Ikhtiar16

Turun dari boncengan ojek online didepan security, gegas Prilla melangkahkan kakinya menuju pintu masuk. Sebelum sampai sebuah mobil hampir keluar dari parkiran lalu berhenti tiba-tiba.  Pengemudinya turun setelah membetulkan letak parkir mobilnya kemudian gegas menuju pintu masuk yang sama.

"Kamu gak mau menunggu?"

Langit mensejajarkan langkahnya dengan langkah Prilla yang melebar.

"Kelamaan, pak, jangan maksain diri, bapak tu sibuk sama yang baru, ngapain jemput saya, saya bisa sendiri, lebih cepat sampai juga!" Sahut Prilla ngos-ngosan akibat berusaha melangkah cepat. Ingin mendahului dengan kaki yang menghentak seolah sedang tidak senang hati.

Entah kenapa Prilly merasa sebal. Bukan kepada Ali tapi kepada dirinya sendiri. Ia merasa lelah dengan situasi antara dirinya dan Ali yang seakan-akan saling menarik ulur.

Tadinya mengejar tidak dihiraukan, berhenti ikhtiar justru pria itu membuat langkah hentinya terombang-ambing. Membingungkan. Pada hatinya sendiri ia masih tidak mungkin begitu saja menghilangkan rasa. Namun raganya bisa diajak kompromi dengan tidak menunjukkan rasa itu lagi didepan orangnya. Meskipun ia perempuan yang bagai es batu, keras tapi mudah meleleh, ia tetap mampu bertahan dengan sikap biasa saja yang ditunjukkannya.

"Dia baru, dia gak punya pengalaman, saya khawatir dia menyulitkanmu!"

Prilly menaikkan sebelah alisnya. Dia tidak bertanya tapi diberi penjelasan. Khawatir? Menurutnya kekhawatirannya itu tidak lantas bersikap terlalu baik dengan anak baru. Kalau dia baper bagaimana? Apa dia tidak bisa bersikap dingin-dingin saja jangan sok-sokan mengajari yang bukan tanggung jawabnya? Prilla gemas setengah mati namun berusaha meredamnya sendiri.

"Anak baru jika banyak bertanya, banyak belajar dan menyulitkan wajar saja, saya juga pernah diposisi dia," ucapnya memaklumi keadaan anak baru.

"Jadi, tidak keberatan bukan saya yang bantu ngajarin?" Tanya Langit seolah meminta ijin.

"Terserah bapak saja!"

Salah satu hal yang paling mengerikan ketika perempuan sudah berkata terserah. Dimulut terserah namun dihati marah.

"Untuk kamu, kalau dia cepat tanggap kamu lebih mudah bekerja sama dengannya." Langit menjelaskan maksudnya.

"Terserah, suka-suka bapak saja." Sahut Prilla dingin.

"Kamu tidak suka saya dekat-dekat anak baru ya?"

Prilla menghentikan langkahnya. Matanya melebar dan menatap Langit lekat-lekat. To the poin sekali tapi kemudian ia menggeleng.

"Permisi!" Pamitnya kemudian berniat berlalu segera dari hadapan pria itu.

"Hei!" Langit mencekal pergelangan tangan Prilla yang mengayun.

Terjengit Prilly memandang lengannya kemudian wajah Ali.

"Lepas, pak, bukan mahrom," Prilla menarik lengannya. Tidak kasar, namun ia mengusapnya, meski lengannya tertutup juga karna ia memakai kemeja lengan panjang. Ia hanya jengah dan ingin membuat Ali tidak kehilangan harga dirinya ditempat umum seperti itu.

"Waktu istirahat sudah berakhir, kita kembali kerja, kembali ketempat masing-masing, nanti sebelum pulang, tunggu saya!" Pesan Langit sebelum melangkah menuju ruangannya sementara Prilla sampai dimejanya lalu menghempaskan diri dikursi depan laptopnya yang tertutup.

"Kakak Prila, Arini mohon bimbingannya, Arini masih baru perlu banyak belajar, kata Pak Langit banyak-banyak belajar dari kakak, mohon bantuannya ya kak!"

Prilly menoleh keasal suara. Tempat Nunu yang sebelumnya sering disambangi Radit, kini berganti hak milik lagi. Radit kembali kesamping Reni, sekarang disebelahnya Arini sedang memohon bimbingan. Padahal bukankah sejak awal Langit mengatakan, kalau ia akan dibantu Arini, kenapa setelahnya Arini justru sering dipanggil keruangannya?

"Sama-sama belajar, ya." Sahut Prilla menjawab kalimat panjangnya.

