|| 1 || Ups! Bisa kau ambilkan bola mataku?

Ignicia:
Girl From Hell

A novel By Zivia Zee

•••

Ada kedamaian pada setiap fajar yang datang menyelinap di antara suara kokok ayam saat udara masih bersuhu rendah dan pendar lentera masih menjadi satu-satunya cahaya yang menerangi Hindia Belanda. Meski harus diakui kedamaian yang ada tidaklah benar-benar sebuah kesyahduan yang dapat dibayangkan. Akan selalu ada kemelut di atas tanah Nusantara yang kehilangan namanya. Tapi, dalam beberapa saat kala matahari baru saja menampakkan diri di ufuk timur, semua inlander yang merunduk di antara julang padi akan diam sesaat dan mengucap syukur dalam agama mereka, bahwa eloknya langit masih ada meski tidak dengan bumi yang mereka pijaki.

Ketenteraman sepintas itu selalu dimulai dari mengintipnya cahaya hangat matahari yang menumpahkan gurat kemerahan di batas cakrawala. Lalu meninggi dan semakin meninggi hingga seberkas sinarnya menyusupi jendela-jendela sebuah mansion, menyinari lantai kayunya yang padat dan coklat gelap. Saat itulah Vader menyingkap tirai dengan tangannya yang berurat dan sedikit keriput. Kala cahayanya membuat matanya yang tajam dan dingin sedikit menyipit, ia akan berbalik, mengambil tongkat berjalannya dan turun ke rubanah.

"Anak-anak, waktunya bangun!"

Vader berdiri di ujung lorong dan menekan tombol merah. Sejurus kemudian sebuah suara bergaung di sepanjang rubanah dan menggetarkan setiap dindingnya. Lima pintu dengan ukiran lambang yang berbeda akan berderit membuka. Lalu berbaris lima anak di depan pintunya masing-masing. Maka dimulailah pagi itu di atas sebuah meja makan yang menyediakan daging kalkun dan gepokan roti gandum.

Sekilas, akan nampak seperti acara sarapan keluarga yang hangat. Namun, bahkan seorang anak yang tidak memiliki mata tahu ada banyak sandiwara yang bermain kala pisau dan garpu saling beradu.

Anak sulung dengan baju hem yang mirip lelaki berumur lima belas tahun itu usianya sudah satu abad. Dua anak lelaki yang duduk di sampingnya sudah setengah usia si sulung. Salah satunya malah bisa berubah menjadi serigala berbulu hitam pekat. Anak perempuan yang duduk di seberang sulung yang tangannya dibalut sapu tangan itu bisa meleburkan tubuh sapi menjadi butiran debu dalam sekali sentuh. Kursi di sampingnya yang kosong, mestinya terisi oleh si bungsu yang bisa menciptakan api dari tangannya. Ya, semua yang duduk di meja makan itu tidak normal, dan Vader adalah orang yang menciptakan mereka.

Garpu dan pisau berhenti beradu kala Vader akhirnya menyadari bahwa kursi milik Ignicia sudah tidak bertuan sejak pertengahan acara sarapan keluarga itu.

"Ignicia!" serunya menggelegar ke seluruh ruangan.

Suara kelontang barang berjatuhan terdengar dari ujung lorong yang menghubungkan ruang makan dengan ruangan lain. Sejurus dengan itu, terdengar bunyi buk berulang kali seolah-olah seluruh buku di lemari jatuh berhamburan ke lantai.

Alis Debora mengerut. Sedetik kemudian ia berseru panik. "Ignicia! Apa kau mengacak-acak perpustakaan pribadiku lagi?!"

"Tidak!" seru gadis itu dari ruang sebelah.

"Ignicia, sudah ayah peringatkan untuk tidak meninggalkan meja makan sebelum selesai. Cepat kembali dan habiskan makananmu! Ini perintah!" Vader menuntut. Alisnya berkerut setengah jengkel.

"Baik, Vader."

