Ikhtiar29
"Ab---ang!"
Panggilan Prilla tertahan, ia menggeleng. Sudahlah, jangan sampai kembali dari awal mengejar-ngejar langit, mengejar-ngejar dunia. Bisik hatinya memaksa untuk menahan diri agar tidak terlalu membawa perasaan duniawi yaitu cinta kepada mahlukNya melebihi cinta kepada Allah dan RasulNya.
Mungkin ini teguran dari mabuk kepayang beberapa saat karna bunga-bunga cinta yang bermekaran seolah menemui muaranya. Ternyata sepertinya yang sebelumnya bukan muaranya, namun hanya genangan sebelum sampai kesana.
"Kak Prilla, senang deh dengar-dengar ada yang skak mat ya tadi!" Arini yang tidak mengikuti meeting karena hanya perwakilan saja berdiri menyongsong kedatangannya dimeja kerja.
"Harusnya Arini ada, Arini bakal videoin dan upload di grup breaking-breakingan itu," lanjut Arini lagi.
Prilla memaksakan tersenyum mendengar ucap Arini. Harusnya ia cukup terhibur, tidak terpaksa, namun memikirkan sikap Langit yang membuatnya merasa hambar.
"Di grup itu sedang heboh kak, pada kehilangan muka udah ngeghibahin keponakan cmo-ceo, rasain, siapa suruh suudzon, untung Arini gak ikut-ikutan kehasut yang begituan!" Cerocos Arini tak berhenti.
"Sudah Rin, lanjutin kerja ya, sebentar saya ketoilet dulu," pamit Prilla pada Arini.
Hanya alasan saja. Sebab ia rasa ada yang akan tumpah, dan jangan sampai tumpahnya didepan umum. Berlari kecil bukan karna kebelet pipis tapi kebelet nangis.
Buat Prilla tidak ada yang lebih penting lagi saat ini, tidak juga ghibahan orang karna semua sudah clear. Yang ia pikirkan adalah sikap yang ditunjukkan Langit yang mendadak dingin.
Lebih parah lagi saat empat orang pejabat kantor itu lewat didepannya, Langit sama sekali tak menunjukkan interaksi dengannya.
"Pril, kita mau makan siang keluar, mau ikut?" Ajak pak Qais disertai anggukan dan senyum pak Sandro juga pak Surya tapi tidak dengan Langit. Wajahnya datar malah tatapnya tidak fokus.
"Ayolah, sudah lama kita gak ngobrol!" Tambah Pak Sandro tanpa sungkan didengar karyawan lain karna mereka semua sekarang sudah tahu apa spesialnya Prilla selain dekat dengan Langit, manager Operasional.
"Saya masih banyak kerjaan, lain kali aja ya bapak-bapak," Prilla menangkup kedua tangannya didepan dada dengan senyum manis dan kemanisan itu memudar setelah mereka berempat menerima alasannya dan berlalu.
Senyumnya terasa pahit saat kembali mengarahkan pandangan pada punggung yang tanpa menoleh dan tanpa pamit semakin menjauh itu. Seketika ia ingin pergi ketoilet untuk yang kesekian kali.
Kali ini ia benar-benar sesegukan. Ia tak peduli ada orang atau tidak, namun untungnya kondisi berpihak, tidak ada yang masuk ketoilet selama ia menumpahkan rasa sesak.
"Kak Prilla sakit?" Tanya Arini saat ia kembali. Mungkin karna melihat Prilla bolak-balik ke toilet maka timbullah pertanyaan itu.
"Tidak sakit kok, cuman gak tau kenapa kepingin pipis terus!" Kata Prilla padahal yang mengeluarkan air bukan inti tubuhnya tapi hazel eyesnya, dan tentu saja bukan enggak tau kenapa, karna ia sangat paham sebabnya.
"Banyak minum air putih kak, kalau mau istirahat duluan, biar Arini yang nyelesain laporan," kata Arini lagi menyarankan ia segera istirahat.
Prilly hanya mengangguk dan tersenyum mendapat perhatian Arini. Padahal ia berharap perhatian dari yang lain.
'Dasar gue aja caper, udah caper, baperan pula.' Rutuk hatinya sambil membenahi meja dan menutup laptopnya. Kemudian ia membuka laci dan mengambil mukena dalam pouch kecil lalu membawanya. Sepertinya ia sedang tidak nafsu makan, ia sedang nafsu menunggu waktu sholat, tiba-tiba ia ingin curhat.
"Mungkin Allah sedang memperingatkan agar aku segera mendekat lebih khusyu," Prilla bermonolog.
Ushalli fardhazh zhuhri arba'a raka'aatin mustaqbilal qiblati adaa an lillaahi ta'aala.
Sudah bersabar, sudah menerima, sudah mendekat lebih kusyu, sudah lega dan tenang, karena ia merasa puas curhat kepada Allah.
