-15. Memuat Memora-
Keringat membuatnya mati. Tenggelam di dalam air panas. Setelah seharian menghabisma waktu mendengar setiap cerita dari mulut Heeseung. Jay rasa tubuhnya mendidih, di samping rasa sakit kepalanya yang benar-benar mencekik. Jay kembali menenggelamkan kepalanya dalam air.
Langit kemerahan, di antara rasa hangat dan dingin, Kim Sunoo berjalan santai sambil membawa beragam belanjaan. Kakinya sempat berhenti di hadapan sebuah rumah sakit yang hari itu menjadi hari terakhirnya bertemu dengan seorang bernama Park Jong Seong. Air mata Sunoo merinai.
“Aku ingin kau bahagia, Hyung.” Kepala Sunoo tertunduk sambil berjalan.
Eomma memeluk dengan erat sambil membantunya berdiri setelah terluka mencium aspal yang becek. Sunoo menatap sambil menangis tersedu.
“Mereka meninggalkanku!” katanya.
“Tidak masalah. Ayo, kau harus mendapat perawatan. Setelah ini, esok kita akan kembali memastikan jika Jong Seong hyung baik-baik. Sunoo mengerti?”
“Eomma, apa hyungeun baik-baik saja? Pria itu memukul kepalanya.”
“Yah, anak laki-laki itu membawanya ke rumah seorang dokter. Tidak apa-apa jangan khawatir!”
Pria berjaket parka menggendong Sunoo. Ayahnya. Pria itu menatap ke arah wajah anaknya, sementara itu sang istri berjalan di sampingnya.
“Apa kau benar-benar tak keberatan akan menemui Tuan Kim Jin Woo untuk mencari daftar nama-nama kepala keluarga dengan marga Kim?”
“Iya, Jin Woo mungkin bisa diandalkan. Melihat mungkin anak itu tidak dalam kondisi yang baik.”
“Untuk saat ini kita hanya bisa percaya pada keluarga Lee.”
“Kenapa kau khawatir? Sejujurnya kita tak mengenal siapa mereka dan kenapa pula kita harus ikut dalam masalah ini?”
“Aku hanya berpikiran bagaimana jika itu adalah Sunoo. Anak sekecil itu berlari tunggang langgang dengan wajah ketakutan. Mencari seseorang yang mungkin bisa menjadi pahlawan dan malaikat untuknya, ternyata yang diharapkan dia hanya bertemu para iblis seperti kita. Yang berpikir jika itu bukan urusan kita. Aku hanya melihat jika dia mungkin seperti Sunoo. Anak kecil yang belum sepenuhnya melihat dunia ini harus kembali terkurung.”
“Ah, aku akan berjuang untuknya. Meskipun butuh waktu yang lama. Berdoalah jika Jin Woo akan menemukannya secepat kilat.”
“Appa, Eomma, apa hyungeun akan melupakan kita?” Sunoo berkicau. “Apa hyungeun akan mengembalikan baju kesayanganku?”
Hanya ada suara tawa renyah. Sunoo pikir, jawabannya adalah tidak akan ingat.
“Eomma apa kita akan bertemu dengannya lagi? Sunoo masih ingin memakai baju itu, hadiah dari Appa!”
“Ne, kita akan menemuinya lagi. Pasti.”
*
Kakinya melangkah, di depan rumah tampak Suzy noona—anak dari pemilik toko kelontong di gang sebelah. Perempuan bermarga Bae itu menatap ke arah Sunoo.
“Sunoo, kau tidak bekerja?”
“Ah, Noona. Aku sedang libur. Kau sendiri, sedang apa?”
“Kakakku akan menikah, datanglah untuk itu. Dan satu hal menarik lainnya. Kediamanku yang dulu akan mereka bangun lebih besar. Kami akan tinggal berdekatan setelah ini.”
“Kalau begitu ayo mampirlah, kau bisa bicara dengan kedua orang tuaku.”
“Aku baru saja menghabiskan dua cangkir teh hijau bersama seorang balerina terkenal se-Seoul. Aku senang!”
“Iya, pujiannya berlebihan.” Matanya berkaca-kaca.
“Kalau begitu sampai jumpa lagi!”
