|| 4 || Pesta yang Berujung Salah

Ignicia:
Girl From Hell

A novel by Zivia Zee

•••

Sebelum semua kekacauan tentang Zanette Ziegler yang malang membayangi malam itu, Ignicia sudah membayangkan keramaian macam apa yang akan terjadi sesudah nada terakhir dari lantai dansa didendangkan. Malah, gadis itu sudah menempatkan bidak-bidaknya sejak awal.

Surat undangan perburuan iblis tentu saja hanya jebakan. Siapa yang akan mempercayai kemampuan dirinya sendiri untuk memburu makhluk dari neraka jika bukan seorang narsistik gila? Sayang seribu sayang seluruh bangsawan di tanah itu penuh dengan orang-orang seperti itu. Permainan kecil si bungsu Leanders itupun berjalan semulus yang ia rencanakan.

Maka saat kebosanan mulai menggerogoti hasratnya, Ignicia mulai memindahkan bidaknya.

"Terus menari sampai aku kembali, oke?"

Sementara Holan menarik perhatian dengan tarian solo yang dipaksakan, Ignicia melenggang riang menuju pintu keluar. Tangannya terangkat menutupi mulut selagi ia terkikik geli saat melihat Holan berjalan masuk.

"Ups! Tukang pamer kehilangan teman dansanya."

"Zanette hanya sedang pergi ke kamar kecil!"

Gadis itu mengedikkan bahu dan meyusuri koridor yang dihiasi lilin-lilin.

"Nah, kira-kira aku harus beraksi di mana ya?"

Balai kota cukup luas. Ada banyak tempat strategis untuk memulai sebuah teror. Taman balai di depan misalnya. Kalau meletakkan mayat di tugu air mancurnya, pasti akan langsung menarik perhatian banyak orang. Tetapi, di jam segini semua orang pasti menghabiskan waktu di lantai dansa. Ignicia bisa saja beruntung menemukan satu pasangan yang bisa ia jadikan mangsa. Namun peluangnya setara dengan kemungkinan ia tidak menemukan siapa-siapa.

Sejenak, gadis itu teringat akan perkataan Cedric.

Ah! Benar.

Jika ia menginginkan mangsa, bukankah Zanette yang tengah berkeliaran di luar lantai dansa merupakan sebuah target yang menggoda?

Demikian, alih-alih berjalan lurus menuju taman balai, Ignicia membelokkan arahnya menuju bagian barat bangunan.

"Nah, di mana kau Zanette kecil?"

Ignicia memuntir ujung rambutnya. Melompat-lompat seraya menyusuri tiap lorong koridor. Matanya menajam kala ia menangkap siluet gaun biru satin. Bak baru saja dihadiahi sekantung permen ceri, bibirnya terbuka lebar memperlihatkan taring runcingnya.

Ia mengeluarkan matanya dari rongga. Memantulkannya ke lantai marmer hingga menggelinding ke belakang gadis bergaun biru satin yang tengah berjalan di depannya. Suara pantulan membuat gadis itu menoleh. Tepat saat itu juga, tangan kecilnya terentang membekap mulutnya. Mata gadis itu membelalak penuh teror.

Ignicia mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi. Kakinya menendang-nendang udara sedang tangannya memukul-mukul lengan yang membekap mulutnya. Ignicia memperhatikan wajah gadis itu seraya menelengkan kepala. "Huh? Kau bukan Zanette."

Setitik kekecewaan menelan gadis itu. Ekspektasinya sudah membuat ia mendamba-dambakan wajah pucat Cedric yang malang ketika menangisi kekasihnya. Namun tampaknya hal itu akan gagal diwujudkan sebab gadis yang ditemuinya bukanlah Zanette.

"Tapi, tidak masalah." Ia mengedikkan bahunya. "Mata Zanette juga terlalu klasik. Tapi ... Mata kekuningan milikmu cukup menggoda, heh?"

