-16. Sepenggal Hati Sunoo untuk Jay-
Jay ingin memukul wajah menyebalkan Sunghoon yang memintanya untuk tinggal beberapa hari di En-Fever. Katanya, ia butuh orang untuk memastikan En-Fever baik-baik saja tanpanya. Tanpa Sunghoon yang akan berlabuh ke Jeju untuk liburan bersama sang kekasih.
“Kenapa harus aku?” Jay mendesis. “Sejak kapan kau merasa dekat denganku? Kita baru membangun percakapan selama beberapa bulan.”
“Aku akan memberimu tip!” Sunghoon mulai resek.
“Hoon, berhenti main-main,” ucap Jay menempeleng kepala laki-laki itu.
“Jay, Sunoo merasa nyaman berada di dekatmu.” Sunghoon menatap saksama. “Aku sudah mendapat izin dari pemilik En-Fever. Kau akan membantu Sunoo mengurus studio. Aku akan memberikan setengah dari gajiku untukmu.”
“Hoon ….”
“Beberapa hari ini kau tak mengunjungi kami. Sunoo tampak gelisah, aku tak pernah melihatnya seperti itu. Asal kau tau, aku melihat matanya bicara padamu dalam diam. Dia benar-benar memandangmu dengan merindu.”
“Aku tak mengencani pria.”
“Dia juga tak kencan dengan pria. Mian, dia juga tak punya kekasiu. Dia sibuk di En-Fever. Karena dia benar-benar mencintai pekerjaannya. Aku harap kau masih mau mendengar ceritanya soal alat-alat musik yang bicara.”
“Aku akan memikirkannya. Pinjamkan aku studio selama satu jam!” kata Jay sambil bangkit.
“Dengan senang hati.”
***
Jay menoleh, sepasang mata rubah berwarna cokelat tampak muncul di antara celah pintu sambil membawa dua kopi di tangannya. Kim Sunoo, tiba-tiba saja membuat seorang Jay mematung barang sejenak.
“Jay Hyungeun,” panggilnya.
Dada Jay bergemuruh, ketika kedua kaki laki-laki itu semakin mendekat. Jay memalingkan wajahnya, mata laki-laki itu bergetar ketika tangan Sunoo mendarat di atas senar gitarnya.
“Kau pasti bermain gitar selama satu jam tanpa henti,” katanya. “Nah, kopi, kau harus menghangatkan dirimu.”
“Ah, gomawo.”
Sunoo, laki-laki itu tertawa kecil ketika tangan gemetar Jay menerima kopi darinya. “Tanganmu sampai tremor,” sindirnya.
“Aku hanya mengikuti arusnya, Sunoo-ya,“ balas Jay tersenyum tipis.
“Kau menerima tawaran Sunghoon hyung?” Kedua manik matanya yang cokelat menatap begitu dalam, nyaris membuat mata Jay keluar dari kelopaknya.
“Tidak juga. Mungkin hanya untuk mengisi waktu kosongmu,” katanya sebelum meneguk kopi. Sunoo terperanjat. “Waktuku, waktu kosongku. Aku juga tak punya kegiatan resmi di Seoul.”
“Ah, begitu.” Sunoo manggut.
“Apa kau sibuk?” tanya Jay menatap dengan lekat-lekat. Sudut bibirnya naik perlahan. “Mau mendengarkan demo yang kubuat?” imbuhnya.
“Beberapa waktu malamku terasa sesak, aku mencoba melepaskannya. Aku tak mengerti kenapa aku terus memikirkan seseorang. Wajahnya asing, tetapi dia benar-benar mengusik perasaanku,” jelasnya.
“Uwa, Jay hyung membuat demo lagu? Aku ingin mendengarnya!” kata Sunoo dengan antusias.
Jay tersenyum tipis. Jemarinya mulai merabai longkap. Dentingnya berlayar, mencipta nada sendu yang terasa hangat. Anehnya, telinga Sunoo merasa termanjakan.
