-10. Ranting Kesemek-
Obrolan terlalu memojokkan Sunoo yang akhirnya menunduk di sudut ruang perawatan alat musik—biasanya gitar dan alat musik kecil. Sunghoon mencengkram kedua bahu laki-laki dengan pipi persik itu. Mata rubahnya tampak sendu.
“Tapi, aku benar-benar mendengarnya!” gumam Sunoo, sedikit mendongak.
“Ya, teruslah bercerita seperti itu ketika mereka melakukan perawatan, dengan begitu mereka pasti akan datang lagi dan lagi!” Sunghoon tertawa renyah.
“Tapi, setiap gitar yang—”
“Arasseo, arasseoyo.”
“Hyung, dengar dulu!” Sunoo menatap putus asa. “Sebenarnya aku tak ingin, karena itu menyakitkan!”
“Hei, kau harus menjalankan tugasmu, seorang dokter yang baik tentu akan mengatakan kiat-kiat untuk menjadi sehat, bukan?”
Sunoo mengangguk pelan, sikapnya yang selalu seperti kelopak bunga putri malu itu membuat Sunghoon gemas, ia mencubit dagu Sunoo.
“Aku akan mengusahakan pada sajangnim untuk kau. Agar gajimu naik!” serunya senang.
“Lalu, bas di studio bilang orang-orang membuat senarnya meregang terlalu kuat. Harusnya … bukankah harusnya kau beritau mereka agar tidak menyetelnya seperti itu?”
“Ani, anieoyo! Biarkan, jika senarnya putus meraka harus mengganti. Itu suatu keuntungan! Teruslah belajar mengolah bibirmu, Kim Sun kesayanganku.”
“Sunoo, Kim Sunoo. Bukan Kim Sun.”
Sunghoon tertawa sambil mengacak-acak rambut Sunoo hingga berantakan dibuatnya. “Kembalilah bekerja!” titahnya.
Sunoo berjalan ke arah almari kaca dekat dengan rak kayu tempat menyimpan kerangka tubuh gitar. Tangannya hendak menyentuh hardcase gitar milik Jay.
“Lalu apa yang kau jual pada tuan muda asal Seattle itu? Matanya mengatakan kalau ia mengamatimu!” sindir Sunghoon.
“Aku tidak menjual apa pun. Kukatakan sekali lagi, semuanya benar-benar kudengar dengan telingaku! Semua alat musiknya! Seperti kau menyayangi sepatu rodamu. Dia selalu meringis jika kau paksa berputar tanpa jeda di atas es!”
Sunghoon mengerutkan dahinya. “Aku bukan pecinta cerita fiksi!” desisnya.
“Itu karena aku selalu memperhatikanmu! Sadarkah jika Hyung berlatih terlalu keras dan lupa untuk beristirahat. Semuanya sama bagiku. Bukan tanpa sebab kadang kulihat buku dan kuku jari mereka terluka itu membuat senarnya rusak. Kadang kulit ari dan sisa kapalan mereka menempel di sana.”
Sunoo menangis yang tanpa sadar membuat Sunghoon merangkulnya dengan erat.
“Itu karena pada dasarnya aku memperhatikan siapa pemiliknya, bukan semata-mata kukatakan khayalanku hanya beranggapan jika aku adalah benda itu, tentu aku akan mengatakan hal itu!” Sunoo berteriak emosional. “Aku ingin memperhatikan banyak orang, tapi aku sadar kapasitasku. Seperti memperhatikan Jay hyung, aku ingin menemaninya!”
“Sunoo ….”
“Gitarnya berteriak sakit hati, gitarnya berteriak putus asa, gitarnya berdarah dan penuh luka. Itu semua karena Jay hyung, karena rasa gundahnya. Tapi aku sadar pada Sunghoon hyung saja tak percaya, bagaimana tanggapan orang asing. Lagi-lagi jawabannya sama. Mereka pikir itu sebuah strategi pasar yang dibalut dongeng. Nyatanya, aku benar-benar merasa mereka bermusik karena mereka butuh seseorang untuk mendengar dan untuk didengar.”
Sunghoon hanya terdiam. Sekujur tubuhnya terasa berdenyut-denyut ngilu.
“Hyung berlatih keras agar Bibi Park tidak membuangmu karena keberadaan Hong Eun-Chae. Karena Paman Hong tidak senang dengan semua yang kau lakukan. Semua tidak lebih baik meskipun kau mendapatkan perak. Dengan begitu kau terus berlari tak peduli sebanyak apa lempengan besi itu terkikis dan berpasang-pasangan kaos kaki yang akhirnya berdarah-darah, kau tetap berputar dan berlari di atas es.”
Air mata Sunoo kembali merinai. “Aku hanya ingin orang-orang peduli pada diri mereka. Jika bukan mereka yang menyadarinya. Mungkin sesuatu yang berharga bagi mereka menyadarkannya, Hyung?”
Di depan pintu, Jay hanya berdiri menatap dinding dengan mamang. Ia melirik buku jarinya ketika semalaman hari itu ia bermain gitar seperti orang gila. Untuk siapa dan untuk apa aku bermusik?
*
Jay tampak memainkan bow yang dipajang di etalase kaca. Ia begitu menikmati betapa lembutnya surai kuda itu. Aroma resin yang mengeras membuat hidungnya termanjakan.
“Bung, sejak kapan kau datang?” tanya Sunghoon ketika baru saja turun dari tangga.
“Baru,” sahutnya dengan suara lembut.
“Kau tidak mengabari kalau akan datang.” Sunghoon mendekati meja kasir. “Ke mana anak yang jaga di sini, ke mana Jihoonie pergi?”