"Yaa Allah, ampuni segala dosaku, maafkanlah aku, lapangkan dadaku, hanya kepada Engkau kami memohon dan meminta pertolongan." Prilla menutup doa dan mengusap wajahnya.
Kembali ke meja kerjanya ia duduk dengan tenang. Arini pamit untuk beristirahat. Sampai Langit kembali lewat didepannya, Prilla sudah nampak lapang. Tidak berharap ada interaksi. Tidak juga ingin dipandang. Ia hanya menunduk fokus pada laptopnya.
"Jangan berharap kepada manusia, Pril, yang melewatkanmu berarti bukan takdirmu," bisik batinnya.
Ia tahu ini hanya kalimat menguatkan. Namun sangat berpengaruh pada keadaan hati dan pikirannya. Siapa lagi yang bisa memotivasi diri selain diri sendiri. Meski sungguh moodnya sangatlah berantakan.
-----🎶🎶🎶-----
Abang Annoying
Prilla melirik layar gawainya yang menyala diatas meja. Seketika ia sedikit bersemangat karna abangnya yang meski namanya disave sebagai abang yang menyebalkan namun tentu saja itu hanya sebutan kesayangan terlihat dilayar sedang memanggil.
"Assalamualaikum, abang!"
"Waalaikumusalam, malah kerja dia, gak jemput abang di airport ^#$%*¥&₩~!" Semprot Daniel diujung telpon membuat Prilla menjauhkan gawai dari telinganya.
"Yaa maafff, kalau tahu gini juga mending bolos aja hari ini!" Desahnya.
"Kenapa emang?" Heran Daniel bertanya.
"Gak papa, ya udah aku pulang aja sekarang!"
"Eh...!"
Klik.
Prilla memutus sambungan telpon. Ia memutuskan untuk ijin pulang saja.
"Ijin? Sudah ijin sama pak Langit?"
"Kan harusnya ijin sama pak Surya," tukas Prilla pada kepala Hrd tersebut.
"Khusus nona harus atas ijin beliau," Sahut pak Surya membuat Prilla melebarkan mata.
"Kok beda sih aturannya? Saya sakit lho, pak, dari tadi bolak-balik toilet, jadi saya harus istirahat dirumah saja," komplin Prilla.
Lagipula gak ada hubungannya ijin sama dia, yang pentingkan ijin sama pak Surya, pikir Prilla. Gak akan ia datang-datang keruangan dia cuman mau bilang pulang, dari pada dicuekin, didinginin, buat sedih, buat bolak-balik ketoilet, ah, no! Rutuk hati Prilla kesal karna ia sebenarnya masih saja merasa sedih atas sikap Langit.
-----🎶🎶🎶-----
Abang Anoyying
"Beneran mau pulang?"
"Iyaaa, tapi aku mampir ketempat aku dulu ambil mobil."
"Emang tadi kenapa gak minta tungguin sama driver?"
"Yakan mau jemput abang drivernya."
"Terus gak berencana dijemput?"
"Enggak, kan---," Prilla menggantung kalimatnya, hampir saja keceplosan kalau harusnya ia akan balik kerumah dengan Langit.
"Kan?"
"Kan mau ambil mobil sendiri, bang, kenapa sih berisik amat? Udah dulu ya aku urus ijin dulu!"
Klik. Prilly memutuskan sambungan telpon lagi. Rasanya moodnya benar-benar tidak bisa diajak kompromi.
"Astagfirullah, adik durhaka banget gue!" Prilla bermonolog karna sadar menumpahkan emosi kepada abangnya yang harusnya ia sambut dengan suka cita karna baru saja mendarat tanah air.
Akhirnya ia balik menelpon Daniel.
"Maaf ya bang!"
Prilla langsung meminta maaf dengan suara yang terdengar tidak bersemangat.
"Gak papa, abang kangen sama ii jadinya nelpon mulu, khawatir juga kenapa adik abang nampak uring-uringan, ayo pulang, nanti janji ya cerita sama abang!"
"Ya, bang, aku siap-siap dulu."
"Mang Nata didepan tuh!"
"Hah?" Prilly terkejut bagaimana mang Nata driver papinya sudah ada didepan kantornya.
"Jadi kamu gak usah bawa mobil sendiri."
"Kenapa---," pertanyaan Prilla terpotong karna Daniel memutuskan sambungan. Gantian.
-----🎶🎶🎶-----
Mang Nata Driver
Tak lama mang Nata menghubunginya mengatakan sudah ada diparkiran kantornya.
"Ya nanti saya kabari kalau saya dibawah, mang!" Pesannya.
Menutup telpon kemudian Prilla membereskan mejanya.
"Arini, saya ada acara keluarga jadi hari ini pulang cepat, kalau bikin laporan ada kesulitan sebelum jam kerja berakhir, silahkan kita berkonsultasi," pesan Prilla pada Arini yang tumben sekali tidak banyak bertanya kenapa ada apa pulang cepat.
"Baik, kak!" Angguknya.
Untung sudah mendapat persetujuan dari pak Surya tanpa harus berdebat kusir.
