Ikhtiar21
"Assalamualaikum, Nona Prilla!"
"Wa'alaikumusalam, pak Jonas!"
"Makin cerah ceria,"
"Jangan lupa bahagia, pak!"
Bergegas Prilla melangkah setelah melambaikan tangannya pada pak Jonas. Sementara beberapa meter dibelakangnya Langit melangkah biasa.
"Tumben gak kejar-kejaran," gumam pak Jonas.
"Assalamualikum!"
"Wa--waalaikumusalam, pak!" Tergagap pak Jonas menjawab sapa Langit yang mendahuluinya.
"Fokus pak, fokus!"
"Siappp, pak!" Hormat pak Jonas.
Pintu Lift sudah tertutup namun membuka kembali dimana sudah ada Prilla didalamnya. Saat Langit masuk mereka saling menatap sejenak lalu mengubah arah pandang kedepan dengan senyum tertahan.
"Tunggu, tunggu, tunggu!"
Pintu Lift hampir tertutup rapat menyisakan jarak yang bisa dimasuki sebuah lengan yang terburu mengejar.
"Morning, pak Langit!" Reni menyeruak masuk kedalam Lift memisahkan Prilla dan Langit karna ia dengan sengaja berada diantara mereka.
Prilla memundurkan dirinya, mengalah, meski sebenarnya sudah menang. Prilla menyimpan senyumnya. Terlebih Langitpun sedikit menggeser tubuhnya kesudut lain.
"Pak Langit, meeting hari ini sesuai jadwal kan? Saya mau melaporkan kemarin saya dan Radit --"
"Meeting diruang meeting, bukan di Lift!" Potong Langit membuat wajah Reni berubah warna dan bibirnya sedikit tertekuk didepannya.
"Baiklah, saya hanya antusias karna saya ingin menyampaikan kabar gembira," jelasnya lagi.
Ting.
Pintu Lift terbuka. Reni yang berada didepan seharusnya keluar terlebih dahulu namun beberapa detik tidak bergerak.
"Permisi!" Ucap Prilla dan Reni tidak menghiraukan.
Prilla memiringkan badannya untuk bisa meloloskan tubuhnya keluar dari Lift yang terhalang tubuh wanita itu. Dan sepertinya Langitpun bergerak hingga Reni mendahului keluar dari Lift. Langit dan Prilla menghentikan langkahnya lalu menutup kembali Lift.
"Heii, kalian!!"
Reni geram melihat lift bergerak turun kembali. Ia menggenggam tangannya hingga memutih, kemudian melangkah sembari menghentakkan kakinya. Sungguh ia teramat sangat kesal.
Sementara didalam lift Langit dan Prilla tak bisa menahan tawa. Apalagi setelah sampai kebawah mereka kembali lagi keatas. Agak laen mainan lift di pagi buta dan selamat sentosa hingga mereka keluar lift dan melangkah ketempat masing-masing sambil dadah-dadah. Yang pasti kantor masih lengang, karna memang mereka datang lebih pagi. Reni saja yang di pagi itu sepertinya bela-belain lebih pagi untuk suatu misi. Namun misinya sepertinya belum berhasil.
"Saya akan menggunakan cara-cara Prilla mengejar Langit, nanti kalau Langit menolak mentah-mentah, pasti akan balik mengejar seperti dia mengejar Prilla sekarang!"
Sebuah kesimpulan yang hanya dilihat sepandang mata. Yang Reni tidak tahu adalah mereka sudah sembilan tahun saling mengenal. Hampir sepuluh tahun menyimpan gejolak. Terkadang manusia memang demikian. Tidak tahu apa-apa tapi merasa tahu segalanya tentang kehidupan orang.
"Bu, sudah aja kenapa? Katanya sudah megang pak Surya? Kenapa masih sibuk mengejar pak Langit?" Celetuk Radit yang masih setia bersamanya.
"Tahu apa kamu tentang tujuan hidup saya?"
"Tujuan hidup itu mencari ridho Allah-kan bu? Kata ustadz bukan kata saya!"
"Ck. Sok ustadz sih kamu!"
"Bukan bu, Radit cuma ingetin, kemarin tetangga usil meninggal mendadak padahal belum sempat minta maaf, padahal kata ustadz--"
"Radit!!"
'Spanning' Reni mulai naik. Emosinya seperti akan meledak-ledak. Entahlah, semakin hari kondisi emosinya cenderung tidak stabil. Entah stress karna apa, lagi dapet, kurang tidur, bahkan bisa jadi gangguan mental.
Prilla tersenyum saat melewati bagian mereka menuju ruangan HRd.
"Astaga bu, yang buat ibu iri lewat lagi!" Radit berbisik membuat Reni mendelik.
"Eeee, dia masuk ke ruang HRd, bu, ada urusan apa dengan pak Surya? Jangan-jangan---."
"Ck. Berisik!"
