Uitwaaien
Sebenarnya kekejaman dunia mulai diperlihatkan sejak dini di sekolah. Ketika kamu punya 'sedikit' saja perbedaan di antara kumpulan anak yang berbicara secara normal, kekejaman pertama dunia dimulai. Aku di usia 10 tahun menerima tindakan bully tingkat menengah karena nggak terbiasa menghadapi teman sekelas yang banyak bersuara.
Dari situ aku belajar, bahwa orang-orang cenderung membenci perbedaan, makanya mereka seenak perut menindas orang yang 'berbeda'. Di hari berikutnya, aku menolak bersekolah di Shinjuku karena tingkat bullynya terus bertambah.
Sebagai orang tua dengan radar peka tingkat tinggi, Papa langsung tahu kalau putrinya jadi korban penindasan, jadi dia memberiku kado terindah yang diinginkan setiap anak yang benci sekolah. Cuti dari rutinitas sebagai pelajar.
Aku sayang Papa karena dia melindungiku—Papa mana sih, yang tega membiarkan anaknya jadi bahan perundungan bocah ingusan?
Rutinitasku berubah dari mainan anak-anak SD jahat menjadi asisten cilik Papa di rumah sakit. Bertemu orang-orang sakit, mendengarkan aneka dongeng dari dunia lain, lalu dapat usapan di kepala dari pasien yang lebih tua karena menurut mereka aku semanis permen apel (meski sesungguhnya aku lebih mirip bonsai wisteria dengan rambut ungu).
Kebiasaanku yang suka meracau menjamur secepat lari zebra karena rutinitas baru itu dan aku bertransformasi jadi anak bersuara tokek.
Lalu Ichi Nii-san datang. Anak laki-laki dari distrik seberang, dengan penampilan super acak-acakan yang mengeluarkan definisi "remaja bau tengil". Dia nggak banyak berbicara dan menunduk kayak dimarahi saat Papa menanyakan darimana datangnya bekas goresan di sekujur badan tengilnya.
Tapi saat dia menengadah, aku langsung menyukai iris hijau-merahnya yang nampak artifisial. Dia juga punya satu tahi lalat kecil di bawah mata dan punya aura penyayang seperti Papa.
Saat kutanya, "Apa mata kakak terbuat dari stroberi?", dia tertawa seperti gajah kejepit (inilah alasan kenapa Saburo punya suara tawa sejenis) lalu bilang kalau adik-adiknya juga punya mata belang.
Dan aku senang, karena populasi orang bermata belang nggak punah dari bumi Matahari Terbit.
Selanjutnya dia bercerita tentang adik-adik belangnya dan bilang kalau yang bungsu seusia denganku. Aku yang sebelumnya nggak pernah punya teman ngobrol asyik, dengan senang hati mendengarkan.
Dan Ichi Nii-san yang baru dapat teman sekecil bonsai, senang karena antusiasmeku. Dia memberiku usapan di kepala sebelum pulang lalu melambai kayak orang tua saat hadir di pentas drama anak-anak.
Berkat kejadian itu, Papa setuju untuk menyekolahkanku di distrik Ikebukuro dan Ichi Nii-san dengan sifat "abang baik"nya bersedia jadi tukang antar-jemputku setiap hari.
Anak-anak di Ikebukuro jauh lebih beradab ketimbang bocah ingusan Shinjuku, makanya aku langsung akrab dengan Jiro yang nggak mau dipanggil "Kak" olehku. Sebagai gantinya, dia memperbolehkanku menggenggam tangannya sesuka hati. Abang yang baik.
Aku mulai belajar (lagi), bahwa dengan menjadi pendengar setia, aku bisa dapat teman baru. Sayangnya itu nggak berlaku untuk Saburo, soalnya dia punya aura "kalau kamu berani dekat-dekat, KUCOLOK HIDUNGMU PAKAI JANGKA!".
Tali persahabatanku dengan si Belang Tiga baru terjalin saat aku diminta menjelaskan insiden Honnouji Lautan Api di kelas sejarah.
Otakku yang menyimpan terlalu banyak kosakata dan informasi dari berbagai sumber, berusaha menemukan penjelasan yang bagus untuk dipamerkan pada guru sejarah berambut mirip geng motor jadul di kelas. Tapi yang keluar dari mulutku malah:
"AKECHI MITSUHIDE MAIN PETASAN DI PINGGIR KOTA LALU KENA KEDIAMAN NOBUNAGA SAMPAI KEBAKARAN!"
