3| Fomalhaut
"Bintang!"
Aku mempercepat langkah. Tak peduli dengan panggilan itu.
"Bintang!"
"Bintang!"
Menyerah, aku pun menoleh. Spontan Aji berhenti dengan napas terengah-engah. Tanpa suara aku menunggunya bicara.
"Bintang, kamu ke mana aja?"
"Ngamen."
"Kenapa nggak ke Green House lagi? Kita-kita pada kangen."
Aku tersenyum tawar dan mulai melanjutkan langkah. "Males."
"Bintang! Kamu kenapa?"
"Yang harus ditanya kenapa itu kalian, Aji! Terutama Ica! Kenapa dengan dia? Kenapa dia mendadak ngilang? Dia bahkan nggak ada di momen-momen terburukku! Seenggaknya dia bilang kalau bosen temenan sama orang udik sepertiku! Sejak awal kalian nggak perlu membawaku masuk ke kehidupan kalian kalo akhirnya harus dibuang-"
Aku menggeram. Aku tahu. Aku menaruh harapan terlalu besar selama ini. Kepada Green House, masa depanku, dan Ica.
Kupikir, belajar di Green House dan berhasil lulus ujian persamaan sudah cukup untuk menggapai impianku. Nyatanya, aku gagal masuk PTN. Aku sudah mencabut kasar kertas impian yang tertempel di dinding kamarku. Mengoyaknya tanpa ampun. Runtuh sudah impianku untuk kuliah. Apanya yang siapa yang bersungguh-sungguh akan mendapatkan. Apanya yang bersabar akan berhasil? Apanya yang kalau ditempel, diingat terus akan tercapai. Semua itu tidak lebih dari omong kosong yang Ica ajarkan padaku!
Dan, yang paling menyakitkan, Ica tiba-tiba menghilang. Ia semakin jarang datang ke Green House. Kalaupun datang, ia menegurku sekenanya. Asing. Dan hari-hari berikutnya, dia tak lagi datang. Dia absen dari setiap kesempatan di mana aku ingin menemukannya. Kupikir gadis itu betulan ingin berteman. Tapi kenyataannya, dia menghilang. Lebih tepatnya, dia menghindar.
Hari-hari pasca frustrasiku, aku kembali melanjutkan hidupku yang normal; sepi dan sendiri. Bangun tidur, mengamen dan pulang. Sejak itu aku tidak pernah datang lagi ke Green House. Buat apa? Aku sudah lulus. Hanya tidak lulus saja di bagian paling menentukan. Pun andai aku lulus saat itu, aku juga tidak punya uang untuk kuliah.
Maka, aku pun menghindari titik-titik terminal atau tempat di mana Ica bisa menemukanku. Ica tidak salah. Aku yang salah. Orang kaya seperti dia memang tidak pantas berteman denganku.
"Bintang-"
"Sebaiknya, kau pergi aja sekalian!"
"Kak Ica sakit!" potong Aji cepat. Napasnya kini menderu. "Kamu nggak tau seberapa takutnya dia."
"Sa-sakit?"
Aji menghela napas. "Jantung koroner. Sudah lama," ucapnya bergetar. "Sejak kecelakaan mobil, Kak Ica jadi makin sakit-sakitan. Dia depresi. Dokter yang tangani dia kasih buku ini, untuk terapi-"
Belum sempat aku membuka mulut untuk bertanya apa maksud Aji, cowok itu langsung menyodorkan buku itu dan memintaku membacanya. Sebuah buku tebal dengan nama pemilik, Icarus.
Aku membolak-balik buku itu. Buku yang pernah kubaca diam-diam. Yang isinya hanya tulisan 'Aku ingin makan di warung Sedap Padang' dan aku keburu muak membacanya. Namun, ketika aku membuka halaman demi halaman, aku menemukan hal lain di bagian akhir buku.
Aku terkesiap. Sejujurnya, aku kangen gadis aneh itu. Aku membaca satu-per satu tulisannya. Ada banyak Impian yang dia harapkan. Dia ingin ke lautan lepas untuk melihat ikan paus, ingin membangun rumah singgah sendiri, punya panti jompo sendiri, punya 100 daster, menikah. Daftar impian itu semakin asik dibaca. Aku bahkan lupa maksud Aji menunjukkan buku itu padaku.
Dan ketika aku membuka halaman berikutnya, mataku pun terhenti pada impiannya yang ke-30; 'Aku ingin makan di warung Sedap Padang tempat Bintang biasa di sana'.
Mulutku terkatup rapat. Tak percaya dengan apa yang kubaca. Kemudian, dengan gemetar aku membaca lagi. Daftar impian itu kini berubah jadi tulisan yang tak terarah dan emosional.
