-04. Sepenggal Memori-
Kalimat sederhana itu terus berputar-putar di kepala Jay. Telinganya penuh, pekak suaranya masih jelas Jay dengar. Sayangnya, ia tak ingin kapan kalimat 'Ayo, bertemu kembali!’ itu ia ucapkan. Apakah mimpi atau bukan?
Yang jelas, Jay tak bisa mengingat apa pun selain kematian sang ibu yang mengerikan. Malam itu, hujan turun begitu deras, bersama dinginnya pancaroba. Kesendirian menyergapnya.
Malam itu, hanya lilin yang menjadi penghangat bagi Jay enam tahun dan Ibu yang sakit-sakitan. Ayah tak pernah pulang, ia terlalu sibuk dengan alkohol dan mahkota-mahkota wanita yang dijajakan setiap malam di sudut-sudut kota. Ayah tak pernah bertanya apa Jong Seong enam tahun butuh dekapannya, atau Ibu yang butuh perhatiannya. Jay merasa ia benar-benar seperti anak yatim.
Kerongkongan terasa kering, dingin menyergap hati kecilnya ketika Ibu terus mengeluarkan darah dari mulutnya yang kecil, keriput lagi gemetar. Getir. Jay merasakan seakan malaikat maut sedang mengintai rumahnya yang gelap.
Suara hujan semakin terdengar jelas, menari-nari di atap seolah menertawakan ketakutan Jay, akan kepergiannya.
“Jong Seong-a, putraku yang manis. Kau tak harus berlari mencari Ayah jika Ibu mati. Pergilah ke tempat di mana seseorang akan mencintamu. Kau ingat Chaewon noona? Dia yang anak anjingnya kau selamatkan di selokan? Pergilah, temui Tuan Kim. Dia pasti menyanyangi Jong Seong-nya Ibu—”
Guntur menyambar wajah bumi, dunianya Jay bergemuruh, tergoncang hebat, terasa bak terombang-ambing tak puguh ujungnya. Kaki kecil itu bergerak terhuyung-huyung mencari pintu di dalam gelap.
Jay benci kenyataan jika ia akan hidup sendirian bersama orang asing.
“Eomma! Eomma! Eomma!”
Ia berteriak gila, berlari kalang kabut di bawah derasnya hujan yang dingin. Ait matanya berpadu hujan tenggelam jiwanya dalam kebekuan. Sepi menyeruduk, membuatnya jatuh mencium aspal.
Untuk beberapa saat ia hanya menangis di sana, mencoba merangkak sambil berteriak memanggil asma ibunya.
Berlari, kakinya tak menyangkal jika ia ingin berlari mencari rumah baru dimana ia akan dicintai. Sayangnya, Jay juga tak ingat siapa yang terakhir membelai kepalanya selain Ibu seorang.
Cahaya samar-samar menarik atensinya, ia kembali berlari, manik matanya yang sembab tertuju pada sebuah rumah dengan pohon kesemek gundul yang dipenuhi salju.
Carilah rumahnya, Tuan Kim akan menyayangi Jong Seong-nya Eomma.
Tangannya menggapai pagar, sesekali mengetuk, mendorong guna membuat gaduh. Sayangnya, hujan terlalu egois padanya. Ia memanjat tembok pagar rumah tersebut, sampai akhirnya terjerembab menghantam tanah dan membuat wajahnya berlumur darah segar yang anyir.
Tangis menggema bersahutan hujan, sepasang mata cokelat dengan bulu mata lentik indah memandang dari jendela. Ia memegangi tirai dengan tatapan nanar yang getir.
“Jong Seong tidak menangis, ini tidak sakit! Ini tidak sakit, Eomma, Jong Seong kuat, Jong Seong anak yang hebat!”
Mulutnya meracau sebelum ia tak sadarkan diri, berbaring meringkuk di bawah hujan.
***
Jay duduk di depan pintu kecil seukuran meja yang terpasang di lantai bawah kaki meja tempat Ibu biasa menyulam dulu. Kayunya sudah benar-benar usang, aromanya sudah sangat dingin. Ia merabai pintu kecil tersebut.
