-02. Seoul & Hiruk pikuknya-

Kakinya mendarat di Seoul, didekap hawa dingin yang menusuk cukang hidungnya sampai berlendir. Jay merapatkan mantelnya, membungkus lehernya dengan syal cokelat yang Chaewon hadiahkan dua tahun lalu ketika Natal.

Taksi mengantarnya ke alamat apartemen Joshua hyungnim ketika ia masih menjadi pengangguran di Seoul. Jay tidak paham kenapa laki-laki itu menyuruhnya tinggal di sana, bahkan membayar setengah dari uang sewanya. Kata laki-laki itu, Sungai Han akan menenangkan jiwamu.

“Maaf, anak muda, kita tidak bisa masuk ke jalan di depan sana, kau ingin putar balik untuk mendapatkan akses lainnya?” tanya sang sopir.

“Tidak perlu, saya akan turun di sini. Apartemennya di depan sana,” ucap Jay sambil tersenyum kecil.

Jay menapaki setapak demi setapak jalanan kota yang mulai sunyi, di antara dingin dan gulita. Kakinya mulai kebas karena tumpukan salju, belum lagi punggungnya mulai terasa berat karena menggendong gitar juga ransel, dan tas isi pakaian di tangan kanannya.

Oppa!” teriak seorang gadis sambil memeluk Jay dengan erat. “Oppa, kau terlambat!”

Mata elang Jay tertuju pada seorang pria di bawah cahaya bulan yang redup. Dibalut mantel tebal berwarna biru tua, juga bucket hat yang menutup setengah wajahnya, juga masker dan hanya sisakan kedua pencaran matanya yang berang.

“Ah, kau kembali pulang malam? Maaf, Oppa banyak tugas, hari ini acara manggungnya benar-benar melelahkan!” seru Jay sambil cengengesan.

“Kalau begitu ayo pulang, Eomma dan Halmeoni pasti sudah menunggu!” kata gadis itu sambil memeluk lengan Jay.

“Kenapa buru-buru, kita harus membungkus tteokbokki dan kimchi jjigae untuk keduanya, bukankah kau bilang tadi pagi ingin makanan pedas dan panas?”

“Emm, ayo!”

Jay memegangi tangan gadis itu. Entah ini keputusan yang benar atau salah, Jay mungkin sedang sekarat saat ini. Namun, jika pikirannya keliru gadis inilah yang justru tengah sekarat.

Mata elang Jay berpendar, pria itu pergi dengan langkah cepat menjauhi. Mungkinkah? Jay tak bisa bicara sembarangan.

“Ponselku mati, bisakah kau hubungi kakakku? Aku takut pulang sendiri, aku juga tak bisa memintamu mengantar pulang, pos polisi di sini cukup jauh, atau bisakah—”

“Mari bicara di kedai tteokbokki, kulihat di sana, di seberang jalan sana cukup ramai,” ucap Jay, ia masih membiarkan gadis itu memegangi tangannya dengan erat.

Keduanya berjalan bersama, memasuki sebuah kedai kecil pinggir jalan yang lumayan ramai, orang mabuk, batin Jay.

“Nah, hubungi kakakmu.” Jay memberikan ponselnya pada gadis itu.

Gamsahamnida!”

Jay hanya tersenyum kecil, menggulung bibirnya sambil menikmati suasana baru yang sebenarnya tak asing bagi isi kepalanya. Ia membuat pesanan, dua mangkuk tteokbokki pedas juga odeng.

Oppa akan datang lima belas menit lagi!” kata gadis itu ketika memberikan ponsel di tangannya kepada Jay.

“Baiklah, mari menunggunya. Kau boleh memakannya,” kata Jay sambil tersenyum, ia menyuapkan tteok pedas mulutnya.

“Terima kasih, kau baik sekali. Aku benar-benar tidak tau jika tidak bertemu denganmu, pria itu terus mengikutiku dan bicara hal-hal cabul di belakang punggungku!”

Jay mengangguk kecil. “Kalau boleh kutau, kenapa seorang gadis sepertimu keluar malam, ini bahkan sudah hampir tengah malam?”

“Aku les menari, aku biasanya pulang pagi, tapi karena ada masalah dengan beberapa teman di sana, aku pulang.” Gadis itu menyuapkan odeng ke mulutnya sambil menyeruput kuahnya yang bening.

“Aw, panas!” pekiknya.

“Tenang saja, tak perlu buru-buru.” Jay tertawa melihatnya.

Yyaa, Hong Eun-Chae!” Seorang laki-laki bertubuh tinggi, mata hitam pekat, kulit wajah kemerahan membuka tirai kedai. Ia menjajal pandangan pada setiap meja pelanggan yang ada.

“Sunghoon Oppa!” Gadis itu berlari ke arahnya sambil memeluk erat. “Oppa, aku takut!” rengeknya.

Melihat itu Jay hanya memandang sederhana. Manik matanya yang tajam bak elang, sedikit menyendu. Dengan wajah tenangnya, ia tersenyum ke arah keduanya.

“Kau menyelamatkan adikku?” Laki-laki itu lekas duduk di depan Jay. “Imo, soju hana juseyo!” teriaknya.

Oppa, kau memalukan!” desis gadis itu menatap sebal.

“Tidak juga. Hanya bertemu di jalan, kebetulan saja.” Jay berucap lembut. “Adikmu tampak ketakutan, aku pikir tidak masalah berpura-pura menanggapinya.”

“Park Sunghoon, dan ini adikku Hong Eun-Chae. Kami saudara satu ibu, barangkali kau heran,” katanya tertawa renyah.

