Rhea

"Pakkk, pesen mie 2 ya!" Kataku dengan berteriak girang karena pak Badrul masih membuka lapaknya di jam-jam kritis seperti ini

"Yoi mbak rhea!" Sahutnya ikut girang kemudian tangannya segera nge-dance dengan terlatih di atas panci dan mangkuk

Aku langsung duduk di tempat favoritku. Tempat dimana aku bisa melihat pak badrul meracik mienya yang mampu membuatku ketagihan

Bagaimana dengan cowok yang tadi memboncengku? Dia masih melongo seperti anak yang tersesat di tengah-tengah mall

"Arfi!" Panggilku sambil melambaikan tangan agar ia masuk. "Lo ngapain celingukan gitu. Kayak maling aja" Kataku setelah ia duduk di hadapanku

Aku mendengarnya menarik napas malas "Suka suka gue" Jawabnya sinis dan acuh

Aku hanya mendengus mendengar nada suara sinisnya itu. "Kira-kira lo mau gak makan mie kaki lima begini?" Tanyaku sambil memainkan hp

Jangan pikir aku tidak mengawasinya! Aku masih meliriknya lewat ekor mataku. Ya, kupastikan dia tersenyum mendengar pertanyaan yang menyangkut tentang selera ini

Kemudian tanpa kusadari Arfi menyahut "Elo gak tau siapa gue na" Katanya, sontak aku langsung menaruh hpku

"Na?" Kataku. "Siapa na?" Lanjutku dengan wajah penuh tanda tanya

Arfi tersenyum. Oke, kuakui aku memang sedikit terpana melihatnya. Tapi itu tidak menyurutkan niatku untuk menggalinya dengan pertanyaan-pertanyaanku. Dengar ya. Tidak akan.

"Na itu elo. Annona. Gak salah kan gue manggil lo na?" Katanya mengungkapkan asal dari kata "na"

Aku mangut-mangut. "Ohh oke. Jadi elo bakalan suka apa nggak sama mie-nya pak badrul?" Tanyaku lagi. Aku masih penasaran pada jawaban dari pertanyaanku ini

"Hadehh, gue kan udah bilang. Gue mau makan mie asalkan mienya bukan mie bas!i" Jelasnya dengan ketus

Aku masih tidak yakin. Kupelototi wajahnya dari dahi sampai dagu, gak ada yg aneh sih. Tapi kayaknya dia masih nyimpen sesuatu, batinku membentuk sebuah analisis. Oh iya, aku bukannya orang yang suka berburuk sangka tapi hal seperti ini sudah menjadi hal yang lumrah. Karena saat ada sesuatu yang baru, otakku langsung berpikir dari sisi-sisi yang lain. Otomatis aku bisa saja seketika berpikiran ngawur. Dan tidak semua analisisku ini benar. Ingat!

"Lo ngapain sih?" Kata Arfi merasa terganggu dengan tatapanku

Aku memutar bola mataku "Gue itu pengen tau siapa elo sebenarnya?" Kataku setelah selesai dengan hp

Seketika aku merasakan aura hitam, perasaanku sudah tidak enak "Gue itu cowok. Bukan LGBT!" Jawabnya ketus sepertinya sudah sama seperti banteng. Ups!

Aku mengerutkan dahi sekaligus berkata "Elahhh, serius amat sih" Kataku seraya memonyongkan bibir yang sudah tak sabar menyentuh kuah mie

"Ya, lagian elo. Mikirnya yang aneh-aneh aja" Ujarnya sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling warung

Beberapa menit kemudian Pak Badrul datang membawa 2 mangkuk mie lengkap dengan udara yang membumbung di atas mangkuk-mangkuk yang di bawa Pak Badrul dengan tangan kosong itu. Sampai sekarang aku masih heran kenapa pak Badrul bisa membawa mangkuk yang jelas-jelas panas. Menurutku itu sudah masuk rekor orang yang tahan dengan suhu ekstrem.

"Ini mbak.." Kata pak Badrul seraya memberikan mienya padaku dan Arfi

Aku menyambutnya "Iya pak" dan Arfi..

