|| 7 || Lidah Api Kemarahan

Ignicia:
Girl From Hell

A novel by Zivia Zee

•••

Buttervia diguncang ketakutan. Ignicia dan permainannya bersama Sang Peniru Misterius menebarkan teror tak berkesudahan.

Sang Peniru mengambil umpannya. Pagi hari setelah Ignicia mengambil korban terakhirnya, mayat lain ditemukan dalam keadaan yang sama seperti Zanette Ziegler. Perlahan, pancingan itu berubah menjadi sebuah kompetisi. Ajang perburuan bola mata paling indah yang memakan banyak korban. Jika hari ini Ignicia membakar kepala dan mencuri bola mata berwarna safir dari salah seorang noni, esoknya Sang Peniru akan meletakkan mayat korban pemilik bola mata amber di dekat taman. Semakin sengit persaingan, semakin heboh Buttervia dibuatnya.

Dua minggu berlalu, beribu-ribu gulden dijatuhkan pada banyak sayembara demi menangkap Iblis Pemburu Mata sebab telah banyak korban berjatuhan. Alun-alun tidak pernah sepi. Setiap harinya, dua sampai tiga kematian diumumkan. Ketakutan menyebar bahkan pada saat langit masih menyala.

Buttervia bak berada di ujung jurang terjal menuju kehancurannya.

Namun, sebuah mansion di ujung kota yang dilingkari hutan itu menyembunyikan rahasianya sendiri. Buttervia tidak pernah tahu, bahwa setiap insan yang meninggali rumah besar itu adalah seorang monster.

Monster yang meneror Hindia.

Setiap lapis pohon yang menjadi perbatasan nampaknya melindungi apa yang dikelilingi dari laguh-lagah tengah kota. Sebab di dalam masih tersimpan kedamaian yang sama, meski salah satu monster kecil keluarga Leanders lah yang mendalangi kegaduhan akhir-akhir ini.

Ignicia bagaikan hidup di saat terbaiknya. Meski ia masih jengkel soal peniru identitas misterius yang masih berkeliaran di luar sana, hal itu tidak menghalanginya dari bersenang-senang. Ia punya banyak permainan dan hal yang bisa dimainkan.

Dewasa kini, gadis itu sedang sangat menyenangi bermain tebak-tebakan.

"Cas!"

Suara nyaringnya menggema di lorong rumah bersahutan dengan derap sepatu merahnya. Diburu kegirangan, Ignicia langsung menghambur pada pelayannya yang baru saja keluar dari ruang Vader.

"Ayo! Temani aku ke jembatan Sungai Enver."

Kaki-kaki kecilnya tidak menunggu respon Cas. Ignicia berlari keluar rumah menyebabkan Cas harus melangkah lebar demi menyusulnya.

"Apa yang ingin Nona lakukan di Sungai Enver?"

Gadis itu menoleh padanya dengan mata berkilat. "Aku berhasil menebaknya! Polanya. Setiap aku meninggalkan mayat di luar sana, ia akan meninggalkan mayat tidak jauh dari tempat korbanku. Kalau aku mengambil korban di taman, dia akan menaruh di tugu. Jika aku menaruh di tugu, dia akan meletakkannya di menara. Peniru jelek itu selalu mencoba mengais perhatian dengan mencari mangsa dengan target yang lebih baik dan tempat dengan lebih banyak perhatian dari targetku."

"Jadi, karena kemarin anda mencari mangsa di sungai Enver, anda berpikir bahwa peniru itu akan muncul di jembatan Enver?"

Ignicia mengangguk. "Jembatan Enver tempat yang bagus untuk mencari perhatian. Jembatan itu terkenal bukan? Dia ingin membuat tanda di sana. Aku tidak bisa membiarkannya. Hari ini, aku akan menangkapnya. Kita langsung ke sana."

Ia melangkah naik ke kereta kuda.

Alis Cas terangkat heran. "Tidak mau pergi ke kediaman Tuan Orwell terlebih dahulu? Bukankah belakangan ini Nona selalu mengajaknya?"

Ignicia menggeleng cepat. "Kali ini, tinggalkan saja dia. Aku tidak butuh—"

"Apa?! Kau mau meninggalkan aku?"

Tiba-tiba saja, Holan muncul entah dari mana. Merangsek seraya menyingkirkan Cas, kepalanya ia tengadahkan ke dalam kubah kereta. Wajahnya merajuk.

