-08. Sunghoon & akalnya-
Kim Sunoo tak habis pikir ketika Park Sunghoon, laki-laki terfavorit di En-Fever itu memintanya untuk tetap kerja meski badai salju mengamuk di beberapa kota bagian. Laki-laki itu berangkat dengan senyuman kecut sambil berulang kali mengumpat sosok paling disanjung sajangnim di En-Fever.
Kim Sunoo ingin protes, tapi Sunghoon tetap seniornya, dan orang yang telah mempercayai Sunoo sendiri untuk urusan perawatan alat-alat musik di En-Fever.
Kepalanya mendongak ke arah langit yang putih bersih, dengan sedikit matahari yang remang-remang. Jam saat ini menunjukkan pukul sembilan pagi dan hawanya benar-benar membekukan seluruh darah Sunoo.
Jika aku merusaknya sekarang, apa kau mau bercerita? Apa dia mengatakan kalau aku kesepian setiap kali aku menyentuh tubuhnya? Apa aku benar-benar kesepian saat bermain gitar?
Kim Sunoo mengacak-acak rambutnya frustrasi, suara itu membuat isi kepalanya berdenyut-denyut. Suaranya begitu lembut, berat dan membuat kuduknya merinding. Jutaan kupu-kupu meledak di lehernya, sementara perutnya seperti didekap ribuan gagak hitam.
“Kata Hyung, dia baru tiba dari Amerika dalam waktu yang lama. Apa tandanya dia melupakan kenangan di Seoul?” gumamnya.
“Aku tak ingin kecewa kuharap dia melupakan obrolannya.” Sunoo mendekap tubuhnya sendiri.
Di DXX, Jay baru saja bangun tidur. Matanya seketika tertuju pada gitar yang tergeletak di lantai dengan lampu kamar dan segala isinya yang berantakan. Jay tak ingat semalam apa yang ia lakukan setelah minum beberapa kaleng bir sambil bermusik.
Tubuh telanjangnya menggigil, hari ini terlalu dingin untuk mandi, tetapi ia butuh menemui seseorang. Kim Sunoo. Jay benar-benar ingin bertemu dengannya.
Bel berbunyi, Jay tak lekas membuka pintu apartemennya. Ia pikir itu hanya Jake yang akan mengambil pakaian kotornya. Setelah percakapan tempo hari soal masalah keuangan keluarganya. Jay dan Jake sepakat untuk hidup secara mutualisme dengan bayaran cukup. Asal semua pekerjaan rumah selesai.
Bel kembali berbunyi. Jay lekas berpakaian. Ia membukakan pintu. Tampak Heesung tersenyum padanya sambil membawa bungkusan makanan dalam keranjang.
“Hyung, sedang apa di sini?” tanya Jay heran.
“Eomma ingin aku mengantar makan siang untukmu.” Heeseung mengerutkan dahi. “Dia berpikir kau kurang sehat setelah pulang dari makam.”
“Mungkin karena kita minum setelah pulang dari makam. Aku sedikit pengar. Ayo, masuk.”
“Aku akan simpan sup rumput laut dengan tiram dan abalonnya di meja. Makanlah selagi hangat.” Ia bergegas setelah meletakkan nuah tangannya.
“Kau tidak akan mampir?” tanya Jay heran.
“Aku harus bekerja. Lain kali aku akan mampir. Baiklah, sampai jumpa kembali, Jong Seong-a!” tandasnya sambil melambaikan tangannya.
***
Langit begitu gelap, Jay baru saja mendaratkan kakinya di depan En-Fever. Kim Sunoo, laki-laki itu tampak tengah berdiri di meja kasir sambil memainkan kotak musik.
“Selamat sore!” ucap Jay memandang begitu teduh.
“Ah, Hyung. Selamat datang!” serunya sambil berjalan meninggalkan meja. “Ada yang bisa kubantu? Jika menunggu Sunghoon hyung, dia baru akan datang malam karena ada kegiatan di kampusnya.”
“Aku datang untuk menemuimu.” Jay berkata dengan suara samar-samar.