Jika jantungnya bekerja seperti manusia normal, mungkin saja debarannya akan mengguncang seluruh rusuknya. Ada kesenangan yang tak terjelaskan kala jemarinya mulai menekan ke dalam rongga mata mangsanya. Darah memercik dan mulai menuruni wajah gadis itu, membuat Ignicia kian bersemangat. Dengan sekuat tenaga, gadis itu menarik bola mata keluar dari rongga. Memuntahkan banyak darah diikuti rentangan saraf yang membuntuti bola mata.

Sejurus dengan itu, kaki gadis itu menendang udara kian agresif. Ia mengerang dan air mata membanjiri sebelah matanya. Ignicia tidak mampu menahan diri untuk tergelak hebat, bahkan sampai setengah berjingkrak.

"Aku pinjam matamu sebentar, ya? Tapi aku tidak janji untuk mengembalikannya."

Gadis itu semakin meronta dalam cengkeraman tangannya. Ignicia menggembungkan pipinya sebal. "Uh, baiklah-baiklah. Nanti aku kembalikan kalau ingat."

Senyum miring menghiasi wajahnya yang memerah menahan bungah. Ignicia mulai menarik sebelah matanya keluar rongga. Kali ini, ia melakukannya dengan perlahan. Membiarkan gadis dalam cengkeramannya semakin heboh dalam kesakitan.

"Nah, sudah! Kau ini begitu saja sampai menangis segala. Nanti juga aku kembalikan."

Usai kedua matanya tercerabut dari rongga yang kini berlubang dan berdarah-darah, gadis itu berhenti meronta-ronta. Namun, ia mengejang hebat. Ignicia cukup menikmati pemandangan yang disuguhkan di depannya. Kesakitan manusia selalu terasa lucu, karena Ignicia sendiri tidak pernah merasa sakit kerap kali ia mencabut matanya. Ia sempat berencana untuk membiarkan si gadis malang mengejang sampai nyawanya melayang sendiri. Namun ia sudah tidak sabar untuk mencoba koleksi mata terbarunya.

"Matanya buatku, ya? Selamat tinggal."

Sekejap kemudian, percikan orange memercik dari telapak tangan yang membekap si gadis malang. Tak lebih dari satu sekon kemudian api kemerahan menyambar besar menghanguskan seluruh kepala. Ignicia cukup lihai untuk mengontrol kekuatan apinya, sehingga tidak membakar bagian tubuhnya juga. Menyisakan mayat dengan kepala yang gosong dan bau daging yang kuat meronggok di lantai. Menunggu untuk ditemukan seseorang.

Namun pesta teh malam itu rupanya berakhir lebih cepat dari yang gadis itu bayangkan. Sebelum dansa malam berakhir dan jamuan utama disajikan, Vionette Ziegler mengguncang khalayak dengan teriakan histerisnya. Memulai teror sang iblis lebih cepat dari yang direncanakan.

•••

"Gadis terkutuk sialan! Berani-beraninya dia mati tanpa seizinku, di pestaku, di malam seharusnya aku bersenang-senang!"

Cas sudah paham benar tabiat nona muda yang telah dilayaninya selama lima tahun terakhir. Ignicia memang mudah marah, lebih-lebih jika ada yang mengintervensi permainannya. Maka Cas sudah teramat terbiasa apabila sewaktu-waktu Buttervia dihebohkan oleh berita kebakaran yang janggal. Pastilah Ignicia yang menjadi biang keladinya.

Pernah suatu waktu pihak kepolisian Netherland dibuat terheran-heran dengan berita kebakaran yang hanya melanda setengah bagian dari rumah seorang bangsawan. Seolah-olah ada tembok baja besar yang tiba-tiba muncul di tengah-tengah rumah itu melindungi setengah bagian lainnya. Kali ini, Cas yakin semua orang akan dibuat lebih heran lagi dengan berita kebakaran yang akan tersebar kali ini, sebab Ignicia hanya membakar tugu air mancur taman Balai Kota dan sebuah pohon yang berdiri di sebelahnya.