Setelah kulirik dia membalasnya dengan tersenyum manis. Umm  cukup manis dibanding gula-gula yang melumuri donat yang sering kujadikan sarapan saat uang sudah berubah menjadi wujud menjadi melati

"Selamat makan fi!" Ujarku lalu segera menyambar garpu dan melahap mienya

Beberapa saat kemudian Arfi menyahut "Enak nih" Katanya singkat

Aku langsung mendelik melihat mangkuknya yang sudah kosong melompong tanpa sisa apapun atau lalat yang kepeleset masuk   -Mungkin aja, yakan?-

"Arfii!!!" Pekikku terkejut sekaligus tak menyangka karena ternyata ia suka pada mie buatan pak Badrul. "Fi lo suka beneran sama mienya?" Tanyaku dengan muka yang sangat butuh jawaban yang jujur

Arfi mengangguk "Iya, enak kok. Kalo lo gak abis kasiin gue aja!" Jawabnya semangat

Aku hanya tersenyum kecil dan kembali fokus pada mie yang masih anteng di hadapanku

Skip

"Hoamm" Arfi menguap

Aku segera menepuk bahunya "Fi, lo ngantuk?" Tanyaku

Arfi menggeleng pelan "Nggak" Jawabnya singkat

Jelas aku tidak yakin dengan jawabannya "Fi, kalo lo gak kuat. Gue aja yang nyetir" Kataku menawarkan

Lagi-lagi Arfi mengelak. "Diem lo!!" Katanya dan sanggup membuat bibirku terkatup rapat serapat-rapatnya

Aku memilih diam sampai motornya berhenti di depan kostanku. Yap, setelah sampai aku langsung turun dan meninggalkan Arfi yang sibuk menuntun sepeda motor masuk ke halaman bagian dalam

Ups. Ada yang menghalangiku saat akan masuk ke dalam rumah. Sebuah dehaman tegas yang sepertinya keluar dari tenggorokan cowok yang berada di sampingku

"Apaan?" Kataku mencoba bersikap dingin. Tapi sepertinya tidak berhasil

Arfi tidak langsung menjawabnya. Ia membuatku menunggu dengan keringatan lalu "Makasih" Jawabnya singkat

Sedangkan aku..

Oke maafkan aku. Aku lemah kalau harus bersikap dingin. Aku bukan tidak mampu, tapi tidak tega. Melihat muka Arfi yang kalau ku lihat-lihat ternyata ganteng dan hmm.. mungkin baby face juga

"Iya. Hmm gue masuk dulu!" Kataku kemudian berlalu setelah mendapat anggukan kecil dari Arfi

"Tamvan banget deh" Gumamku saat sudah sampai di kamar

Selesai menggumam yang tidak jelas tentang Arfi. Aku turun ke bawah menemuinya. Cowok dengan seribu rahasia terpendam dan aku akan segera menggalinya. Akan ada saatnya dia mengatakan semuanya padaku. Akan ada saatnya aku menjadi temannya. Akan ada saatnya juga dia menjadi temanku.

Skip

"Ehem ehem" Difa sengaja batuk-batuk untuk menjahiliku

Aku hanya meliriknya sebentar. Aku sedang malas untuk berkomentar apa-apa dengannya

"Hoi! Lo kenapa sih rhe?" Kata Difa setengah berteriak, sepertinya ia sudah tak sabar dengan responku

"Apaan sih?" Keluhku sambil mengibas-ibaskan tangan untuk menyingkirkan kepala Difa yang berada di bahuku. Sangat mengganggu

Difa mundur tapi dia tetap berada di dalam kamarku. Argh, kenapa harus ada kelas pagi besok! Hal ini memaksaku untuk membuka-buka buku di depan lampu belajar dan ya, menurutku ini sangat membosankan karena aku sering tertidur dan ngiler di atas buku. Bagian itu jangan di beritahu siapa-siapa, oke?

"Siapa sih namanya cowo yang dinner sama lo?" Kata Difa memecah konsentrasiku yang sebelumnya lurus pada buku. Hmm tidak terlalu lurus sih

"Arfi" Jawabku singkat tanpa melihat wajah Difa. Walau tidak melihat, aku yakin wajahnya pasti sudah seperti nobita. Kenapa kubilang nobita? Karena menurutku wajah Difa saat berpikir itu sama lugunya dengan wajah nobita. Maaf difa sayang

"Cie ciee, dinner dimana sih?" Tanyanya tentang dinnerku

Tunggu..

Dinner?

