Bab 2 - Kabut Sanubari
Cerita ini dirangkai bersama di Distrik Ignis oleh lestari_me Braino_S xohanrie lecanopus Mochichi26 adayraa Ptrysc diksibiru dan didedikasikan untuk hunterspin88.
Rumusan Plot :
1. Perkenalan = Fabian masuk ke rumah dengan mengucap salam namun tak ada balasan, netranya melihat mama dan adiknya yang sedang bercengkrama membuatnya mematung.
2. Konflik = Fabian membatin ingin merasakan kasih sayang ibu. Ayahnya tanpa sengaja melihat ponsel Fabian dan berbicara dengan Fabian
3. Klimaks = Ayah berbicara dengan Mama tentang bagaimana harusnya sikap Mama terhadap Fabian dan Mama pun menceritakan alasannya bersikap seperti itu.
4. Antiklimaks = Mama menceritakan semuanya ke Fabian.
5. Penyelesaian = Fabian memaafkan mama, akhirnya keluarga mereka menjadi bahagia kembali.
***
Wajah yang lelah terlihat semakin buruk tanpa senyuman. Dengan malas Fabian melangkah masuk ke rumah, sambil mengucap salam. Sayangnya, tidak ada jawaban dari dalam.
Langkah Fabian terhenti kala netranya menangkap pemandangan yang tidak bisa dia dapatkan. Di sofa, ibu dan adiknya sedang bercengkrama.
Senyum tulus terukir di wajah Alin, sesekali dia tertawa bersama putrinya. Salwa juga demikian, dia yang tengah berbaring di pangkuan sang ibu, terlihat menyipitkan mata akibat kekehan yang keluar dari mulut.
Perasaan Fabian terluka. Ada rasa iri dan cemburu yang menguasai atmanya. Dengan cepat dia melangkahkan kaki menuju kamar.
Dia segera berganti dengan pakaian yang lebih santai, lalu duduk di tepi ranjang. Netranya tidak lepas dari ponsel di tangan.
Foto sang ibunda terpampang jelas di layar utama. Sangat cantik dengan senyum manis nan tulus.
Kapan aku bisa mendapatkan senyum tulus darimu, ma?
Saat dirinya tengah tenggelam dalam pemikirannya sendiri, tiba-tiba suara cempreng terdengar dari luar, "Bang, keluar, yuk! Makan siangnya sudah siap!"
Ibu jari kanan Fabian segera mematikan ponsel dan menaruhnya di meja cokelat muda, kemudian membuka pintu. Didapati sang adik tersenyum hangat dan binar cerah memenuhi mata. Aroma masakan yang baru jadi langsung menyentuh indra penciumannya, sekilas Fabian bisa menebak makan siang hari ini. "Ayo kita ke bawah, Bang! Ada makanan kesukaan Abang lho!"
Benar dugaannya, ada makanan favoritnya di meja makan. Dia sangat ingat dengan aromanya yang khas. Kedua sudut bibir Fabian terangkat sedikit sebelum kembali menurun. Pasti mamanya membuatkan makanan itu untuk Salwa, bukan dirinya, karena adiknya juga menyukai makanan itu.
Salwa menuruni tangga terlebih dahulu yang kemudian disusul Fabian. Buru-buru Salwa duduk di samping mamanya bersiap untuk mencicipi makanan, sedangkan Fabian bergerak sedikit lebih lambat sebelum duduk berhadapan dengan Salwa. Dari tadi ayahnya sudah duduk di kursi samping tempat Fabian duduk.
Mamanya mulai mengambilkan nasi untuk Ayah juga Salwa yang membuat Fabian menghela napas, ia juga ingin diperlakukan sama. Kejadian seperti ini terus terulang membuat dirinya makin merasa diabaikan.
Di atas meja ada tiga lauk yang tersedia, salah satunya telur mata sapi berbumbu balado. Setelah mengambil nasi, Fabian berniat mengambil telur balado namun gerakannya melambat sewaktu mendengar ucapan mamanya, "Kamu mau makan yang mana dulu? Telur balado? Hari ini mama sengaja buatkan makanan kesukaanmu."
Benar, 'kan. Mamanya tidak mungkin memasakkan ini untuk dirinya. Pasti untuk Salwa, anak kesayangannya. Memangnya apa yang mau dia harapkan?
Adiknya mengangguk dan segera Alin menaruh lauk tersebut ke piring Salwa. Fabian mendapati mamanya sempat melihat isi piringnya yang masih diisi nasi saja, tetapi tidak begitu peduli untuk melakukan hal yang sama. Arga melihat itu juga, dan berinisiatif mengambilkan serta meletakkan ke dalam piringnya. "Makanlah."