"Lama-lama kantor ini dikuasai oleh Prilla, jago emang dia negosiasinya, selama belajar sama dia, saya---."
Reni tidak fokus lagi dengan kalimat Radit yang membuat dadanya panas. Prilla si anak magang pasti direkomendasi untuk naik level, apa lagi sudah ada anak magang baru. Dia berhasil menangani beberapa project terakhir. Bahkan saat ia yang menjadi ketua projectnya, ia tidak bisa menahan keberhasilan Prilla. Namun ia tutup mata dengan prestasi itu, yang ada dalam pikirannya adalah karna Prilla berhasil mendekati Langit.
"Pasti dia main kotor, awas aja akan saya bongkar kekotorannya!" Reni menggenggam tangannya.
"CMO perusahaan ini akan datang bersama dengan CEO, jadi kalian bersiaplah di bidang masing-masing, jangan mengurusi yang bukan urusan kalian, karena para direksi akan menyoroti apa yang menjadi tanggung jawab kita masing-masing," ucap Langit saat meeting disore itu.
"Apakah sudah ada tanggal pasti kunjungannya, pak?" Tanya Reni antusias. Ternyata bocoran dari pak Surya yang pernah ia ceritakan pada Radit bukan isapan jempol belaka.
"Hari, tanggal dan waktunya belum fix, jadi silahkan bersiap untuk semua, kira-kira dalam waktu dekat, begitukan pak Surya?" Jelas Langit sambil menekankan pada pak Surya.
"Yaa betul, pak Langit, bersiap saja semua dengan laporannya masing-masing!"
"Berarti laporan yang akan saya sampaikan, menunggu CEO dan CMO saja, sebab saya khawatir kerjaan saya akan diakui oranglain!" Cetus Reni percaya diri.
"Tidak masalah, asal jangan sebaliknya saja seperti yang lalu, itu sudah menjadi catatan hitam anda apalagi sudah ada surat peringatan!" Tegas Langit mengingatkan pada peristiwa sebelumnya membuat Reni terbungkam namun tetap mengangkat dagunya.
'Lihat saja siapa yang akan menang!' Batin Reni mendelik sombong.
"Ada pertanyaan lagi?"
Hening. Sepertinya semua yang berada di ruangan itu cukup paham dengan informasi yang disampaikan.
"Arini sudah paham?"
"Sudah, pak."
"Kalau kurang paham tanya sama kak Prilla ya, bukan sama saya, sudah ada alur dan prosedur dalam perusahaan jangan menabrak-nabrak konstitusi!" Tegas Ali yang sebenarnya tidak sadar ada yang tersindir.
Selama ini ia sudah mencoba membijaksanai bahkan telah memberi kesempatan hanya memberi surat peringatan tanpa rekomendasi pemecatan kepada yang bersangkutan. Namun nyatanya sepertinya tidak ada efek jera.
"Baik, pak!" Sahut Arini. "Mohon bantu Arini, kak Prilla!" Lanjutnya mengarah kepada Prilla.
"Sama-sama saling membantu ya!" Sahut Prilla setelah mengangguk.
'Cihh!' Batin Reni tergambar dari rautnya yang tertekuk dan mendelik.
"Prilla, project dengan PT Kemakmuran Industri Putra tidak ada masalah bukan sampai sejauh ini?" Langit beralih pada Prilla.
"Tidak, pak, mereka cukup puas dengan kerjasama kita, pak Wira bilang angka profitnya langsung melejit dengan menggunakan konsep kita!" Jawab Prilla tegas dan meyakinkan.
"Konsep kamu, kamu yang buat!" Lugas Langit memperbaiki kata Prilla yang menyebut 'kita' padahal kalau Prilla mau mengakui dan merasa diri paling, dia bisa saja menyebutnya 'konsep saya'.
"Kan bapak yang bantu!" Sahut Prilla tersenyum samar namun tidak sesamar itu bagi Reni yang melihatnya dengan mata lalat.
Orang melihat dengan mata lalat, meski ada setumpuk kebaikan pada apa yang disampaikan orang lain, namun seolah matanya tertutup dari kebaikan yang ada. Matanya hanya mencari dan melihat sisi keburukan sesama.
'Halah,' Diam-diam Reni mencebik.
"Minum dulu bu..." Radit mengangsurkan air mineral yang ada diatas meja didepan mereka. Maksudnya biar Reni dinginan gak panasan. Haha. Radit memang paling jeli melihat isi hati Reni dari raut wajahnya. Dan Renipun melotot makin jengkel.
Prilla dan Langit bukannya tak jeli, namun mereka tidak peduli. Mereka tidak bisa menyembuhkan penyakit hati orang lain jika orang itu sendiri tidak mau sembuh. Yang bisa mereka lakukan adalah memperbaiki diri sendiri.
"Anjing menggonggong, ALI dan ILY berlalu!"
--------------
Banjarmasin, 01 April 2024
21 Ramadhan 1445H
07.47 wita
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top