“Dia mengatakan akan pergi ke gudang. Aku mencari mini album 1923 By U. Katanya, mini album itu ada di gudang.”
“Oh, begitu?” tanyanya.
“Iya, sekalian saja, aku berencana mengambil gitarku, aku melupakannya semalam.”
“Sunoo menyimpannya. Kau bisa menemui dia di ruang perawatan!” kata Sunghoon sambil seraya mencengkram bahu Jay.
“Apa studio kosong? Bisakah aku memakainya untuk hari ini?”
“Daze band baru akan datang sesuai jadwal latihan mereka sekitar pukul delapan malam.” Sunghoon menjawab sambil menarik alis matanya.
“Baiklah aku akan mengambilnya. Bisakah kau antarkan mini album itu ke studio jika dia mendapatkannya!” tanya Jay dengan tatapan tegas.
“Aku tau kau mengamati Kim Sunoo secara diam-diam! Apa kau menyukainya?! Kau selalu saja serius. Sunoo punya kekasih.”
“Aah, aku tau.” Jay mengangkat alisnya.
Langkah kaki berhenti di anak tangga, kedua bola mata cokelatnya mengecil, pipi persiknya memerah, dengan bibir mengerut ke bawah. Sunoo berjalan perlahan-lahan sambil membawa hardcase gitar milik Jay.
“Ini punyamu, maaf aku memperbaiki beberapa bagiannya, aku juga mengatur ulang kuncinya. Maaf, jika nanti kau kurang nyaman dengan suaranya.” Sunoo menyodorkan benda itu sambil sedikit membungkuk.
“Tidak masalah. Aku akan mencobanya sekarang. Jika tidak sesuai aku akan menyetel ulang, itu bukan hal sulit!” ungkap Jay tertawa kecil.
“Yya, Ddeonu, Jay akan menggunakan studio, kau mungkin akan menemani Jihoon, tapi karena Jay akan ada di studio, kau juga akan di sana. Kau bilang beberapa alat musiknya terganggu, perbaikilah selagi ada Jay, itu memudahkanmu mencocokkan nada yang tidak merdu!”
“Baik, Hyung.”
*
Jay setiap menatap Sunoo yang tengah memainkan keyboard di bagian kiri ruangan berdekatan dengan stand mic untuk bassist juga drummer.
Kedua manik mata elang Jay yang pekat, bulat, meruncing tatkala Sunoo melirik ke arahnya. “Ada sesuatu? Maaf, membuatmu repot karena permintaan Sunghoon hyung.”
“Tidak. Aku tidak mengapa. Aku justru senang mendengar kau begitu serius menyelaraskan nada-nadanya. Kau benar-benar andal.”
“Hyung, kau selalu mengatakan hal demikian tetap kuanggap bukan pujian!” ujarnya.
“Kalau begitu, kau sangat menarik, laki-laki berfitur cantik, jemarimu begitu indah. Wanita itu beruntung mendapatkan kekasih sepertimu, Ddeonu,” ungkap Jay membuat Sunoo memalingkan wajahnya. Suara lembutnya memenuhi studio.
“Aku akan menyelesaikan pekerjaanku lalu membantu Jihoon-nim.”
“Sunoo-ya, apakah sebelumnya kita pernah bertemu?”
“Bukankah beberapa waktu ini kita bertemu? Sebelum hari ini, bukan? Kurasa awal musim dingin, ketika Sunghoon mengenalkanmu. Kita bertemu saat itu.”
Jakun Jay turun, ia meneguk ludahnya secara ringkas. Laki-laki itu nyengir tipis. “Iya, maksudku … lupakan … benar juga.” Ia bergumam.
***
Perapian selalu menjadi tempat paling Sunoo sukai. Bagaimana bara membakar kayu membuat pikirannya tenang. Ia memeluk lututnya sendiri.
“Eomma, seseorang memanjat rumah kita. Dia menangis, wajahnya berdarah!”
“Sunoo-ya, jangan pergi keluar rumah. Ibu yang akan memastikannya sendiri. Teruslah berdiri di jendela, jika sesuatu terlihat aneh, lekas pergi untuk menghubungi polisi. Kau mengerti?”
“Baik, Eomma.”
Manik mata cokelatnya masih memindai apa saja yang ia lihat di luar jendela. Pipi persiknya pucat ketika sang ibu mengais anak laki-laki dengan wajah berlumur darah. Ia berlari ke arah pintu.
Hujan begitu deras, kilat menyambar sana-sini membuat tubuhnya menggigil. Ia memandangi sang ibu yang membaringkan anak laki-laki itu di lantai.
“Sunoo, sayang, tolong ambilkan handuk, air hangat dan bawa pakaianmu ke sini, cepat. Ibu akan menghubungi Ayah!”
Kaki kecilnya yang kurus putih berlari ke dalam sebuah ruangan yang begitu rapi, terang benderang dengan beragam lampu gantung, beragam alat musik, dan beberapa perlengkapan bela diri—judo dan taekwondo.
Ia dengan susah payah memilah pakaian, handuk tak lupa setelahnya ia bergegas ke dapur untuk membawa air hangat dari termos.
“Eomma, Eomma!”
Kakinya berhenti ketika anak laki-laki yang ia duga berusia satu atau dua tahun lebih tua darinya itu memeluk sang ibu sambil menangis.
“Museowo, Jong Seong museowoyo, Eomma.”
“Eomma!” lirih Sunoo kecil.
🦊
Duarr.....
Manis banget kakak adek ini;)
Publikasi 19 Mei 2022
Republish 21 Maret 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top