“Eh, aku?” Sunoo tersentak sembari memegangi dadanya.
“Gitarku. Biasakah kau perbaiki lagi senarnya!” Jay menyodorkan hardcase di tangannya pada Sunoo.
Namun, Sunoo tak lekas membawanya, ia lebih tertarik pada jemari Jay yang penuh luka lengkap bekas kapalan yang membuat buku jarinya memutih.
“Kau terluka?” ucapnya. “Apa kau main gitar semalaman? Jarimu ….” Sunoo memenangi tangan Jay dengan lembut.
“Mau kubawakan salep?‘ tawarnya.
“Bisakah aku medapatkan perawatan untuk gitarku lagi, Ddeonu-ya?” lirih Jay membuat sosok bermarga Kim itu terhenyak beberapa langkah.
“Kenapa?” tanya Jay heran. “Ah, maaf aku lancang telah memanggilmu dengan nama akrab seperti Hong Eun-Chae.”
Sunoo menggeleng sambil mengepak telapak tangannya canggung. “Tidak apa. Baiklah, aku akan membawanya.”
“Kim Sunoo—” Jay melenguh pelan. “Boleh aku melihatmu memperbaiki gitarnya, sekalian … bisakah kau juga menyajikan camilan serupa waktu itu lagi?” tanya laki-laki itu menggaruk-garuk tengkuknya.
“Boleh,” jawabnya riang. “Tapi, bisakah kita menunggu sampai Jihoon-nim datang? Aku pasti akan dipukuli Hyung jika pergi dari meja ini meninggalkan para pelanggan yang mungkin datang untuk lihat-lihat atau sejenisnya.”
“Tentu dengan senang hati,” sahut Jay sambil menganggukkan kepalanya.
Anak jarum jam terus berputar, dan Jay masih setia duduk di dekat rak-rak DVD dan beberapa alat bantu bermusik. Sementara itu, di meja Sunoo tampak memberikan sentuhan-sentuhan kecil pada gitarnya.
Kedua manik matanya bergerak, bertabrakan milik Jay. Keduanya berpaling sama-sama tersipu sambil terkejut. Jay terkekeh pelan.
“Apakah En-Fever tidak memutarkan musik untuk membuat suasana lebih hangat?” tanya laki-laki itu sambil bangkit mendekati rak DVD musik tahun 2000'an.
“Saat aku ke LA untuk berlibur, di sana ada toko alat musik dan sejenisnya, di sana musik-musik keren diputar; itu membuatku lebih nyaman,” kata Jay memegang sebuah album musik milik band asal Amerika paling hits di eranya.
“Kau … jenis musik seperti apa yang kau sukai, Sunoo-ya?” tanya Jay sembari berbalik tersenyum kecil.
“Semua jenis musik,” jawabnya ringkas. Suara renyah laki-laki itu membuat Jay tertawa.
“Sudah kuduga.” Jay menyimpan albumnya, berjalan ke rak lainnya. “Lalu, lagu apa yang kau sering dengar untuk menemani hari-hari sepimu?”
Sunoo hanya menarik kedua sudut bibirnya tanpa menjawab.
*
Sunghoon baru saja tiba di En-Fever setelah Jihoonie si anak magang tidak datang sampai pukul sembilan dan Jay sejak pukul empat sore duduk membatu di depan Sunoo yang terkadang sibuk meladeni para pelanggan ataupun orang-orang iseng yang datang lihat-lihat tanpa membungkus apa pun.
Seoul saat ini begitu dingin, waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Waktunya Sunoo pulang dan Sunghoon juga beberapa senior lainnya bekerja—di studio musik.
“Kalau begitu, jika kau tidak keberatan kenapa kalian tidak naik bus bersama? Atau jalan kaki berdua? Jalan sendiri terlalu berbahaya.” Sunghoon yang merokok menoleh para Sunoo.
“Seseorang terlalu takut hantu di malam hari.” Laki-laki dengan alis hitam tebal itu melemparkan suara sindirannya ke arah Sunoo.
“Aku tidak takut hantu,” belanya.