AKU NGGAK SENGAJA! NGGAK SENGAJA! NGGAK SENGAJA! NGGAK SENGAJA! NGGAK SENGAJA! NGGAK SENGAJA!
Aku mengernyit. Halaman demi halaman, tulisan itu kini mendominasi. Sampai akhirnya, seiring tanggal yang terus berubah, aku menemukan goresan tangan Ica yang lebih tenang dan teratur lagi.
Kepada-
Seperti kematian yang niscaya, mungkin kehadiran juga sama. Saya tahu harusnya janji kita terlarang untuk dilanggar. Selalu bersama sampai kapan pun. Dan mari abaikan siapa pun yang ingin membawa kita. Mari kita bersama menjaga Bintang.
Tapi, hari itu, saya tidak bisa lagi berbohong. Bahwa saya ingin punya keluarga. Saya ingin punya seseorang yang bisa saya panggil Ayah dan Ibu. Dalam hatimu, kau juga sama, kan? Jadi, saya pikir selamat tinggal adalah keputusan paling baik. Tapi tak pernah cukup baik sesungguhnya ... Sampai kau hadir lagi hari itu- dan kenapa harus hari itu.
Kau ingat kisah nabi yang pernah kita baca? Di hari Qabil membunuh saudaranya, Habil. Hawa menangis begitu saja. Saya rasa, itulah pertama kali Hawa kehilangan. Dan saya rasa, saya tahu seperti apa tangis kehilangan itu. Untuk pertama dalam hidupnya, Bintang kehilangan Habil-nya. Dan saya, adalah Qabil yang bersedih.
Panti sama sekali belum berubah, Vega. Ayunannya masih dua. Tak pernah cukup untuk jumlah kita. Dan perosotannya masih warna merah, pernah membuat saya tersangkut, dan kau bersama Bintang menertawakan itu. Semuanya masih sama. Bunda Eri, Bunda Yuni terlihat makin tua. Tapi, setidaknya mereka semua masih ada. Kecuali anak-anaknya yang berubah.
Dan ada dia ... yang paling mencuri perhatian, dan sejak dulu memang selalu mencuri perhatian, Bintang. Namun, aku tak cukup mencuri perhatian baginya untuk menoleh.
Atau memang semua tak lagi menarik sejak kematianmu, Vega. Dia tak mengenaliku lagi. Dia, seperti bintang Fomalhaut yang kesepian. Duduk sendiri, menunggumu yang tak mungkin lagi pulang.
Saya pikir rasa bersalah ini semakin menjadi. Ketika saya tahu, Bintang tak lagi di panti. Tetapi saya harus terus hidup. Ya, hidup di hidup yang sial ini. Untuk bisa menebus semua. Saya tahu, Vega. Bintang tidak akan memaafkan saya, tapi setidaknya saya ingin punya keberanian untuk sebuah pengakuan.
Saya pikir, inilah mati yang sesungguhnya, Vega. Kehilangan harapan dan keinginan. Harusnya saya ikut mati bersamamu hari itu. Sebab saya pun sudah rindu kepadamu. Lalu, jantung yang selalu sakit ini akhirnya sadar juga. Tak ada yang lebih sakit dari rindu yang menyerang badan.
Salam,
Icarus-bintang terjauh di angkasa.
***
"Aku masih belum yakin kamu ini anak indigo."
Ica berhenti menebarkan makanan ikan ke kolamnya. Lalu menatap mataku sepenuhnya. Hari itu, sebelum berubah sikap, Ica sempat mengajakku ke rumahnya yang besar untuk berkenalan dengan orangtuanya. Harus aku akui, Ica sangat beruntung. Dia punya keluarga yang lengkap dan hangat.
"Belum cukup bukti?" tanya Ica tersenyum.
Aku mengangkat bahu. "Kalau benar kamu punya sixth sense, harusnya kamu bisa baca masa laluku lebih dalam."
"Saya bisa." Ica mengangguk.
"Coba kamu terawang."
"Apa?"
"Siapa yang nabrak Kak Vega sampai mati?"
Ica menatapku. Wajahnya pucat pasi dan bibirnya terkunci rapat. "Nanti saya kasih tau, kamu sekolah dulu ya yang rajin. Lalu jadi orang dewasa yang sukses."
"Kenapa harus nunggu sukses?"
"Biar gampang aja mutusin apa yang harus kamu lakukan ke orang itu."
Aku menghela napas. Ada sedikit kecewa menanggapi ucapannya. "Sebaiknya jangan kasih tahu saja."
"Kenapa?" Ica menegakkan punggungnya.