"Maaf kak, Arini buat kakak marah." Ujarnya membuat Prilly mengeryit.

"Marah?"

"Arini cuma mau banyak belajar saja kok kak, saat baru masuk Arini di briefing oleh bu Reni, katanya kalau mau belajar datang saja pada pak Langit, namun setiap Arini datang pak Langit bilang Arini harusnya ke kakak, padahal bu Reni yang chatt Arini katanya dipanggil sama pak Langit, tanya sama pak Langit, kasihkan laporan ke pak Langit, gitu, kak!" Ungkapan Arini membuat Prilla cukup syok.

Rupanya ada duri yang sengaja menusuk diam-diam. Ternyata mungkin kata Radit ada benarnya, Reni akan makin panas melihat perhatian Langit padanya. Kayak benang kusut saja, masa staf lancang sekali mengatur manager dan membuat anak baru seperti bola pingpong. Batin Prilla.

Dari sini Prilly menyadari bahwa, ternyata ia tidak bisa menyimpulkan sesuatu hanya dari apa yang ia lihat. Dia juga harus mendengar. Dari apa yang disampaikan Langit yang tadi ia dengar, Langit juga tidak menyadari kalau Arini datang karna ada yang mengundangnya datang keruangannya. Ia hanya melihat Arini seperti tak bisa kerja lantas justru memikirkan bagaimana supaya tidak menyulitkan dirinya.

"Mulai saat ini, yang kamu dengar hanya saya, bukan Reni!" Tegas Prilly.

"Baik, kak!" Angguk Arini patuh.

Ting.
Terdengar suara dentingan dari gawai yang tergantung dileher Arini.

Arini, tolong bantu photocopy berkas lalu bawa keruangan pak Langit, diminta sekarang, buruan kesini ambil berkasnya!

"Kak, lihat!"

Arini menunjukkan layar ponselnya hingga Prilla bisa membaca pesan dari Reni.

Ting.

Kenapa kamu tunjukkan ke Prilla, ini perintah pak Langit

Belum sempat Arini menarik tangannya, Prilla sudah terlanjur membaca.

"Boleh kamu screenshoot lalu kirim kesaya?" Pinta Prilly.

"Siap, kak!"

Pesan ini dihapus

Pesan ini dihapus

"Dihapus kak, tapi Arini sempat ss!"

Prilla tersenyum miring. Ia sama sekali tidak ingin melihat kearah sudut ruangan lain dimana Reni berada. Namun rupanya dari tempatnya Reni selalu memantau dirinya.

"Lama-lama buat orang gak nyaman kerja!" Guman Prilly

"Jadi Arini harus gimana, kak?" Tanya gadis itu lagi.

"Perintahnya sudah dihapus, ya berarti anggap gak ada perintah saja, kalaupun masih ada kan baru saja saya bilang, yang kamu dengarkan itu saya, sesuai juga dengan pesan pak Langit bukan?" Jawab Prilly meyakinkan.

"Baik, kak, jadi tidak dilaksanakan ya kak," kata Arini ragu. Mungkin ia takut tidak melaksanakan perintah berakibat buruk baginya.

"Iya, percaya sama saya!"

"Iya, terima kasih, kak."

Prilla menggeleng, begitu takutnya karna anak baru, sampai pekerjaan serabutan masih mau dikerjakan. Bukannya tidak mau loyal terhadap perusahaan, namun kalau sudah ada indikasi kejahatan seperti yang dilakukan Reni ini, dia dan yang disangkut pautkan harus hati-hati.

"Kamu harus berani menolak kalau itu bukan jobdesk kamu, meskipun kamu baru kamu tetep punya hak dan kewajiban yang sudah ditentukan," jelas Prilly.

"Tapi katanya kalau gak nurutin dia, dia akan rekomendasi ke HRD untuk tidak mengangkat Arini," tutur Arini.

"Bukan wewenang dia."

'Gak beres kantor ini makin kesini. Bagusnya Reni semalam dipecat bukan dipertahankan sampai jadi melunjak seperti ini.' Batin Prilla.

Yang jelas Reni sudah cukup berhasil membuatnya dan Langit salah paham dan Ribut karna Arini. Namun, qadarullah, Arini yang polos justru membuat benang kusutnya teruai.

-------🎶🎶🎶------
Abang AKU calling

"Pulang nanti mau bareng gak? Jangan naik ojek online apalagi minta jemput yang lain!"

--------------
Banjarmasin, 27 Maret 2024
16 Ramadhan 1445H
13.11 wita

Semampu aku ya setiap bab, ada saatnya ko nanti panjang-panjang, terima kasih membaca 🙏

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top