Ignicia melotot. Tidak menyangka akan bertemu dengan pemuda itu pada petang hari begini.

Seperti perangainya yang tak pernah sungkan, lelaki itu melangkah angkuh menduduki Kursi kereta berhadapan dengan Ignicia. Kakinya menyilang jumawa.

"Tidak bisa. Nona Ignicia sayang, kau membutuhkan lelaki." Matanya melirik ke arah Cas. "Maksudku, yang benar-benar lelaki."

Ignicia ikut menyilangkan kakinya. "Tentu saja. Aku membutuhkan lelaki pemberani yang tidak akan merangkak dengan lutunya ketika melihat mayat."

Cas naik ke dalam kereta usai memberitahu sang supir arah tujuan sang nona muda. Kuda mengikik saat alat pacunya menyentak. Kereta itu membawa ketiganya ke Sungai Enver.

Dalam dua puluh menit, Ignicia sudah menginjakkan kakinya di jalanan sepanjang Sungai Enver. Tidak cukup dekat dengan jembatan, tetapi dia dapat mengawasi area itu dari sini.

Sungai Enver terkenal dengan legenda kisah cinta yang bersemi di atas jembatan sungai yang katanya menjadi tempat turun Sang Cupid. Jika matahari masih menggantung tinggi, tempat itu selalu ramai akan orang-orang yang memadu kasih. Tetapi saat petang tiba, kesunyian akan berkuasa lebih dari pada raja.

Temaram lampu gantung yang berdiri rapuh di atas jembatan menjadi satu-satunya penerangan. Jika ada orang yang melewatinya, bayang-bayang gerakannya pasti akan tersorot.

Holan berdiri di belakang Ignicia yang mengintip dari balik dinding bangunan. Gelisah, lelaki itu berpindah ke gadis itu. "Biar aku di depan. Aku 'kan seorang pria."

Ignicia memutar bola matanya jengah.

Kenapa bukan Cas yang bersamaku, sih, batinnya berteriak. Ketiganya memutuskan untuk berpencar. Selagi ia terjebak bersama Holan, Cas mengawasi jembatan dari sisi seberang. Menunggu kehadiran Sang Peniru yang sudah mereka tunggu-tunggu.

Memandangi punggung Holan, tiba-tiba saja terbesit ide jahil di benaknya. Gadis itu mundur perlahan. Sebisa mungkin tidak meninggalkan suara. Lalu dengan cepat, kakinya melangkah ke dalam gang, meninggalkan Holan sendirian.

"Sekarang, aku tinggal menunggu kau. Berteriak ketakutan—"

Suaranya tercekat tiba-tiba. Ignicia tidak menyangka, baru lima langkah kakinya meninggalkan gang tempat di mana ia dan Holan bersembunyi, tiba-tiba saja sebuah karung apak membungkus tubuhnya. Terdengar suara orang berdebat dengan suara tertahan sebelum tubuhnya di angkat ke atas bahu seseorang.

Gadis itu terdiam.

Apakah aku ... baru saja diculik?"

•••

Ignicia baru saja diculik.

Gadis itu ternganga tidak percaya. Ia sengaja berdiam diri memupuk kemarahan hanya untuk mengetahui manusia bodoh mana yang berani-beraninya menculik seorang monster. Apalagi monster dengan kontrol emosi yang rendah sepertinya. Rupanya, orang itu adalah Cedric. Kali ini lelaki itu tidak sendiri, Angeline ada bersamanya. Keduanya berkomplot mencoba memancing amukan Ignicia yang kini tinggal sejengkal sebelum meledak.

"Wah, kau benar-benar menculiknya!" seru Angeline terkagum.

Cedric menyentuhkan jempolnya ke ujung hidung. "Tentu saja menculik gadis lemah seperti dia sangat mudah."

"Kau yakin kita bisa menemukan informasi tentang Iblis Pemburu Mata dari dia?"

Cedric mengangguk tegas. "Dia yang bilang sendiri kalau dia ikut sayembara keluarga Ziegler. Dengan koneksi Leanders, aku yakin dia sudah punya informasi."

Karung yang membungkus kepalanya dibuka. Akhirnya, Ignicia bersitatap dengan Cedric dan Angeline yang menatapnya dengan senyum angkuh. Ia terduduk di sebuah kursi kayu tua dalam sebuah bangunan lapuk. Tangannya terikat ke pegangan kursi.

"Uh, jadi kalian berdua?"