Sejenak kemudian, Ignicia muncul dari lorong membawa tubuh perempuan yang sudah ia dandani dengan gaun satin. Wajahnya sudah tidak ada, dikuliti secara sempurna dan beberapa bagian dari kulit badannya memar-memar kehitaman. Aroma busuk langsung menguar ke seluruh penjuru ruangan tatkala gadis itu meletakkan tubuh perempuan itu di kursi di ujung meja makan berhadapan dengan kursi Vader.

Debora langsung menutup hidungnya dan bangkit dari kursinya. Menepikan diri ke ujung ruangan sebab bau tak sedap itu membuat indera penciumannya seakan terlepas dari wajahnya. 

"Oh, tuhan! Apa itu mayat?"

"Ignicia, apa yang kau lakukan?!" Vader menyentak marah.

Ignicia mendelik ke arah mayat perempuan yang dibawanya. "Sebentar lagi kita akan punya ibu 'kan? Bagaimana jika kita simulasi dulu? Perkenalkan, ini Estelle. Ibu simulasi kita—sekarang, Vader, kakak-kakak, beri salam pada ibu!"

"Ah! Anak ini gila," gerutu Debora kesal.

Wulfer mengikuti Debora bangkit dari kursinya seraya terbatuk-batuk menahan mual. Kakaknya yang masih duduk tenang di kursinya hanyalah Eberulf yang tertawa kecil melihat tingkah tak biasa adiknya.

Asmosius mengulas senyum pendek sebelum berkata, "Halo, Estelle."

Ignicia berjingkrak-jingkrak kegirangan. Ia pun duduk di kursinya. "Sekarang, sandiwara keluarga bahagia kita semakin lengkap. Ayah, kakak, ibu—ah, ibu juga harus makan!"

"Igie Sayang," panggil Asmosius, memperhatikan adik bungsunya dengan senyum yang seakan tak pernah luntur.

Ignicia yang sedang mengoper potongan daging kalkun ke piring di depan Estelle melirik singkat ke arah kakaknya. Bergumam, "Hmm?"

"Di mana kau menemukan Estelle? Apa dari laboratoriumku?"

"Dia berbaring di atas meja sendirian. Estelle terlihat kesepian, jadi Igie membawanya kemari, hihi." Ignicia mengulas senyum lebar. Memperlihatkan gigi taring atasnya yang panjang.

"Ahh ...," gumam Asmosius seraya mengurut dagunya. Lelaki itu berdiri dan menghampiri Estelle. "Tapi, bagaimana jika Estelle memang suka sendirian? Begini saja, karena Estelle suka sendirian, bagaimana kalau kita biarkan dia membawa makanannya ke laboratorium dan makan di sana—"

"Tidak."

Meja makan berdentam dan piring serta alat makan di atasnya bergetar sesaat tatkala Ignicia memukul meja. Senyum cerahnya sirna seketika. Ujung-ujung bibirnya tertarik ke bawah dengan bibir yang mengerucut tak suka. Matanya menatap tajam pada Asmosius yang langsung terdiam.

Hening sesaat.

Ujung mata Asmosius menangkap asap kecil membumbung di atas punggung tangan Ignicia. Lelaki itu dengan cepat menyadari bendera merah dan mengangkat tangannya sejajar kepala menjauhi Estelle. "Baiklah, baiklah. Aku rasa Estelle memang sebaiknya makan dengan kita."

Lelaki itu lantas mengambil beberapa potong roti gandum dan meletakkannya di piring Estelle. "Selamat makan."

"Selamat makan!" seru Ignicia girang.

Tangannya berhenti memanas dan asap di atas punggung tangannya mulai repih terbawa angin.

Debora menyaksikan semua itu dengan rahang terjatuh. "Vader, kau tidak akan mengatakan sesuatu?"

Vader meletakkan garpu dan pisaunya, menandakan ia telah selesai makan. Matanya yang tajam dan sedikit berkeriput di bagian pelipis melirik Ignicia. Kumis tipisnya berkedut dua kali sebelum ia berkata, "Ignicia, singkirkan mayat itu dari meja makan sekarang juga."

