Rhea
"Sampe kapan lo mau nangis, rhe?" Ujar Difa. Sepertinya dia mulai lelah dengan kelakuanku yang agak lebay ini
Iya, menurutku ini lebay. Menangis
"Udah.. gue gak papa kok dipa" Jawabku masih sesenggukan
Karena apa lagi kalau bukan Arfi. Dia pergi tanpa memberi kabar apapun padaku atau pun pada Nando. Ya, aku menyesalinya. Tindakan bodohku kemarin pagi
Bersikap seakan-akan Arfi baik-baik saja setelah kejadian buruk menimpanya, walaupun itu bukan hanya dia tapi aku juga. Aku sama sekali tidak punya pikiran Arfi akan benar-benar pergi
Vrr..vrr..
"Rhe! Ada telpon tuh dari.. Marshall!" Ucap Difa secara tiba-tiba. Membuatku sedikit terkejut
Tadi malam saat menelepon Arfi untuk memastikan keadaannya, aku masih duduk di halaman depan kostan bersama Marshall, dia juga yang meyakinkanku untuk menelepon
Tapi sayang, kecerobohanku datang pada saat yang tepat. Jangankan mengangkat telpon dariku, nada sambungnya saja tidak ada. Hanya suara operator yang mengatakan kalau nomor milik Arfi sudah tidak valid
"Iya.." Responku lirih. Mungkin hampir tidak terdengar jika Difa tidak punya pendengaran tajam
"Ya udah. Gue keluar deh! Jangan nangis mulu, rhe!" Ujar Difa setelah aku mendengar tarikan napas panjang khas orang yang sudah lelah
Aku mengangguk tipis di ikuti suara pintu yang terbuka dan derap kaki menjauh dari tempatku duduk tergugu sekarang
Dialog dengan Marshall
"Eh! Gimana kabar lo?"
"Haha baik kok"
"Bohong amat lo ra!"
"Apa sih? Udah ah gue ngantuk!"
"Ya udah. Padahal gue mau ngajak lo ke bazar!"
"Bazar? Dimana?"
"Di ...ada deh! Ikut ga?"
"Yadeh"
"Oke, i will come! Wait a few minutes!"
Dialog dengan Marshall *END*
"Sok inggris deh!" Gumamku sembari berjalan menuju kamar mandi. Mencuci muka. Aku tidak mau terlihat sembab nanti
Skip
"Jadi, lo bakal nyariin si arfi?" Kata Marshall berseru di dekat telingaku supaya aku mendengar ucapannya
Ya, kami sudah ada di bazar. Dekat kampus. Sebagian besar di isi oleh pedagang yang menawarkan makanan-makanan unik pada pengunjung yang di dominasi keluarga-keluarga bersama anak-anak yang terlihat ceria
Sisanya hanya beberapa anak-anak kampus yang segelintir dari mereka wajahnya sudah tak asing lagi bagiku
"Eh! Lo ngelamun aja?" Ujar Marshall kembali berbicara saat kami sudah di tempat yang cukup lengang
Aku menggeleng. "Maaf maaf, lo sensi amat sih!" Jawabku berusaha bercanda, meskipun aku tau suaraku tidak bisa di ajak bercanda sekarang
Aku melirik Marshall, sekilas dia tersenyum simpul namun tidak sedang menatapku. Tapi aku yakin dia tersenyum seperti itu jelas karenaku
"Kadang ya ra, orang itu perlu bohong untuk kebaikannya dan orang lain. Dan ada saatnya, orang yang bohong demi kebaikan itu jujur sama dirinya dan orang yang dibohongin," kata Marshall tiba-tiba mengucapkan hal yang tidak biasa "Lo ngerti kan maksud gue?" Ucapnya lagi saat sadar bahwa aku hanya melongo mendengarkan ucapannya yang sedikit tidak wajar
Aku hanya mengangguk-angguk "Iya, gue tau kok. Tapi gue bohong apa?" Walaupun aku mengangguk tapi entah mengapa aku masih tidak tau apa maksud dari Marshall bicara seperti itu
Kali ini Marshall tidak hanya tersenyum simpul melainkan terkekeh kecil. Sepertinya tidak ingin membuatku marah atau kesal
"Lo bohong apa? Jelas-jelas lo bohong tentang perasaan khawatir lo ke Arfi. Tapi lo pura-pura ga peduli? Itu kan sama aja bohong ra" Kali ini Marshall benar. Istilahnya ngena
Aku terdiam. Melihat lurus ke depan walaupun pikiranku tidak selurus penglihatanku. Ya, jelas aku bohong. Berpikir semuanya akan baik dalam waktu yang singkat, tapi nyatanya tidak semudah yang di angankan
Dimana Arfi? Bayangannya masih sangat jelas di pelupuk mataku. Senyumnya yang mampu membuatku dag-dig-dug, tawanya yang lepas saat menertawakan namaku dan banyak hal lain yang telah banyak dia lakukan bersamaku
Termasuk saat pertama kali aku melihat Raisa. Melihat ekspresi Arfi yang santai saat memberi tau bahwa Raisa adalah pacarnya. Aku baru sadar tepat detik itu, kalau aku jatuh cinta padanya
Perasaan itu akhirnya datang juga setelah sekian lama aku membohongi diriku sendiri. Membujuk perasaan itu sebenarnya adalah perasaan sekedar kagum dan nyaman saja
"Iya shall. Gue bohong, tapi kapan gue bisa jujur? Gue udah telat" Ucapku setelah beberapa menit hanya di isi oleh keramaian di sekitar kami
"Menurut gue, gak ada yang telat di dunia ini. Setelat apapun lo, kalau lo mau niat ngejar ketelatan lo. Pasti ada jalan kok ra" Marshall kembali bicara dengan nada-nada tidak biasa. Tapi kuakui, aku suka. Suara dan apa yang dia katakan bisa menenangkanku
Aku terdiam lagi. Memang tidak ada yang terlambat, tapi sekarang. Aku bahkan tidak tau dimana Arfi berada. Bagaimana aku akan jujur?
