-20. Waktu Kedua #2-
“Jay mencarimu. Jay selalu mencarimu dalam ingatannya bahkan sampai saat ini.”
***
Tawa kecil itu berubah berangsur-angsur menjadi kikik nikmat yang membuat wajahnya kemerahan. Kakinya berlarian di atas dedaunan kering nan rapuh.
“Hank mengejarku!” katanya. “Apa dia menyukai aroma tubuhku?” Ia menoleh pada seorang gadis kecil yang duduk anggun di depan pintu rumah sambil membelai anak anjing putih lainnya.
“Iya, katanya kau bau!” jawab gadis kecil itu.
“Jong Seong-a, kemari, Nak!” panggil seorang pria, tak lain adalah kepala keluarga Kim, ayah dari Kim Chaewon.
“Ada apa, Paman?” Ia ngos-ngosan. Wajahnya semakin memerah karena kelelahan.
“Pesawatnya tidak jadi berangkat hari ini, kita akan pergi akhir pekan minggu besok ada yang ingin kau kemas dulu?”
Kepalanya mengangguk antusias. Ia menarik lembut lengan pria itu memasuki rumahnya. “Paman Kim, apa Paman mau membantuku membuat peti harta karun?” Bibir mungilnya berucap semangat.
“Peti seperti apa?”
“Seperti … em … kotak kayu yang dikubur di dalam tanah. Nanti pakai gembok!” serunya. “Saat dewasa nanti aku akan membukanya sebagai kenangan.”
“Yah, baiklah, kita buat sama-sama. Mari kita tinggalkan banyak kenangan di sini, saat kita kembali dari Seattle kita bisa bernostalgia!”
Ia berseru sambil melompat-lompat kecil membuat pria itu tertawa dengan nikmatnya.
*
“Ddeonu?” tanya Kim, pria itu menyeka peluhnya setelah mengubur setengah dari peti kayu yang ia rakit seorang diri, dengan bahan seadanya dari gudang keluarga Park.
“Iya, Ddeonu. Dia memang selucu itu.”
“Siapa yang Jong Seong bicarakan? Anak anjing? Anak kucing?” Ia mengernyit.
“Bukan, Paman, bukan. Itu hanya anak kecil yang kutemui di taman. Dia manis sekali. Tiba-tiba memberiku kesemek, padahal aku tidak mengenalnya, tapi Paman … suara dan matanya familiar untukku.”
“Eh … cinta pertamamu?”
“Em … lebih tepatnya teman pertamaku. Aku ingin bermain dengannya, tapi Paman telanjur memanggilku. Kuharap bisa bertemu dengannya dan memanggil namanya.”
“Wah, wajahmu memerah.”
“Dia membuatku merasa lebih tenang.” Ia menatap sendu. “Matanya seperti mengatakan tenanglah aku akan di sisimu, meski tak mengenalmu, mari makan kesemek bersama. Rasanya seperti kesemek buatan tangan Eomma. Seketika aku tak peduli meski aku tak lagi bisa bertemu Ibu dan berada di sisi Ayah, jika berteman dengannya duniaku baik-baik saja. Mungkin seperti hujan deras dan esok embun terasa lebih segar.”
“Pergilah ke taman dan menyapanya, katakan terima kasih dan berjanjilah untuk bertemu dengannya dan bermain bersama. Kau tak boleh kehilangan orang baik sepertinya.”
“Emm, aku akan ke sana, aku ingin melihat pipi persiknya yang begitu imut.” Ia tersenyum. “Aku merasa lebih berharga ketika dia memanggilku hyungeun rasanya seperti punya adik sungguhan.”
“Yah, pergilah. Katakan untuk bertemu kembali.”
Jay kecil memasukkan botol soju, beberapa sampah plastik dan kardus pizza juga surat ke dalam peti tersebut, hal itu membuat Kim sedikit tertawa.
“Kenapa menimbun sampah, Jay-ya?” Kim membelai kepala kecil Jay. “Memang ada artinya?”
“Saat dewasa, Jong Seong tidak mau seperti Ayah, tidak mau jadi pemabuk. Jadi, Jong Seong menyimpannya agar saat dewasa nanti bisa mengingat betapa buruknya efek samping minum soju.”
“Lalu yang lainnya?”
“Kata Heeseung hyung, seseorang selalu memberikannya padaku saat sakit. Aku ingin menyimpannya sebagai ucapan terima kasih. Aku tak akan melupakannya meskipun tak pernah bertemu.”
“Baiklah, kau boleh menyimpannya,” kata Kim sambil memeluk Jay kecil.