Akhirnya Saburo mau berbicara padaku dengan alasan, aku tiga kali lipat jauh lebih pintar dari Jiro setelah mendengar teori sintingku soal kebakaran di tempat Oda Nobunaga (dari sini kusimpulkan, Saburo alergi orang bego).
Karena sudah mendapat pengakuan dari Saburo, aku berhasil diterima sebagai anggota kehormatan Geng Belang Yamada. Hari-hari berikutnya di Ikebukuro, aku nggak pernah dijadikan bahan bully lagi.
•───────•°•˙·.¸¸.͡ପଓ࿚ ͜•°•───────•
"Hai! Aku dapat telepon dari Saburo, katanya kamu mau mampir ke rumah. Keberatan kalau aku minta temani antar barang dulu?"
Ichi Nii-san selalu melambaikan tangan penuh semangat kala menyapaku. Hari ini dia bawa sebuket gilly putih-jambon dan satu paperbag (yang isinya kucurigai sebagai sandal biri-biri) dikalungkan di lengan kanan. Aku membalas lambaian Ichi Nii-san lalu mendekat saat dia membuat gestur mirip lengan maneki neko.
"Nggak keberatan, kok! Oh ya, makasih kaaragenya. Mau kubantu bawakan barangnya?" tawarku.
Selayaknya abang penyayang, Ichi Nii-san tertawa lalu menepuk-nepuk kepalaku. "Nggak usah. Temani aku mengobrol di jalan saja."
Aku sayang Geng Belang Yamada. Mereka selalu bersikap baik padaku, jadi kuputuskan untuk membantu Ichi Nii-san membawa buket gillynya sambil berjalan bersebelahan.
"Bunga ini untuk siapa?" tanyaku. "Bukan buat pacar Nii-san, kan?"
Ichi Nii-san tersenyum geli lalu menggeleng. "Aku nggak punya pacar, itu untuk Yoshina-san. Kiriman dari cucunya."
Yoshina-san adalah seorang jompo berjiwa remaja yang tinggal di rumah mungil berpagar morning glory rambat, bersebelahan dengan markas Geng Belang Yamada.
Seperti namanya yang ditulis dengan kanji "senang" dan "bunga" (嬉花), dia selalu merasa senang dengan bunga-bungaan. Kedatangan kami disamput dengan sweater sewarna persik dan gosip terkini jompo gaul Ikebukuro.
"Kalian berdua dengar," Yoshina-san membuka pintu pagar "hidup"nya, mempersilahkan dua tamu nggak diundangnya masuk.
"Suamiku belikan sweater ini, katanya aku kelihatan cantik dengan warna persik. Dia pasti cuma gombal supaya aku berhenti mencabuti ubannya, aku yakin itu. Tapi karena dia sudah belikan dan bahannya bagus, jadi aku pakai saja."
"Halo Yoshina-san," aku dan Ichi Nii-san menyapanya bersamaan.
"Katanya, persik adalah simbol umur panjang di Cina. Suami Yoshina-san punya selera yang bagus," sambung Ichi Nii-san.
Yoshina-san menerima sapaan kami dengan senyuman lebar, sepertinya senang karena kedatangan teman gosip. "Terima kasih Ichiro-chan, aku suka dengan komentarmu soal persik. Masuklah. Kalian bawa apa hari ini?"
"Cucumu mengirimkan ini," kata Ichi Nii-san sambil menyerahkan paperbagnya. Dia mengisyaratkan agar aku menyerahkan buket gillynya.
Yoshina-san merengut. "Padahal dia bisa datang ke sini dan memberikannya secara langsung. Kayaknya dia sudah nggak sayang dengan neneknya ini."
Aku mengusap pundak Yoshina-san secara perlahan, berusaha menghibur jompo remaja itu. "Cucumu sangat menyayangimu, Yoshina-san. Gillyflower kirimannya berarti 'ikatan kasih sayang', ini buktinya."
Seperti nenek baik hati lainnya, Yoshina-san memberiku pelukan hangat dan membalas, "Kamu gadis paling manis yang pernah ada. Kuharap cucuku bisa ditukar dengan kalian berdua."
Aku dan Ichi Nii-san tertawa lalu menjelaskan bahwa, meski kami bukan keluarga Yoshina-san, dia boleh menganggap kami sebagai cucunya. Dan dia tersenyum lebar lagi karena dapat cucu baru.