"Itu bukan mayat!" seru Ignicia tak terima. "Itu Estelle, ibu kita—"

"Mayat itu bukan ibumu! Berhenti bermain-main dan singkirkan benda itu dari wajahku! Jika kau mau ibu, segera lakukan tugas yang aku berikan—Asmosius! Aku tidak percaya kau membiarkan ini terjadi. Sudah berapa hari sejak Vader berikan misi ini pada kalian? Tidak ada satupun yang sudah menemukan benda-benda yang kuminta, bahkan dirimu! Lihat, sekarang adikmu mengira mayat adalah ibunya!"

Ruangan itu diliputi keheningan. Asmosius dan adik-adiknya terdiam, segan untuk bicara. Kala Vader sudah mengerutkan alis,  mengerucutkan bibir dan meninggikan suara, maka tidak ada satupun yang berani melawan. Vader adalah sosok yang tegas, kharismatik namun kejam. Hanya Ignicia yang suka melewati batas dan memancing amarahnya, namun, saat Vader sudah benar-benar marah, Ignicia akan diam juga.

"Maafkan aku, Vader." Asmosius sebagai anak sulung angkat bicara untuk mencairkan suasana. "Saat ini kami belum dapat, tapi, Vader tahu anak-anak Vader hebat bukan? Aku janji benda-benda yang Vader cari akan segera berada di tangan Vader—"

"Hanya janji yang bisa kamu tawarkan! Aku butuh lebih—"

Tak.

Suara benda jatuh menginterupsi bersamaan dengan datangnya koak burung yang diiringi dengan kepakan sayap. Seekor gagak hitam memasuki ruang makan dari celah jendela yang terbuka dan menjatuhkan sebuah koran. Perhatian Vader dan lima anaknya segera saja teralih.

"Singkirkan mayat itu, Asmosius! Ignicia, kau juga!" perintahnya. Ia bangkit dari kursi dengan bantuan tongkat kesayangannya. Bunyi tok terdengar konstan saat pria itu berjalan ke sudut ruangan, mengambil gulungan koran yang dibawakan gagak hitam.

Vader tidak suka keluar rumah dan berbaur dengan manusia, terlebih saat matahari bertahta di langit. Kendati demikian, ia tidak pernah melewatkan berita terkini. Terutama, ketika ada kejadian aneh di kota yang ia yakini anak-anak monster ciptaannya menjadi dalang di balik semua keganjilan yang ada di Buttervia.

Suara kresak terdengar renyah di udara saat Vader membuka halaman koran. Matanya langsung tertuju pada sebuah tajuk yang mewartakan tentang putri bungsu keluarga Coleman yang ditemukan tewas di dekat hutan dengan kedua bola mata yang telah hilang. Sontak ia turunkan korannya dari wajahnya.

"Ignicia, apa kau membunuh orang di dekat rumah kita lagi?!" tanyanya sengit seraya menatap nyalang pada kursi Ignicia yang telah kosong.

Dilihatnya empat anak lainnya, Debora sibuk mengaduk-aduk makanannya, sudah tidak berselera sejak ada mayat duduk di satu meja makan dengannya. Wulfer meski sedikit mual tetap tidak kehilangan selera makannya dan mencabik daging kalkun tanpa peduli sekitar. Eberulf menjadi anak yang paling tenang, masih memperhatikannya, menunggunya melanjutkan pembicaraan dengan wajah penasaran. Asmosius yang tengah mengangkat Estelle, menyadari dirinya diperhatikan dan langsung berhenti. Menatap Vader dengan tanda tanya.

Hanya Ignicia yang menghilang, dan tidak ada satupun dari mereka yang menyadari gadis kecil itu merayap pergi dengan kedua kakinya.

Vader berdiri. Kursinya berderit kasar. Untuk ke sekian kalinya di pagi itu, ia berteriak kesal.