*
Jay tidak pernah putus asa, sisa waktunya di Korea ia pakai untuk menunggu anak itu lewat. Sialnya, Jay baru sadar jika anak itu mengatakan hanya orang asing lewat. Mungkin tak akan ada kesempatan untuk bertemu dengannya lagi. Ia hanya bagian kecil dari takdirnya yang acak.
Jay hendak meninggalkan taman, tetapi matanya mendapati Heeseung berjalan dengan segerombolan anak-anak lainnya.
“Hyung!” panggilnya.
“Eh, Jong Seong-a, kupikir kau sudah pergi ke Amerika. Rumahmu tampak kosong hanya ada Paman Park.”
“Paman Kim membawaku ke rumahnya, kemarin ketika Ayah pulang. Kami baru akan pergi akhir pekan nanti.”
“Lho, bukannya rumah itu berpenghuni?”
“Penghuninya sudah pindah kemarin. Begitu katanya.”
Heeseung menyodorkan sekaleng kola pada Jay. “Nah, perutku sudah kembung!”
“Kupikir penuh!” Jay mendesis sebal, membuat Heeseung tertawa kikuk.
“Lalu, kau sedang apa di sini?” tanyanya sambil duduk di dekat Jay, di bawah pohon yang mulai gundul karena gugur.
“Menunggu seseorang.” Jay mengayunkan kakinya. Ia menikmati sisa kola pemberian Heeseung.
“Siapa?” tanyanya.
“Entah. Aku juga tidak tau namanya, tak tau siapa dia, tak tau kapan dia akan lewat lagi.”
“Eh, gadis seperti apa dia sampai kau tunggu? Emm, Jong Seong sudah mulai jatuh cinta. Secantik apa dia?”
“Apa anak laki-laki cantik? Bagiku dia manis dan baik hati. Pipinya seperti persik, matanya cokelat pekat seperti mata rubah. Dia mirip Jong Seong-nya Eomma. Suaranya lembut sekali.”
“Eh, kau tampak kecewa, Jong Seong.” Heeseung mengusap pusat kepala Jay kecil.
“Emm, terasa seperti kita pernah bertemu sebelumnya. Aku pernah melihat mata itu saat menangis dan dia mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, dia bahkan memandangku ketika aku minum secangkir susu hangat. Aku tak ingat kapan, semuanya samar-samar, tetapi suaranya terasa nyata.”
Heeseung hanya tersenyum kecil.
Jay kecil tertawa renyah sambil menggaruk-garuk kepalanya. “Saat Ayah memukul kepalaku dan Hyung membawaku ke rumah Paman Jun Hui, aku pun mendengar suaranya memanggil, hyung tunggu aku hyung.”
Heeseung tersenyum lagi dan kembali membelai kepala Jay kecil. “Kau pasti kesulitan? Maaf, aku tak bisa membantumu, karena tak banyak mengingatnya. Aku sibuk dengan sepak bola dan les.”
Jay menyandarkan kepalanya di bahu Heeseung. “Gwaenchanayo. Aku punya kakak sebaikmu Hyung sudah terasa cukup.”
“Ne, gomawo, Jong Seong. Jja gajja, anginnya semakin dingin, kau tidak boleh sakit saat pergi ke Seattle nanti. Aku akan mengantarmu ke bandara. Aku akan minta Ibu membungkus semua makanan Korea yang kau suka.”
***
Korea.
Untuk terakhir kalinya Jay memandang langit Korea dengan begitu saksama. Aroma anginnya yang selalu anggun membuat ia sedikit sedih.
Ia duduk manis menunggu keluarga Kim yang sedang berbincang dengan keluarga Lee, begitu juga Chaewon yang asyik bercanda dengan Heeseung. Katanya, ia akan melamar Chaewon saat dewasa nanti.
Jay mengayun-ayunkan kakinya sambil sesekali meniup-niup bibirnya. Namun, mata tajamnya tiba-tiba tertuju pada seorang anak laki-laki yang berdiri di balik punggung wanita bertubuh tinggi kecil di depan keramaian di seberang jalan.
Jay berdiri, ia mendapati mata cokelat juga pipi persik kemerahan yang bersembunyi di bawab topi itu mengarah ke papan nama bandara. Jay berjalan pada mulanya. Ia tersenyum ketika anak itu berjalan seakan mendekatinya.
“Ddeonu itukah Ddeonu?” Jay bergumam. Kakinya semakin cepat melangkah. Namun, anak itu menghilang sekejap mata ketika segerombolan orang asing—turis—berjalan di depan mata Jay.
Ia celingukan, mencarinya dalam ramai. Jay menyisit setiap ramai, mendapati anak itu benar-benar hilang.
“Jay! Di sini!” panggil Heeseung melambaikan tangannya.
“Eomma, Appa!”