"Dif gue gak dinner tauk!" Jawabku baru sadar dengan kata "dinner"

Difa langsung tertawa mendengarku menjawab ketus seperti itu. "Hahaha  tapi menurut gue, si Rafi, itu lumayan loh" Kata Difa salah mengucapkan kata Arfi menjadi Rafi

Aku mengoreksi perkataannya "Dif namanya Arfi bukannya Rafi" Kataku masih dengan pose yang sama

Difa tertawa kecil dan kembali menaruh kepalanya di pundakku "Lo suka ke dia ya?" Oh tidak, ini pertanyaan yang paling kubenci. Mengapa? Ya, karena disaat difa memberikan pertanyaan ini, dia pasti minta jawaban iya. Anti kata tidak dan aku..

Jangan harap sekarang akan menjawab iya!

"Nggak lah. Ogah gue sama cowo rese!" Kataku kembali menyingkirkan kepala difa

"Kenapa sih? Kan ganteng" Katanya mencoba merayuku

Aku menarik napas panjang kemudian berbalik "Difa, ini udah malem. Lo tidur deh ya!" Kataku seraya mendorong difa keluar kamarku. "Dahh" Kataku lagi lalu menutup pintu dengan cepat

Skip

"Bu tin!!" Kataku berteriak padahal jelas-jelas suaraku tidak bisa di ajak kompromi

Pegawai bu tin datang dan menyapaku "Susu ya mbak?" Tebaknya dengan suara yang manis sampai-sampai aku pun ikut tergoda untuk merayunya. Tapi jangan anggap aku "jeruk makan jeruk"!

Sang pramusaji cecan itu segera kembali ke dapur untuk membuat sesuatu apa yang kupesan

Sembari menunggunya aku menenggelamkan kepalaku di lipatan tangan di atas meja. Aku sudah tidak kuat dengan hidung yang mengajakku perang ini. Dasar! Aku lupa kalau seharusnya aku tidak meminum es, es apapun itu. Demi memuaskan haus setelah makan mie, seketika aku amnesia pada komitmenku untuk menghindari es.

Sampai sebuah dehaman singkat namun tegas membangunkanku dari penyesalan tengan es ini. Sekaligus memaksaku mengangkat kepala yang semakin berat ini untuk menatap siapa yang berdeham

Keo. Salah maksudku oke.

Jantungku seketika merubah detakannya yang biasanya teratur menjadi beat yang sangat-sangat cepat. Berlebihan memang. Tapi memang itu yang kurasakan sekarang melihat siapa yang ada di hadapanku.

"Astaga!" Pekikku seperti dicekik setelah beradegan terkejut di hadapannya

Yang di ajak bicara segera berpindah posisi. "Lo kenapa na?" Tanyanya

Dia datang. Siapa lagi kalau bukan Arfi si cowok pemenang kategori "Rese" di awards-ku

Aku hanya menggeleng "Gak papa. Biasa flu" Jawabku sambil menunjuk hidung yang menjadi tersangkanya

"Flu kenapa?" Tanya Arfi lagi

"Kemaren tuh, gue kan minum es jeruk. Ya, langsung deh kayak begini" Jawabku lalu tersenyum kecut mengingat kecerobohanku itu

Arfi memasang tampang peduli. Tapi menurutku sok peduli. Percayalah!

"Saran gue lo cepet minum obat deh. Suhu badan lo lumayan panas loh!" Sahutnya yang tanpa kusadari tiba-tiba menyentuh dahiku yang sedikit tertutup poni ini

Kumohon jangan sampai Arfi mendengar detak jantungku yang kembali nge-beat saat merasakan sentuhan tangannya. Bisa-bisa dia langsung tertawa terbahak sekaligus meledekku habis-habisan

Aku hanya tersenyum mendengar kepeduliannya. Sekarang kuakui kalau Arfi benar-benar peduli padaku. Semoga saja.

Anak buah bu tin pun datang membawa nampan yang berisi sebuah piring dan sebuah gelas yang isinya berwarna coklat

"Nih mbak mas" Ujarnya sambil menaruh 2 pesanan itu di meja yang membatasiku dan Arfi

Tenggorokanku kering. Itu artinya aku tidak bisa berbicara panjang dan banyak. Jadi hemat-hematlah dalam berbicara rhea!