"IGNICIA!"

Sedangkan anak yang diteriaki sudah berada jauh dari rumahnya. Mengelana ke tengah kota untuk membuat kekacauan lainnya.

•—•<><>•—•

Buttervia adalah kota besar. Pusat dari para saudagar kaya dan bangsawan Netherland membentuk koloni. Saling berjejalan di tengah hiruk-pikuk perkotaan yang bising. Manusia datang ke Buttervia dan saling berkompetisi dengan kekayaan dan kemolekan. Memamerkan bangunan-bangunan tinggi yang menjadi sarang kecongkakan serta gaun-gaun sutra istri-istri mereka di acara dansa atau pesta bangsawan.

Kota penuh manusia bukan tempat yang tepat untuk membangun sarang monster dengan segala keanehan mereka. Tetapi, Buttervia adalah kasus lain. Buttervia memiliki keajaibannya sendiri. Seperti kereta dengan kuda terbang yang kerap berlalu lalang di sepanjang sore menuju malam, dan Ignicia bersumpah mereka bukan satu-satunya monster yang menyelinap dan berbaur di antara manusia kota ini. Ia bisa merasakannya. Tingkat kepekaannya yang tinggi mampu mendeteksi makhluk lain yang ikut membaur dalam kamuflase dan sandiwara mereka.

Seperti halnya mereka yang datang ke Buttervia, Leanders bersaudara memiliki agenda mereka sendiri.

Ignicia punya banyak hal untuk dilakukan di tengah kota. Terutama di pusat perbelanjaan dan alun-alun di mana banyak orang berlalu-lalang. Namun, agendanya baru akan berjalan kala bulan sudah menggantung di antara kerumunan awan.

Ketika langit masih bercorak jingga, cahaya matahari terhalang lembaran awan membuat suasana teduh remang-remang, serta masih banyak para noni dan nyonya-nyonya berwajah kaku melakukan aktivitas di luar rumah, Ignicia hanya akan berjalan-jalan di sekitaran alun-alun. Terkadang, gadis itu menyambangi salah satu toko pakaian, atau sebuah toko kue dengan wangi mentega yang pekat. Ia akan menyambangi tempat manapun di mana ia bisa mengamati para manusia dengan mata mereka yang menarik minatnya.

Ignicia tengah berada di sebuah toko arloji antik, mengenakan gaun merah khasnya yang dibalut dengan jubah hitam bertudung, ketika sebuah kereta kuda menyibak debu di jalanan. Roda-rodanya berkeriau kencang saling sahut menyahut dengan kikikkan kuda saat kereta itu berhenti tepat di depan toko arloji. Dari jendela kaca besarnya yang menampakkan dunia luar, Ignicia dapat melihat seorang pria berpakaian jas hitam berekor panjang yang disandingkan dengan tongkat hitam mengkilat miliknya. Lonceng toko berteriak nyaring kala pria itu memasuki toko dan langsung berjalan lurus ke arah Ignicia.

"Aku tidak tahu kau juga punya agenda di dekat sini, Vader."

Ignicia berjalan pelan mengelilingi meja. Memperhatikan jam kayu berbagai bentuk yang ditata rapi untuk memikat hati pembeli.

Vader berdeham sebelum menjawab, "Satu-satunya agendaku adalah menemuimu, anak nakal! Apa yang kau lakukan di meja makan itu keterlaluan. Debora jadi tidak mau makan seharian."

"Ahh ...," gumam Ignicia kecil. "Dia memang suka merajuk. Jangan khawatir! Aku akan membuatnya makan setelah aku pulang."

Taringnya menyembul saat gadis itu menarik kedua ujung bibirnya ke atas. Dua matanya dengan warna iris berbeda menyipit membentuk pola senyum yang lucu.

"Ignicia, Vader ingin kamu bisa menjaga sikapmu. Apalagi jika kau belum menemukan mata Ra."