Ia tak pernah tau, apakah dulu ada pintu kecil ini. Ia hanya tertawa satire. Kunci membukanya, meskipun Jay lagi-lagi tidak tau jika enam kunci yang dipegangnya, salah satunya dapat membuka pintu kayu tersebut. Lalu, ke mana saja ia selama ini? Tak ada ingatan dulu jika Ibu memberikan kunci padanya.
Kosong.
Ia hanya melihat tangga reyot yang berdebu. Jay mencoba menurutinya, gelap semakin menyergap membuatnya teringat pada Ibu, pada luka malam itu.
“Ah, csss—” Jay memekik ketika kakinya terperosok dan membuat tubuhnya terjun dari anak tangga ketiga.
Pening dan nyeri.
Pelipisnya mendarat lebih dulu. Lecet sedikit. Kulit putih mulusnya berpoles debu juga lembab tanah yang bau pesing. Suara tikus mengerat membuat sekujur tubuhnya merinding. Jay duduk bego menatap ruangan gelap dengan sedikit cahaya dari lubang-lubang bekas gigitan tikus dan rayap.
Lagi-lagi ia ingin bertanya pada dirinya, kenapa ia tak mengingat apa pun soalan rumahnya sendiri. Jay mengembuskan napasnya, mengendus aroma pesing yang pekat dalam-dalam.
Berjalan ia meraba-raba setiap inci ruangan tersebut, kakinya berhenti ketika menyentuh sebuah kotak kayu seukuran kotak perhiasan. Ia hendak membukanya, tetapi nyaris tak ada cahaya lain selain remang. Jay pikir ia akan membawanya, sebab tak ada benda lain di ruangan tersebut. Sisanya hanya puing-puing usang. Namun, kotak kayu tersebut tak bisa diangkatnya, seakan membatu dengan tanah.
“Benda apa ini? Sejak kapan rumah Ibu jadi penuh misteri seperti ini. Sudahlah, aku pikir akan terlambat jika aku masih di sini.”
*
Kopi hangat tersaji di meja, Jay merasa malu karena terlambat memenuhi janjinya. Untung saja, pria dengan titel pengusaha kaya raya pemilik perusahaan furnitur terkenal di Namyang-gu itu hanya tersenyum.
“Jadi kau sudah datang untuk memeriksanya?” tanya pria dengan marga Seo tersebut.
“Aku hanya melihat-lihat saja, rumahnya benar-benar sekarat. Jika boleh, mungkin aku ingin memastikan beberapa hal di sana, seperti benda-benda yang Ibu dan Ayah tinggalkan.”
“Tentu saja. Setelah kontraknya ditandatangani aku akan memeriksa dan mulai mengerjakan pembangunannya. Kau butuh berapa hari untuk memeriksanya?”
“Hari ini saja.”
“Baiklah, aku akan membawa berkas-berkasnya esok lusa. Setelah kau memastikan ulang isi rumahmu, meskipun berat hati. Aku berharap kau tetap akan menjualnya padaku.”
Jay tersenyum kecil. “Terima kasih atas pengertiannya.”
“Senang bertemu denganmu, Tuan Kim tidak salah merawatmu, kau punya aura dan senyuman yang manis.”
”Anda terlalu berlebihan, Pak.”
“Baiklah, sampai bertemu kembali, dua hari lagi, Jong Seong-ssi.”
Perjamuan kecil berakhir dengan habisanya secangkir kopi ditemani yaghwa wijen. Jay lekas kembali ke rumah. Ia berniat membongkar kotak kayu tersebut. Meskipun mungkin tak ada yang istimewa yang akan ia dapatkan dengan membuka kotak kayu yang terkubur tersebut.
Jay berlari kalang kabut menuruni anak tangga menuju ruang bawah tanah, dibersamai senter ponselnya ia menggulirkan kedua bola matanya segela penjuru ruangan remang-remang tersebut.
