|| 3 || Tapi, aku hanya membunuh seorang!

Ignicia:
Girl From Hell

A novel by Zivia Zee

•••

Surat itu mengembara ke sepenjuru tanah Buttervia. Dibawa sekumpulan gagak hitam ke jendela-jendela para bangsawan. Dalam satu malam, telah tersiar kabar tentang perburuan iblis yang akan digelar pada malam pesta teh. Tatkala sinar fajar mulai merayap naik, kabar tentang hujanan surat di rumah seluruh bangsawan Buttervia begitu saja menjadi topik utama dari percakapan seluruh keluarga.

Pagi itu, para nyonya-nyonya yang bertemu sapa di luar akan berhenti sejenak dan saling bercakap pasal perburuan iblis di malam purnama. Kereta-kereta kuda berderet di depan gerai-gerai teh yang sibuk menghilir rumor. Tuan dan Nona muda berkumpul di kelas-kelas, mengumbar ambisi satu sama lain.

"Katanya, akan diadakan besar-besaran di balai kota, dan ada hadiahnya! Sebatang emas murni dari tambang Dutch New Guinea. Dengar-dengar juga akan ada beberapa intan dan perak sumbangan Leanders dan bujang kaya Van de Borst," kata nona muda di tengah-tengah jam istirahat.

"Paman Edward Van de Borst yang kuyu itu mungkin mau menarik perhatian gadis Ziegler yang katanya mengemban berkat bidadari. Tapi, Leanders ...." Tuan muda melirik jengkel Ignicia di ujung ruangan. Berbisik, "Mereka sudah mencolok, tidak perlu cari perhatian lagi."

"Ah!" Nona muda menepuk bahunya. "Bilang saja kamu takut tersaingi olehnya, Cedric. Bocah Leanders itu memang aneh. Kakak perempuannya yang satu tingkat di atas kita, kabarnya, suka menggoda paman-paman. Kakaknya yang lain yang menghadiri HBS punya bekas cakaran beruang di punggungnya. Bahkan, Ignicia sendiri sudah aneh. Matanya berlainan warna. Malah, aku pernah liat warna matanya berubah jadi seperti batu turmalin."

Cedric mendelik sebal. "Mana mungkin! Aku tidak peduli matanya itu turmalin atau turkuois, Angeline. Kamu mungkin tidak tahu, tapi, aku sudah menyiapkan senjata pamungkas untuk perburuan nanti."

Angeline menatap skeptis. Namun, Cedric memilih untuk memalingkan pandang pada Ignicia. "Aku tidak akan kalah darinya."

Seolah indera sensorinya digelitik pergunjingan, Ignicia turut menoleh. Taring runcingnya ia pamerkan kala mengumbar senyum. Cedric dan Angeline bergidik, lalu, memalingkan muka seolah tak pernah bersitatap.

Ignicia merapatkan senyumnya. Bergumam, "Hmm ... mata turkuois menarik juga."


•-•<><>•-•

Pukul delapan malam, pintu balai kota di buka lebar-lebar. Arak-arakan kereta kuda berhenti silih berganti di pintu depan, menurunkan tuan dan nona mereka. Pramupintu menyambut dengan senyum terbaik mereka pada setiap tamu yang datang, sembari menawarkan limun dalam gelas-gelas kaca.

"Sudah kubilang 'kan? Pasti banyak yang datang."

Menggandeng lengan pelayan pribadinya, Ignicia memasuki ruangan yang telah di rias megah dengan lilin dan kristal. Jamuan-jamuan kue ditata cantik di atas meja-meja bundar. Menyebarkan wangi mentega yang disapu angin ke sepenjuru ruangan.

"Kau benar, Nona. Sedikit sentilan sudah mampu menggerakkan bangsawan-bangsawan berotak kecil dengan harga diri yang mahal."

"Sst! Hentikan kesinisanmu itu, Cas." Ignicia menepuk lengan pelayan pribadinya. "Kau memang spesial untukku, tapi, tidak untuk yang lain. Bagaimana kalau mereka dengar? Nanti aku disuruh memotong kakimu."

"Ah, maafkan saya, Nona."

Cas merapatkan bibirnya dan sedikit menundukkan kepala ke arah Ignicia. Rambut hitamnya yang tertata klimis sedikit berurai ke bawah.

