2| Vega
Tiga minggu sejak kejadian itu, aku masih seorang pengamen. Aku tidak pernah datang ke Green House seperti yang diminta Ica. Tidak perlu datang. Sekalipun Uda Sani, pemilik warung tempatku mengamen bilang kalau ada seorang gadis dan adiknya sering menanyakanku. Ternyata, ada manfaatnya juga mengganti rute mengamen. Aku jadi tidak perlu bertemu orang-orang aneh itu.
Namun, hari ini, Ica berhasil menemukanku di tengah hujan yang jatuh ke bumi. Aku sedang berteduh sambil menonjok dinding batu dengan kesal. Alih-alih percikan darah dari tangan, aku malah mendapati percikan-percikan air yang mendarat ke wajahku. Aku mengangkat kepala.
Gadis-yang hari ini memakai pakaian serba biru-itu sudah berdiri di depanku. Sementara adiknya, Aji, sibuk memutar-mutar payung tepat di bawah aliran air hujan dari atap. Membuat percikan-percikan air terlempar ke sana kemari. Membasahi dinding gedung tua tempat aku berteduh. Menerpa wajahku. Kuyup.
"Halo, Bintang," sapa gadis itu, agak menyeramkan.
Aku langsung berdiri, menyamakan posisi dengan gadis itu. Gemuruh guntur terdengar. Aji semakin kencang memutar-mutar payungnya. Hujan sekarang demikian lebatnya. Gadis itu tak peduli. Ia kembali melambai padaku. "Ini saya, Ica. Icarus," katanya memperjelas.
Aku tak menjawab.
Ica berdeham. "Bara Bintang. Tujuh belas tahun. Nggak lanjut sekolah di SMA Kol. Abunjani. Seharusnya kamu datang jum'at kemarin, saya nungguin."
"Ha?"
Lagi-lagi Ica tak menggubrisku. Ia lantas menepuk bahuku, "Kamu lagi kesal karena diusir dari rumah kontrakan ya?"
"Apa?" pertanyaan itu lebih pada tercengang. Bagaimana ia bisa tahu?
"Sixth sense, indigo, ssstt ... rahasia ya ...." pintanya polos.
Aku ternganga. Kali ini masalahku menguap seketika. Gadis ini semakin menarik. Ia tidak ngeri dengan sikap berandalku. Dia malah menatapku yang masih tak percaya kalau dia punya sixth sense.
"Pas kelas 5 SD Bintang pernah ngompol di kelas." Ica meyakinkan.
Aku mendelik. Aji sudah terkikik sambil memainkan payung. Aku coba selidiki lagi keakuratan pengakuan Ica. "Apa lagu terakhir yang aku nyanyikan?"
"Diam-diam suka, Cherrybelle. Bin nyanyi itu pas buang air di toilet umum terminal."
Tawa Aji pun lepas. Bodohnya aku, memalukan! Ini bunuh diri namanya, surut sudah kadar kejantananku. Kini tanda tanya di kepalaku pecah berkeping-keping dan segera meruntuhi seluruh tubuhku tanpa ampun. Jelas sekali bahwa gadis ini tidak berbohong. Mungkin benar, ia punya indera keenam. Baiklah, aku rasa percuma berhadapan dengan seorang cenayang seperti dia. Jadi, aku diam saja.
"Senang akhirnya bisa ketemu kamu. Apalagi pas hujan gini ..." ucap Ica sambil menengadahkan tangan, menangkap hujan. Akhirnya, setelah berhari-hari menelusuri terminal, dia bisa menemukanku.
"Kenapa sih, susah-susah mencariku!" sergahku.
"Kamu nggak datang-datang, sih."
"Apa? Ke mana?"
"Ke Green House. Kamu sudah saya daftarkan sejak lama."
Salahku. Salahku yang tidak curiga kenapa bisa-bisanya Ica mendaftarkan namaku sejak lama di tempat itu. Aku malah berkata, "Aku cari uang. Memangnya kalian? Orang kaya kayak kalian sih enak! Mau apa tinggal minta orangtua!"