Yoshina-san merogoh paperbagnya (yang kucurigai sejak awal) dan mengeluarkan setoples kukis green tea. Wajahnya langsung mengkerut seperti acar plum.
"Ingatkan aku untuk menjepit telinga cucu kurang ajar itu pakai jepitan jemuran kalau dia datang. Masa dia suruh neneknya makan kue sekeras batu? Untuk kalian saja, nanti kubuatkan minuman. Mau teh atau susu?"
Sebagai tamu yang kekurangan sopan santun, aku bilang pada Yoshina-san untuk membuat teh susu (dan Ichi Nii-san Si Tamu Sopan berusaha menjewerku). Karena aku cucu barunya, Jompo Remaja tadi menyanggupi permintaanku. Lalu setelah tehnya siap, kami memulai sesi gosip baru bersama.
Aku menyarankan kepada Yoshina-san untuk mencelupkan kukisnya ke dalam teh supaya jadi lunak, dan dia bilang aku boleh bawa pulang sisa kuenya. Aku suka para jompo, mereka baik seperti Geng Belang Yamada.
"Sebelum jadi nenek, Yoshina-san bekerja sebagai apa?"
"Aku pernah bekerja sebagai guru TK, kebetulan aku suka dengan anak-anak. Setelah menikahi mantan karyawan bank ganteng, aku berhenti bekerja dan menjadi ibu rumah tangga yang buka kelas merajut untuk nenek-nenek. Terus sekarang jadi nenek-nenek betulan!"
Setelah menjawab pertanyaanku, Yoshina-san tertawa puas. Sepertinya sangat bangga dengan kejompoannya.
"Saburo tadi sempat bilang kalau kamu mau konsultasi soal masa depan," Ichi Nii-san meletakkan cangkir tehnya dan mengambil satu kukis. "Buat lembar karir, ya? Jadi kangen masa SMP."
Aku mengangguk. "Waktu masih SMP, Ichi Nii-san tulis apa buat rencana masa depan?"
Ichi Nii-san memiringkan kepala sedikit.
"Tadinya aku mau jadi tentara, tapi aku nggak mau adik-adikku menangis kalau aku gugur di medan tempur, jadi kutulis 'polisi' di lembar karir. Lalu saat lulus SMP, aku malah tersesat di antara berbagai pekerjaan sampingan dan sekarang bikin bisnis nggak jelas."
"Rencana masa depan, ya?" Yoshina-san menuangkan teh ke cangkirnya yang setengah kosong. "Bagaimana kalau kamu jadi perawat? Aku rasa orang-orang akan lebih cepat sembuh kalau ditemani anak baik sepertimu."
"Kayaknya aku bakal bikin sakitnya makin parah karena terlalu berisik," kataku. "Tapi aku bisa jadi pelawak di rumah sakit selama penontonnya bukan Saburo. Dia galak."
Kali ini Ichi Nii-san dan Yoshina-san tertawa.
"Kayaknya sulit kalau langsung menentukan jenis pekerjaan buat masa depan nanti," komentar Ichi Nii-san. "Nggak usah memikirkan hal-hal rumit kayak skill atau semacamnya. Yang paling penting adalah mencintai apa yang kamu lakukan. Gimana kalau kamu coba buat daftar tentang hal-hal yang kamu sukai?"
Ide brilian, sungguh kualitas yang sangat diharapkan dari kakak Si Jenius Saburo. Sebelum aku mengeluarkan alat tulis dari tas dan mengeksekusi idenya, Yoshina-san segera menyela, "Bisa simpan tugas anak SMP kalian itu dan duduk manis sebentar? Nenek-nenek ini butuh teman gosip."
Aku dan Ichi Nii-san saling berpandangan sebentar lalu mengiyakan permintaan Yoshina-san dengan cengiran lebar. Kami bertiga akhirnya membicarakan betapa gantengnya suami Yoshina-san saat masih muda dan betapa menyebalkannya dia saat mengeluarkan serdawa dengan komposisi aroma minyak ikan cod basi.
Jiro dan Saburo kemudian datang bergabung sebagai pengisi acara Gosip Bersama Jompo Gaul saat tengah hari, lalu aku mengamuk karena jatah kukis green tea yang boleh kubawa pulang dihabiskan Jiro.
•───────•°•˙·.¸¸.͡ପଓ࿚ ͜•°•───────•
.
.
.
.
Uitwaaien
(n.) "to walk in the wind." ; to clear your mind and feel refreshed—out with the bad air, in with the good air
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top