"Tidak apa," sahut Ignicia, "otak mereka memang kecil. Kalau tidak salah ingat, Wulfie bilang hanya seukuran telur unggas, tapi, itu saat dia lepas dari mode anjing pemarahnya dan baru menyadari sudah mengunyah sebagian besarnya. Ah! Asmos bilang, manusia punya batok kepala yang keras seperti sifat mereka. Menurutmu, sudah berapa gigi Wulfie yang patah saat mencoba mengunyah otak?"

"Mungkin sekitar tiga. Apa yang ingin Nona lakukan sekarang?" Cas mencoba mengalihkan ocehan acak nonanya yang bisa-bisa tidak berujung. Namun, Ignicia tampaknya tidak tertarik dengan pertanyaan Cas dan malah berkata, "Wulfie sebenarnya mirip manusia. Dia keras, apalagi kalau sudah melolong-lolong waktu bulan purnama. Terkadang aku ingin memecahkan batok kepalanya agar dia diam. Tapi, nanti kakek-kakek itu mengomel sambil menyiksa lantai dengan tongkatnya."

Gadis itu menengadah menatap wajah Cas. Matanya terpejam kala ia mengumbar senyum, menulari senyumnya pada bibir Cas.

"Nona Leanders!"

Ignicia sudah menduga bahwa Holan akan datang meski bocah itu merengek setengah mati soal perjamuan di rumah Orwell yang ia jamin seribu kali lipat lebih megah dari pesta teh di balai kota. Maka, ketika suara riangnya menyambut gadis itu tepat sepuluh langkah setelah gadis itu menginjakkan kaki di sana, Ignicia tidak lagi terkejut. Ia melepaskan gandengan Cas dan beralih pada lengan yang Holan tawarkan.

Melihat uluran tangannya disambut baik oleh sang gadis pujaan, Holan tak kuasa merinding sekujur badan, dibanjiri kebahagian. Gurat-gurat kemerahan menyebar di pipi dan telinganya kala ia mengeratkan genggaman, dan Ignicia tidak memberikan tanda-tanda penolakan.

"Cas, ambilkan aku sepiring kue mangkuk rasa cokelat dan air limun. Kau tadi tanya 'kan, aku mau melakukan apa? Aku akan bersenang-senang," ujarnya seraya berjalan ke tengah aula.

Cas menunduk dan membalas, "Baik, Nona."

"Ew, kenapa datang dengan inlander, hmm? Kau tahu aku bisa menjemputmu jika kau mau. Tidak perlu minta ditemani seorang budak." Holan mencibir. Matanya memutar jumawa, menyiratkan keengganan bertatap muka dengan inlander di malam yang harus sempurna baginya dan Ignicia.

"Cas itu hebat, Holan," ujar Ignicia dengan enteng. "Dia pelayanku yang paling istimewa. Dia lebih pintar dari semua orang yang ada di sini, meski tentu saja tidak lebih cerdas dariku. Aku kasus istimewa dan sangat luar biasa. Ngomong-ngomong, Kau tau kenapa aku membawanya kemari?"

"Karena dia pelayanmu yang paling istimewa?"

Sebelum Holan dapat menyadarinya, Ignicia menarik tangannya dari lelaki itu. Ia berjalan menghadap Holan. Kedua bibirnya tertarik ke atas, mengumbar senyum jahil.

Seraya mengangkat kedua alisnya, gadis itu berkata, "Karena kau tidak menyukainya."

Kekehannya menggema di ruangan kemudian.

Ignicia punya banyak cara untuk bersenang-senang. Mengacak-acak kamar Debora adalah salah satu contohnya. Tetapi, dia juga bisa melakukannya dengan sesuatu yang lebih normal. Gadis itu berlarian seraya berjingkrak riang. Menghampiri meja-meja, mencicipi apapun yang memancing seleranya. Ia bertegur sapa dengan banyak orang, sampai membentuk kelompok kecil untuk bercerita banyak hal. Mulai dari kekasih kakak sulungnya yang diam-diam mengantungi sendok teh di kunjungan pertamanya, sampai perangkap yang ia pasang di hutan untuk menjerat kaki Wulfer.

Ketika bosan dengan respon orang-orang di sekitarnya, ia akan berpindah ke kelompok lain untuk menceritakannya kembali. Kali ini ditambah berbagai trivia kecil seperti Debora yang gila kebersihan pernah mengorek hidung dengan ujung garpu karena tidak ingin mengotori tangannya.

"Waktu itu Wulfer marah sekali. Dia mendatangiku sambil menyeret-nyeret kakinya yang dimakan mulut besi, lalu mulai mengaung-ngaung. Aku pikir dia kesurupan harimau di hutan, karena seharusnya dia melolong." Ignicia memuntir ujung rambutnya selagi sebelah tangannya bersedekap di dada.