Sunoo melambaikan tangannya. Ia tidak menyangka kalau ada saja hal baru yang terus berdatangan. “Aku pulang!” katanya.
“Minggu esok jika senggang datanglah ke pernikahan keluarga Bae, nanti Eomma siapkan pakaian yang cocok untukmu!”
“Oh iya, kudengar di daerahnya Noona ada kedai tteokbokki enak dan terkenal. Nasi gulung mereka yang paling laris. Apa Eomma mau mencobanya?”
“Pergilah dengan Eun-Chae, Eomma sibuk di teater, dan beberapa anak menambah jam les balerina mereka. Ayahmu juga sibuk mengurusi beberapa konser idol ternama.”
“Baiklah, aku akan makan bersamanya.”
Di jam yang sama, Jay membuka matanya, duduk termangu di depan jendela sambil memandang langit yang mulai gelap. Ia belum mengirim pesan pada orang-orang Seattle soal kabarnya. Untuk beberapa waktu, ia ingin sendirian.
Ponselnya berdering, panggilan masuk dari Sunghoon membuatnya sedikit antusias.
“Ya? Ada apa?” tanya Jay.
“Kalau kau ada waktu, bisakah datang ke En-Fever? Aku butuh bantuanmu!”
“Tentu.”
“Aku menunggumu, esok pagi pukul sembilan.”
“Ya.”
Jay memutuskan untuk jalan-jalan santai malam ini. Ia ingin mengunjungi kedainya Heeseung. Namun, sejak kejadiaan hari lalu rasanya terlalu canggung. Apa iya perlu mengajak Jake? Mungkin bukan solusi.
Jay memangku gitarnya, menyanyikan lalu sendu untuk menghibur dirinya.
“Dia selalu datang dan membawa roti mentega juga kesemek. Aku melihatnya sepanjang hari. Hanya satu kali kulihat dia tak mengenakan topi, dia punya mata yang sendu. Seperti berkata kalau dia khawatir padamu.”
Jay terdiam, mungkinkah itu anak dari simpanan ayahnya? Ah, kepala Jay terlalu sakit. Kalau benar, gila saja. Jay, berharap bisa bertemu anak itu dan bertanya kenapa ia melakukannya?
*
Semangkuk odeng panas membuat tubuhnya hangat. Jay duduk di depan bar, sambil melihat bagaimana terampilnya Heeseung menggulung nasi dan rumput laut.
“Makanlah, aku akan membayarnya untukmu.”
“Di mana Imo?”
“Dia berkemas sebelum petang.”
“Hyung, aku akan berkemas, bisakah kau buatkan satu set tteokbokki dan nasi gulung untuk sahabatku?”
“Tentu.”
“Aku ingin menghabiskan malam dengannya. Dia seperti orang pintar, bicaranya selalu menyentuh. Bahkan, terkadang seperti dukun.”
“Kalian terdengar begitu dekat.”
“Iya, dia bekerja di apartemen, sebagai buruh cuci, dia mengerjakan banyak hal yang tidak aku bisa. Aku selalu mengandalkannya.”
“Ya, ya, ya, aku akan membuatnya kenyang malam ini!”
Jay tertawa renyah. “Gomawoyo, Hyung!”
***
Aroma cemara menyeruak, membuat kesadarannya meningkat. Sunoo melihat seorang pria tersenyum padanya.
“Anak Ayah sudah bangun. Bagaimana tidurmu?”
“Nyenyak, Appa.”
“Kalau begitu pergilah makan dan gosok gigimu. Hari ini, Ayah yang akan mengantarmu ke tempat judo!”
“Ke mana Eomma?”
“Eomma sedang mengunjungi kediaman keluarga Lee untuk memastikan keadaan Jong Seong.”
“Ehh, Sunoo ingin ikut!”
“Kau tidur,” sindirnya.
“Sunoo tak ingin pergi sampai Eomma pulang.”
“Baiklah. Besok kita akan menemuinya.”
“Appa, Appa, kenapa hyungeun mencari pemilik lama rumah ini? Memangnya mereka tidak bilang?”
“Tidak semua hal bisa dikatakan pada orang lain. Mengerti?” Ia mengangguk kecil pada ayahnya. “Ya sudah, makan dan gosok gigi setelahnya!”
“Baik!”