"Jadi ...." Ignicia menghadap ayahnya. "Vader jauh-jauh datang ke sini untuk menceramahi soal sikapku, atau memperingatkanku soal mata Ra?"

Tidak ada jawaban. Ada pertentangan di antara tautan mata keduanya yang mengheningkan suasana dengan aura dingin yang tajam. Kendati segaris senyum kecil senantiasa menghiasi wajah sang gadis berambut ikal itu.

Vader mengulurkan tangannya. Ignicia menyambut uluran itu. Keduanya berjalan menyusuri lorong toko yang diapit oleh banyak jam antik dengan ukuran yang lebih besar.

"Vader memberimu misi yang paling sulit, lawan yang paling berbahaya, karena kamu yang paling kuat di antara yang lainnya. Tapi, apakah mungkin Vader mengharapkanmu menjadi yang pertama kali menemukan benda itu juga?"

Mereka berhenti tepat di tengah-tengah ruangan. Toko jam itu tengah sepi, lengang dari para pembeli atau kolektor yang bertandang untuk melihat-lihat. Sebabnya suara sekecil dengusan tertahan Ignicia dapat terdengar jelas. Gadis itu melirik ayahnya dengan ujung mata. Menyunggingkan senyum miring yang ganjil.

Berbisik, "Vader menginginkan mata Ra? Haruskah Ignicia bawakan sekarang juga?"

"Kau sudah menemukannya?" tanya Vader penasaran.

"Menurutmu?"

Pintu belakang berderit terbuka. Muncul gadis muda berambut coklat mengenakan gaun sederhana dengan korset. Di tangannya buku-buku tebal menumpuk bersama gulungan perkamen. Matanya yang berwarna hijau lumut berkilat-kilat, berbinar cantik kala ia mendelik ke arah Vader dan Ignicia.

"Oh! Halo, Tuan Leanders. Suatu kehormatan kau bersedia mengunjungi toko keluargaku yang sederhana—oh! Nona Ignicia! Kau sering berkunjung akhir-akhir ini, ya."

Sementara Vader hanya menanggapi dengan delikkan sinis, Ignicia menunjukkan tata kramanya dengan balas tersenyum.

"Nona Williams! Senang bertemu denganmu."

Gadis itu terkekeh. "Sudah kubilang kau bisa memanggilku Viona—Ah, maafkan aku. Sepertinya aku harus segera pergi. Ayahku akan segera turun jika kau butuh tur arloji. Apakah tidak apa-apa, Tuan?"

Alih-alih Vader, Ignicia lah yang menjawab dengan sama ramahnya. "Kau bisa pergi. Apakah kau butuh bantuan? Aku bisa membawakan bola matamu yang cantik."

Viona Williams terdiam sejenak. Berusaha mencerna kata-kata Ignicia yang ganjil. Namun, Ignicia memanglah demikian bukan? Gadis itu terkenal dengan cara bicaranya yang aneh dan sifat yang agak eksentrik. Viona Williams pun hanya tertawa malu, mengiranya sebagai pujian.

"Kau bisa saja," katanya seraya tersipu.

"Berhati-hatilah."

Ignicia menatap kepergiannya dengan mata berkilat-kilat penuh ambisi. Sunggingan senyumnya semakin miring dan semakin ganjil. Namun, kalimat terakhirnya tentu tidak akan membuat siapapun curiga. Setidaknya, siapa yang akan mencurigai seorang bocah sepuluh tahun hanya dengan ucapan berhati-hati?

Ketika dengung terakhir lonceng toko terdengar, dan keheningan kembali menyambangi toko berbau kayu itu, Vader kembali mengungkit pembicaraan tak usai di antara mereka.

"Jika kau sudah menemukannya, bukankah lebih cepat akan lebih baik?"

Ignicia mengurai tautan tangan mereka. Ia menaikkan tudung jubahnya hingga menutupi wajahnya. Gadis itu berbalik, berdiri berlawanan arah dengan Vader.