Selama ia mengoceh banyak hal soal kakak-kakaknya, teman-temannya menatapnya penuh minat. Sudah bukan rahasia kalau keluarga Leanders adalah keluarga terpandang. Mengetahui cerita-cerita soal anggota keluarga itu akan menjadi keuntungan tersendiri bagi keluarga bangsawan lain yang ingin melebarkan pengaruhnya di Buttervia.

"Lalu, setelah itu bagaimana? Apa dia berhasil menangkapmu lalu memiting lehermu sebagai ganti kakinya?"

Limun dalam genggaman Ignicia hampir terjatuh. Ia tidak menyangka akan mendapat pertanyaan macam itu.

"Wulfer? Memitingku?" katanya meremehkan, sebelum kemudian tawanya menyembur tak keruan. "Tidak mungkin anak itu bisa menyentuhku. Anak yang bahkan tidak bisa mengendalikan kekuatannya dan selalu merengek pada Eberie tiap kali bulu kelinci nyangkut di giginya itu tidak bisa bertanding denganku."

"Hmph! Bicaramu macam kau orang hebat saja, Ignicia."

Semua perhatian teralih pada suara yang tiba-tiba saja menyembul dari keramaian. Cedric Van Boswell datang memamerkan surai coklatnya yang ditata rapi malam ini, ia padu dengan tuksedo hitam dan kemeja coklat. Lengan sebelah kanannya menggandeng seorang perempuan cantik bergaun biru satin yang dikenal sebagai putri bungsu dari keluarga Ziegler, Zanette Ziegler. Di tangan kirinya, Cedric menggenggam ujung pedang baja yang tersampir di sabuk senjata.

"Wah! Apa itu pedang keluarga Boswell yang legendaris itu?" Seseorang berseru heboh. Lantas, semua mata tertuju pada pedang yang dibawa Cedric. Ignicia berdecih tak suka karena kilat-kilat kekaguman itu tidak lagi tertuju padanya.

"Perburuan iblis malam ini, aku yang akan mendapatkannya," ujar lelaki itu dengan senyum jumawa.

Tidak lama usai kedatangan Cedric, gerombolan itu mulai bercempera kala alunan biola dan musik organ mulai didendangkan. Tanda lantai dansa sudah di buka untuk acara dansa malam. Tuan-tuan menggamit lengan para nona meninggalkan meja-meja suguhan. Cedric mengibas jubah jasnya dan membawa Si Cantik Zanette ke tengah-tengah aula dansa. Begitu juga dengan Ignicia yang langsung disambangi Holan saat nada pertama terdengar.

"Nona Ignicia, izinkan aku menari denganmu di malam yang indah ini."

Di aula dansa, sepuluh pasangan berbaris berhadapan di sisi kanan, sepuluh pasang di sisi kiri. Tamu-tamu yang tidak berpasangan berdiri di dekat dinding melingkari ruangan. Secepat nada pertama bergaung, musik mengalir beriringan bersama langkah-langkah irama. Para gadis memutari pasangan mereka, dan para lelaki mulai meraih pinggang menuntun gadis mereka bergerak sesuai alunan.

"Holan," panggil Ignicia saat ia melakukan gerakan memutar.

"Ya?"

"Sebenarnya aku tidak suka menari, tapi, kamu tahu apa yang membuatku cukup tertarik malam ini?"

"Tentu saja tahu!" seru lelaki itu. "Menari memang cukup membosankan. Tapi, kalau berdansa denganku tentu akan berbeda bukan?"

Ignicia mendengus. "Salah. Yang menarik adalah ... improvisasi."

Tepat ketika keduanya saling merentangkan tangan, pada titik itu seharusnya Holan menarik Ignicia dan membuatnya berputar ke pelukannya. Namun, seperti yang gadis itu bilang, yang menarik dari sebuah dansa adalah ia bisa berimprovisasi kapanpun ia menginginkannya. Maka, alih-alih menjatuhkan diri pada pelukan Holan yang telinganya memerah sepanjang lagu diputar, Ignicia menahan tangannya dan justru menarik Holan berputar ke arahnya. Namun, ia tidak menangkapnya dan membiarkan Holan terus berputar melewati dirinya.

"Terus menari sampai aku kembali, oke?" pintanya. Sebagai bentuk permohonan, ia hanya menghadiahi Holan dengan senyum miring yang mencurigakan dan langsung melenggang ke arah pintu yang menyambungkan aula dansa dengan koridor.