Setiap hari yang Sunoo dapatkan hanya secuil cerita kalau Paman Jin Woo tidak dapat menemukan sosok dengan marga Kim yang memiliki anak bernama Kim Chaewon. Setiap satu bulan sekali, Ibu akan menemui keluarga Lee untuk mengatakan kalau mereka tak mendapatkan apa pun hanya dengan mencari daftar keluarga bermarga Kim.
Sore itu terasa begitu sepi, rumah kayu dengan puluhan tong berisi pasta cabai dan kacang juga kecap, Sunoo kunjungi. Mata rubahnya menatap jauh ke arah pohon persik.
“Jadi, Jong Seong tinggal bersama ayahnya?”
Sunoo bisa mendengar percakapan sang ibu dengan wanita rambut keriting di dalam rumah yang hanya terhalang pintu kayu kertas, dengan sedikit celah terbuka.
“Ya, tapi aku dan anakku juga tidak bisa berbuat apa. Sebagai seorang janda, aku khawatir nyawaku dan anakku terancam.”
“Lalu, apa tak coba mengubungi pihak berwajib.”
“Tidak semudah itu. Tapi anakku selalu memastikan Jong Seong baik-baik saja.”
Kaki Sunoo berjalan ke arah pelataran, tanpa sadar ia sudah berjalan cukup jauh dari kediaman keluarga Lee. Sebuah rumah tua yang malam itu terguyur hujan membuat kakinya berhenti. Tampak anak laki-laki tengah duduk di dekat batu besar depan teras.
Ia mengintip dari pagar, lalu merangkak memasuki celah bawah pagar tempat itu.
“Hyungeun!” katanya antusias.
“Kau … sedang apa kau di sini?”
“Kau ingat aku?” Sunoo kecil tampak bersemangat.
Ia mengangguk sambil menatap sedih. “Kau yang tinggal di rumah Paman Kim.”
“Apa Hyung kesepian?” Sunoo ikut berjongkok.
“Kau pergilah, jika Ayah bangun dia mungkin akan memukulmu.”
“Aku ingin di sini.”
“Bagaimana kau bisa sampai di sini? Apa kau berlari sepertiku? Itu sangat jauh! Aku bahkan melewati beberapa jalanan besar untuk sampai ke rumah Paman Kim.”
“A—” Sunoo berdiri dengan wajah terkejut.
Sebuah botol mendarat di tengkuk Jay. Darah segar membasahi pakaiannya. Sunoo berteriak, sementara itu Jay membeku. Ia mendapati sang ayah memandang dengan bengis.
“Siapa kau? Berani-beraninya bocah kecil menyusup ke kediamanku? Mau mencuri? Atau mau mengajak si keparat Jong Seong untuk main-main dan melupakan kewajibannya sebagai anak?”
“Anniyo, Annieoyo, Ahjusshi.”
“Pergi, larilah!”
“Hyungeun!”
“Pergilah! Pergilah!”
“Eomma!” Suaranya yang melengking ketakutan mengundang keramaian. Kim Sunoo hanya bisa menangis ketika orang mulai menarik Jay dari cengkraman pria di depan matanya. Pria yang terus memukuli tubuh kurus Jay yang menggigil.
“EOMMA!”
Sunoo terperanjat dari duduknya di depan jendela ketika angin membuat jendelanya terhempas. Sunoo menyeka peluhnya sambil berkaca-kaca.
“Ah, mimpinya benar-benar buruk.” Sunoo berjalan ke arah cermin. Wajahnya tampak kusut. “Aku benar-benar memimpikannya. Aku rindu Jong Seong hyung. Tapi aku takut membuatnya mengingat setiap luka yang pernah terjadi antara dia dan masa lalunya.”
Sunoo mendaratkan kepalanya di depan cermin. “Aku rindu dirimu, aku ingin makan kesemek bersamamu lagi!” Air matanya berjatuhan. “Aku benci jika rindu itu datang. Aku pasti memimpikanmu!”
🦊🦅
Publikasi 13 Juni 2022
Republish 31 Maret 2024
Ade kakak unyuuu yang satu ini tamat di bab 20.
Tim Happy ending di sini.... Sending love, wajib:D
Tim Bad ending di sini..... Sending flowers, wajib:)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top