Jay menoleh, samar suara lembutnya menyapa. Jay berlari mencari, memecah setiap unsur bising yang ada di sekitarnya. Kaki itu, berdiri di antara puluhan kaki orang dewasa. Jay ingat lutut kecilnya yang rapuh. Ia berlarian mengejar. Sayangnya, ramai seakan menjadi sekat.
“Jay-ya!” Chaewon menganggil juga.
“Ya, Park Jong Seong!” Heeseung berteriak. “Jay pesawatnya!”
Jay semakin menjauh, menyisir lagi dan lagi. Sayangnya, kaki kecil itu hilang, lutut itu pergi entah ke mana. Suaranya bahkan tak lagi samar-samar terdengar.
“Aduh!” Jay tersungkur mencium lantai ketika seorang pria tak sengaja menabraknya.
“Oh, maafkan Paman, ya. Kau baik-baik saja?” tanya pria itu membantu Jay bangkit.
“Tidak apa.”
Keduanya berpandangan untuk beberapa jenak sebelum akhirnya pria itu mendapatkan sebuah panggilan dati teleponnya. “Iya, iya, sayang, Appa akan segera datang!” katanya sambil melengos.
Jay memandang ke sekeliling hilang arah. “Wah, aku pergi terlalu jauh, di mana keluarga Paman Kim?!” gumamnya.
“Appa!” Suara teriakkan itu muncul kembali, melayang di atas tangan pria yang baru saja menabraknya. Topi itu terhempas jatuh, terlihat seorang anak laki-laki tertawa bahagia dengan pipi kemerahan.
Kaki Jay hendak melangkah. Namun, Kim—pria itu seketika mengais Jay kecil dan menyentil hidungnya. “Berhenti berkeliaran, kau bisa hilang dan Paman akan menangis karena itu.”
Mata elangnya bergerilya, ia mendapati anak itu dan sepasang wanita juga pria tadi baru saja keluar dari kawasan utama bandara.
“Paman izinkan aku pamit pada seseorang dia di seberang sana!” Jay melompat dari tangan Kim, berlari tunggang langgang hendak mengejar. “Aku akan segera kembali.”
“Jay-ya!” Kim menariknya dan memegangnya dengan erat. “Kau tidak boleh pergi.”
“Tapi ….”
“Tidak, Ayahmu sudah tau kalau kita pergi hari ini. Paman mohon, Paman tak mau kehilangan Jay lagi. Sekali saja. Kita tidak boleh di sini, begitu kata Nyonya Lee.”
Jay masih bisa mendengar suara tawanya, suara lembut itu, suara manis itu. Jay menoleh, ia terus memandang sampai akhirnya menurut.
“Maafkan Jong Seong, Paman.”
“Kalau begitu, ayo, kita harus segera bersiap.”
Jay memandang dari kejauhan, punggung anak itu benar-benar sudah menghilang dari pandangannya.
Aku harap bisa bertemu lagi dan makan kesemek darimu, kesemek yang sama persis seperti kesemek buatan tangan Eomma. Aku akan merindukannya.
“Jay!” Kim membentak sambil memandang dengan tatapan berang. “Berhenti melamun dan lekas bergegas! Jangan berpikir untuk kabur lagi, Paman bisa gila.”
Mendengarnya membuat kaki Jay lemas. Ia berjongkok sambil menutup telinganya dengan kedua tangan yang gemetaran. “Maaf, Ayah, maaf, jangan pukul Jong Seong.” Ia merintih.
“Eomma, Jong Seong takut, Jong Seong takut Paman, Ayah akan memukulku lagi setelah marah-marah,” bisiknya sebelum menangis pelan dengan tangan masih menutup kedua telinganya. Ddeonu-ya mau berteman denganku? Aku takut, aku kesepian, dunia selalu meneriaki aku.
“Jay-ya, maafkan Paman, sayang, maafkan Paman.” Kim memeluknya dengan erat sambil membelai lembut pipinya. “Paman janji tak akan membentakmu lagi.”
“Jong Seong minta maaf, Paman.”
“Paman juga. Ayo, kita pergi. Jay tak perlu takut lagi, ya. Paman janji, Paman tak akan membuatmu bersedih.”
Kepalanya mengangguk pelan, ia pun memegangi tangan pria itu dengan erat. Aku akan kembali ke Seoul suatu hari nanti, aku ingin bertemu denganmu, dan makan kesemek dari tanganmu, dari tangan selembut tangan Eomma-nya Jong Seong.
🌸
Publikasi 24 Juni 2022
Republish 9 April 2024
Abang nampak lebih kiwoyokk, Noo lebih menglucuk kali dia :(
CR pic : Pinterest.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top