"Apa? Ignicia! Kau mau ke mana?"

Seruan keheranan Holan hanya berlalu bersama angin yang masuk dari celah-celah jendela. Ignicia sudah terlanjur menjauh. Holan nampak kebingungan haruskah ia berhenti menari atau melanjutkan dansa tunggalnya seperti yang dipinta Ignicia. Tetapi, pada akhirnya ia memilih memenuhi titah sang gadis pujaan, yang tentu saja membuatnya jadi tampak aneh di mata orang-orang. Bisik-bisik pun mulai nyaring menyaingi alunan musik.

"Ah, sial."

Belum lama Ignicia angkat kaki dari lantai dansa, tiba-tiba saja, aula itu dihebohkan oleh suara histeris seseorang yang berasal dari luar. Spontan, musik berhenti diputar dan orang-orang berhenti berdansa. Terjadi kebekuan sejenak yang terasa dingin nan mencekam. Suasana yang semula hangat dan ceria pun berubah total.

Lima belas detik usai teriakkan yang membekukan waktu, semua orang di aula mulai berbondong-bondong keluar untuk melihat apa yang terjadi. Sepatu dan hak tinggi berderap beriringan menuju pintu keluar. Tuksedo dan gaun berdesak-desakan, saling penasaran.

Di taman balai kota, segerombolan bangsawan yang tengah berpesta itu dikejutkan oleh Zanette Ziegler yang sudah terkapar di lantai taman dengan darah yang bersimbah turun dari kedua kelopak yang tidak lagi memiliki bola mata. Di sebelahnya, Vionette Ziegler sang kakak kembarnya menangis histeris.

"Ada iblis! Iblis pemburu mata itu ada di sini!"

Sontak, semua riuh mendengar seruan histeris Vionette. Holan tidak lagi mampu menopang bobot tubuh dengan tungkai kakinya yang meretek hebat, akhirnya jatuh tersungkur ke lantai karena berserobok dengan banyak orang yang berlarian. Ia merangkak dengan tangannya menjauhi titik kejadian.

Di mulut lorong barat yang jauh dari keramaian, sepasang kaki berbalut sepatu hak tinggi berwarna merah menyambutnya tanpa di duga. Kepalanya menengadah dan menemukan wajah Ignicia yang nampak tertegun dengan keadaan di taman balai kota. Demikian, Holan memanjati tubuh gadis itu dan mulai menariknya menjauh dari sana.

"Ignicia! Oh, syukurlah kau baik-baik saja. Ignicia, kali pasti terkejut melihat itu 'kan? Dengarkan aku, oke? Iblis pemburu mata itu muncul! Kita harus pergi dari sini. Ayo, aku akan menyelamatkanmu."

"Apa-apaan ini?" Tak terpengaruh oleh kepanikan Holan, gadis itu justru berdiri mematung di tempatnya. Matanya terpancang lurus ke arah tubuh Zanette Ziegler yang tergeletak tanpa nyawa, memandangnya dengan sorot tidak percaya. Dagunya jatuh oleh keterkejutan.

"Ada iblis!" seru Holan panik, melihat Ignicia hanya memaku di tempatnya. Dengan suara bergetar lelaki itu berkata, "Iblis itu membunuh Zanette Ziegler."

"Apa?!"

"Kita harus pergi. Ayo! Aku akan melindungimu."

"Ta-tapi ... aku hanya membunuh seorang."

"Apa?"

"Aku hanya membunuh seorang!"

Holan tidak akan pernah mempercayai matanya lagi. Tetapi, yang dilihatnya bukanlah ilusi otak dalam menghadapi kegilaan malam itu. Hawa panasnya terasa nyata, dan pendar oranye yang menimpa wajahnya terlampau jelas untuk tidak diindahkan. Sekali lagi, pantat anak itu mencumbu mesra lantai kala Ignicia -dengan kemurkaan yang jelas- mengobarkan api dari kepalan kedua tangannya.

Berkata, "Sialan! Ada yang berpura-pura menjadi diriku!"

Jangan lupa mampir ke seri Leanders yang lain!!

Leanders Series:
1. Asmosius: The Master of Rats Ralorra
2. Wulfer: The Black Snout ashwonders
3. Eberulf: The Black Fang Azza_Fatime
4. Debora: Vervloekte Hand Aesyzen-x
5. Ignicia: Girl From Hell ZiviaZee

See you on the next chapter 👋🏻👋🏻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top