Jay hanya mendengarkan sambil sesekali mengembuskan napas di udara. “Di Seattle tak ada hantu, kecuali jika kau percaya!” timpalnya.
“Kalau begitu jalanlah berdua, jika ada begal seseorang bisa berlari untuk lapor polisi!” katanya santai.
“Kau berhentilah merokok, dan minun alkohol. Ini sudah jam bekerja!” protes Sunoo hendak merebut rokok di mulut Sunghoon sayangnya gagal.
“Aku butuh kehangatan. Anak ingusan tidak mengerti. Pulang dan tidurlah dengan nyenyak, Jihoonie tidak akan kembali ke En-Fever. Jadi, jam kerjamu dan Eun-Chae akan bertambah, mungkin kau akan menelan dua kali lipat jika adikku terus bebal dengan otak tumpulnya.”
“Hyung, kau benar-benar menyeramkan!” sindir Sunoo dengan bibirnya yang terpilin kecut.
“Jay, kutitip Ddeonu padamu.” Sunghoon meneguk habis minumannya sebelum menyentuh bahu Jay lalu memasuki En-Fever.
Sunoo memandang gusar, rasa canggung melururbi wajahnya yang sendu. Manik matanya bergulir segan pada Jay. Laki-laki dengan marga Kim itu tersenyum kecil.
“Aku bisa pulang sendiri, di dekat halte, rekan Ayah biasa lewat untuk memberi tumpangan,” ujar Sunoo dengan suara gugup.
Jay hanya berdiri, tangannya mempersilakan Sunoo jalan terlebih dahulu. Laki-laki itu melangkahkan kakinya dengan terkukung, sesekali menoleh sungkan.
“Kau bisa pulang duluan, aku bisa jalan sendiri.” Sunoo tertawa kikuk.
“Kenapa kau takut aku mengantarmu? Maksudku, kenapa terasa seperti kau tak ingin aku mengantarmu meski sampai ke depan jalan?” Bibir Jay melengkuk, meledek Sunoo yang membelalak semu tak enak.
“Bukan, bukan begitu, tapi Jay hyung juga harus pulang, ini sudah malam dan mungkin anginnya akan semakin kencang!” pekiknya dengan wajah memerah. Ia mengerutkan wajahnya, begitu pula kedua tangannya.
Menggemaskan.
Jay hanya tertawa. Sementara itu Sunoo berjalan sambil menendang-nendang tumpukan salju. Ia menunduk, memperhatikan setiap belas karet sepatunya.
“Apa yang kau pikirkan ketika salju turun?” lontarnya pada Jay sambil melirik dari balik poninya yang tersisir rapi membingkai dahi.
“Dingin.”
“Kalau hujan? Kalau hujan turun apa yang Jay hyung pikirkan?” lontarnya lagi dengan gerakan serupa.
“Tidak ada.” Jay tersenyum. “Aku tidak membencinya tidak juga menyukainya.”
Keduanya saling berpandangan, tanpa sadar air mata Sunoo membasahi pipinya. Mengawang mamang di balik dadanya. Sunoo lekas membalik wajah.
“Maaf,” ucapnya sambil berjalan terburu-buru.
“Ddeonu-ya?” panggil Jay, ia menoleh. “Apa kau menangis karena gitarku bicara hal aneh lagi?” Ia mengangguk.
“Bisakah aku mendengarnya?” tanya Jay tak membuatnya menjawab. Manik matanya hanya bergulir sendu.
Di En-Fever, Sunghoon sibuk merapikan rak ia tertawa renyah ketika melihat hardcase gitar milik Jay—bertuliskan Park Jay Kim.
“Sudah kuduga, dia datang untuk sesuatu,” gumamnya. “Kuyakin, gitarnya tak benar-benar butuh perawatan. Kim Sunoo, anak itu pasti menjual ceritanya lagi, tak salah aku mengajarinya teknik marketing seperti dongeng itu dan Jay, kuharap dia adalah penikmat cerita dunia khayal!” Wajah liciknya berbinar cerita.
🌻
Publikasi 15 Mei 2022
Republish 21 Maret 2024
Anak manis siapa yang punya:( Babang Jay;)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top