"Tentu saja kami. Kau pikir siapa lagi? Keluarga Boswell tentu mempunyai kekuatan untuk menculik anak Leanders. Kau pikir hanya keluargamu saja yang berkuasa?"

Ignicia menatap sekitar. "Kutebak kalian membawaku ke pinggir kota? Gubuk reyot di pinggir jalan yang bersebalahan dengan hutan. Pilihan yang bagus. Aku memang membutuhkan tempat yang sepi." Matanya tertuju pada Cedric kemudian. Wajahnya mendekat. "Kau bilang ingin informasi soal Iblis pemburu mata 'kan?"

"Oh, kau ingin langsung memberitahunya padaku? Baguslah, kupikir aku harus mengancammu pakai gunting rambut terlebih dahulu. Ternyata kau tidak sebodoh itu."

"Biar kuberitahu padamu." Gadis itu tersenyum kecil. "Iblis itu ada di depanmu."

Sebelum Cedric mampu mencerna kata-katanya. Api muncul dan membara dari tangan Ignicia. Membakar tali yang mengikatnya. Gadis itu berdiri bersemuka dengan Cedric yang masih terpaku dengan pemandangan ganjil yang baru saja terjadi.

"Aku bilang, iblis itu ada di depanmu."

Api memercik dan membesar dari tangan Ignicia. Kali ini, skala kekuatannya jauh lebih besar dari sebelumnya, sampai-sampai rambut gadis itu melayang di udara tertiup hawa. Cedric dan Angeline termundur hingga jatuh. Mata keduanya melotot ngeri melihat lidah api yang menggelora di hadapan mereka.

"A-apa yang terjadi?"

"Beraninya kalian tikus jelek macam-macam denganku." Alis Ignicia menyatu. Dahinya mengerut dalam saat ia berkata, "Harusnya aku lihat wajah ketakutan Holan, bukan wajah buruk rupa kalian!"

Tangannya mengepal kuat. Gadis itu kemudian menghempaskan tangannya ke udara. Menyemburkan api yang mulai menjilat-jilat ruangan.

Cedric dan Angeline berteriak histeris. Masih dilanda gemetar dan kebingungan, keduanya merangkak ke luar bangunan dengan lutut mereka.

Ignicia kian dilanda berang. Ia berteriak kencang yang sejurus dengan itu memuntahkan gelombang energi panas dari tubuhnya, menyebar hingga meledakkan bangunan. Langit malam dan pepohonan terbuka di hadapannya. Suara gemuruh yang timbul membangunkan Buttervia dari sunyinya malam.

Napas gadis itu memendek. Gelegak amarah meledak-ledak di dalam dirinya. Sekali lagi, Ignicia memuntahkan api dari telapak tangannya. Merambat dari dirinya, menyebar hingga membakar berhektar-hektar hutan di belakang.

Cas dan Holan baru sampai ketika gadis itu baru melangkah ke luar dari puing-puing bangunan. Di belakangnya, Bangunan tempat ia disekap sudah tidak berbentuk. Hanya bersisa puing-puing hangus dengan juluran api di mana-mana. Suara retih menjadi nada-nada, gemerisik angin mengirim kabar mengguncang Buttervia dari tidur lelapnya.

Holan terjatuh di atas bokongnya. Dengan gemetar, lelaki itu menunjuk ke arah depan. "A-apa itu Ignicia?

Sembari mengurug hidung, Cas menjawab, "Ya. Itu Ignicia, gadis dari neraka."

Kekacauan malam itu tentu akan menghebohkan seluruh kota. Sesampainya di rumah, gadis itu langsung disambut oleh Vader dengan kening mengerut dan mata menatap tajam. Tongkatnya mengetuk-ngetuk lantai menandakan bahwa ia sedang marah.

"Tidak cukup satu bangunan, kau membakar seluruh hutan?!" sentak lelaki itu padanya.

Ignicia yang masih jengkel balas berteriak, "Tidak seluruhnya! Hanya satu bagian kecil. Lagipula siapa yang peduli? Ignicia tidak peduli!"

Gadis itu berjalan cepat seraya menyentakkan kaki menuju kamarnya. Tidak memedulikan Vader yang mengikuti di belakang dengan murka.

"Ignicia! Kau hampir membuat jati diri kita terungkap ke publik. Kau mau tanggung jawab jika keluarga ini mendapat masalah karenamu?!"

"Tidak tahu! Tidak tahu!" pekik gadis itu kesal. Ia memasuki kamarnya dan membanting pintu. "Menyebalkan!"