"Aku pasti akan cari alamat rumahnya, balas membunuhnya, barangkali."
"Oh. Tidak ... dimaafkan?"
Aku mendengkus tak percaya. "Kenapa dia harus dimaafkan? Dia pembunuh."
Potongan-potongan memori itu yang aku lupakan sejak kemarahanku pada Ica meledak. Sejak percakapan itu, tidak tahu kenapa, Ica menjaga jarak padaku. Ia seperti orang linglung. Green House jadi sepi karena dia jadi jarang datang.
Kata Aji, hari itu setelah menghilang dan merenung panjang, Ica ingin jujur. Ia datang ke rumahku tapi aku sedang frustrasi. Ica ingin menghiburku ... tapi tahu aku tidak akan mendengarkan sama sekali. Aku mungkin akan mendiamkannya, dan membiarkannya pergi bersama rintikan hujan yang semakin deras.
Aku tidak tahu betapa putus asanya Ica. Yang kutahu, aku benar-benar benci pada orang yang mencelakai Kak Vega. Ica ingin jujur. Walau nyatanya, ia memutuskan untuk memendam semua pengakuannya sampai akhir.
Aku tergugu. Terpatah-patah, aku melangkah. Rinai-rinai hujan sudah menyambut sejak aku menginjakkan kaki di Bumi Rahayu, pemakaman umum. Sejak dulu, aku selalu ingin bertemu dengan pembunuh Kak Vega. Ingin marah padanya. Membencinya teramat sangat sampai ke nadi. Dan ketika tahu kalau Ica pelakunya, kepalaku pening. Perempuan yang selalu memotivasiku, yang memberikan harapan kalau aku ini juga berharga, ternyata dialah orangnya. Aku ingin sekali marah dan menuntut. Tapi hari ini, untuk pertama kalinya, aku kehilangan emosi itu.
"Hai, Ca ..." sapaku lembut sambil mengusap batu nisannya untuk pertama kali.
Ingatanku kini berkejaran pada momen bertahun-tahun lalu. Ketika aku, Ica, dan Kak Vega berkejaran di halaman panti. Malam itu, kami melihat banyak bintang dan saling berebut bintang favorit.
Pernah suatu kali, Kak Vega yang cerdas berteriak senang lantaran berhasil melihat bintang paling kesepian di langit. Fomalhaut namanya, ikan Selatan. Ica protes kenapa Fomalhaut harus kesepian. Jadi, sejak itu, kami percaya dan sepakat; Semua bintang adalah ikan yang terbang di angkasa, yang sebenarnya, diam-diam kerap mengajak Fomalhaut berenang bersama.
Aku tersenyum. Kembali menatap makam di depanku.
"Kamu bohong, Ca. Kamu nggak punya sixth sense ... sejak awal kamu memang tahu semuanya."
Aku tersenyum getir. Mendadak, kerongkonganku terasa sakit. Seperti habis menelan makanan bulat-bulat dan rasanya sesak. Aku tarik napas panjang.
"Ica ..." Aku mengusap mataku. "Aku maafin kamu ...."
Dan, tangis itu pecah. Seperti langit yang kini menghujaniku dengan air mata. Kali pertamanya aku datang ke sini, aku ingin membantu Ica mewujudkan impian besarnya; Dimaafkan.
Tidak ada suara lagi setelah ini. Hanya satu, dua air mataku yang menetes tanpa bisa dihentikan. Daripada benci, sekarang aku kehilangan orang berharga sekali lagi. Seharusnya aku bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya. Seharusnya aku tidak perlu membuatnya disiksa rasa bersalah terlalu lama. Seharusnya ....
"Bintang, di sini rupanya."
Aku terkejut. Kurasakan tangan seseorang menempel di bahuku. Aku menoleh. Di sampingku, Aji sudah berdiri dan tersenyum.
Setelah menunduk dalam ke arah pusara Ica, Aji merangkulku, mengajak pulang. Tentu saja tanpa payung. Aji juga membiarkan hujan yang semakin lebat menyentuh kulitnya. Sama seperti Ica, ia mencintai hujan dan bintang dan ikan-ikan. Walau sering menyebalkan, ia tetap sahabatku yang paling menyenangkan.
Dan, sekarang, tentu saja dia adalah saudaraku yang paling menenangkan.
2013-
Seperti dulu, ketika Mama Papa datang ke panti dan memilihku jadi bagian hidupnya. Saya harap, setelah kematian yang lama ini, mereka bisa membawa Bintang untuk menerangi rumah mereka. Si pengamen murung di rumah makan "Sedap Padang". Adiknya Vega, sahabat saya. Orang yang saya tabrak malam itu. []
***
Selesai
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top