Ica cemberut. Rinai-rinai gerimis mulai jatuh ke wajahnya. "Bin ... memangnya kamu tidak mau jadi anak pintar? Tidak punya cita-cita?" tanyanya pelan.
"Bukan urusanmu, kan?" aku tersenyum getir. Cita-cita sudah aku kubur lima tahun yang lalu. Sejak semua pergi. Sejak semua mati.
Hujan semakin deras. Semua orang di terminal ke sana kemari mencari tempat berteduh. Aku juga mau seperti mereka, tetapi Ica tidak terganggu dengan hujan. Dia terlihat senang malah. Rasanya tidak jantan meninggalkan perempuan di tengah hujan. Alhasil, kami jadi tontonan.
"Jadi kamu beneran nggak mau?"
"Nggak! Minggir sana!"
"Ya sudah, balikin uang saya yang kemarin."
Aku mengernyit. "Uang apa?"
"Kemarin itu kamu ngamen, saya kasih dua lembar, satu bayaran ngamen kamu, satu untuk ongkos ke Green House."
Aku melongo. Terbayang uang dua ratus ribu rupiah yang tempo hari ia berikan. Uang yang telah menyelamatkanku selama dua minggu untuk makan lontong sayur dan nasi biasa di hari berikutnya.
"Jadi untuk itu?" Aku memelotot dan menggeram. Sialan sekali cewek ini. "Yaudah! Aku bakal balikin. Tapi nggak hari ini. Jadi, jangan paksa lagi."
Aji, yang sejak tadi memerhatikan, berdecak. "Nggak semudah itu."
"Apa mau kalian?!"
Ica maju dua langkah. "Datang ke Green House. Kalo nggak, saya akan bikin kamu balik ke panti. Saya tau. Kamu ... kabur dari panti, kan?"
Aku terhenyak. Ica menggerakkan mulutnya seperti sedang berkata 'sixth sense.' Perempuan ini benar-benar cenayang mengerikan. Bagiku dia lebih mirip Bang Doy, preman yang suka malak di terminal. Bedanya, dia lebih intelek. Aku mengusap wajah. Menyibak rambut yang menutupi mata. Aku tersuruk.
"Yaudah, oke!" Aku nurut.
Ica tertawa menang. Belum sempat aku bertanya Green House itu tempat apa, Ica sudah kembali mengancam dan mengajak adiknya untuk pulang. Padahal hujan masih turun dengan sangat deras seperti berember-ember air yang menimpa bumi.
***
Aku sekarang punya jadwal baru. Pergi pagi-pagi untuk sekolah informal, pulangnya baru mengamen dan tidur di kontrakan yang mendadak pemiliknya tidak jadi mengusirku. Sejak itu, hidupku berubah sudah.
Satu hari setelah hujan-hujanan dan memaki Ica, aku datang ke Green House. Meski aku masih belum yakin dengan keputusanku. Kalau dipikir-pikir, aku akan lebih giat mengamen supaya uang seratus ribu itu bisa aku kembalikan. Tak perlu ke Green House, kan? Tapi aku tetap datang.
Green House rupanya tempat yang didirikan untuk sekolah informal. Ini buruk. Aku harus bertahan dengan pelajaran yang sudah lama aku tinggalkan dengan seorang guru tua yang membosankan. Kabar baiknya, aku tak perlu mengganti uang Ica. Meskipun, aku harus melewati banyak hal menyebalkan di Green House. Kau tahu? Pelajaran pertama di sana bukan Matematika, menghapal atau membaca. Tapi menahan emosi!
Bukan apa-apa. Jaya, pengamen wilayah selatan sudah memancing kemarahanku. Jaya terus menggangguku sejak aku masuk ke rumah itu. Aku sudah bilang pada Ica. Aku akan datang, tapi tidak janji akan bersikap manis. Jadi, ketika Jaya mulai mengusikku, aku mendorongnya sampai terjengkang.
Suasana menjadi panas. Semua orang menatapaku. Rasanya, semua tatapan mereka menimbunku tanpa ampun. Sebenarnya bukan ini yang aku inginkan. Aku hanya ingin hidup tenang.