Prilly mencuri pandang sejenak kearah ruangan Ali. Disana ia melihat Ali sedang menelpon dengan ekspresi biasa, malah terlihat tertawa sambil bersandar dikursi kerjanya. Sementara pak Ceo dan Cmo juga tidak ada ditempat mereka disebelah ruang kaca Ali.
"Gue aja yang baper, dianya enjoy aja!"
Pikiran seperti itu membuat Prilla segera ingin beranjak pergi.
"Gak pamit sama pak Langit, kak?" Tanya Arini heran saat Prilly berdiri dan bersiap pergi tanpa terlihat berkomunikasi dengan Langit. Padahal biasanya paling tidak mereka akan saling tersenyum dari tempat masing-masing. Seringnya mereka membuat Arini melting. "Mereka yang pandang-pandangan, gue yang senyum-senyum, ngerasa berbunga-bunga!"
Sementara Prilla melangkah tak menjawab tanya, karna pikirannya yang serasa sudah blank entah kemana.
Sepanjang jalan menuju kediaman orangtuanya Prilla merasa lemas tak bertenaga. Seandainya Ali sudah tau ia pergi dari kantor, bagaimanakah reaksinya? Mungkin biasa-biasa sajakah?
Kurang lebih dua jam seperti perkiraan harusnya tiba karna jalanan cukup bersahabat. Namun memang mang Nata minta ijin beberapa kali rehat di rest area ataupun mampir dipom bensin mengaku ingin buang air hingga sepertinya lebih dari 2 jam. Prilla sampai merasa lelah dan tertidur sambil menunggu bahkan selama diperjalanan.
"Maaf, Sudah tiba, Non!"
Prilla terhenyak. Ternyata sudah sampai dan mereka sudah berada didepan pintu gerbang rumahnya. Mang Nata membunyikan klakson untuk sebagai salam kepada security yang mengangkat tangannya hormat. Prilly mengangguk namun agak terkejut melihat keadaan halaman yang luas sudah berhias, sepertinya akan ada perayaan.
'Mungkin menyambut kedatangan abang Daniel,' pikir Prilly.
Bagaimana tidak, kemarin maminya bercerita kalau sepertinya Daniel akan mulai mengambil posisi diperusahaan papi dan akan memulai aktivitasnya disana membantu papa sebagai Ceo. Kalau ia memang dari awal memilih belajar diperusahaan lain terlebih dahulu meskipun juga masih perusahaan keluarga.
Prilla melihat decorasi pesta outdoor yang ditampilkan dihalaman rumah terlihat manis sekali. Apakah Daniel sekaligus akan memperkenalkan calon mantu mami yang diceritain maminya semalam? Bahkan maminya sempat bertanya mau dibawa kemana hubungan dia dan Langit kalau masih kucing-kucingan dengan Daniel. Kalau Daniel bertunangan dan menikah harusnya dia sudah siap bertanggung jawab pada perempuan lain dan rasa tanggung jawab memjaga Prilla bisa ia serahkan kepada yang memang Prilla inginkan.
"Kalau bang Daniel menolak Langit gimana mami?"
"Apa alasannya menolak Langit? Langit yang sekarang bukan seperti Langit dalam pikiran Daniel bukan?"
Prilla sedih mengingat ucap maminya. 'Ternyata sama saja mam,' batinnya. Ia merasa yakin perubahan sikap Langit disebabkan ia baru mengetahui perusahaan dimana mereka bekerja adalah perusahaan Om-nya. Langit merasa insecure, kembali merasa tidak layak. Laki-laki kan gengsinya tinggi, meski tak sedikit yang lebih exited diposisi 'mokondo'. Tapi Langit berbeda.
Dihalaman decorasi begitu manis namun keadaan masih lengang tak ada orang.
Prilla turun dari mobil dengan lesu. Langkahnya pelan seakan tak ada tenaganya.
Sebelum ia memencet bel, pintu sudah terbuka sendiri.
"Assalamualaikum!" Salamnya sambil ragu melongok kedalam rumah yang terlihat sepi.
Tapi tadi pintu terbuka sendiri. Seketika Prilla merinding dan seolah-olah suasana menjadi horor.
"Waalaikumsalam, I Love You-nya AKU!"
------------
Banjarmasin, 09 April 2024
29 Ramadhan 1445H
22.54 wita
Meski sangat-sangat telat, akhirnya hari terakhir ramadhan ini bisa update juga.
Saya berada didaerah susah sinyal teman-teman karna sudah mudik kekampung halaman suami.
Terima Kasih ya sudah mengikuti cerita ini, tapi ternyata ini belum tamat. Masih ada bab terakhir jangan lewatin ya!
Akhirnya kita berada dipenghujung Ramadhan.
Taqobalallahu minna wa minkum
“Semoga Allah menerima amal ibadah kami dan amal ibadah kalian semua.”
Minal Aidin Wal Faizin, Mohon maaf lahir dan batin ya ^_^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top