Di bawah jendela tepat di depan nakas tua, kotak kayu terkubur setengahnya. Jay segera menghampiri, sialnya terkunci. Jay cukup tertawa miring.
“Bukan sesuatu yang harus kukhawatirkan rupanya!” bisik Jay sambil melangkah ke arah jendela.
Ayo bertemu kembali!
Kepala Jay berdengut nyeri, tersungkur laki-laki sambil memegangi perutnya. Aroma masam menyeruduk kerongkongannya. Jay menitikan air mata.
“Perasaan apa ini?” gumam Jay mencoba bangkit.
Ayo bertemu kembali.
Jay berteriak histeris, bergelut rasa sakit kepalanya yang sesakkan dada. Ia meronta-ronta, memberontak udara pengap yang mendekapnya erat-erat. Jay memegangi kotak kayu tersebut, dengan perasaan sesaknya yang benar-benar mencekik.
Berulang kali bogemnya mendarat di sana, berulang kali … berulang kali hingga tetes darah kental yang anyir melurubi kotak kayu tersebut.
“Eomma, Abeoji, Eomma, Abeoji, Eomma! Jong Seong-a … Jong Seong-a duwajuseyo Eomma!” Tangannya terus memukul-mukul kotak kayu tersebut, meskipun ia terluka parah.
Gelap, senyap.
Kepalanya menghantam tanah, samar-samar kehilangan kotak kayu tersebut di kedua matanya.
“Ayo, bertemu kembali,” gumamnya. “Siapa di sana?”
***
Dingin membuat sekujur tubuh Jay kaku, ia tak ingat berapa lama dirinya tak sadarkan diri. Ia memegangi kepalanya yang masih terasa nyeri dan berdenyut-denyut. Jay menatap kedua tangannya yang berlumuran darah kering juga lebam.
Napasnya berembus pelan ketika ia menggulirkan kedua bola matanya ke arah kotak kayu yang sudah koyak bernodakan darah yang menghitam.
Jay menatap ke dalamnya. Gelap? Kosong? Sial, persetan dengannya, benar-benar kosong?
Jay memasukkan tangan kanannya ke dalam kotak kayu tersebut. Dinginnya yang anyep membuat ia mengerutkan dahinya.
“Eh.” Ia memekik sambil memasang wajah bengong.
Jay merasakan dingin yang lembab. Jemarinya merabai, benda berbentuk silinder, tabung dan beberapa lainnya. Satu persatu benda tersebut Jay keluarkan.
“Kupikir kosong!” geruruknya.
“Botol soju?” Ia terkejut.
Benda lainnya ia keluarkan. “Bungkus roti mentega?” Jay mengernyit. “Eh, aku tidak ingat apa pun, apa Ibu membuang sampah ke sini? Apa ini sebenarnya tempat sampah?”
Jay bergidik ngeri ketika tangannya terus menerus mengeluarkan sampah-sampah busuk. Jay membasahi kerongkongannya.
“Kenapa aku tidak menuruti kepalaku? Jika kuturuti, harusnya sudah kutandatangani sejak awal. Benar, rumah ini benar-benar sudah tak menyimpan apa pun yang bisa kuselamatkan!”
Jay tertawa remeh, ia hendak bangkit. Namun, mata elangnya tertuju pada lipatan kertas yang sudah menempel dengan kardus bekas pizza. Ia menatapnya dengan lekat-lekat.
Ia memungutnya.
Aku menunggumu, aku ingin makan kesemek kering bersamamu. Ayo, bertemu kembali.
-Ddeonu.
“Ddeonu?” Jay mengerjapkan kelopak matanya. “Ah, kurasa aku mulai berdelusi, seakan aku punya masa lalu yang indah. Sial! Berhenti mengada-ada, mana mungkin ini surat selingkuhan Ibu, aku percaya Ayah pergi karena Ibu penyakitan!” Jay memukul kepalanya kesal sambil menjejal sampah-sampah tersebut ke dalam kotak.
🦋
Publikasi 30 April 2022
Republish 6 Maret 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top