"Terima kasih, Yah," ucap Fabian lemah dan mulai makan.
"Enak tidak, sayang?" tanya Alin kepada Salwa. Apakah mamanya tidak sadar kalau Fabian juga memakan lauk itu? Mengapa hanya Salwa yang ditanya? Kenapa?
Pertanyaan itu terus diulang di dalam kepalanya, membuat perasaan Fabian semakin sakit. Air mata sudah mulai membendung dan siap keluar dari matanya. Dia tidak bisa memperlihatkannya, jadi Fabian berdiri meninggalkan makanan yang baru dicicipinya tiga sendok.
"Fabian," panggil Ayah mencoba menghentikan. Namun, dia tidak mendengarkan dan lanjut pergi ke kamar. Makanan favorit tidak lagi menggoda seleranya. Dia hanya ingin menyendiri sekarang.
Di ruang bernuansa abu-abu, Fabian duduk, bersandar pada sandaran ranjang dengan mata yang dipejamkan. Ingatan sewaktu dia dan Salwa di taman kembali menyapa.
"Mama sangat sayang ya sama kamu." Fabian berucap lirih, terdengar seperti gumaman tapi masih mampu didengar oleh Salwa.
"Mama juga sangat sayang sama Abang, hanya saja Abang gak tahu."
Mendengar itu, Fabian lantas menarik ke atas dua sudut bibirnya, hanya sepersekian detik. "Oh, ya?"
"Iya, Bang. Salwa, Ayah, dan Mama sayang banget sama Abang," ucap Salwa sembari melingkarkan tangannya di pinggang Fabian. Dari senyuman lebar di wajah Salwa, tidak ada tanda-tanda kebohongan sama sekali.
Andai saja yang diucapkan Salwa benar adanya.
Fabian kembali membuka mata bersamaan dengan hela napas yang kian memberat.
Sudahlah! Apa sih yang mau kuharapkan? Toh semuanya sudah kulakukan sebaik mungkin tapi tetap saja diabaikan.
Fabian menarik rambutnya dengan sangat keras, melampiaskan seluruh emosi terpendamnya, tanpa menyadari bunyi derit pintu kamarnya.
Suara berat khas ayahnya menyapa, membuyarkan emosi Fabian yang tengah ia salurkan, "Fabian ...."
Fabian menatap ayahnya dengan tatapan bertanya.
"Nak, jangan pernah merasa bahwa kami membeda-bedakan kasih sayang antara kamu dan adikmu. Kalian semua berharga bagi kami." Setelahnya Arga melangkah ke arah Fabian untuk memberi usapan lembut pada punggung tegap milik putra semata wayangnya.
Kenapa ayah berkata seperti ini?
Terjadi keheningan antara dua lelaki beda usia itu, mereka hanyut dalam pikiran masing-masing sampai bunyi notifikasi pesan pada ponsel Fabian yang tergeletak di meja dekat ranjang mengambil alih atensi keduanya, terutama Arga.
Melihat wallpaper ponsel Fabian membuat Arga tertegun cukup lama, kemudian memberikan senyum dan tepukan pada pundak putranya lalu keluar dari kamar Fabian.
Dia sangat menyayangimu, Lin. Tolong jangan buat dia tersiksa semakin lama.
***
Satu setengah jam lagi tepat pukul dua belas malam. Arga tengah gemetaran dengan kedua matanya menatap tak karuan. Temperatur malam ini menusuk tajam, menyengal dada.
Sejak Arga memutuskan untuk menaruh hati pada Alin, ia meluluskan segala celanya. Ia kira Alin pun demikian, tentang Fabian.
Ditemani sorotan lampu malam yang hangat serta alunan suara jangkrik khas yang terhantar, Arga mulai membuka lisan.
"Lin," panggilnya. Alin pun menolehkan kepala ke belakang, menarik sudut bingkainya pelan, mengunci manik matanya pada Arga.
"Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu. Duduklah di sini." Arga lekas membuat punggungnya tegak lurus. Ditepuknya seprai halus di sebelahnya dan Alin pun ikut beranjak.
Arga menunduk, sempat bibirnya bergetar. "Ini ... tentang Fabian. Kamu tahu, sudah berapa lama kamu mengabaikan Fabian? Tidakkah kamu kasihan padanya? Kamu Ibunya, 'kan?" akhirnya terlepaslah sengal. Begitu nama 'Fabian' menembus gendang telinga Alin, senyuman yang semula manis itu kini menjadi masam. Alin berpaling muka. Terlihat kerutan di antara sudut dalam alisnya, kedua bibirnya terkatup tertarik ke bawah, bergetar hebat di dalam.