Jay memperhatikan wajah laki-laki di depannya. Ia cukup tampan, dengan potongan rambut kelabu ala belah tengah. Matanya tegas, alisnya hitam cukup tebal. Ya sebelas dua belas dengan gadis itu, sama-sama menawan.

“Kau tinggal di mana, apa semua itu barang bawaanmu?” tanya Sunghoon menatap aneh.

“Aku baru tiba di Seoul. Aku berencana akan ke Apartemen DXX, seniorku memberikan kamarnya untukku,” jelas Jay sambil tersenyum simpul. Entah kenapa ia merasa cukup canggung.

“Ahhh … kau orang asing rupanya. Tapi wajahmu Korea sekali, Bung!” Lagi-lagi laki-laki itu tertawa renyah, membuat kedua pipinya kembali memerah mungkin karena efek soju yang ia habiskan nyaris setengah botol sekaligus.

“Aku lahir di Seoul, tapi besar di Seattle. Jadi, aku bukan orang asing,” sindir Jay.

“Kalau begitu menumpanglah, aku membawa mobil, kau bisa duduk di belakang bersama barangmu,” katanya.

“Baiklah.”

Ketiganya beranjak, Jay tidak cukup terkejut dengan kata mobil dan duduk dengan barang bawaan. Dugannya tepat, itu mobil bak. Ia tertawa remeh sambil memijat pelipisnya.

Sialan, ini kenangan pertama yang kudapat setelah dua belas tahun pergi. Menyebalkan.

***

Mobil berhenti tepat di depan sebuah gerbang tinggi menjulang di mana Apartemen DXX berdiri kokoh di depan mata Jay.

“Bung, jika kau senggang, mampirlah ke tempatku bekerja, kulihat kau membawa gitar  aku bekerja di toko alat musik. En-Fever' Labels.”

“Terima kasih untuk tumpangannya, aku akan mampir jika ada waktu!”

“Yah, aku yang harusnya berterima kasih karena adikku merepotkanmu, sampai bertemu kembali. Selamat datang di Seoul dan selamat bersenang-senang, Bung!”

Jay melambaikan tangannya, berjalan memasuki kawasan apartemen tersebut. Tampak seorang berdiri seakan menyambutnya, tetapi Jay tau betul ekspresi apa itu. Sebuah sambutan penuh kecurigaan. Jay tertawa.

“Selamat malam,” tutur Jay sambil menunjukkan sebuah surat kepada orang tersebut.

“Ah, jadi kau yang namanya Park Jong Seong yang Joshua katakan. Baiklah, Sim-ssi akan mengantarkanmu ke kamar Joshua.”

Jay membungkuk, ia merasa seperti malam ini mungkin akan baik-baik saja. Namun, belum tubuhnya tegak sempurna, orang itu berdeham pelan.

“Setengah dari uang sewanya bisa kau selesaikan esok, kutunggu sampai pukul tiga sore,” ucapnya berbisik sambil cekikikan.

Eh, baru kupikir semua akan baik-baik saja. Urusan uang rupanya demikian.

“Mau kulunasi sekarang pun tak masalah. Sebenarnya aku hanya akan memakai tempat itu selama satu bulan atau kurang, Pak.” Jay menatap tajam padanya.

“Baiklah, Sim-ssi akan segera tiba.” Ia mengangkat alis matanya kikuk. “Sim-ssi, kemarilah, orang yang akan mengisi kamar Joshua sudah tiba.”

Jay hanya menggulirkan kedua bola matanya lelah. Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari, ia benar-benar ingin merebahkan tubuh sambil menikmati musik dan segelas kopi di tengah dingin yang mencekik.

“Ayo, aku akan mengantarmu!” ajak seorang laki-laki dengan wajah tertutup masker juga curtain bangs yang cukup panjang. Ia pun menurunkan maskernya.

Jay mengekor, ia berjalan sambil menahan diri atas barang bawaannya yang cukup banyak. Sim-ssi, laki-laki itu disapa demikian oleh pria barusan, mungkin ia pesuruh di wilayah DXX. Kata Joshua sunbaenim, DXX punya pelayanan menarik dari mulai tersedianya jasa cuci kering, mini market di dekat parkiran, klinik dan tempat penitipan hewan. Dengan harga lumayan mahal, juga penjagaan yang cukup ketat.

Jay melamun sepanjang langkahnya, ia sibuk mengamati betapa mewah DXX. Huh, apakah ini benar-benar apartemen untuk seorang penganguran? Semuanya begitu mewah.

“Apa kau juga anak seorang CEO seperti Joshua hyungnim?” Laki-laki menoleh sambil tersenyum lebar. Matanya sedikit kecil, tetapi tampak cerdik kelihatannya. “Mau kubantu?”

“Iya, terima kasih.” Anak CEO? Bualan macam apa lagi, Tuhan?

“Namaku Sim Jae Yoon. Orang-orang di DXX memanggilku Sim-ssi atau Jeikeu, sederhananya Jake.”

Jay hanya tersenyum.

“Sepertinya kita seumuran. Umurku dua puluh dua tahun, jadi jangan sungkan untuk bicara dan bersikap santai.” Sim-ssi atau Jake akrabnya. Ia menatap Jay dengan saksama lalu tertawa. “Semoga betah di sini terutama di tempatnya Joshua hyungnim.”

Jakun Jay turun, perasaannya mulai tak baik.

🍀

Salam dari Sim-ssi.
Pic by Pinterest.

Publikasi 26 April 2022
Republish 4 Maret 2024
Note : setiap fotonya aku update, ya. Jadi, pasti pakai foto baru/lama, biar nggak bosenin.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top