Aku membanting pintu dan keluar dari halaman. Semakin cepat ke arah perkampungan kumuh. Tempat yang lebih layak untuk orang sepertiku. Sejak awal, bukan di sana tempatku. Sejak awal!
"Brengsek!" umpatku di pinggiran kali.
"Ada kata lain yang lebih baik dibanding brengsek. Istighfar misalnya, atau ... Prestasi yes narkoba no ...." sela seseorang di belakangku.
Aku tersedak. Terpana melihat sosok gadis yang tampak mengatur napasnya. Ica? Cuma karena ia bisa-yang sepertinya memang benar bisa- menerawang keberadaanku, ia tak harus mengejarku sampai ke sini. Tapi, dia toh tetap datang. Kini, Ica berdiri dengan jaket tebal, sendal jepit dan daster motif ikan. Aku nyaris menyemburkan tawa kalau saja tidak ingat aku sedang dalam upaya menunjukkan kalau aku-ini-lagi-kesal-loh.
"Bintang, di Green House tidak ada yang boleh bertengkar. Kalian semua harusnya saling mendukung."
Gigiku bergeletuk. "Dia banyak tanya! Dia menggangguku!" teriakku pada Ica. "Kau sih, nggak tahu rasanya! Kau pikir semua hiburan yang kau berikan ini cukup untuk membuatku baik-baik saja? Kau mana tahu! Rasa marah, rasa bersalah, semuanya seperti hantu dan tidak pernah lebih baik lagi selama ini!" cecarku lagi. "Kenapa di antara jutaan orang, aku yang dipilih bernasib seperti ini? Kenapa kami harus bertengkar malam itu? Kenapa aku harus merasakan semua ini!" Mataku memerah.
Labirin otakku membawaku ke masa itu, ketika Kak Vega-keluargaku satu-satunya-masih bersamaku. Kak Vega yang mati-matian menggantikan posisi ayah dan ibu untuk menjagaku. Kak Vega yang selalu ada di sampingku. Kak Vega yang selalu melindungiku dari gangguan anak-anak nakal di panti ... Kak Vega yang pergi setelah kami bertengkar hebat ....
Kenapa aku tidak bisa bersikap baik saja sesaat sebelum Kak Vega pergi? Kenapa? Kenapa di antara jutaan orang, aku orangnya ... Semuanya muncul kembali seperti sebuah rangkaian film. Dimulai dari awal, saat aku dan Kak Vega menjalani hidup di panti, lalu kematian Kak Vega, kabur dari panti, jadi gelandangan ... tak pernah jelas lagi.
Mataku berair. Ica menghampiriku lebih dekat. Menuntunku kembali ke Green House. Dan, seperti biasa, walau kadang tak mengerti isi otaknya, aura "memengaruhi" Ica membuatku melakukan perintahnya meskipun sambil menggerutu. Aku pasti tidak mungkin lari lebih lama dari tempat itu.
"Bintang," panggil Ica sambil menjulurkan tangannya ke langit. Gerimis mulai turun. "Kamu tahu nggak kenapa banyak orang suka hujan?"
Hening.
"Soalnya ... hujan selalu bilang ke mereka, kalau dia tuh nggak jatuh ke satu kepala aja ...."
"Setiap orang punya masalah. Di antara jutaan manusia ini, kamu nggak pernah susah sendiri, kok. Di antara jutaan bintang di angkasa, semua punya orbit sendiri untuk bersinar. Jadi, seperti bintang-bintang lain ... kamu pun pasti bisa." Ica tersenyum. "Itu hujan loh yang cerita ke saya," katanya lagi, mengingatkan perkara sixth-sense-nya.
Aku terpana.
Mungkin itulah awal mula persahabatan rumit yang terjalin antara kami. Ica yang baik, canggung, dan misterius. Ica yang selalu menyerah duluan jika kuajak tanding lari. Ica yang sok iya. Ica yang meskipun lima tahun lebih tua dariku, kadang-kadang justru lebih kekanakan dariku.
Namun, bersama Ica, aku merasa tenang. Aku rela menghabiskan banyak waktu asalkan ada dia. Dia benar-benar teman yang menyenangkan.
Sampai akhirnya, dia sendiri yang membuat jarak itu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top