-05. Hujan, Kesemek, & Abeoji-

Jay merasa harus memutuskan urat malunya di depan Heesung, mungkin saja ia bisa menggali lebih banyak kenangan yang pernah ia dapatkan di masa lalu. Namun, hati dan kepalanya tiba-tiba merasa takut. Tubuhnya guncang, rasa menggigil membuatnya pucat, belum lagi keringat dingin membasahi wajahnya.

“Kau baik-baik saja?” tanya Heesung sambil menatap saksama.

“Iya, aku hanya sekalian lewat. Apa masih ada makanan yang bisa kubawa ke apartemen sebagai kudapan malam?” Jay mencari-cari alasan. Kedua bola matanya bergerak canggung lagi tak terarah.

“Mau kugulung kimbap untukmu?” tawar Heesung mempersilakan Jay duduk di bar dekat menyimpan sumpit dan tatakan kayu.

“Tentu.” Jay berseru.

Hari semakin gelap, setelah berjibaku dengan sampah juga beberapa barang yang Ibu tinggalkan, Jay hanya mengambil lipatan surat dengan tulisan Ddeonu, meja tempat Ibu menyulam meskipun kakinya nyaris habis dimakan rayap dan lembab, juga album fotonya bersama kedua orang tua. Walau tak banyak hal yang bisa ia ingat dan yang mendadak tidak ingin ia ingat. Jay sedikit merasa lega. Ia benar-benar akan hidup bersama keluarga Kim, dan berencana mengubah namanya dengan marga Kim pula.

“Nah, kimchi jeon,” ucap Heesung sambil memandang wajah Jay dengan saksama.

Jay tak tahu perasaan apa yang mengaum dalam dadanya. Berteriak kaos, menjerit sakit hati. Ia berkata, “Terima kasih.”

“Aku tidak menyangka kalau kau akan kembali setelah dua belas tahun, walau hanya untuk melakukan jual beli rumah. Setidaknya, aku melihatmu pulang,” ungkap Heesung menatap lebih saksama.

Jay menyuapkan sepotong kimchi jeon yang ia cocol sedikit ke dalam saus. Air mata berkumpul di tepian kelopak matanya, panas menyambar tenggorokan juga hidungnya. Air mata Jay berjatuhan, merinai di bawah bulu matanya yang layu.

Ia menyeka sudut matanya. “Ini terlalu pedas, rasanya membakar lidah!” Ia menyangkal.

“Ah, mianhae, harusnya aku tidak menaruh sausnya di sana.” Ia tertawa.

“Heesung hyung, boleh aku bertanya?” bisik Jay ketika ia menyimpan sumpitnya dengan posisi duduk dan tangan sopan di depan piring.

Heesung memiringkan sedikit kepalanya. “Ne?” jawabnya lembut.

“Apa yang kau tau tentangku? Sejauh mana kau mengenalku? Apa kau saat ini berpikir kalau aku sombong dengan berpura-pura tidak mengenalmu?” Jay menatap sendu. Satire senyumnya membuat Heesung terkeukeuh pelan.

“Seseorang melewati banyak hal dalam sehari, begitu dalam setahun, dan kau pergi lebih dari sepuluh tahun. Jadi, merasa wajar jika kau lupa sebagian besar kenangan masa lalumu, kurasa aku tidak menganggap hal itu menyedihkan. Aku pikir, kau juga berhak atas apa yang ingin kau lakukan sekarang, seperti mungkin tak ingin mengenal seseorang dari masa lalu.”

Jay meneguk minumannya.

“Maksudku, apa ada sesuatu yang terjadi padaku di masa lalu sampai aku tidak mengingat apa pun? Lalu, kenapa ketika aku akhirnya ingin mengingat sesuatu rasanya menakutkan?”

“Aku mengenalmu sebagai anak yang baik. Kita bermain sepak bola bersama, kau suka makan kimbap telur, kau suka yaghwa wijen, kau juga suka tteok yang dicelup madu, kau juga suka pisang goreng, kau makan ceri sekali hap!” Heesung bersemangat, wajahnya berseri-seri dengan kelopak mata tenggelam karena senyum lebarnya.

“Benarkah?” tanya Jay dengan suaranya yang berat. “Ah, sejak pergi ke Seattle aku hanya makan sereal dan roti lapis.”

“Kau mengalami masa-masa sulit, Jong Seong-a?” Heesung memegangi bahu Jay yang sedikit turun bersamaan helaan napas paraunya.

“Mungkin, sedikit.”

“Iya, pasti sulit. Terkadang, kita memang harus menerjang badai untuk berlayar di lautan yang luas. Kita nahkodanya, kita yang akan menentukan setiap perjalannya. Ada yang harus kau bawa setiap waktu untuk setiap berlayar, ada juga yang tidak perlu.”

Jay tersenyum lalu bangkit dari tempatnya duduk. “Berapa semuanya? Kurasa aku akan pulang!” ucapnya sambil mengeluarkan dompet.

Mata Heesung membesar, ia memandang ke arah kedua tangan Jay yang dibalut perban dan bersembunyi di balik lengan jaketnya. “Kenapa dengan tanganmu?” tanyanya.

“Aku sedikit terluka ketika memindahkan beberapa barang milik Ibu, ini tidak seberapa,” jawabnya.

“Kau benar-benar akan kembali ke Seattle? Kudengar kau benar-benar sudah menandatangani kontrak itu, dan beberapa alat angkut dan alat berat sudah lalu lalang di sana.”