"Cukup! Aku tidak mau membicarakan anak itu!" sentak Alin tak riuh namun tegas. "Sebentar lagi tengah malam, baiknya kita tidur saja," lanjutnya kemudian.
Kerasnya sorakan itu membuat Arga semakin ingin menggalinya. "Kamu bahkan tidak mau menyebut namanya. Kenapa? Alin, Fabian adalah putramu, darah dagingmu!" ucap Arga dengan lisan terbuka lebar, kelopak matanya menaik dan menegang di bagian bawah. "Sebagai seorang Ibu, apakah tindakanmu ini benar?" lanjut Arga yang kini semakin ternanar, tatapannya kembali menegang, lekas merenggang perlahan. Arga menarik lembut arah wajah Alin.
Isakan mulai terdengar. Arga menarik Alin erat dalam dekapannya, memberi kehangatan sebentar setelah mungkin membuat hati kecil Alin tertusuk, perih. "Maaf Alin, aku tidak bermak-" pernyataan Arga terjeda, tak tuntas.
"Mas," suara pelan Alin bergetar hebat di tengah riuhnya sesenggukan. "Aku tidak pernah sekalipun berpikir untuk membenci Fabian, tapi sekarang dia sudah besar dan ... wajahnya ... wajah itu mengingatkanku dengan Fino," lanjutnya dengan tersenggut, melepas bungkus luka yang telah lama terisolasi.
"Kamu tidak bisa terus lari, Alin. Waktu tidak dapat diputar. Mau berapa lama kamu bersembunyi seperti ini?" Arga mengusap punggung Alin mencoba menenangkan. Ia paham betul bagaimana perasaan Alin saat melihat Fabian yang semakin lama, semakin serupa dengan masa lalu wanita itu.
Alin menarik napas kasar. Arga benar, dirinya tak bisa terus lari dari waktu yang semakin menghimpitnya. Baik hari ini atau pun nanti, pasti ada saat di mana Fabian mengetahui semuanya. Jika Fabian menemukan fakta bukan darinya, itu pasti akan menjadi hantaman keras bagi sang putra yang tak bersalah.
Alin menggigit bibir, merutuki diri. Ini salahnya. Mengapa dia begitu percaya? Padahal, tidak ada saksi selain kalimat manis yang dilontarkan oleh Fino dan setangkai mawar berduri. Buruknya lagi, ia melimpahkan semua emosinya pada Fabian yang tidak mengetahui apa-apa.
"Aku terlalu malu untuk menceritakan semuanya. Aku ini ... kotor sekali." Alin menutup mata. Ia berusaha untuk tidak menangis lagi atau matanya akan semakin bengkak besok. Namun, sesekali bulir-bulir air matanya masih berjatuhan.
Arga melepaskan pelukannya. Ia mengangkat wajah Alin, agar wanita itu melihat ke arahnya, "Aku yakin, dia sudah cukup dewasa untuk mengerti." Arga mengusap kepala Alin lembut, sembari meminta maaf jika saja dirinya masih kurang, bagi dia yang Arga cintai sampai-sampai Alin tidak dapat melupakan Fino.
"Semua yang kamu berikan sudah lebih dari cukup. Hanya saja, aku ...." Alin menarik rambutnya kasar. Andai ia dapat lepas dari jeratan masa lalu, pasti tidak akan ada yang tersakiti.
Melupakan masa lalu dan keburukan seseorang bukanlah hal yang mudah. Seringkali, bahkan ketika Alin tertawa, bayangan kesalahan terlintas di hadapannya. Memaksa dirinya untuk terus menunduk dan meratapi kebodohan.
Arga menghentikan tangan Alin yang masih menarik rambut. Ia lantas mengusap kembali kepala sang wanita, "Jika itu masa lalu, semakin kamu menghindarinya, semakin kamu takut untuk beranjak."
Napas Alin seketika tercekat. Lagi-lagi apa yang dikatakan oleh suaminya benar. Dia terlalu sering lari dari masalah sehingga bebannya semakin berat seiring waktu. Semakin lama, ia semakin kesulitan untuk mengucapkan permohonan maaf. Alin lantas menatap netra hazel milik Arga lekat, "Apa aku masih memiliki waktu untuk berubah?"