"Kau sudah keterlaluan, Anak Muda!" Vader mengomel di luar pintu kamarnya. Suara tok-tok tongkat mengetuk lantai semakin kencang dan keras. "Mulai hari ini, kau dilarang keluar rumah selain ke sekolah. Selama ini, aku sudah terlalu lunak padamu. Kau memang istimewa, tapi aku tidak bisa membiarkanmu bertingkah di luar batas dan merusak rencanaku. Semoga di sekolah itu otakmu jadi benar, agar tidak sia-sia aku membayar mahal untuk pendidikan kalian ...."

Sejak hari itu, Ignicia berada dalam pengawasan ketat. Vader tidak mengizinkannya berkeliaran ke manapun. Sebanyak gadis itu menginginkannya, Ignicia tidak bisa melulu menentang Vader. Ia terpaksa menuruti titah ayahnya meski dengan suasana hati yang suram.

Di sekolah, Cedric dan Angeline tampak tidak mengingat kejadian kebakaran hebat yang mereka picu malam itu. Ignicia yakin pasti ada campur tangan Vader dan Cas di sana. Entah mereka mencekoki keduanya dengan ramuan pahit yang dapat membuat memori terhapus atau Debora turun tangan dengan sihir yang akhir-akhir ini gadis itu pelajari.

Lima jam setelah hari membosankan pertamanya terlewati, awalnya, Ignicia berencana mencuri-curi waktu. Tetapi Vader rupanya lebih pintar. Hapal benar dengan perangai putri bungsunya yang nakal dan di luar dugaan, ia mengirim Asmosius ke depan gerbang sekolah untuk menjemputnya. Lelaki itu sudah ada di sana begitu Ignicia keluar dari gedung sekolah. Menunggunya dengan kereta kuda.

"Bagaimana hari pertama hukumanmu?" tanya lelaki itu saat mereka duduk berhadapan di dalam kereta.

Ignicia mengedikkan bahu malas. "Mulus seperti wajah aslimu."

Asmosius tertawa masam. Ia harus banyak-banyak bersabar jika berhadapan dengan adik bungsunya yang sedang merajuk. "Memang tidak baik jika bermain sampai bertindak di luar batas, Igie. Kamu bisa mencelakai dirimu sendiri."

Alih-alih menjawab, Ignicia hanya menghela napas. Ia menyingkap gorden kereta dan menaruh pandang ke luar. Bukan tanpa alasan gadis itu diam akhir-akhir ini. Sejak kebakaran malam itu, hawa keberadaan sosok misterius di luar sana semakin terasa. Inderanya yang sensitif dapat merasakannya, orang yang selalu menguntitnya sejak malam kematian Zanette Ziegler semakin mendekatkan diri padanya. Ia pertama kali merasakan keberadaan sosok itu di alun-alun kota, saat sayembara digaungkan. Awalnya, hanya samar-samar. Namun kali ini, hawanya terasa sangat jelas. Ia bahkan dapat mengetahui tempat sosok itu bersembunyi.

Malam itu, ia memang tidak berhasil melihat wajah ketakutan Holan dan menangkap langsung si peniru. Tapi, Ignicia sudah cukup puas. Setidaknya, kebakaran malam itu tidak sepenuhnya menjadi hal yang sia-sia.

"Tunggu, aku ingin bertanya padamu." Asmosius mencegahnya pergi saat mereka telah tiba di depan rumah. "Aku dengar dari Debora kalau kau sudah menemukan mata Ra. Apa itu benar?"

Ignicia memandangi wajah kakaknya. Tersenyum kecil. "Mengapa? Kau takut aku mengambil posisimu?"

Ia tidak menunggu jawaban Asmosius dan langsung berlari ke kamarnya. Di depan pintu. Pelayan langsung menyodorkan sebuah surat.

"Surat ini datang hari ini," lapor pelayan tersebut.

Ignicia membuka surat tersebut. Seringainya muncul saat membaca isinya.

'Malam ini, di seperempat malam. Jika kau ingin bertemu denganku.'

Jangan lupa mampir ke seri Leanders yang lain!!

Leanders Series:
1. Asmosius: The Master of Rats Ralorra
2. Wulfer: The Black Snout ashwonders
3. Eberulf: The Black Fang Azza_Fatime
4. Debora: Vervloekte Hand Aesyzen-x
5. Ignicia: Girl From Hell ZiviaZee

See you on the next chapter 👋🏻👋🏻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top