“Mungkin, beberapa hari di sini membuatku terus bertanya-tanya, apakah yang pernah kutinggalkan dan tak ingin kuingat kembali, meskipun sebagiannya ingin aku kenang,” jawab Jay dengan suara dan senyum lirih.

“Pergilah, jangan pernah melihat hal yang ada di balik punggungmu, aku tau mungkin kau bertanya-tanya kenapa dan kenapa tapi tak ada yang salah jika kau ingin pergi untuk satu tujuan.”

“Paman dan Noona ingin aku datang ke Seoul bukan hanya untuk jual beli rumah semata, mereka ingin aku ikut beragam audisi sebagai penyanyi. Kupikir, bukankah itu lucu? Umurku bukan lagi umur anak-anak remaja yang akan lucu dan imut dengan kostum-kostum hewan warna-warni.”

“Mereka mungkin benar, sedikit, kau jago bermain gitar, kau selalu meminjam sapu dari kedai dan lupa mengembalikannya.”

Jay tertawa lepas, ada hangat yang membuat ia mengepalkan jemarinya di atas meja. Getarannya membuat air mata Jay kembali merinai. “Mungkin. Aku tetap ingin tinggal lebih lama bersama mereka,” bisiknya.

***

Kaki Jay menapaki setiap jengkal jalanan kota. Aroma tanah yang masih setengah membeku karena musim dingin membuatnya merasa sedikit sepi. Ia benar-benar ingin kembali ke Seattle tanpa perlu Paman dan Noona datang untuk mengunjungi. Jay yang justru akan pulang ke rumahnya.

Jay menatap ke arah langit yang samar-samar kebiruan dengan awan putih yang indah bagaikan gulungan kapas.

Kedua mata elangnya yang sayu tertuju pada sebuah pohon kesemek yang tidak terlalu lebay dahan juga buahnya. Jay terpaku, untuk beberapa waktu dan sudah terulang ribuan kali, kalimat ayo bertemu kembali membuat hatinya sakit.

“Jong Seong-ssi!” teriak seseorang, menoleh Jay mendapati seorang Sim Jae Yoon berlari ke arahnya sambil membawa setumpuk belanjaan di dalam plastik putih.

“Jake?” gumam Jay. “Mau kubantu?”

“Tentu, tentu, tanganku pegal!” katanya mendesis.

“Kau belanja untuk mengisi persediaan makanan di pujasera?” tanya Jay menautkan alis matanya.

“Tidak, Tuan pemilik apartemen 405 ingin aku mengisi persediaan kulkasnya. Karena si bungsu akan tinggal selama ia dinas. Ia berharap anaknya tidak makan sembarangan selama ia bekerja,” jelas Jake tertawa renyah. “Begitulah orang tua.”

“Oh, begitu.”

“Kau sendiri?”

Jay tersenyum kecil sambil memalingkan wajahnya, menangkis pandangan mata Jake yang lekat-lekat seakan menduga hal-hal aneh baru terjadi pada Jay. Laki-laki iru terkikik pelan. “Aku jalan-jalan. Sebelum kembali ke Seattle dalam waktu dekat,” jawabnya.

“Kenapa? Kenapa kau akan pulang, padahal baru satu minggu kurang, harusnya tetap di sini sampai musim semi tiba,” kata Jake mencengkeram bahu Jay.

“Aku ingin mengejar keluargaku,” rintih Jay.

Tak banyak yang Jay inginkan setelah rumah itu resmi dijual. Ia hanya membawa surat aneh dan meja sulam Ibu, berharap tetap merasa hangat dengan ketidaktahuan ia tentang apa yang pernah terjadi.

“Jake … apa kau pernah melupakan sesuatu? Seperti meskipun kau tidak amnesia, kau tetap tak bisa mengingatnya, menolak ingat, kau lebih ingin menguburnya dalam-dalam.”

“Tentu. Saat SMP, ya sekitar beberapa tahun lalu dan ini masih terasa panas,” ia tertawa, “aku korban perundungan, semua mata membenciku karena aku ini tidak terlalu fasih dalam beberapa kosakata, bicaraku … kau lihat dan dengar sendiri, bukan?” lontar Jake.

“Aku dipukuli habis-habisan, parahnya kau tau … seseorang menarik lidahku dengan paksa saat jam makan siang, katanya agar aku tidak cadel, karena hal itu aku kehilangan indera perasaku, aku tak bisa merasakan rasa asam dan asin. Aku memang mengingatnya, tapi percayalah aku benar-benar melupakan hal itu. Aku tak benar-benar mengingatnya, karena tak ingin.”

“Kau kuat sekali, masih bertahan sampai saat ini, Jake.”

“Aku hanya berlatih, karena aku pikir dunia memang penuh dengan peperangan, yang suatu hari nanti satu dari mereka akan kehabisan pelurunya. Aku hanya berjalan, tanpa mengingat apa pun yang melukaiku, Jay.”

Jay lagi-lagi tersenyum, kali ini jauh lebih lebar dari sebelumnya. Setitik hangat memakin menjalar, memenuhi dadanya.

“Karena sudah jadi hal yang alami, kenangan buruk tak pernah diinginkan ataupun dianggap keberadaannya, meskipun kepalamu menyimpannya, Jay!”

Mungkinkah salah satunya tentang Eomma, Abeoji, juga apa yang kulihat di rumah hari lalu? Tentang surat dan catatan medis Eomma dengan kankernya, juga riwayat hidup Abeoji dengan para pelacur jika alkoholnya. Mungkin. Mungkin saja.

🦋

Publikasi 3 Mei 2022
Republish 6 Maret 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top