"Berlian yang dipoles dengan kesabaran akan menghasilkan perhiasan yang lebih berkilau. Tidakkah Vader mengetahuinya? Ah! Tentu saja. Vader pasti cukup sabar saat menciptakanku." Gadis itu terdiam sejenak. Menoleh. "Karena aku yang paling bersinar di antara semua ciptaanmu."

Pantofel hitam dengan hak pendek yang membalut kakinya menyentak-nyentak lantai kayu toko tatkala Ignicia berjalan kembali menyusuri lorong, menuju pintu keluar. Meninggalkan ayahnya yang masih termangu di tempatnya.

"Kau mau ke mana? Ignicia!"

Ignicia tidak menoleh. Tidak pula melambatkan jalannya. Ia menjawab pada ketiadaan dan ruang hampa. "Ke mana lagi? Tentu saja mengambil barang kesukaanku."

Dengung lonceng mengantarkan kepergiannya. Ketika Ignicia menapakkan kakinya di luar, langit sudah gelap. Ia berjalan menyusuri trotoar yang mengantarkannya pada terowongan pendek.

Poster orang hilang berderet menghiasi dindingnya yang berlumut di ujung-ujung. Kubangan air dangkal di sudut-sudut jalan digenangi oleh daun-daun kering kecoklatan yang gugur dari Pohon Akasia. Suara jangkrik merayapi udara malam dari kegelapan pekat yang tak dibayangi redup sinar rembulan. Hanya ada sebuah lentera yang digantung di sudut trotoar di ujung jalan setelah terowongan. Sinarnya memendar redup tidak cukup terang untuk merepih gulita di dalam terowongan.

Malam itu hening tatkala Viona Williams menyelinap dari rumahnya di pinggir Sungai Enver untuk mencumbui kekasih gelapnya yang seorang pandai besi. Viona telah yakin bahwa terowongan bawah jembatan di samping Sungai Enver itu hanya akan menjadi miliknya seorang malam itu. Maka ditepisnya segala santunnya sebagai wanita Netherland.

Mata hijau lumut cantiknya mengerling ke arah sang kekasih dan mereka bercumbu mesra di bawah pendar lentera. Memadu kasih dalam kecupan-kecupan basah yang memabukkan. Setidaknya, sampai bunyi kelontang benda jatuh mengejutkan keduanya hingga menarik diri satu sama lain dengan ketegangan yang nyata.

"Apa itu?" gumamnya, tatkala melihat dua bola mata dengan iris berbeda warna memantul-mantul dari dalam terowongan ke dekat kakinya.

"Ups!"

Ignicia berjalan pelan dari dalam kegelapan. Memperlihatkan dirinya dalam balutan jubah hitam bertudung yang menaungi kepalanya. Namun Viona berjarak cukup dekat untuk melihat dengan jelas kedua kelopak mata gadis itu kini berganti dengan kekosongan. Sementara senyum anak itu kian cerah, memperlihatkan taring panjangnya saat ia berkata.

"Sepertinya jatuh lagi. Oh! Bisakah kau ambilkan bola mataku?"

Okeh, emm ... Jadi, aku kemarin lupa ngasih cast dan trailer OMG 🤦🏻‍♀️jadi sekarang aku cantumin. Aku bakal update di bab2 berikutnya untuk cast npc di novelku. Kalau untuk cast leanders siblings yang lain boleh tanya sama authornya yak wkwkw.

==========
CAST
==========

Ignicia Van Leanders

10th | Fire | Sarcasm

==========
TRAILER
==========

All praise to Ralorra  who made this magnificent edit ✨

Jangan lupa mampir ke seri Leanders yang lain!!

Leanders Series:
1. Asmosius: The Master of Rats Ralorra
2. Wulfer: The Black Snout ashwonders
3. Eberulf: The Black Fang Azzafrei
4. Debora: Vervloekte Hand Aesyzen-x
5. Ignicia: Girl From Hell @ZiviaZee

See you on the next chapter 👋🏻👋🏻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top