***
Malam telah berlalu. Perdebatan semalam telah memutuskan Alin untuk menuangkan semua rahasianya kepada Fabian. Oleh karena itu, Alin memanggil Fabian sebelum mereka sarapan. Ada setitik keraguan di hatinya ketika sepasang netra Alin menangkap wajah bingung Fabian. "Ma, ada sesuatu?" Fabian dibuat mengernyit kala Alin malah tersenyum dan menyodorkan segelas susu.
Kenapa Mama tidak seperti biasanya?
Meski demikian, Fabian tak menampik kenyataan bahwa dia merasa senang diperhatikan Alin.
Alin menghela napas dan menatap putranya dengan iris bergetar. Seolah ada ombak yang menghantam dirinya hingga sekujur tubuhnya kaku. Alin merasa gamang. Namun, dia harus mengeluarkan getir yang selama ini terpendam.
"Bian." Alin mengeratkan kepalan tangannya, "Mau dengarkan cerita Mama?" Fabian menggangguk ragu tatkala mendapati raut sendu Alin.
Alin memejamkan mata, menahan benteng pertahanannya agar tidak runtuh. Bibirnya terbuka seiring memori usang terputar dalam bayangan.
***
Babak pertama dalam kehidupan Alin, dia menangis di pelukan Ayahnya. Babak kedua berlangsung cepat, Ayah pergi dan Alin menggenggam sekeping memori.
Rumor anak nakal yang melekat, menjadikan Alin akrab dengan isu buruk harian. Lalu, dia bertemu lelaki yang menariknya dari isu masyarakat.
Alin terpikat. Apalagi sosok dewasa Fino menaruh rasa yang sama, Alin merasa kehidupannya akan berubah.
Fino yang selalu melindunginya membuat Alin terperosok ke dalam pesonanya bertahun-tahun.
Besar kepercayaan yang ia berikan pada Fino membuat Alin mempertaruhkan hidupnya, termasuk rela mengandung janin mereka.
Bayangan keluarga kecil selalu terpatri. Sayangnya, semua itu hanyalah harapan semu. Sebab, Alin diharuskan mengecap pahit ketika Fino berkata, "Maaf, aku akan menikahi wanita lain. Bunda sudah menentukannya." Sambil berlutut di hadapannya.
Perasaan marah, kecewa dan sedih mengaduk jiwa Alin hingga satu-satunya kata yang meluncur cukup menggetarkan jiwa mereka. "Pergilah!" teriaknya. Fino membisu dan meninggalkan Alin begitu saja.
Seharusnya, Alin menyadari hal ini. Bunda tentu memilih putri dari saudagar kaya dibanding putri dari seorang janda kampung.
Alin seolah dihantam gada setelah mengingat sesuatu. Kaki kurusnya dipacu cepat mengejar Fino. Meski, Bunda tidak menyukainya. Setidaknya, Alin ingin memberitahukan berita kehamilannya.
Tepat di pertigaan jalan, presensi Fino terlihat. Alin hendak melangkah sebelum satu sosok menghentak batinnya. Sosok wanita dengan kursi roda. Lantas, Alin mengurungkan niatnya. Dia tidak mungkin memberi garam pada luka mereka karena empati telah memainkan perannya.
Setelah menerima kenyataan dan kehidupan yang begitu pahit, Alin memutuskan pergi dari kampung halamannya untuk melupakan Fino. Dia juga meninggalkan sang Ibu di kampung halaman sendirian.
Kota yang menjadi tujuannya dan buah hatinya telah ia pijak. Dengan senyuman pedih, Alin melupakan semuanya dan mencari kehidupan yang baru di tempat ini.
Alin menemukan sebuah Restoran yang sedang membutuhkan seorang pramusaji. Tanpa pikir panjang, Alin melamar posisi itu dan Dewi Fortuna seolah berada di kubunya. Alin bisa bekerja mulai hari itu juga. Bahkan, Alin mendapatkan mess untuk tidur yang membuatnya tak perlu susah payah mencari kontrakan.
Hari-hari yang selalu Alin jalani dengan hormon ibu hamil yang selalu naik turun, mual dan pusing menyelimuti kesehariannya. Namun, itu bukanlah hal yang menyakitkan dibandingkan dengan keadaan yang sesungguhnya.
Dua minggu sudah Alin bekerja sebagai pramusaji. Selama itu pula Alin menjadi alasan seorang pria betah berada di restoran ini. Tak disangka, hari itu juga si pria memberanikan diri menarik dan mengajak Alin untuk sekadar berkenalan sekaligus mengobrol ringan. Ini adalah salah satu peristiwa yang tak pernah terlintas di pikiran Alin selama ia berada di kota orang.
