-03. dari Sungai Han-
Jay terpaku, ia tak percaya ketika pintu kamar apartemen bekas Joshua hyungnim dibuka lebar-lebar oleh Sim-ssi. Ia benar-benar merasa dibanding sebuah tanda tanya besar. Pengangguran? Persetan, lelucon macam apa itu? Kamarnya mewah, rapi, dan tampak nyaman. Meskipun baunya terasa seperti dingin dan lembab, Jay yakin bau debunya adalah debu yang baru-baru muncul setelah ada pembersihan.
“Kenapa kau bilang, atau kau berpikir mungkin aku tidak betah?” tanya Jay ketika meletakakkan sepatu di rak, sementara Sim-ssi sudah memasuki ruangannya lebih dulu.
“Aku akan mengantar untuk melihat-lihat isi kamarnya.” Ia tersenyum sembari menoleh.
“Kau harus menjawabku dulu, Sim Jae Yoon-ssi,” kata Jay tersenyum kecut. “Apa kau secara tidak langsung mengatakan kalau aku takut setan?”
Jake, laki-laki itu tertawa nyaring membuat kedua kelopak matanya tenggelam. Bagaimana wajah putihnya memerah membuat Jay sedikit kesal, ia mengepalkan tangannya dengan erat.
“Suaramu terlalu kencang, orang-orang mungkin akan terganggu!” pekik Jay makin kesal, rahangnya pun mengeras.
“Joshua hyungie bilang kalau kau menarik dirimu dari keramaian, kau akan semakin tenggelam dalam kesepian dan kesendirian. Banyak orang menghindari tempat ini karena terletak di paling jauh dari keramaian, dan kesunyian hanya akan mengantarkan dirimu pada setiap luka yang kau kubur dalam-dalam. Karena tak akan pernah ada orang yang bisa kau ajak bicara.”
Pikiran Jay terasa pincang. Ia tak mengerti. Pada akhirnya Jay benar-benar merasa bodoh.
“Tapi, dia juga bilang, kalau sendirian kadang membuatmu menangis lebih baik dari pada anak-anak. Jadi, carilah tempat di mana seseorang tak akan mendengarkan tangisanmu.”
Jay menatap kedua manik mata Jake yang bergerak ke arah jendela. “Kau bisa melihat Sungai Han saat kau sedih, baiklah, aku akan meninggalkanmu untuk beristirahat. Aku bekerja di layanan pesan antar makanan, jika kau butuh aku akan menulis nomornya,” kata Jake sambil melengos keluar dari kamar Jay.
“Terima kasih, Jake,” ucap Jay sambil tersenyum tipis.
***
Malam menyingkap beberapa kenangan kecil Jay. Tidurnya terasa sangat tidak nyaman padahal suasana bekas kamar Joshua hyungnim benar-benar memanjakan tubuh Jay yang kelelahan. Entah kenapa, isi kepalanya terus terjaga.
Pagi ini Jay harus menemui orang yang akan membeli rumah mendiang sang ibu. Pukul sembilan, dan saat ini masih pukul tujuh, Jay pikir ia akan merebahkan punggungnya lebih lama.
Pesan dari Chaewon noona membuat Jay tersenyum, gadis itu mengirim sebuah potret kebersamaannya dengan Tuan Kim. Katanya, mereka berlibur ke New York untuk membeli oleh-oleh sebelum keberangkatan ke Seoul untuk menyusul Jay.
Laki-laki itu tawa, baru satu hari, pikirnya.
Jay melangkahkan kakinya ke dapur, ia berniat menyeduh kopi untuk dinikmati bersama roti panggang. Sayangnya, Jay baru sadar, kalau ia tak bisa minum kopi pagi-pagi.
Jay memutuskan bersiap, ia akan bertemu sang pembeli pukul sembilan di salah satu resto ayam terkenal di daerah Gangnam-dong. Namun, sebelumnya Jay rasa ia akan pergi mengunjungi rumahnya terlebih dahulu.
*
Tiga puluh menit ia habiskan untuk bersiap, setelah memesan layanan taksi, Jay pergi ke salah satu daerah di Seoul yang terkenal dengan rumah-rumah bergaya tradisionalnya. Daerah yang pernah dinobatkan sebagai daerah tersederhana tetapi indah, di koran harian Seoul.
Jay mengamati langit pagi ini yang cukup cerah hawanya pun terasa hangat. Ia merasa tak sabar, meskipun kepalanya mengatakan kalau tidak lagi ada gunanya merindukan dan menyesali keputusan menjual rumah tersebut. Hati kecilnya tetap merasa terluka.
Ia sampai di tujuan, tampak sebuah bangunan tua dengan gerbang kayu tampak reyot menyapa dari ujung jalan yang membentang lenggang. Rumah paling mencolok di antara rumah lainnya. Rumah kumuh yang mati. Kakinya terpaku, air mata tiba-tiba melintasi pipinya yang memerah.
“Ayo, bertemu lagi!”
Sebaris kalimat penuh semangat yang seketika membuat kepala Jay pening. Ambruk Jay, berdiri membungkuk sambil memegangi kepalanya sedang tangan satunya memegangi lutut.
Tremor.
Ia merasakan tangannya yang dingin gemetaran, belum lagi napasnya yang berpadu lendir karena hawa dingin membuat kepalanya semakin berat.
“Park Jong Seong?” lontar seseorang, dari suaranya terdengar seperti seorang wanita paruh baya. “Ah, Jong Seong-a!”
Hangat.