Lelaki berkulit coklat itu tidak khawatir. Semua peristiwa yang terjadi malam ini—tidak peduli seberapa ganjilnya—pasti akan dilimpahkan pada Iblis Pemburu Mata, dan tidak satu orangpun akan menaruh sangka pada Ignicia yang hanyalah gadis berusia sepuluh tahun. Kendati demikian, semua tidak lagi sesederhana yang Cas kira. Sebab ada Holan Orwell yang menyaksikan segalanya.

"Memangnya masuk akal kalau bidak bergerak dengan sendirinya? Memangnya aku main dengan siapa? Hantu? Berani-beraninya ada serangga yang mencoba mengambil alih permainanku!"

Setelah membakar tugu air mancur, tiga pohon, dan rambatan semak-semak di sepanjang perjalanan pulang, Ignicia masih tidak kehilangan minat untuk misuh-misuh. Kekesalannya masih membumbung tinggi sampai-sampai menolak pulang dengan kereta karena gadis itu hendak menebar api di mana-mana.

Cas mengikuti di belakang dengan tak henti-hentinya menghela napas. Holan yang masih semaput ia geret dengan tangannya karena tak mungkin meninggalkan saksi mata.

"Nona, maaf menyela. Tapi, bagaimana dengan dia? Haruskah saya membunuhnya?"

Dengan dengusan keras, gadis itu akhirnya menghentikan langkahnya. Berbalik menatap Holan. Berkata, "Holan, kau sudah lama mau berkencan denganku 'kan?"

Mendengar pertanyaan yang tidak terduga, Holan yang satu detik lalu bagai kehilangan intisari hidupnya tiba-tiba bak dianugerahi kecerahan. Pucat pasi yang menghiasi wajahnya berubah menjadi semburat merah muda. Cas berdecih tak habis pikir.

"Besok jam sembilan di Alun-alun. Jangan terlambat! Walikota dan keluarga Ziegler pasti akan membuat pengumuman menghebohkan di sana. Pokoknya, kita harus menangkap siapapun serangga peniru itu."

Setelahnya, Ignicia akhirnya bersedia pulang dengan kereta kuda yang masih membuntuti tuannya dari belakang. Cas melayangkan berbagai ancaman mulai dari bersumpah akan mencabuti bulu hidung Holan ketika tidur sampai membakar satu persatu koleksi pakaian lelaki itu jika ia berani bukan suara soal Ignicia dan kekuatan apinya. Pada akhirnya, mereka mengantarkan Holan pulang dengan selamat ke rumahnya meski secara mental kondisi laki-laki itu tidak jauh beda dengan orang sawan.

Begitu sampai di rumah, hal pertama yang menyambutnya adalah si kembar Wulfer dan Eberulf yang baru saja menuruni tangga.

"Oh, hai Ignicia. Mau pelukan?" Yang mengatakan ini sudah pasti Eberulf, karena Wulfer dengan senyum miring berkata, "Wah, lihat! Gadis liar kita baru pulang tengah malam. Kau itu temannya setan atau apa?"

Namun Ignicia yang sudah kepalang kesal tidak memberikan reaksi sebagaimana biasanya. Alih-alih mengusili Wulfer, gadis itu melenggang cepat tanpa melirik seraya berkata ketus. "Diamlah, Wulfer. Aku sedang tidak selera buat menumpuli cakarmu."

Jangan lupa mampir ke seri Leanders yang lain!!

Leanders Series:
1. Asmosius: The Master of Rats Ralorra
2. Wulfer: The Black Snout ashwonders
3. Eberulf: The Black Fang Azza_Fatime
4. Debora: Vervloekte Hand Aesyzen-x
5. Ignicia: Girl From Hell ZiviaZee

See you on the next chapter 👋🏻👋🏻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top