Kupaksakan diri ini untuk mengangkat segelas susu di hadapanku. Rasanya berat sekali untuk mengangkatnya. Mengenaskan sekali

Tanpa kusadari Arfi memperhatikan gerak-gerikku yang sepertinya mirip dengan joget patah-patah ala penyanyi dangdut kesukaan ibu kost

"Hahaha" Ternyata Arfi cuma ingin tertawa. Jahat

Aku manyun. Sebal dengan tingkahnya yang sungguh-sungguh membuatku semakin bad mood. "Lo nyebelin banget sih!" Kataku sudah naik darah

Tawa Arfi terhenti lalu di gantikan dengan senyuman "Hehe. Sori sori, by the way, lo gak makan?" Tanyanya mengalihkan

Aku mengangkat bahu yang semoga bisa menjelaskan rasa kesalku padanya

"Ck. Gue pesenin deh!" Sahutnya sambil mengangakat kedua alis meminta persetujuanku

Aku mengerutkan dahi "Ogah" Jawabku mantap menolaknya

"Ya udah. Cabut yuk" Kata Arfi mengajakku pergi dari kampus

"Kemana? Ngapain?" Tanyaku tidak yakin dengan gelagat anehnya ini

Arfi mengangkat bahunya lalu berkata "Terserah elo" Jawabnya kemudian tersenyum

Aku menimbang-nimbang idenya. Mungkin saja tiba-tiba dia meninggalkanku di tengah jalan sepi lalu aku dibegal di sekap dan blablabla~
Seperti yang sudah kukatakan. Otakku sepertinya sudah membuat analisis-analisis yang sepertinya eksentrik

Tapi aku tidak mau menolak kesempatan ini. "Oke gue mau. Tapi pake motor lo" Jawabku

Tanpa menunggu ultramen berubah wujud -Bagian itu gaje- Arfi segera berdiri dari posisi duduk manisnya. Dan aku.. diam saja. Selama aku bisa duduk, aku akan duduk. Hehe

"Woi!" Kudengar sebuah teriakan dari seseorang yang kukenal

Aku menoleh ke asal suara dan segera mengangkat tas ke punggungku. Tanpa ba-bi-bu aku segera naik ke motornya dan arfi..

Sepertinya yang biasa terjadi. Ia langsung memacu sepeda motornya tanpa peduli apakah di belakangnya ada mahluk hidup atau tidak. Kalau memang ia masih sadar, kenapa tetap mengendarai motornya dengan cepat. Apakah ia lupa kalau aku sakit?
Dan sekarang aku baru sadar kalau ia memiliki sifat lain selain dingin, rese yaitu anti lambat.

Aku memukul bahunya pelan saking tidak punya tenaga. "Fi kalo naik motor pelan-pelan dong!" Kataku menekankan kata "pelan-pelan"

"Suka-suka gue" Jawabnya egois

Kenapa aku harus bersamanya sekarang?
Kenapa tidak bersama seorang Taylor Lautner atau Lee Min Ho atau bahkan Freddie Highmore calon suamiku itu. Kenapa malah bersama salah satu buaya paling ganas di dunia ini. Tidak. Lebih tepatnya buaya, banteng dan kingkong di jadikan satu. Pasti akan menghasilkan spesies aneh seperti di depanku ini

"Hacchii" Ups. Aku bersin

"Lo kenapa na?" Baru kudengar sebuah pertanyaan dari mulut Arfi setelah bermenit-menit membisu

Aku menggeleng "Gak papa. Kita mau kemana sih?" Tanyaku penasaran

Arfi tidak langsung menjawab dan hal itu membuatku semakin penasaran

"Mau kemana sih?" Tanyaku lagi. Aku mendesak jawaban dari mulutnya

"Ke tempat gue" Jawabnya. Biar kutebak, pasti wajahnya datar saat mengucapkannya

Aku mengerutkan dahi, masih belum puas dengan jawabannya "Dimana tempat lo?" Tanyaku

Yang ditanya malah diam. Uh, feeling burukku datang. Rasa takut mulai menyelinap di hatiku. Tapi apa mungkin akan benar terjadi?
Apakah dugaanku benar?

--------------------------

Ketemu lagi sama Author
Maaf jika banyak typo dan ketidaknyambungan :'v
Author lagi writer's block buat crita yg 'back & find'. Kasi ide yak. Makasih sebelumnya :)
Author minta Vote sama Comment yak :v
Hargai imajinasi hayati :))
Ti amo ♥♥

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top