Jay merasakan punggungnya hangat ketika telapak tangan lembut mendarat di sana. Belaiannya begitu halus, seakan melurubi punggung dengan sejuta kerinduan.
“Jong Seong-a, apa kau baik-baik saja? Imo tidak salah orang, bukan? Kau Park Jong Seong, putra tunggal Jeong Seong-ssi?”
Jay menolehkan kepalanya, wanita paruh baya itu menatap dengan sendu. Jay tidak ingat siapa orang ini, sayangnya hati Jay bergemuruh, seakan berteriak kalangan kabut kalau ia mengenalnya.
“Iya.”
“Kau baik-baik saja? Apa kau datang bersama Tuan Kim? Apa Amerika menyenangkan, bagaimana hidupmu di sana? Apa sulit?”
Mulutnya kaku. Jay tidak bisa menjawabnya meski hatinya ingin.
“Apa kau baik-baik saja? Mau Imo buatkan teh? Wajahmu pucat sekali, Nak!” Wanita itu membantu Jay berdiri tegak.
“Aku baik-baik saja, tapi maaf, aku benar-benar minta maaf, Anda ini siapa, Buk?” tanya Jay dengan canggung. Ia benar-benar tak mampu mengingatnya.
“Wajar jika kau tidak ingat, kau pergi cukup lama, dan Imo juga tidak terlalu baik padamu dulu, tapi Heesungi selalu berbuat baik padamu.”
“Eomma, sedang apa? Ayo, kita harus ke makam, setelah itu kita harus membuka kedai!”
Jay menoleh, berbarengan dengan wanita tersebut. Berdiri seorang laki-laki bertubuh kurus dengan mata kecil, wajah putih kemerahan menatap saksama. Wajahnya tidak tegas, tetapi rahangnya terlihat proporsional, menyokong potongan hidungnya yang bangir.
“Jong Seong?” kata laki-laki itu.
“Ah, Heeseungi, kebetulan sekali. Jong Seong tampak tak sehat, kau harus mengantarnya ke rumah!” tutur wanita itu, “Eomma akan ke makam sekarang, kau menyusulah.”
Laki-laki itu menganggukkan kepalanya sambil berjalan ke arah Jay yang mematung bego. Jay pikir, semuanya terasa seperti begitu sempit. Ternyata dunia memang kerdil.
“Apa kabar? Lama tidak bersua, Jong Seong-a. Bagaikama kehidupanmu di Seattle?” tanya laki-laki itu.
Jay hanya angkat bahu. “Biasa saja.”
“Kau kembali untuk urusan apa? Kudengar rumahmu akan dibeli, apakah kau datang untuk menyetujui penjualannya?”
“Iya.”
“Kau jadi sedikit lebih diam, dulu kau selalu mengoceh padaku, terus bertanya padaku tentang banyak hal, kau ingat kau pernah bertanya padaku soal apa yang akan terjadi jika kita benar-benar menjadi adik dan kakak. Kau bilang, Heeseung hyung, jika aku jadi adikmu, apa kita akan membantu Imo menggulung kimbab di kedai? Kau selalu mengoceh soal itu.”
Jay hanya diam, mencubit cukang hidungnya dengan lembut. “Maaf aku tidak ingat, tapi jika itu benar, maafkan aku,” katanya.
“Tak perlu, aku juga senang jika kau benar-benar menjadi adikku, kau anak yang manis.”
Jay tersenyum. Jika memang orang-orang yang ditemuinya berasal dari masa lalu, Jay berharap ada satu kenangan yang dapat ia kenang saat ini juga.
“Ayo, aku akan antar kau sampai ke rumahmu.”
Keduanya berjalan bersama, tak banyak obrolan yang Jay tanggapi dari seseorang yang mengenalkan dirinya sebagai Lee Hee Seung, Heeseungi, karibnya.
Jay merasa nyaman mendengarkan beragam cerita ringan yang ia suguhkan walaupun lagi-lagi Jay tidak ingat kapan hal itu terjadi.
Keduanya sampai di depan rumah tua yang benar-benar sekarat keadaannya. Kumuh dan mati. Ilalang tumbuh tinggi di halamannya, lumut liar memenuhi dinding, atapnya benar-benar sudah penuh retak dan nyaris lepas dari rusuknya.
“Aku pamit, ya? Aku harus menyusul Eomma ke makam. Kau boleh mengunjungiku di kedai atau di rumah, tempatnya ada di ujung gang depan gardu listrik dekat kantor pos. Di tempat biasanya taksi lalu lalang,” cetus Heeseung dengan senyuman sumringah.
“Arasseo, gomawoyo, Heeseung hyung.”
“Ne!” Laki-laki itu menepuk-nepuk kepala Jay sampai memerah pipinya.
Tunggu? Memangnya … apa aku benar-benar berteman baik dengannya? Kuharap aku bisa mengingat satu hal kecil yang pernah kulalui di sini. Terserahlah.
“AYO, BERTEMU KEMBALI!”
Isi perut Jay meluncur dari kerongkongannya ketika pintu rumah tua tersebut ia buka. Ia tersungkur sambil menangis pilu.
“Eomma, Jong Seong-a bogoshipo, Eomma bogoshipo!” Jay menangis tersedu-sedu sambil memeluk lututnya yang gemetaran.
🍀
Si sulung di sini.
Pic by Pinterest.
Publikasi 28 April 2022
Republish 4 Maret 2024
Note : nggak ada sunting typo.
Catatan kaki menyusul ehehe.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top