-09. Bermesra-
Langkah kaki beriringan, menimang setiap perasaan sunyi di antara Jay dan Sunoo yang sama-sama menutup mulutnya.
“Air mataku tiba-tiba saja turun. Terkadang aku khawatir orang-orang memandang aneh. Apakah hanya aku seorang yang selalu menangisi sesuatu tanpa sebab?”
”Semua orang mengalami hal itu. Aku pun. Saat kau tanya apa yang kupikirkan ketika hujan turun … rasanya ingin menangis, tetapi terkadang aku tak tau hal apa yang harus kutangisi.”
“Apa kau pernah mengalami hari paling sulit dalam hidupmu?” tanya Sunoo, “Hari sulitku ketika Ibu bilang agar aku ikut kelas judo, tapi sebenarnya aku lebih suka kelas piano.”
“Iya. Hari-hari setelah pergi dari Seoul, semuanya terasa sulit bagiku,” jawab Jay dengan suara lirih.
“Bagaimana masa kecil Jay hyung? Apa teman-teman di Seattle sama seperti teman-teman sepermainan di Seoul?” Sunoo menyerang, membuat tubuh serta pandangannya lebih fokus pada Jay.
“Aku nyaris tak mengingat apa pun selain kematian Ibu.” Jay mengembuskan napasnya. “Beberapa ingatanku seakan hilang.”
“Begitu, ya. Memang terkadang ada hal yang ingin kita ingat, sebagiannya ingin kita lupakan. Bukan karena tak pernah ada, tapi karena memang tak kita inginkan.” Sunoo membungkuk sambil menolehkan wajahnya pada Jay sambil tersenyum.
Tepat di posisinya, Jay mampu melihat Sunoo dengan lebih dekat. Jantungnya berpacu, seakan banyak hal yang ingin ditanyakan. Namun, lagi ia tak mampu bertanya. Sebuah perasaan yang tidak Jay tau aralnya. Jay tersenyum kecil.
“Kau manis. Meningkatkanku pada seseorang,” ujar Jay membuat kedua pipi persik Sunoo memerah manis.
“Kuanggap itu bukan pujian,” sindir Sunoo tertawa renyah. Keduanya berjalan beriringan, sesekali Jay mengamati wajah anak itu sambil senyum-senyum tipis.
“Kau … apakah kau punya kenangan yang ingin kau ingat tetapi kau takut mengetahuinya? Maksudku, seperti apakah ada hal yang sebenarnya ingin kau simpan tetapi kau sendiri tak mampu menyimpannya?” tanya Jay dengan suara lirih.
“Ada. Kenangan bersama seseorang, tapi aku takut jika orang itu tau bagaimana perasaanku. Rasanya bukankah terlalu mengerikan meninggalkan atau ditinggalkan ketika kita sama-sama berjanji untuk menjadi teman baik?” Sunoo menatap saksama.
“Kupikir seseorang seperti dirimu tidak peduli tentang cinta. Kuharap kau bisa menemukan gadis lainnya,” ungkap Jay tersenyum nanar.
Sunoo tertawa dengan nikmat. “Itu hanya cerita masa kecil,” lirihnya. “Apa Hyung pernah jatuh cinta? Wanita seperti apa yang bisa membuat Jay hyung merasa nyaman?”
“Jika kau wanita, mungkin itu kau!” serunya.
Untuk kesekian kalinya, rasa ribuan kupu-kupu terbang di lehernya, tetapi perutnya terlalu panas rasa patuk gagak.
“Apa itu busnya?” todong Jay mengalihkan suasana. “Seseorang melambaikan tangannya padamu!”
“Iya.” Sunoo berjengkat. “Aku akan pulang. Sampai jumpa.” Ia hendak melengos, tetapi matanya tiba-tiba saja mengerjap kuat-kuat.
“Hyung, gitarmu?” sentaknya kelabakan.
“Astaga, aku melupakannya.” Jay hendak membalik badan sambil menepuk-nepuk dahinya kalang kabut. “Aku pasti melupakannya. Oh, astaga itu hadiah dari Paman. Bisa kacau jika hilang.”
“Hyung, bisakah kau mengambilnya besok? Hoon hyung pasti menyimpannya untukmu.” Sunoo menatap begitu lekat.
“Kurasa aku akan mengambilnya sekarang.”
“Aku ingin bertemu denganmu lagi. Bisakah besok saja mengambilnya? Duwajo!” rintihnya sembari memegangi ujung lengan jaket Jay.
***
Kaleng bir berserakan di lantai, Jake yang baru saja memasuki kamar Jay mengerutkan dahi sambil mencubit hidungnya.
“Yya, Park Jong Seong, apa kau berniat membakar apartemennya?” Jake lekas berlari ke arah dapur. Ia dengan sigap mematikan kompor dengan cerek yang sudah setengah hangus.
Jay terperanjat, planga-plongo tak sadarkan diri. Wajah begonya membuat Jake kesal.