Jemarinya menari, anggun, lentik kurus mengejar setiap nada. Lagi-lagi mencipta hangat yang sendu, mengetuk-ngetuk setiap sepi yang Sunoo rasakan. Kerongkongannya bergetar, panas membakar hidungnya kemerahan. Kedua manik mata cokelatnya yang tajam bak rubah berkaca-kaca.
“Mencarimu dalam gelap, semuanya terasa sesak.
Memenjarakanku dalam senyap.
Mencekik.
Mengingatmu membuatku tersesat dalam ragam mimpi buruk.”
Melodinya semakin panas, menjajal nada-nada pilu mengeruk waras Sunoo yang hanya diam gugup dengan mata yang semakin memerah berkaca-kaca.
“Menggapaimu tak sanggup, tak kutemukan pergelangan tanganmu.
Merindukanmu tak mampu, tak dapat kuingat wajahmu.
Kembali terjebak gelap, sisa tentang dirimu terkubur dalam kalut.
Terbunuh memora.
Memeluk bayanganmu dalam setiap malam, berharap mimpi ini tak berhenti.
Meratap pertemuan denganmu, hanya sekejap kunantikan wajahmu tetap di mataku.”
Air mata Sunoo berjatuhan, lututnya bergetar sementara Jay masih memetik senar gitarnya. Isak tangis laki-laki itu membuat Jay menoleh, ia menghentikan permainan gitarnya.
“Maaf aku membuatmu menangis!” Jay menarik Sunoo ke arah dadanya. Ia sesegukan.
Bertahun.
Sunoo kecil selalu menunggu kabar dari Paman Jin Woo. Sayangnya, meski waktu-waktu terus berlalu, Eomma selalu hadir ke rumah keluarga Lee tanpa buah tangan.
“Eomma, kenapa wajah Eomma begitu kusut?” Sunoo menatap dengan saksama.
“Ah, meski tiga tahun berlalu, keluarga Kim yang sebelumnya masih belum ditemukan. Sekarang, Nyonya Lee mengabari kalau Jong Seong dilarikan ke rumah sakit.”
“Eomma, Sunoo ingin ke sana! Sunoo ingin bertemu hyungeun!”
“Tidak. Tragedi pagi itu mungkin akan terjadi lagi. Eomma tak ingin kau terluka!” Wanita itu berteriak. “Eomma dan Appa akan menunggu kabar dari Paman Jin Woo, agar Jong Seong mendapat hidup yang layak.”
“Eomma, tapi Sunoo ingin ke sana! Ingin menemui hyungeun!”
“Ya Putranya Kim DongSan. Kim Sunoo, pergi ke kamar dan kunci pintumu!”
Sunoo berteriak sambil menangis, ia mengamuk, nemberantaki ruangan yang dipijaknya. Sunoo memukul-mukul lantai kayu rumahnya.
“Kenapa Sunoo begitu ingin menemuinya?”
“Sunoo pikir hyung akan jadi temanku, aku kesepian, Eomma, Appa, kenapa aku harus belajar di rumah? Kenapa orang-orang tak boleh melihatku dan berteman denganku?”
Wanita itu menghela napasnya. “Itu karena kau anak kami. Kami tak becus jadi orang tua. Para penggemar kami terlalu menakutkan. Penggemar Appa pernah hampir menculikmu ketika bayi. Penggemar Eomma pernah nyaris menculikmu juga. Salah Eomma dan Appa memilih jalan sebagai seniman, sebagai idola, sebagai balerina juga musisi. Kami lupa soalan sasaeng di luar sana.”
“Tapi, Sunoo ingin bertemu dengannya, sekali saja.”
Sunoo tak ingin menyerah.
Tangisan itu selalu hadir. Setiap waktu Sunoo hanya melihat di balik pintu. Seorang anak laki-laki dengan tubuh kurus kulit pucat terbujur kaku di atas ranjang.
Keranjang roti mentega ia simpan di depan pintu, bersama beberapa buah kesemek kering. Ia merapalkan doa berharap anak laki-laki itu segera bangun. Tiga tahun. Iya, sejak hari itu, ketika matanya bertemu, ketika anak itu menangis di pelukan sang ibu sambil ketakutan.