Perlahan Alin membuka hati dan menaruh harap kepada seorang pria yang bernama Arga itu setelah setiap hari mereka lalui bersama.
Bak tersambar petir ketika Arga meminta Alin untuk menjadi pasangan hidupnya, ingin sekali Alin menjelaskan tentang keadaan yang sesungguhnya. Akan tetapi, Arga lebih dulu memahaminya.
"Aku mengerti, keadaanmu kini begitu rumit dan aku tak mempermasalahkan itu. Aku tak peduli dengan rumor buruk tentangmu. Entah itu rumor atau fakta, aku tetap mencintaimu. Jadi, kamu mau menikah denganku?" pinta Arga dengan segala rasa keyakinannya.
Dengan memantapkan hati, Alin menerima lamaran Arga dan acara pernikahan di gelar satu bulan setelah Arga melamar Alin. Selama pernikahan, hubungan mereka masih baik dan layaknya rumah tangga pada umumnya.
Sampai akhirnya, Alin melahirkan seorang bayi yang ia kandung, karena Fino. Bayi itu seorang laki-laki yang diberi nama Fabian oleh Arga. Kasih sayang Arga kepada Fabian pun begitu tulus layaknya anak kandung sendiri. Begitu pula Alin.Namun, sikap Alin berubah seiring beranjak dewasanya Fabian. Alin yang perlahan menjauh dan tak ingin berkontak langsung dengan putranya. Fabian pun merasakan perubahan drastis dari sudut pandang anak yang selalu membanggakan sosok Mama.
Fabian merasakan sakit hati di saat Alin selalu mengabaikannya, bahkan dia merasa tak memiliki sosok mama. Fabian juga merasa jika Alin tak benar-benar tulus sayang kepadanya.
Sebenarnya, semua perasaan Fabian itu sangatlah salah. Alin selalu sayang terhadap Fabian, tetapi sikap Alin justru membuat perasaan Fabian tak keruan.
***
Namun, Fabian mencoba untuk tidak mempedulikannya. Ia lantas mendekap tubuh Alin yang berguncang hebat. Dinding pertahanan yang Alin jaga, runtuh begitu kisah pahitnya usai ditumpahkan.
Isak tangis mereka terdengar jelas di ruang tengah, tetapi Arga dan Salwa tak berniat untuk menyela. Mereka membiarkan Alin dan Fabian menyelesaikan masalahnya.
"Bian, Mama memang bukanlah sosok orang tua yang bijak. Namun, bisakah kamu memaafkan Mama atas kesalahan yang sudah terjadi?" Suara Alin bergetar menahan tangis.
Kerongkongannya semakin tercekat kala Fabian membalas dengan permintaan maaf yang terlihat tulus. Kedua manik mata anak pertamanya itu menatap Alin lekat, "Aku memaafkan Mama. Bahkan tanpa diminta pun, aku pasti akan memaafkan Mama. Aku juga terlalu egois, tidak memikirkan perasaan Mama. Padahal Mama sudah menahan sakit sejak lama, tetapi aku malah hadir untuk menambah rasa sakit itu. Fabian sadar, bahwa semua itu tidak mudah untuk Mama lalui," ucap Fabian dengan air mata bercucuran melewati kedua pipinya.
Alin meregangkan jarak di antara mereka. Tangannya menangkup pipi Fabian. "Bian, terkadang di dalam pekatnya secangkir kopi, terdapat butiran gula. Sesungguhnya, kamu hadir untuk membantu Mama berdamai dengan masa lalu seperti sekarang. Jadi, terima kasih karena sudah bersedia menemani Mama." Setelah mengatakannya, Mama kembali memeluk putranya erat.
Masalah yang senantiasa menggumpal di dada telah menguap seiring tangis yang dikeluarkan. Arga dan Salwa tersenyum lega sekaligus haru. Mereka beranjak dan turut memeluk Alin dan Fabian.
Semuanya telah berakhir. Kisah suram nan kelam yang terjadi sejak berpuluh-puluh tahun lalu kini telah usai. Mereka tidak akan pernah melupakan momen penting ini, terutama Fabian dan Alin. Kisah ini akan menjadi pembelajaran kehidupan yang sangat berharga. Fabian dan keluarganya kini memulai lembar baru yang siap dilukis harmonis. Mengukir kisah baru dengan senyum tulus dan tawa bahagia. Menciptakan syahdu dalam kabut sanubari.
Selesai.
Terima kasih sudag membaca.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top