“Kau!” bentaknya. “Kau nyaris membakar dirimu sendiri!”
“Ah, iya, aku lupa kalau aku ingin minun kopi,” kata Jay sambil mengumpulkan kesadarannya.
“Kau mabuk! Kau menghabiskan enam botol soju seorang diri? Yya, Park Jong Seong, kau benar-benar gila.”
Jay hanya memeluk lututnya di sofa. Ia menatap ke arah jendela ketika Jake menyingkap tirai menampakkan sinaran langit yang sayup-sayup tak terlalu terang.
Jake yang telaten membersihkan semua sampah, tak lupa mengemasi barang-barang yang berserakan kembali ke tempatnya. Laki-laki itu menatap wajah murung Jay. Ia pun berkata, “Ada masalah? Sesuatu mengusik dirimu? Atau kau sedang rindu keluargamu di Amerika?”
“Mungkin semuanya.”
“Mabuk bukan segalanya.” Jake menyeduh kopi hitam, yang ia tambahkan dengan sedikit krimer. “Kau tidak boleh membahayakan dirimu.”
“Terima kasih.” Jay tersenyum samar sambil menerima cangkir dari Jake.
“Apa yang membuatmu gelisah?” tanyanya.
“Aku hanya mimpi buruk.” Jay menenggelamkan wajahnya di atas lutut.
“Aku akan merapikan rumahmu, aku juga akan membawa pakaian kotormu. Ada yang harus kukerjakan lagi sebelum aku pergi?” Jake menyentuh bahu Jay yang merosot.
“Sim-ssi, jika kau jadi aku apa kau akan kembali ke Amerika meski kau tau hidup di sana begitu sulit?” tanya Jay lirih. “Ataukah kau akan tetap di Seoul, berharap apa yang tak pernah kau ingat akhirnya dapat kau ingat?”
“Apa yang membuatmu murung?” Jake menatap teduh kedua manik mata Jay yang temaram.
“Sejak kematian Ibu, aku tak ingat apa pun tentang Seoul. Aku tidak mengingat apa pun. Paman, Noona, ataupun orang-orang dari keluarga Kim tidak mengatakan apa pun tentang Seoul.”
“Lalu? Kau amnesia?” Jake terkejut sambil menepuk pipinya sendiri.
“Tidak. Aku ingat semua kejadian sebelum Ibu pergi, aku juga ingat ketika aku pergi dari Seoul ke Seattle, aku ingat perasaan itu. Sayangnya, ada lubang di antara ingatan itu. Anehnya, isi kepalaku selalu berbisik untuk bertemu dengan seseroang. Kau ingat ketika aku pulang penuh luka?” Jake mengangguk. “Aku membongkar ruang bawah tanah. Aku menemukan banyak hal yang sama sekali tidak kuingat meski aku paksakan.”
“Surat, sampah, botol soju, album foto, dan lainnya. Aku tak ingat, tapi aku ingin mengingatnya.”
“Kau yakin? Bagaimana jika itu bukan hal yang baik?” Jake menatap tegas. “Aku pernah mendengar jika trauma bisa membuat ingatan seseorang hilang.”
Jay tertawa kecil. “Apa yang membuatku trauma? Rasanya, kenangan tentang Ibu menyenangkan. Meski malam itu benar-benar menjadi malam paling menakutkan bagiku.”
“Tapi aku tak menjadikan kematian Ibu sebagai mata pedang yang menusukku. Tidak. Aku justru merasa telah melepaskannya dari sejuta ranjau. Aku senang ketika ia akhirnya mengembuskan napas terakhir. Artinya Ibu tak perlu menahan sakit lebih lama.”
Jake mengusap lembut punggung Jay. “Aku paham perasaanmu. Jika boleh kukatakan, mungkin kau harus mencari tau kenangan yang kau anggap hilang. Baik sakit atau tidak. Bukankah mimpi buruk itu pasti ada kaitannya dengan rasa gundah yang kau simpan?”
Jay menoleh.
“Emm, mungkin terlalu berat tapi tak salah jika akhirnya kau harus memaafkan banyak hal yang mengganjal hatimu. Tentang kenapa harus pergi ke Seattle, kenapa harus melupakan kenangan itu secara tak sadar, atau kenapa semua sampah itu ada di sana. Setiap halnya memiliki alasan untuk kau temukan.”
“Kalau begitu, aku akan memperpanjang kontrak tinggal di apartemennya untuk beberapa bulan ke depan. Aku benar-benar ingin mengandalkan dirimu, Sim!”
Jake mengangguk. “Kau harus mencarinya, ditemukan atau tidak, kau harus mencarinya, jika kau berpikir semua mimpi buruk dan bisikan-bisikan itu nyata adanya. Kau harus membuktikan hal itu benar-benar pernah kau alami.”
🦊
Publikasi 17 Mei 2022
Republish 21 Maret 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top