Sunoo pikir, ia mungkin akan menjadi temannya, bersenda gurau dan saling menyayangi. Nyatanya, Sunoo selalu sendirian. Bahkan kini meski bertemu kembali, Sunoo hanya mendapati anak itu tertidur di atas ranjang dengan sekujur tubuh penuh dengan luka.
“Sunoo-ya, mari kita pulang.”
“Ne, Eomma.”
Serpihan kenangan itu hanya menjadi duri. Beberapa waktu dihabiskan hanya untuk mengintip dan mengintip.
“Kita akan pindah, keluarga Kim yang kita cari akan kembali ke rumah ini.”
“Tidak mau.”
“Ini demi kebaikan Jong Seong. Kita tetap akan bertemu dengannya lagi.”
Sayangnya untuk ribuan kali. Sunoo hanya mendapati ia benar-benar pergi dari Seoul ke Busan. Sunoo merasa semua hal mengkhianati dirinya.
Kaki kecil berlarian di jalanan kota. Taman musim gugur. Ketika semua pohon menjadi gundul dan kering. Seperti hari-harinya. Sunoo menguping, keluarga Kim yang Eomma dan Appa cari baru saja tiba di Seoul, karena selama ini mereka telah tinggal di Seattle untuk urusan bisnis.
Hari terakhirku melihatmu.
Pelataran rumah sakit tampak cokelat, semua daun kering, dengan angin yang menyayat lengannya terus menerus, terasa panas. Ia kehabisan napas. Namun, matanya berbinar ketika seorang anak laki-laki berjongkok di bawah langit sambil memainkan ilalang kering.
Kemesek mendekati wajahnya. “Apa kau mau?” tanya Sunoo sambil jongkok. Lutut kecilnya membuat Jay kecil mendongak.
“Siapa kau?” Ia mengernyit.
“Ah, hanya orang asing.” Senyumannya turun, binar matanya pun hilang. “Apa kau mau?”
Ia mengambilnya, lalu memakannya dengan lahap. “Rasanya seperti kesemek yang Eomma keringkan utnukku, hebat!”
Ia tersenyum.
“Namaku Jong Seong. Kau Ddeonu!” Jay tertawa terbahak-bahak sambil makan kesemek keringnya.
“Apa itu Ddeonu?”
“Jay!” Seseorang memanggil dan membuatnya pergi. “Pesawatnya akan segera tiba. Taksinya sudah sampai!”
“Ddeonu-ya, ayo bertemu kembali!” Ia berlari terbirit-birit sambil melambaikan tangannya.
Air mata Sunoo merinai. “Ya, ayo bertemu kembali, hyungeun.”
Berat, kepala kecilnya terasa berat. Tak sadar jika telapak kakinya berdarah, dan menodai tepian sepatunya yang berwarna biru langit, wajahnya memucat. Ia terhempas ke tanah dengan hidung mimisan.
“Eomma,” rintihnya sebelum benar-benar hilang kesadaran.
***
Sunoo masih memeluk Jay, aroma tubuhnya begitu menenangkan. Sedang Jay, ia hanya membelai lembut pusat kepala laki-laki itu tanpa suara.
“Aku minta maaf karena membuatmu menangis,” bisiknya. “Berhentilah menangis, itu membuatku sakit hati.”
“Apa Jay hyung ingin makan kesemek kering bersamaku?” Sunoo mendongak.
“Eh, tiba-tiba.”
“Emm, aku hanya asal bicara.” Senyumannya getir.
Jay berdiri, menjulurkan tangannya pada Sunoo. “Jja, gajja, aku akan membelikannya untukmu,” ucap Jay dengan suara lembut.
“Kita bertemu kembali,” gumamnya sambil menyeka sembab di wajah. Ia memandang punggung Jay yang begitu menawan.
🥀
Publikasi 12 Juni 2022
Republish 31 Maret 2024
kalau lo nggak baper gua tempeleng lo, kata Jay🤬
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top