Karena harusnya Ghendis bisa masuk belakangan setelah Haikal. Dalam tempurung otak Gadis itu, ia adalah pesuruh Haikal. Yang berarti, dirinya nggak pantas mendapat perlakuan bak seorang putri dari majikannya.
Tapi akhirnya persepsi itu dipatahkan oleh Haikal saat mereka sedang makan siang berdua di kantin kampus. "Saya hanya mempekerjakan saudari. Bukan menjadikan saudari budak. Jadi, saya rasa tindakan itu nggak berlebihan. Saya menghormati perempuan, seperti saya menghormati Ummah. Tidak perlu diambil pusing."
Satu hal lagi yang baru Ghendis ketahui tentang Haikal, menghilangkan kebencian yang dulu terpatri cukup dalam, menjadi kagum tapi masih dalam batas wajar. Meski kadang kala masih merasa kesal jika Haikal memprotes kinerjanya yang kurang ini dan itu. Menuntut agar semuanya menghasilkan kesempurnaan.
Menyebalkan.
"Jadi maksud sadis yang saudari bilang barusan apa?" Haikal membuka pembicaraan setelah masing-masing dari mereka menyapa Ibu Diah yang duduk di balik meja kerjanya.
Ruangan dosen ini tak hanya diisi oleh Haikal seorang. Ada dua dosen dengan pangkat PNS dan memiliki kedudukan cukup penting di Fakultas Ilmu Pendidikan, termasuk Haikal. Dua orang lain terdiri dari satu wanita seumuran ibu Ghendis, dan satu lagi pria berusia sekitar lima puluhan akhir.
Ghendis menarik kursi setelah Haikal persilakan. Ia mengeluarkan map berisi proposal skripsi yang telah selesai ditulis. Setelah dipikir-pikir, menjadikan Haikal sebagai dosen pembimbing keduanya tidak terlalu buruk juga. Ghendis jadi bisa lancar berkonsultasi masalah penelitian yang akan dilakukan tanpa harus mendapat penolakan bertubi-tubi dengan alasan sibuk, pandemi, kehabisan kuota dan lain-lain. Seperti yang dilakukan oleh dosen pembimbing pertamanya.
"Maksud saya itu kasian loh, Pak," ujar Ghendis sembari menyodorkan kartu bimbingan beserta map ke hadapan Haikal. "Saya sering jadi korban dosen-dosen yang cuek banget. Ngetik panjang lebar, mikirin kosa kata sopan sampai berjam-jam,trus dibalas singkat kaya bapak barusan. Sakit, Pak. Tapi alhamdulillah nggak berdarah. Saya mah kuat orangnya."
Haikal menahan tawanya. "Dasar baperan."
"Bukan baperan, Bapak," bela Ghendis menggoyang-goyangkan telunjuknya ke kiri dan kanan. "Saya hanya mengutarakan rintihan hati mahasiswa aja kok."
Kalimat terakhir mahasiswanya sukses mengukir seulas senyum di bibir Haikal. Dan Ghendis malah reflek memutar kepalanya kesembarang arah.
Ia tak tahu sejak kapan menjadi seperti ini. Ada getaran aneh yang selalu Ghendis rasakan ketika melihat Haikal tertawa atau tersenyum seperti tadi. Dulu, dirinya memang sangat ingin melihat pemuda yang terkenal dingin dan datar, dengan gelar iblis yang tersemat itu tersenyum dan tertawa.
Haikal yang terlalu kaku juga semakin membuat Ghendis tambah penasaran, apakah nggak ada jiwa-jiwa santuy dalam diri Haikal? Dia hanya manusia biasa kan? Bukan robot transformer. Bersikap tegang seperti itu pasti sangat melelahkan.
Sampai akhir-akhir ini, saat mereka menjadi semakin dekat satu sama lain. Keinginan dan rasa penasaran Ghendis seolah menjadi bumerang untuk dirinya.
Ini bukan cinta atau rasa suka. Ghendis akan menolak mentah-mentah teori itu hanya karena perasaan aneh yang akhir-akhir ini hinggap. Pipinya tak sampai tersipu, wajah Ghendis nggak panas--kecuali habis balapan di bawah terik matahari--apalagi detak jantungnya masih bekerja normal seperti biasanya.
Hanya ada perasaan aneh yang nggak bisa dia definisikan itu apa, hingga akhirnya Ghendis simpulkan jika itu sebatas perasaan kagum belaka.
"Argani," panggil Haikal yang sibuk membubuhkan tulisan tangannya di atas lembaran-lembaran proposal Ghendis.
"Iya, Pak?"
"Saudari ada kegiatan besok?"
Ghendis meletakkan telunjuknya di bawah dagu. "Setelah cuci baju sepertinya kosong, Pak."
"Tepatnya pukul berapa?"
"Sekitar pukul sepuluh atau sebelas."
"Bagus," sambar Haikal dengan senyuman lebar. Bola mata yang sudah lepas dari lembaran proposal itu diarahkan pada gadis yang duduk kebingungan di hadapannya.
"Bagus kenapa, Pak?"
"Besok, kita harus bertemu," katanya penuh ketegasan. Iris pekat Haikal yang biasanya redup kini berbinar cerah, membuat seseorang yang menatapnya manahan napas menunggu kelanjutan kalimat Haikal. "Di Rumah Sakit Dokter Soetomo, pukul dua belas siang. Jangan sampai telat."
***
Assalamu'alaikum, mohon maaf cuma bisa nyapa sebentar :") kemarin nggak sempat sapa², karena berbagai alasan yang mungkin udah bosan kalian dengar 😂
Semoga masih ada yang bertahan di cerita ini. Terima kasih juga untuk kalian yang masih bertahan ❤
Sampai jumpa di bab selanjutnya.
.
.
.
Salam rindu, bawelia-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top