Tapi sebelum jauh memikirkan itu. Aku tersenyum, "Makasih ya shall!" sembari merangkul lengannya yang ada di atas meja
Sebaliknya, Marshall malah menekuk keningnya lalu kemudian ikut tersenyum penuh arti "Iya sama-sama" Jawabnya menoleh kepadaku
Beberapa detik, aku masih menatap wajah Marshall. Kadang kalau di ingat saat pertama kali dia loncat ke bangku tempatku duduk di kantin kampus dan wajahnya saat itu yang kelewat slow
Aku sama sekali tidak menyangka sekarang dialah yang sekarang disini. Bukan Arfi
"Eh shall? Lo ngga mau traktir gue apa gitu?" Ucapku sambil memilih-milih penjual mana yang akan kubeli nanti
Mungkin sekarang aku butuh sedikit kelucuan untuk sebentar saja melupakan kesusahan hati yang tak kunjung berakhir ini
Beberapa menit kemudian, aku sudah menjilat-jilat es krim rasa vanilla-coklat favoritku. Masih bersama Marshall yang duduk manis menatap sekitar kami yang semakin lama semakin ramai
"Ngomong-omong shall, makasih ya udah ngajak gue ke bazar! Kalo ngga di ajak mungkin gue gak bakal makan es krim ini sekarang" Ujarku tiba-tiba sambil menatap Marshall yang juga sibuk menjilat-jilat es krim agar tidak mengenai jari-jarinya
"Iya iya ra" Marshall memberiku respon santai seakan dia memang berniat mengajakku
Tiba- tiba aku teringat saat pertama kali aku bertemu dengannya
"Shall! Lo kok bisa kenal sama bang jaka sih?" Sahutku membuat gerakan menjilat es krimnya berhenti. Seperti di pause
Marshall menoleh dengan kening berkerut. "Kok lo tiba-tiba nanya ini sih?" Tanyanya heran pada pertanyaanku
Aku diam. Kemudian nyegir gak jelas. "Emang kenapa kalo gue nanya?" Ucapku mengangkat bahu. Tidak peduli
Dan Marshall sepertinya juga tidak peduli. Dia langsung menjawab pertanyaan pertamaku setelah aku selesai menjawab pertanyaannya "Ya gitu deh, gue kenal sama jaka lewat komunitas yang gak sengaja," Ucap Marshall memulai ceritanya. "Awalnya sih, dia apatis banget ke gue. Tapi saat dia tau gue kuliah disini, dia langsung berubah gitu. Apalagi dia tau kalo gue kenal sama lo!" Marshall meneruskan ceritanya. Ekspresinya juga ikut bercerita
Aku mengangguk-angguk. Ternyata bang Jaka sudah mengerti kalau aku sudah bertemu dengan Marshall yang ia maksud. Yang katanya bening, pintar, anak fakultas kesehatan
Sebenarnya, aku ingin memberi tau dia tentang ini. Tapi selalu saja tidak sempat atau memang tidak pernah kusempat-sempatkan? Entahlah
"Ohh jadi bang Jek udah tau shall" Ujarku setengah bergumam
Marshall mengangguk. Terlihat dari ekspresi dan intonasi suaranya kalau ia antusias menceritakan hal yang aku tanyakan. Tidak kuduga Marshall bisa sepeduli ini padaku. Kukira saat pertama kali bertemu, dia hanya akan menjadi teman musiman saja. Hanya karena dia kenal dengan sepupuku bukan berarti dia bisa menjadi temanku
Tapi aku salah. Dia baik, peduli. Peduli dalam artian dia memang berniat menghiburku. Meluangkan waktunya buatku. Bukan peduli yang saat senang saja.
---------------------------
Ululu :v
Gimana kabarnya gaes?
Baik? Buaikk? Alhamdulillah😊😊
Kabar ue? Baik si ._. /yg nanya siapa thor :3/
Oke, maapkeun daku baru apdet --"
Ue masi latihan ini dan itu, padahal gatau bt apa latihannya ._. /canda:v/
Ue sekarang lagi suka novel Bulan. Ada yang sama ga? Itu loh novelnya Tere Liye
Suka amat sm karakternya Ali yg pinter tp pura2 bego. Andai ue gitu yaa. Tp ue apaan /--/
Oke, ini curcol ue :V
Tapi bener loh, itu rekomen bangetttzzzz
Ya deh, nyampe sini aja ya :)
Stay tuned sama aa' Arfi yaa :V
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top